Você está na página 1de 5

Asal Usul Hermeneutika

Disepanjang sejarahnya, hermeneutika secara sporadis muncul dan berkembang


sebagai teori interpretasi. Ketika setiap orang menuntut kebutuhan akan kepuasan
fungsi otaknya dalam mencapai sesuatu yang ada disekelilingnya, ini berarti bahwa
otak selalu bertanya-tanya dan aktif menafsirkan apa yang diterimanya, termasuk
interaksi sesama manusia lewat bahasa yang memerlukan penafsiran plural. Proses
tafsir dalam diri manusia akan terus berlangsung selama ia hidup. Melalui bahasalah
pengalaman itu bisa digeneralisasikan ke setiap manusia.

Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat
diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi (Sumaryono,1999:23). Di dalam
istilah itu secara langsung terkandung unsur-unsur penting yaitu: mengungkapkan,
menjelaskan, dan menerjemahkan. Adapun asal-usul hermeneutika sendiri yakni
ketika Hermes menyampaikan pesan para dewa kepada manusia. Dan hermeneutika
pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti’.

Richard Palmer (2003:15-36) menyatakan ada tiga bentuk arti dari hermeneuein yaitu
hermeneuein sebagai “mengatakan”, yang merupakan signifikansi teologis
hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari
herme berasal dari bahasa Latin sermo, “to say” (menyatakan), dan bahasa Latin
lainnya verbum, “word” (kata). Ini mengasumsikan bahwa utusan, didalam
memberitakan kata, adalah “mengumumkan” dan “menyatakan”. Lalu hermeneuein
sebagai “to explain”, interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman
diskursif, ia menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi
akspresif. Dan terakhir hermeneuein sebagai “to translate”, yang mempunyai dimensi
“to interpret” (menafsirkan) bermakna “to translate” (menerjemahkan), yang
merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk
dipahami”. Jadi ketika suatu teks berada dalam bahasa pembaca, benturan antara
dunia teks dengan pembaca itu sendiri dapat menjauhkan perhatian.

Definisi Hermeneutika

Hermeneutika dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat
interpretasi makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi sebuah
komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh subjek dan yang
diubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan persoalan-
persoalan hermeneutika. Dalam pandangan klasik, hermeneutik mengingatkan kita
pada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione.
Yaitu bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita,
dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.
Bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Menurut
Gadamer bahasa harus kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan
(teleologi) di dalam dirinya. Karena kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan
(telos) tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian dikatakan Wilhelm Dilthey.
Setiap kata tidak pernah tidak bermakna.
Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir
kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti Al-Quran,
kitab Taurat, kitab-kitab Veda; dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan
interpretasi atau hermeneutika. Tapi dalam bukunya Hermeneutika, teori baru
mengenai interpretasi, Richard Palmer mengemukakan enam definisi modern
hermeneutika:

“Pertama hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel yakni merujuk pada prinsip-
prinsip interpretasi Bibel, dan hal tersebut memasuki penggunaan modern sebagai
suatu kebutuhan yang muncul dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-
kaidah eksegesis kitab suci (skriptur). Yang kedua hermeneutika sebagai metodelogis
filogogis yang menyatakan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap
Bibel juga dapat diaplikasikan terhadap buku yang lain, selalnjutnya yang ketiga
hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik, schleiermacher punya distingsi
tentang pemahaman kembali hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman,
dan hermeneutik sebagai sejumlah kaidah dan berupaya membuat hermeneutika
sistematis-koheren, sebagai ilmu yang mendeskripsikan konsdisi-kondisi pemahaman
dalam suatu dialog. Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi
geisteswissenschaften yang melihat inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi
bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahamn
seni, aksi, dan tulisan manusia). Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein
dan pemahaman eksistensial, dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah
interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften, tetapi pada
penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Yang terakhir
hermeneutika sebagai sistem interpretasi:menemukan makna vs ikonoklasme yakni
sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan
yang dipandang sebagai teks” (Palmer, 2003: 38-49).

Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan
sastra. Dalam Webster’s Third New Internasional Dictionary dijelaskan bahwa
hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip metodelogis interpretasi dan
eksplanasi. Pada dasarnya hermeneutika adalah landasan filosofi dan merupakan juga
modus analisis data. Sebagaimana filosofi pada pemahaman manusia, hal itu
menyediakan landasan filosofi untuk interpretativisme. Sebagai modus analisis hal itu
berkaitan dengan pengertian data tekstual. Hermeneutika terutama berkaitan dengan
pemaknaan suatu analog teks, seperti yang didefinisikan Palmer dalam salah satu
definisi hermenutika modernnya. Pertanyaan dasar apa teks itu?, teks seperti apa yang
dipahami hermeneutika?.

Menurut Ricouer (Bleicher,2003:357), teks yang dipahami Hermeneutika adalah


adanya otonomi teks, konteks sosio cultural dan alamat aslinya mengijinkan
prakondisi bagi penjarakan interpretor dari teks. Dalam memahami teks, maka antara
teks, pengarang dan pengkaji harus dihubungkan dengan realitas masyarakat yang
kontemporer, jadi ketiga unsur tersebut harus bersinergi, meskipun ada pemutusan
antara teks dan pengarangnya dalam hal subjeknya. Dibawah ini penulis
menggambarkan bagaimana hubungan antara teks, pengarang, reader ataupun yang
lainnya dalam hermeneutika cycle.

Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom, untuk melakukan ‘dekonstekstualisasi’ ,


baik dari sudut pandang sosiologis, maupun psikologis, serta untuk melakukan
‘rekonstekstualisasi’ secara berbeda didalam tindakan membaca (‘dekontekstualisasi’
= proses ‘pembebasan’ diri dari konteks; ‘rekonstekstualisasi’ = proses masuk
kembali kedalam konteks). Otonomi teks sendiri menurut Ricour ada tiga macam:
intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan
untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi ini, maka yang dimaksudkan
dengan “dekonstekstualisasi” adalah bahwa materi teks “melepaskan diri” dari
cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks ini membuka diri dari
kemungkinan dibaca secara luas, dimana pembacanya selalu berbeda-beda. Inilah
yang dimaksud ‘rekonstekstualisasi” sebagai contoh, novel ditulis dalam kerangka
waktu khusus dan historis dimana pengarangnya hidup dan menulisnya. Maka tidak
kita ragukan lagi kalau penulis novel mengungkapkan hal-hal khusus dalam
kebudayaan pada zamannya.

Mengutip pernyataan Paul Ricoeur dalam buku Filsafat Wacana, Membedah Makna
dalam Anatomi Bahasa (2002:217) yang secara mendasar mengatakan bahwa teks
adalah any discourse fixed by writing. Pertama Ricouer memahami arti discourse
sendiri, merujuk kepada bahasa sebagai event yaitu bahasa yang membicarakan
sesuatu. Dalam hal ini ada dua jenis artikulasi discourse yaitu bahasa lisan dan
bahasa tulis atau teks. Jenis yang kedua dari artikulasi ini memperlihatkan bahwa teks
adalah korpus yang otonom, mandiri dan totalitas, yang dicirikan dalam empat hal.
Pertama, dalam sebuah teks terdapat makna dari apa yang dikatakan (what is said)
terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), kedua makna sebuah teks
tidak lagi terikat kepada pembicara atau tidak terkait dengan apa yang dimaksudkan
oleh penulisnya. Bukan berarti penulis tidak diperlukan, meskipun Ricouer sempat
mengatakan tentang “kematian penulis” yang maksudnya kematian bukan dalam arti
sebenarnya atau transidental tetapi maksudnya si penulis terhalang oleh teks yang
sudah membaku. Seperti juga yang dikatakan oleh Barthes bahwa “pengarang sudah
mati”, ini tentunya hanya sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak lagi
semangat dan jiwa pengarang dalam karyanta. Pengarang tidak lagi bicara. Menurut
Barthes,

