Você está na página 1de 42

Page | 1

TUGAS MATA KULIAH FARMAKOLOGI

Dosen Pembimbing:
Sr. Clarina Kuway, JMJ.

ANTI ANEMIA DAN ANTI KOAGULAN

Disusun oleh:
FransiscoPolandos
09061048

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE
MANADO
2010
KATA PENGANTAR
Page | 2

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat
penyelenggaraan-Nya, makalah yang berjudul ANTI ANEMIA DAN ANTI
KOAGULAN ini bisa diselesaikan. Makalah ini ditulis dengan tujuan sebagai
tugas mata kuliah FARMAKOLOGI Universitas Katolik De La Salle Manado.
Tujuan yang lebih khusus dari penulisan makalah ini ialah untuk menambah
pengetahuan tentang obat-obatan yang berkaitan dengan ANEMIA dan
KOAGULAN pada darah.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dosen yang telah


memberikan tugas untuk membuat makalah ini, serta kepada siapa saja yang telah
terlibat dalam proses penulisannya, terlebih kepada teman–teman seangkatan
Fakultas Keperawatan 2009 Universitas Katolik De La Salle Manado yang
senantiasa membantu penulis dalam pembuatan makalah ini..

Akhirnya, harapan penulis semoga makalah tentang Proses Asuhan


Keperawatan Pada Pasien Bronkitis ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah
berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan makalah ini, namun penulis
menyadari makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapakan kritikdan saran yang sifatnya membangun guna menyempurnakan
makalah ini.

Manado, Oktober 2010

Penulis

DAFTAR ISI
Page | 3

K A T A P E N G A N T A R.................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB IPENDAHULUAN.........................................................................................3
I.1 Latar Belakang..........................................................................................3
I.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................4
I.3 Metode Penulisan......................................................................................4
I.4 Sistematika Penulisan................................................................................4
BAB IITINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
II.1 ANTI ANEMIA.......................................................................................5
II.1.1 Jenis Penyakit.............................................................................................6
II.1.2 Klasifikasi Penyakit....................................................................................7
II.1.3 Jenis Obat Serta Hubungan Dengan Penyakit...........................................14
II.1.4 Proses Keperawatan.................................................................................23
II.2 ANTI KOAGULAN...............................................................................25
II.2.1 Proses Koagulasi Normal.........................................................................25
II.2.2 Jenis Penyakit Koagulan...........................................................................26
II.2.3 Jenis Obat Serta Hubungan Dengan Penyakit...........................................31
II.2.4 Proses Keperawatan..................................................................................37
BAB IIIPENUTUP................................................................................................40
III.1 Kesimpulan..............................................................................................40
III.2 Saran........................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Page | 4

I.1 Latar Belakang


Obat secara umum ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi
proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas
cakupannya. Namun untuk kita sebagai pelaku kesehatan (perawat atau
dokter), ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat
untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain
itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai
gejala penyakit.
Secara etimologis, kata Farmakologi berasal dari kata
“pharmacon”, yang artinya obat, dan kata logos, yang artinya ilmu
pengetahuan, sehingga secara harafiah farmakologi berarti ilmu
pengetahuan tentang obat. Namun secara umum farmakologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada
sistem biologi. Disamping itu juga mempelajari asal-usul (sumber) obat,
sifat fisik-kimia, cara pembuatan, efek biokimiawi dan fisiologi yang
ditimbulkan, nasib obat dalam tubuh, dan kegunaan obat dalam terapi.
Dalam makalah ini akan membahas tentang Anti-anemia dan Anti-
koagulan yang tergolong dalam obat Hematologik dalam Farmakologi.
Anti-anemia merupakan obat yang digunakan untuk mencegah atau
memperbaiki keadaan kesehatan tubuh karena anemia. Dan Anti-
koagulan merupakan obat yang digunakan untuk mencegah
penggumpalan darah atau pengencer darah atau juga bertujuan
memperlambat pembekuan darah.
Untuk lebih jelas mengenai Anti-anemia dan Anti-koagulan serta
penyakit dan obat-obatan dan tindakan keperawatannya akan dibahas
pada bab 2 Tinjauan Pustaka.

