Você está na página 1de 4

ASEAN dan diplomasi RI

DAERAH wisata pantai Hua Hin Thailand pada 27 Februari- 1 Maret 2009 menjadi
tempat penyelenggaraan KTT ke-14 ASEAN. Mencermati perjalanannya sejak berdiri 8
Agustus 1967 hingga peresmian pemberlakuan Piagam ASEAN (The Asean Charter) di
Jakarta 15 Desember 2008 lalu, banyak kritik terhadap ASEAN bermunculan. Masalah
dan tantangan apa yang dihadapi ASEAN dan masih cukupkah ASEAN menjadi fokus
diplomasi kita?
Kerjasama regional semacam ASEAN mestinya dapat memberikan manfaat negara-
negara anggota untuk memperkuat kapasitas diri dalam ekonomi dan politik, yang pada
akhirnya mampu melayani kepentingankepentingan negara anggota. Namun perbedaan-
perbedaan yang terjadi dalam inter-regional ASEAN diyakini menyumbang bagi kurang
padunya kerjasama kawasan ini dalam menopang ASEAN sebagai kekuatan yang layak
diperhitungkan dalam ekonomi-politik global. Padahal menurut Cantori dan Spiegel
(1970) dalam The International Politics of Region: A Comparative Approach, kohesivitas
sosial, ekonomi, dan politik mempunyai peran penting dalam menopang keberhasilan
regionalisme.
Dalam konteks ini lah Piagam ASEAN memiliki arti strategis. Pada hakikatnya ASEAN
Charter ini berfungsi sebagai konstitusi ASEAN, menegaskan legal personality ASEAN,
sekaligus sebagai pondasi dari ASEAN Economic Community (AEC), yang bersama
dengan ASEAN Security Community (ASC) dan ASEAN Socio Cultural Community
(ASCC) akan menjadi pilar Komunitas ASEAN 2015.
Pembentukan Komunitas ASEAN bisa dilacak melalui kesepakatan Visi ASEAN 2020 di
Kuala Lumpur 1997. Visi ini lebih ditegaskan melalui Bali Concord II yang dihasilkan
pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyepakati pembentukan Komunitas
ASEAN. Pencapaian Komunitas ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya "Cebu
Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by
2015" oleh para Pemimpin ASEAN pada KTT ke- 12 ASEAN di Cebu, Filipina, 13
Januari 2007. Dengan deklarasi ini, disepakati percepatan pembentukan Komunitas
ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Pada temu puncak ke-13 ASEAN di
Singapura 20 Nopember 2007, 10 negara anggota ASEAN telah menandatangani Piagam
ASEAN.
Namun piagam itu mesti ditindaklanjuti secara nyata agar prosedur dan jalan
mencapainya bisa terealisasi. Sempat muncul pemikiran agar piagam bisa dirubah atau
disempurnakan karena tidak mengikutsertakan rakyat dalam proses pembuatannya.
Piagam hanya berbicara soal bagaimana masing-masing pemerintahan berinteraksi dan
tidak ada tempat yang diciptakan atau prosedur yang dibangun untuk melembagakan
peran masyarakat sipil dalam proses pembangunan komunitas regional.
Ketegasan ASEAN dalam menyikapi masalah pelanggaran hak asasi manusia dan
penegakan demokrasi di masing-masing negara anggota juga dipertanyakan. Terakhir
adanya institusi yang lebih cepat dalam mengambil keputusan dan lebih cepat
mengantisipasi tantangan sangat diharapkan tetapi keterbatasan dalam piagam malah
memperlambat. Efektivitas summit diplomacy dinilai sebagai retorika saja dengan contoh
kegagalan upaya membahas topik Myanmar dalam summit karena Myanmar menolak.
Dengan kondisi seperti itu maka pengaturan dasar dan prasarana ASEAN menjadi
kebutuhan. Menurut Menlu RI Hassan Wirajuda, program itu meliputi perampungan
cetak biru ASEAN Political and Security Community dan ASEAN Socio- cultural
Community dengan rincian jadwal dan waktu kegiatan yang jelas. Cetak biru ini
diperlukan untuk mempersiapkan rencana ASEAN mewujudkan masyarakat ASEAN
2015. Selain itu diperlukan juga penyelesaian kerangka rujukan (term of referens) badan
ASEAN pada Juli 2009 dan penguatan struktur dan staf Sekretariat ASEAN. Jika ini
berjalan baik maka harapan bagi Komunitas ASEAN 2015 bisa terlaksana.
Konsentris terdalam
Mencermati konfigurasi politik dan ekonomi internasional yang bergerak dinamis,
