Você está na página 1de 9

PERKAWINAN DINI

SYEH PUJI dengan ULFA LUTFIANA

Disusun oleh:
Hafit Rusli
B2A008102
I. Latar belakang masalah
Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia ramai diperbincangkan oleh banyak
kalangan di negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji,
seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun, yang menikahi seorang anak gadis
berusia 12 tahun. Pernikahan Syeh puji diberitakan besar-besaran di media massa setelah
digugat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.
Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan.
Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak
perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.
Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah.
Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal
bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an
tahun.
Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan
usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan
yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri
dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu
menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan
mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab
Syafii.
Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman
pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa
menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian
Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab
Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.
Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi
wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang
laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.

Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia
nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita
sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu
tempat dan pada suatu masa.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal
usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal
lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan
persyaratan tambahan.Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9
tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa
ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus
dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam
menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-
temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.
Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran
dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.

new s_view dinamis comment_sign 14914 id

public_proses

II. Bottom of Form


III.Pembahasan
I. Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Peristiwa pernikahan dini Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa belakangan ini menjadi
perbincangan hangat di masyarakat karena pernikahan ini melibatkan seorang gadis belia yaitu
Lutfiana Ulfa yang baru berusia 12 tahun.
Peristiwa tersebut banyak dipersoalkan oleh beberapa pihak. Pernikahan tersebut
ditengarai telah melanggar tiga ketentuan peraturan perundang-undangan sekaligus yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menuturkan, pernikahan dini itu
mempunyai implikasi yang serius bagi anak khususnya perempuan. Termasuk bahaya kesehatan,
trauma psikis berkepanjangan, gangguan perkembangan pribadi, dampak sosial seperti putus
sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, dan seringkali sebagai pemicu perceraian dini.
"Tingginya angka usia perkawinan dini berkaitan dengan terlalu cepatnya anak-anak kehilangan
aksesibilitas pada pendidikan," ucap Meutia Hatta dalam konferensi press 'Dampak Penikahan
Dini' yang digelar oleh Departemen Komunikasi dan Informasi, Jalan Medan Merdeka Barat,
Jakarta, Senin (3/11/2008).
Ketua MUI Huzaimah yang juga hadir dalam konferensi press tersebut menekankan, agar
masyarakat tidak terpengaruh dan ikut-ikutan dengan tindakan Syekh Puji yang menikahi anak di
bawah umur. MUI menjelaskan dasar menikah adalah memiliki kesiapan materi, mental, dan
kejiwaan. Sehingga tujuan berumah tangga dengan membangun keluarga yang penuh cinta dan
kasih sayang dapat diwujudkan. Dikhawatirkan apabila seorang gadis yang belum dewasa
menikah akan mengalami kebingungan dalam memahami arti cinta dan kasih saying. "Lalu kalau
anak-anak, bagaimana mereka memaknai cinta dan kasih sayang?" tanya Huzaimah.
Sementara Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Nuh juga menghimbau agar media
massa lebih arif dalam memberi porsi pemberitaan dalam kasus ini. Untuk menghindarkan
kemungkinan trauma psikologis di masa mendatang, seorang anak wajib mendapat perlindungan
dalam hal publikasi. Sehingga sebaiknya wajah, maupun nama lengkap anak tidak dibuka terang-
terangan di media massa. "Seorang anak yang sudah menjadi korban hendaknya tidak lagi
dikorbankan dalam pemberitaan media."
Untuk membahas perihal pernikahan kontroversial ini, marilah kita melihat ketentuan
peraturan perundang-undangan yang terindikasi telah dilanggar dalam pernikahan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan yang
kontradiktif yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) di mana dalam ayat (1) menyatakan bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya 2 ketentuan ini sungguh
bertolak belakang. Menurut pemahaman dalam teori hukum Islam, pernikahan yang dilakukan
syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa adalah sah karena syarat-syarat sahnya perkawinan menurut
hukum agama Islam sudah terpenuhi. Namun pencatatan perkawinan tersebut terganjal ketentuan
lain yang berkaitan dengan syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang tersebut sehingga
Perkawinan yang dilakukan oleh Syekh Puji tidak bisa dicatatkan.
Ketentuan yang mengganjal tersebut ialah terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ayat (1) terdapat ketentuan bahwa perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun. Di sini pihak Lutfiana Ulfa yang belum mencapai umur 16 tahun telah
mengajukan upaya permohonan dispensasi nikah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa apabila ada
penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) dapat dimohonkan adanya dispensasi nikah kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk.
Dispensasi nikah Lutfiana Ulfa untuk menikah secara resmi dan sesuai undang-undang
dengan Pujiono Cahyo Widianto atau Syekh Puji telah diajukan oleh pihak keluarga Lutfiana
Ulfa melalui ayahnya yaitu Suroso kepada Pengadilan Agama Kabupaten Semarang.
Permohonan dispensasi nikah ini pun akhirnya ditolak Pengadilan Agama Kabupaten Semarang.
Dispensasi nikah yang diajukan ayah Ulfa, Suroso ditolak majelis hakim setelah dalam dua
agenda sidang terakhir, pihak pemohon yakni Suroso tidak hadir dalam persidangan. Di samping
itu, pemohon juga tidak dapat menunjukkan dan membuktikan apa yang diminta pemohon ke
hadapan majelis hakim yang diketuai Rochana, S.H.
Berikut kutipkan pernyataan dari ketua majelis hakim Pengadilan Agama Kabupaten
Semarang yang menangani permohonan dispensasi nikah Lutfiana Ulfa.
"Kami tidak dapat mengabulkan permohonan dispensasi nikah yang diajukan pemohon. Sebab,
dalam dua kali persidangan pemohon tidak hadir. Selain itu, pemohon tidak dapat membuktikan
apa yang diminta selama di pengadilan," kata Rochana di Ambarawa, Rabu (12/11/2008).
Permohonan dispensasi nikah ini diajukan pihak keluarga Lutfiana Ulfa dalam hal ini Suroso,
ayahanda Lutfiana Ulfa, pada 29 September lalu. Hal itu dilakukan setelah pihak Kantor Urusan
Agama Kecamatan Jambu menolak pengajuan pendaftaran perkawinan Lutfiana Ulfa dengan
Syekh Puji. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengajuan
dispensasi nikah dapat dilakukan jika usia salah satu mempelai belum mencukupi usia
perkawinan seperti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.

II. Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya
dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Melalui
ketentuan ini, maka dapat diketahui bahwa mempelai wanita, Lutfiana Ulfa, masih dikategorikan
sebagai anak-anak sehingga hak-haknya harus dilindungi.
Sedangkan dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa perlindungan terhadap anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera.
Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan lain yang berkaitan ada
dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang
tua. Ketentuan-ketentuan tersebut bisa dikatakan telah dilanggar karena dengan menikahnya
Lutfiana Ulfa yang masih dikategorikan sebagai anak dalam Undang-Undang ini, maka
dikhawatirkan lutfiana Ulfa tidak dapat tumbuh, berkembang, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi karena beralihnya status Lutfiana Ulfa dari seorang anak menjadi ibu
rumah tangga yang berarti pula bahwa Lutfiana Ulfa telah lepas dari bimbingan orang tuanya
sesuai ketentuan yang ada dalam Pasal 6.
Selain itu ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu dalam Pasal 11 juga dinyatakan
bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri. Seperti diketahui bersama bahwa semenjak Lutfiana
Ulfa menikah dengan Syekh Puji, Lutfiana Ulfa tidak bersekolah lagi. Hal tersebut jelas
melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang ini. Dengan tidak bersekolahnya
Lutfiana Ulfa, maka dia tidak dapat memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui jalur
pendidikan formal yang pada akhirnya akan menghambat pengembangan karakter pribadi dalam
diri Lutfiana Ulfa. Selain itu juga mengurangi hak Lutfiana Ulfa untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang serta bergaul, bermain dengan teman-teman sebayanya karena
Lutfiana sudah berstatus sebagai istri Syekh Puji yang berarti bahwa Lutfiana sudah memiliki
kewajiban terhadap suaminya yaitu Syekh Puji.
Dalam Pasal 26 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Melihat ketentuan ini bisa dikatakan bahwa orang tua Lutfiana Ulfa telah melakukan
pelanggaran hak anak yaitu bahwa orang tua Lutfiana Ulfa telah melalaikan kewajiban untuk
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak seperti yang tercantum dalam Pasal 26
ayat (1) huruf a di atas. Selain itu juga orang tua Lutfiana Ulfa telah melakukan pelanggaran hak
anak karena tidak berusaha untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak seperti
ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c di atas.
III. Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang, tidak ditemukan banyak ketentuan yang telah dilanggar dengan adanya
pernikahan dini antara Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa.
Dalam Pasal 1 ayat (5) terdapat definisi yang dimaksud dengan anak ialah Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Dengan ketentuan ini, jelas bahwa Lutfiana Ulfa yang masih berusia 12 tahun dapat
dikategorikan sebagai seorang anak.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (7) terdapat definisi eksploitasi, yaitu tindakan dengan
atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Apa yang dilakukan oleh Syekh Puji menurut merupakan suatu bentuk eksploitasi karena telah
melakukan tindakan pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi meskipun hal tersebut dengan
persetujuan Lutfiana Ulfa di bawah lembaga perkawinan.
Dan terakhir pada Pasal 1 ayat (8) terdapat definisi ekspolitasi seksual adalah segala
bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan
keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.

IV.Penutup
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka diperlukan upaya antara lain:
1. Perlunya ditingkatkan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan hukum,
sehingga tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum setiap warga masyarakat meningkat;
2. Perlunya penyesuaian terhadap beberapa aturan yang tumpang tindih seperti yang ada dalam
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan
3. Perlunya dilakukan sebuah usaha sistematis yang terarah dalam rangka pengawasan yang
menyangkut pernikahan agar tidak terjadi lagi kasus pernikahan terhadap anak di bawah umur.

Você também pode gostar