I.2 Tujuan Penulisan


Tujuan makalah ini dibuat selain sebagai tugas mata kuliah
Farmakologi Fakultas Keperawatan Universitas Katolik De La Salle
Manado juga bertujuan agar kita lebih mengenal tentang obat-obatan
terlebih untuk obat Hematologik, yang lebih spesifik tentang obat
Page | 5

antianemia dan antikoagulan serta penyakitnya dan bagaimana tindakan


keperawatan yang dilakukan.

I.3 Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan
makalah yang berjudul ANTIANEMIA DAN ANTIKOAGULAN ini
menggunakan metode Studi Literatur. Studi literatur yang dimaksud
penulis ialah penulis memperoleh data dengan menggunakan literatur
atau buku-buku dan artikel-artikel yang diperoleh dari internet yang
berhubungan dengan anti-anemia dan anti-koagulan.

I.4 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan makalah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini menjelaskan tentang jenis penyakit, jenis obat-
obatan serta hubungan penyakit dengan obat dan tindakan
keperawatan yang dilakukan pada obat Anti-Anemia dan Anti-
Koagulan.
BAB III PENUTUP
Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANTI ANEMIA


Anti-anemia merupakan obat yang digunakan untuk mencegah atau
memperbaiki keadaan kesehatan tubuh karena anemia.
Page | 6

Dalam bab ini dibahas obat yang penting untuk eritropoesis normal
yaitu zat besi (Fe), vitamin B12 (Sianokobalamin) dan asam folat. Dengan
demikian obat-obat ini digunakan untuk mengobati anemia dan
dinamakan juga sebagai hematinik. Obat lain yang berpengaruh terhadap
eritropoesis yaitu riboflavin, piridoksin, kobal dan tembaga dan ada
beberapa hormon yang secara tidak langsung mempengaruhi eritropoesis
misalnya hormon tiroid, gonad dan adrenal.
Di samping itu dikenal juga adanya faktor pertumbuhan sel darah
merah yaitu eritropoetin yang dibentuk oleh ginjal. Zat ini berperan
sebagai regulator proliferasi eritrosis, sehingga bila terganggu dapat
berakibat anemia berat. Selain diproduksi oleh ginjal dalam sel
peritubuler dari tubuli proksimalis yang dalam jumlah kecil protein ini
disintesis oleh hati. Untuk kepentingan pengobatan eritropoetin
diproduksi sebagai rekombinan eritropoetin manusia yang disebut
“epoetin alfa”. Sedangkan indikasi utama adalah untuk anemia pada
gagal ginjal kronik dan pada penderita yang menjalani hemodialisis.
Zat besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin (Hb), sehingga
defisiensi Fe akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih
kecil dengan kandungan Hb yang rendah dan menimbulkan anemia
hipokromik mikrositik. Vitamin B12 dan asam folat dibutuhkan untuk
sintesis DNA yang normal, sehingga defisiensi salah satu vitamin ini
menimbulkan gangguan produktif dan maturasi (kematangana) eritrosit
yang memberikan gambaran sebagai anemia megaloblastik. Berbeda
dengan asam folat, defisiensi vitamin B12 juga menyebabkan kelainan
neurologik.

II.1.1 Jenis Penyakit


Jenis penyakit dari obat Antianemia ialah Anemia. Menurut
definisi, Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal
jumlah SDM (sel darah merah), kuantitas hemoglobin, dan volume
packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian,
anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan
patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium.
Page | 7

Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas, berhantung pada (1)
kecepatan timbulnya anemia, (2) usia individu, (3) mekanisme
kompensasi, (4) tingkat aktivitasnya, (5) keadaan penyakit yang
mendasarinya, dan (6) beratnya anemia.
Karena jumlah efektif SDM berkurang, maka pengiriman O2 ke
jaringan menurun. Kehilangan darah mendadak (30% atau lebih), seperti
pada perdarahan, mengakibatkan gejala-gejala hipovolemia dan
hipoksemia, termasuk kegelisahan, diaforesis (keringat dingin),
takikardia, napas pendek, dan berkembangnya cepat menjadi kolaps
sirkulasi atau syok. Namun berkurangnya massa SDM dalam waktu
beberapa bulan (bahkan pengurangan sebaganyak 50%) memungkinkan
mekanisme kompensasi tubuh untuk beradaptasi, dan pasien biasanya
asimtomatik, kecuali pada kerja fisik berat. Tubuh beradaptasi dengan (1)
meningkatkan curah jantung dan pernapasan, oleh karena itu
meningkatkan pengiriman O2 ke jaringan-jaringa tubuh oleh SDM, (2)
menigkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin, (3)mengembangkan volume
plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan, dan (4) redistribusi
aliran darah ke organ-organ vital (Guyton, 2001).
Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia
adalah pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya
volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk
memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Warna kulit bukan
merupakan indeks yang dapat dipecaya untuk pucak karena dipengaruhi
pigmentasi kulit, suhu, dan kedalaman serta distribusi bantalan kapiler.
Bantalan kuku, telapak tangan, dan membran mukosa serta konjungtiva
merupakan indikator yang lebih baik untu melihat pucat. Jika lopatan
tangan tidak lagi berwarna merah muda, hemoglobin biasanya berkurang
dari 8 gram.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh
peningkatan kecepatan aliran darah) mencerminkan beban kerja dan
curah jantung yang menigkat. Angina (nyeri dada), khususnya pada
orang tua dengan stenosis koroner, dapat disebabkan oleh iskemia
miokardium. Pada anemia berat, gagal jantung kongresif dapat terjadi
Page | 8

karena otot jantung yang anoksis tidak dapat beradaptasi terhadap beban
kerja jantung yang menigkat. Dispnea (kesulitan bernapas), napas
pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan
manifestasi berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, pingsan,
dan tinitus (telinga berdengung) dapat mencerminkan berkurangnya
oksigenasi pada sistem saraf pusat. Pada anemia berat dapat juga timbul
gejala-gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual, konstipasi atau diare,
dan stomatitis (nyeri pada lidah dan membran mukosa mulut); gejala-
gejala umumnya disebabkan oleh keadaan defisiensi, seperti difisiensi zat
besi.

II.1.2 Klasifikasi Penyakit


Anemia dapat diklasifikasikan menurut (1) faktor-faktor
morfologik SDM dan indeks-indeksnya atau (2) etiologi.
Pada klasifikasi morfologik anemia, mikro- atau makro-
menunjukkan ukuran SDM dan kromik untuk menunjukkan warnanya.
Sudah dikenal tiga kategori besar. Pertama, anemia normokromik
normositik, SDM memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung
jumlah hemoglobin normal (mean corpuscular volume [MCV] dan mean
corpuscular hemoglobin concentration [MCHC] normal atau normal
rendah). Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut,
hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin,
gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit
infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Kategori utama yang kedua adalah anemia normokromik
makrositik, yang memiliki SDM lebih besar dari normal tetapi
normokromik karena konsentrasi hemoglobin normal (MVC menigkat;
MCHC normal). Keadaan ini disebabkan oleh ketergantungan atau
terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) seperti yang
ditemukan pada defisiensi B12 atau asam folat atau keduanya. Anemia
normokromik dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker karena agen-
agen mengganggu sintesis DNA.
Page | 9