…adalah bahasa yang bicara, bukan pengarang; menulis, melalui prasyarat-prasyarat


impersonalitasnya (jangan dikacaukan dengan objektivitas kebiri para novelis realis),
adalah proses mencapai satu titik dimana hanya bahasa yang beraksi, memainkan
peran, dan bukan saya (Piliang, 1999:119)

Matinya sang pengarang dalam era postmodern diiringi dengan lahirnya para pembaca
(reader), dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang menjadikan
pembaca/ teks-teks sebagai pusat penciptaan , ketimbang pengarangnya sendiri.
Matinya sang pengarang, juga diikuti dengan dengan munculnya apa yang disebut
oleh Catherine Belsey sebagai kekuatan pembaca (reader’s power). Dalam model ini,
para pembaca dibebaskan dari tirani pengarang , dan mereka berpeluang untuk
berpartisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dan diskursus. Ketiga makna
tidak terikat lagi pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat pada
sistem semula (ostensive reference), ia tidak terikat pada konteks asli dari
pembicaraan. Apa yang ditunjuk sebuah teks , adalah dunia imajiner yang dibangun
oleh teks itu sendiri, yang terakhir dengan demikian teks juga tidak terikat kepada
audience awal, sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu tetapi siapapapun
yang bisa membaca dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Cara Kerja Hermeneutika

Dalam buku Hermeneutik sebuah Metode Filsafat (Sumaryono,1993:30-33)


menjelaskan bahwa dasar dari semua objek itu netral, sebab objek adalah objek.
Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak
bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ‘pakaian’
arti pada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan
cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama
sekali. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara
serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti atau
makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi
objek, semuanya adalah sama saja. Dari sinilah kita lihat keunggulan hermeneutika.

Semua lingkup interpretasi mencakup pada pemahaman. Namun pemahaman itu


sangat kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun psikolog
tidak pernah mampu untuk menetapkan kapan sebenarnya seseorang itu mengerti.
Sebagai contoh misalnya: Kapan seseorang dinyatakan mengetahui adanya bahaya
laten? Kapan saatnya seorang anak dinyatakan sudah memahami matematika?
Dapatkah kita melihat tepatnya waktu seseorang menangkap arti sebuah kalimat yang
diucapkan?

Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau
memahami. Namun keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan atas
penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila
seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya.
Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi antara mengerti dan
membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan
interpretasi menimbulkan ‘lingkaran hermeneutik’.

Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat ‘triadik’ (mempunyai tiga segi yang
paling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang
diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan
interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus
meresapi isi teks sehingga pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ penafsir itu
sendiri. Oleh karena itulah, dapat ia pahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh
hanya kan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct).
Sesuatu arti tidak akan kita kenal jika tidak kita rekonstruksi.

Bila kita jabarkan lebih lanjut argumentasi tentang hermeneutika ke ruang lingkup
yang lebih luas, akan kita dapatkan bahwa setiap objek tampil dalam konteks ruang
dan waktu yang sama, atau sebagaimana yang disebut Karl Jaspers dengan istilah das
Umgreifende atau cakrawala ruang dan waktu. Pada kenyataannya, tidak ada objek
yang berada dalam keadaan terisolir, setiap objek berada dalam ruang. Selalu ada
kerangka referensi, dimensi, sesuatu batas, nyata atau semu, yang semuanya memberi
ciri khusus pada objek. Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para
penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan ‘kunci’ makna kata-kata atau
ungkapan.

Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis (teks) dengan
maksud untuk menemukan ‘kunci’ makna kata-kata atau ungkapan. Kita
mengungkapkan diri kita sendiri melalui bahasa sehari-hari. Meskipun hermeneutika
atau interpretasi termuat dalam kesusastraan dan linguisti, hukum, agama, dan disiplin
ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan teks, namun akarnya tetap filsafat.

Review atas makalah Qimyatussaadah:


1. Pada halaman delapan, paragraf satu ada kata dialektika, apa benar ini yang
dimaksud adalah dialektika atau dialog.
2. Penelitian interpretif ini tingkat generalisasinya bagaimana, dan terkait dengan
generalisasi, bagaimana generalisasi penelitian yang ada pada contoh.

Você também pode gostar