setidaknya ada dua arus pemikiran dalam melihat posisi ASEAN bagi Indonesia. Posisi
pertama melihat ASEAN merupakan soko guru politik luar negeri Indonesia karena
negara-negara ASEAN merupakan lingkaran terdalam dari lingkaran-lingkaran
konsentris pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Pendekatan lingkaran konsentris
menegaskan besarnya pengaruh lingkungan eksternal terdekat terhadap situasi domestik
Indonesia.
Dari faktor sejarah, posisi Indonesia sebagai salah satu pendiri juga menjadi faktor
pendukung. Dalam pembentukan Komunitas ASEAN, Indonesia memainkan peran utama
(leading role) sebagai salah satu perumus dan penggagas. Bagi Indonesia, target
menggapai Komunitas ASEAN 2015 merupakan pertaruhan diplomasi yang sangat besar.
ASEAN yang dulunya asosiasi bersifat longgar kini sedang beralih menjadi organisasi
yang lebih terarah dan terintegrasi. Sebagai penggagas dan perumus Komunitas ASEAN,
Indonesia perlu memastikan bahwa rencana kegiatan yang mendorong terwujudnya
Komunitas ASEAN dapat terealisasi.
Penganut pemikiran ini juga berargumen bahwa pentingnya ASEAN dapat dimulai
dengan memahami bahwa sejak berdirinya ASEAN, tidak pernah terjadi konflik terbuka
antara negara sesama ASEAN. Summit diplomacy dinilai telah terbukti pula bisa
menyelesaikan masalah dengan lebih efektif.
Selain itu, fakta bahwa penduduk ASEAN secara keseluruhan kurang lebih berjumlah
560 juta, kombinasi GDP mencapai 1,2 triliun US dolar (catatan tahun 2007) serta total
perdagangan intra-ASEAN tahun 2006 yang tercatat 350 miliar US dolar menjadikan
ASEAN penting.
Pandangan kedua menilai bahwa ASEAN sudah tidak cukup menjadi pilar utama
kebijakan luar negeri RI. Kelompok ini mengkritisi politik luar negeri kita untuk tidak
terjebak dalam skope ASEAN semata. Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain
bahwa ASEAN yang sekarang dinilai belum cukup untuk situasi global sekarang. Di era
persaingan saat ini kemajuan yang dicapai oleh ASEAN dalam meliberalisasi kawasan
dan menciptakan kawasan yang terintegrasi secara ekonomi kurang meyakinkan. Para
kritikus melihat bahwa kerjasama ASEAN tidak cukup mendorong integrasi ekonomi dan
kurang memacu perdagangan intra-regional.
Secara politik, setelah 41 tahun memang ada kontribusi ASEAN misalnya dalam
peneyelesaian masalah Kamboja, Filipina Selatan dan Malaysia. Tapi semangat ASEAN
tidak workable untuk banyak masalah lain. Masalah TKI di Malaysia misalnya tidak bisa
diselesaikan dengan semangat ASEAN. Prof Dr Budi Winarno (2008) bahkan menyebut
kohesivitas di kalangan anggota ASEAN sebenarnya sangat rendah.
Dengan realitas potensi rivalitas China, India, dan Jepang, belum selesainya masalah
Korea, dan perkembangan di Pasifik, maka setelah 2009, ASEAN bisa dikatakan bukan
soko guru. Harus ada pilar-pilar utama lain termasuk bila kita berbicara tentang krisis
pangan dan krisis energi. Di luar negeri, peran ASEAN juga semakin dipandang sebelah
mata terutama setelah krisis ekonomi 1996 dan problem Myanmar. Selain itu dengan
adanya power shift yang dramatis di Asia Timur dengan berlanjutnya supremasi US,
kebangkitan China dan India, kehadiran Japan dan kembalinya Russia, maka jika hanya
terfokus pada ASEAN, ditakutkan akan memperlambat gerakan kita.
Dalam konteks seperti itu maka sikap bijaksana sepatutnya dikembangkan.
Memperjuangkan kepentingan nasional (security, econmic properity, prestige, promotion
of ideology) melalui ASEAN masih tetap dilanjutkan. Tetapi penguatan perjuangan
diplomasi multilateral melalui aneka forum internasional juga diperlukan. Di level sub
state, diplomasi multijalur (multi track diplomacy) juga harus diperkuat karena tantangan
ke depan melibatkan banyak aktor dan isu. hf
Andi Purwono
Ketua Prodi Hub. Internasional
Universitas Wahid Hasyim Semarang

Você também pode gostar