Kategori ketiga adalah anemia hipokromik mikrositik. Mikrositik


berarti sel kecil, dan hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang.
Karena warna berasal dari hemoglobin, sel-sel ini mengandung
hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (penurunan MCV;
penurunan MCHC). Keadaan ini umumnya mencerminkan insufisiensin
sintesis heme atau kekurangan zat besi, seperti pada anemia defisiensi zat
besi, keadaan sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau gangguan
sintesis globin, seperti pada thalasemia. Thalasemia menyangkut
ketidaksesuaian jumlah rantai alfa dan beta yang disintesis, dengan
demikian tidak dapat terbentuk molekul hemoglobin tetramer normal.
Anemia juga dapat diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab
utama yang dipikirkan adalah (1) penigkatan hilangnya SDM dan (2)
penurunan atau kelainan pembentukan sel.
Menigkatnya kehilangan SDM dapat disebabkan oleh perdarahan
atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat diakibatkan dari trauma
atau ulkus atau akibat perdarahan kronis karena polip di kolon,
keganasan, hemoroid atau menstruasi. Penghancuran SDM di dalam
sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika gangguan pada SDM itu
sendiri memperpendek siklus hidupnya atau perubahan lingkungan yang
menyebabkan penghancuran SDM (Sacher, McPherson, 2000). Keadaan-
keadaan yang SDM-nya itu sendiri mengalami kelainan adalah:
1. Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan,
seperti penyakit sel sabit.
2. Gangguan sintesis globin, seperti thalasemia
3. Kelainan membran SDM, seperti sferositosis herediter dan
eliptositosis.
4. Defisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase
(G6PD) dan defisiensi piruvat kinase.

Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah berkurangnya atau


terganggunya produksi SDM (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang
mempengaruhi fungsi sumsum tulang termasuk di dalam kategori ini.
Termasuk di dalam kelompok ini adalah (1) keganasan jaringan padat
metastatik, leukimia, limfoma dan mieloma multipel; pajanan terhadap
P a g e | 10

obat-obat dan zat kimia toksik; serta iradiasi dapat mengurangi produksi
efektif SDM; dan (2) penyakit-penyakit kronis yang mengenai ginjal dan
hati, serta inveksi dan defisiensi endokrin. Kekurangan vitamin-vitamin
penting, seperti B12, asam folat, vitamin C, dan zat besi dapat
mengakibatkan pembentukan SDM tidak efektif, menimbulkan anemia.
Untuk menentukan jenis anemia, baik pertimbangan morfologik dan
etiologik harus digabungkan.
Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci tentang ke tiga klasifikasi
anemia di atas.
1. Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan suatu gangguan pada sel induk di
sumsum tulang, yang sel-sel darahnya diproduksi dalam jumlah yang
tidak mencukupi. Individu dengan anemia aplastik mengalami
pansitopenia, SDM terlihat normositik dan normokromik, jumlah
retikulosit rendah atau tidak ada. Anemia aplastik idioplastik diyakini
dimediasi secara imunologis, dengan sel T limfosit pasien menekan
sel-sel induk hematopoietik.
Penyebab-penyebab sekunder anemia aplastik (sementara atau
permanan) meliputi:
1. Lupus eritematosus sistemik yang berbasis autoimun
2. Agen antineoplastik atau sitotoksik
3. Terapi radiasi
4. Antibiotik tertentu
5. Berbagai obat seperti antikonvulsan, obat-obat tiroid, senyawa
emas, dan fenilbutazon
6. Zat-zat kimia seperti benzen, pelarut organik, dan insektisida
(agen yang diyakini merusak sumsum tulang secara langsung)
7. Penyakit-penyakit virus seperti mononukleosis infeksiosa dan
human immunodeficiency virus (HIV); anemia aplastik setelah
hepatitis virus terutama berat dan cenderungan fatal.

Kompleks gejala anemia aplastik disebabkan oleh derajat


pansitopenia. Tanda-tanda dan gejala-gejala meliputi anemia, disertai
kelelahan, kelemahan, dan napas pendek saat latihan fisik. Tanda-
P a g e | 11

tanda dan gejala-gejala lain diakibatkan oleh defisiensi trombosit dan


sel-sel darah putih. Defisiensi trombosit dapat menyebabkan (1)
ekimosis dan petekie (perdarahan di dalam kulit), (2) epistaksis
(perdarahan hidung), (3) perdarahan saluran cerna, (4) perdarahan
saluran kemih dan kelamin, (5) perdarahan sistem saraf pusat.
Defisiensi sel darah putih meningkatkan kerentanan dan keparahan
infeksi, termasuk infeksi bakteri, virus, dan jamur.
Aplasia berat disertai penurunan (kurang dari 1%) atau tidak
adanya retikulosit, jumlah granulosit kurang dari 500/mm3 dan jumlah
trombosit kurang dari 20.000 menyebabkan kematian akibat infeksi
dan atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pengobatan anemia aplastik, jika diketahui penyebabnya ditujukan
untuk menghilangkan agen penyebab. Fokus utama pengobatan
adalah perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum
tulang. Karena infeksi dan perdarahan merupakan penyebab utama
kematian, maka pencegahan merupakan hal yang penting. Faktor-
faktor pertumbuhan seperti G-CSF dapat digunakan untuk
meningkatkan jumlah neutrofil dan mencegah atau meminimalkan
infeksi. Tindakan pencegahan sebaiknya meliputi lingkungan yang
dilindungi dan higiene keseluruhan yang baik. Pada perdarahan atau
infeksi, penggunaan yang bijaksana terapi komponen darah (sel-sel
darah merah dan trombosit) serta antibiotik menjadi penting. Agen-
agen perangsang sumsum tulang seperti androgen dapat menginduksi
eritropoiesis, walaupun efektifitasnya tidak pasti. Pasien-pasien
anemia aplastik kronis beradaptasi dengan baik dan dapat
dipertahankan pada kadar hemoglobin antara 8 dan 9 g/dl dengan
transfusi darah periodik.

1. Anemia Defisiensi Besi


Secara morfologis, anemia ini diklasifikasikan sebagai anemia
mikrositik hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis
hemoglobin. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di
dunia dan terutama sering dijumpai pada perempuan usia subur,
disebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan
P a g e | 12

peningkatan kebutuhan besi selama kehamilan. Penyebab-penyebab


lain defisiensi besi adalah: (1)asupan besi yang tidak cukup,
misalnya, pada bayi-bayi yang hanya diberi diet susu saja selama 12-
24 bulan dan pada individu-individu tertentu yang vegetarian ketat;
(2) gangguan absorbsi setelah gastrektomi; dan (3) kehilangan darah
menetap, seperti pada perdarahan saluran cerna lambat akibat polip,
neoplasma, gastritis, verises esofagus, ingesti aspirin, dan hemoroid.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata
mengandung 4 sampai 5 g besi, bergantung pada jenis kelamin dan
ukuran tubuhnya. Lebih dari dua pertiga besi terdapat di dalam
hemoglobin. Besi dilepas dengan semakin tua serta matinya sel dan
diangkut melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk
eritropoiesis. Dengan pengecualian mioglobin (otot) dan enzim-
enzim heme dalam jumlah yang sangat sedikit, sisa zat besi disimpan
di dalam hati, limpa, dan sumsum tulang sebagai feritin dan
hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.
Walaupun dalam diet rata-rata mengandung 10 sampai 20 mg
besi, hanya sekitar 5% hingga 10% (1-2 mg) yang diabsorbsi. Pada
saat persediaan besi berkurang, maka lebih banyak besi diabsorbsi
dari diet. Besi yang diingesti diubah menjadi ferro di dalam lambung
dan duodenum serta diabsorbsi dari duodenum dan jejunum
proksimal. Kemudian besi diangkut oleh transferin plasma ke
sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat
penyimpanan di jaringan.
Tiap milimeter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi
umumnya sedikit sekali, dari 0,5 sampai 1 mg/bulan. Namun, yang
mengalami menstruasi kehilangan tambahan sebanyak 15 sampai 28
mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena menstruasi berhenti
selama kehamilan, kebutuhan besi harian meningkat untuk
mencukupi permintaan karena meningkatnya volume darah ibu dan
pembentukan plasenta, tali pusat, dan janin, serta mengimbangi darah
yang hilang selama kelahiran.
Selain tanda-tanda dan gejala-gejala yang terjadi pada anemia,
individu dengan defisiensi besi yang berat (besi plasma kurang dari
P a g e | 13

40 mg/dl; hemoglobin 6 sampai 7 g/dl) memiliki rambut yang rapuh


dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan mungkin berbentuk
sendok (koilonikia). Selain itu, atrofi papila lidah mengakibatkan
lidah tampak pucat, licin, mengkilat, berwarna merah-daging, dan
meradang serta sakit. Dapat juga terjadi stomatis angularis, pecah-
pecah disertai kemerahan dan nyeri di sudut mulut.
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah SDM normal atau
hampir normal dan kadar hemoglobin berkurang. Pada apusan darah
perifer, SDM mikrositik dan hipokromik (MCV, MCHC, dan MCH
berkurang) disertai poikilositasis dan anisositosis. Jumlah retikulosit
dapat normal atau berkurang. Kadar besi berkurang sedangkan
kapasitas mengikat besi serum total menigkat.
Untuk mengobati defisiensi besi, penyebab mendasar anemia
harus diidentifikasi dan dihilangkan. Intervensi pembedaan mungkin
diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif akibat polip, ulkus,
keganasan, dan hemoroid; perubahan diet dapat diperlukan untuk
bayi-bayi yang hanya diberi susu atau individu dengan idiosinkrasi
makanan atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar.
Merkipun diet dapat menigkatkan besi yang tersedia (misalnya yang
terdapat pada hati), suplementasi besi diperlukan untuk meningkatkan
hemoglobin dan mengembalikan cadangan besi. Besi tersedia dalam
bentuk parenteral dan oral. Sebagian besar orang berespon balik
terhadap senyawa-senyawa oral seperti ferosulfat, 325 mg tiga kali
sehari selama saling sedikit 6 bulan untuk menggantikan cadangan
besi. Sediaan besi parenteral digunakan pada pasien-pasien yang
tidak dapat menoleransi sediaan oral. Besi parenteral memiliki
insiden terjadinya reaksi-reaksi yang merugikan relatif tinggi. Pasien
tersebut diberikan dosis uji dan dipantau selama satu jam. Jika pasien
tidak mengalami efek samping, sisa dosisnya diberikan 2 jam
kemudian.

2. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik (SDM besar) diklasifikasikan secara
morfologis sebagai anemia makrositik normokromik. Anemia
P a g e | 14

megaloblastik sering disebabkan oleh difisiensi vitamin B12 dan


asam folat yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, disertai
kegagalan maturasi dan pembelahan inti (Guyon, 2001). Defisiensi
ini dapat sekunder akibat malnutrisi, defisiensi asam folat,
malabsorbsi, infestasi parasit, penyakit usus, dan keganasan, serta
sebagai akibat agens-agens kemoterapeutik. Pada individu dengan
infeksi cacing pita (Diphyllobothrium latum) yang disebabkan oleh
ingesti ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan
pejamunya untuk mendapatkan vitamin B12 di dalam makanan yang
diingesti, yang menyebabkan anemia megaloblastik.
Anemia megaloblastik sering terlihat sebagai malnutrisi pada
orang yang lebih tua, pecandu alkohol, atau remaja, dan pada
perempuan selama kehamilan, saat permintaan untuk mencukupi
kebutuhan janin. Penyakit seliak dan stomatitis tropik juga
menyebabkan malabsorpsi, dan obat-obat yang bekerja sebagai
antagonis asam folat juga mempengaruhi.
Kebutuhan folat sehari-hari kira-kira 50 mg, dengan mudah
diperoleh dari diet rata-rata. Sumber yang paling banyak adalah
daging merah, seperti hati dan ginjal, serta sayuran berdaun hijau.
Akan tetapi, menyiapkan makanan yang benar juga diperlukan
untuk memastikan nutrisi yang adekuat. Misalnya, 50% sampai
90% folat dapat hilang dengan cara memasak yang memakai
banyak air. Folat diabsobsi dari duodenum dan jejunum bagian
atas, terikat lemah pada protein plasma, dan disimpan di hati. Pada
keadaan tidak adanya asupan folat, cadangan folat biasanya akan
habis kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain gejala-gejalan anemia
yang telah dijelaskan, pasien-pasien anemia megaloblastik yang
sekunder akibat defisiensi folat dapat terlihat malnutrisi dan
mengalami glositis berat. (lidah meredang, nyeri), diare, dan
kehilangan nafsu makan. Kadar folat serum juga menurun (kurang
dari 4 mg/ml).
Pengobatan anemia megaloblastik tergantung pada
pengidentifikasian dan penghilangan penyebab yang mendasarinya.
P a g e | 15

Pengobatan ini meliputi memperbaiki defisiensi diet dan terapi


penggantian dengan asam folat atau vitamin B12.

II.1.3 Jenis Obat Serta Hubungan Dengan Penyakit


Secara morfologis Anemia terbagi atas 3 jenis yaitu Anemia
Aplastik, Anemia Defisiensi Besi, dan Anemia Megaloblastik yang
penjelasannya dapat dilihat pada sub-bab sebelumnya (Klasifikasi
Penyakit).
Pada topik jenis obat dan hubungnanya dengan penyakit ini akan
dijelaskan tentang jenis Anemia Defisiensi Besi atau Hipokromik, karena
anemia jenis ini lebih sering terjadi dan ditemukan pada pasien.

ANTIANEMIA HIPOKROMIK (DEFISIENSI BESI)


1. Besi dan Garam-Garamnya

SEJARAH
Terdapatnya zat bersi (Fe) dalam darah baru diketahui setelah
penelitian oleh Lemery dan Goeffy (1713), kemudia Pierre Blaud (1831)
mendapatkan bahwa FeSO4 dan K2CO3 dapat memperbaiki keadaan
klorosis, anemia akibat defisiensi Fe. Akan tetapi, sebenarnya berabad-
abad sebelum Masehi, bangsa Yunani dan India telah menggunakan
bahan yang menggandung Fe untuk mendapatkan tentara yang kuat.
Bangsa Yunani merendam pedang-pedang tua dan meminum airnya.

DISTRIBUSI DALAM TUBUH


Tubuh manusia sehat mengandung ± 3,5 g Fe yang hampir
seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat
dalam bentuk organik, yaitu sebagai ikatan nonion dan lebih lemah dalam
bentuk anorganik, yaitu sebagai ikatan ion. Besi mudah mengalami
oksidasi atau reduksi. Kira-kira 70% dari Fe yang terdapat dalam tubuh
merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30% merupakan Fe yang
nonesensial. Fe esensial ini terdapat pada (1) hemoglobin ± 66%; (2)
P a g e | 16

mloglobin 3%; (3) enzim tertentu yang berfungsi dalam transfer elektron
misalnya sitokromoksidase, suksinil dehidrogenase dan xantin oksidase
sebanyak 0,5%, dan (4) pada transferin 0,1%. Besi nonesensial terdapat
sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin sebanyak 25%,
dan pada parenkim jaringan kira-kira 5%. Cadangan Fe pada wanita
hanya 200-400 mg, sedangkan pada pria kira-kira 1 gram.

FARMAKOKINETIK
Absorpsi. Absorpsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung
di duodenum; makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih
mudah diabsorpsi dalam bentuk fero. Transportnya melalui sel mukosa
usus terjadi secara transport aktif. Ion fero yang sudah diabsopsi akan
diubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan
masuk ke dalam plasenta dengan perantaraan transferin, atau diubah
menjadi feritin dan disimpan dalam sel mukosa usus. Secara umum, bila
cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi rendah, maka
lebih banyak Fe diubah menjadi feritin. Bila cadangan rendah atau
kebutuhan meningkat, maka Fe yang baru diserap akan segera diangkut
dari sel mukosa ke sumsum tulang untuk eritropoesis. Eritropoesis dapat
meningkat samapi lebih dari 5 kali pada anemia berat atau hipoksia.
Jumlah fe yang diabsopsi sangat tergantung dari bentuk dan jumlah
absolutnya serta adanya zat-zat lain. Makanan yang mengandung ± 6 mg
Fe/1000 kilokalori akan diabsopsi 5-10% pada orang normal. Absorpsi
dapat ditingkatkan oleh kobal, inosin, etionin, vitamin C, HCI, suksinat
dan senyawa asam lain. Asam akan mereduksi ion feri menjai fero dan
menghambat terbentuknya kompleks Fe dengan makanan yang tidak
larut. Sebaliknya absorpsi Fe akan menurun bila terdapat fosfat atau
antasida misalnya kalsium karbonat, aluminium hidroksida dan
magnesium hidroksida. Besi yang terdapat pada makanan hewani
umumnya diabsorpsi rata-rata dua kali lebih banyak dibandingkan
dengan makanan nabati.
Kadar Fe dalam plasma berperan dalam mengatur absorpsi Fe.
Absorpsi ini meningkat pada keadaan defisiensi Fe, berkurangnya depot
P a g e | 17

Fe dan meningkatnya eritropoesis. Selain itu, bila fe diberikan sebagai


obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah serta jenis makanan dapat
mempengaruhi absorpsinya.

Transport. Setelah diabsorpsi, Fe dalam darah akan diikat oleh


transferin (siderofilin), suatu beta 1-globulin glikoprotein, untuk
kemudian diangkut ke berbagai jaringan, terutama ke sumsum tulang dan
depot Fe. Jelas bahwa kapasitas pengikatan total Fe dalam plasma, tetapi
jumlah Fe dalam plasma tidak selalu menggambarkan kapasitas
pengikatan total Fe ini. Setelah transferin, sel-sel retikulum dapat pula
mengangkut Fe, yaitu untuk keperluan eritropoesis. Selain itu juga
berfungsi sebagai gudang Fe.

Nasib. Kalau tidak digunakan dalam eritropoesis, Fe akan disimpan


sebagai cadangan, dalam bentuk terikat sebagai feritin. Feritin terutama
terdapat dalam sel-sel retikuloendotelial (di hati, limpa dan sumsum
tulang). Cadangan ini tersedia untuk digunakan oleh sumsum tulang
dalam proses eritropoesis; 10% diantaranya terdapat dalam labile pool
yang cepat dapat dikerahkan untuk proses ini,sedangkan sisanya baru
digunakan bila labile pool telah kosong. Besi yang terdapat di dalam
parenkim jaringan tidak dapat digunakan untuk eritropoesis.
Bila fe diberikan IV, capat sekali diikat oleh apoferitin (protein
yang membentuk feritin) dan disimpan terutama di hati, sedangkan
pemberian per oral terutama akan disimpan di limpa dan sumsum tulang.
Fe yang berasal dari pemecahan eritrosit akan masik ke dalam hati dan
limpa. Penimbunan fe dalam jumlah abnormal tinggi dapat terjadi akibat
transfusi darah yang berulang-ulang atau akibat penggunaan preparat Fe
dalam jumlah berlebihan yang diikuti absopsi yang berlebihan pula.

Ekskresi. Jumlah Fe yang diekskresikan setiap hari sedikit sekali,


biasanya sekitar 0,5-1 mg sehari. Ekskresi terutama berlangsung melalui
sel epitel kulit dan saluran cerna yang terkelupas, selain itu juga melalui
keringat, urine, feses, serta kuku dan rambut yang dipotong. Pada
proteinuria, jumlah yang dikeluarkan dengan urine dapat meningkat
P a g e | 18

bersama dengan sel yang mengelupas. Pada wanita usia subur dengan
siklus haid 28 hari, jumlah Fe yang diekskresikan sehubungan dengan
haid diperkirakan sebanyak 0,5-1 mg sehari.

KEBUTUHAN BESI
Jumlah Fe yang dibutuhkan setiap hari dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Faktor umur, jeniskelamin (sehubungan dengan kehamilan dan
laktasi pada wanita) dan jumlah darah dalam badan (Hb) dapat
mempengaruhi kebutukan, walaupun keadaan depot Fe memegang
peranan yang penting pula. Dalam keadaan normal dapat diperkirakan
bahwa seorang laki-laki dewasa memerlukan asupan sebesar 10 mg, dan
wanita memerlukan 12 mg sehari guna memenuhi ambilan sebesar
masing-masing 1 mg dan 1,2 mg sehari. Sedangkan pada wanita hamil
dan menyusui diperlukan tambahan asupan 5 mg sehari.
Bila kebutuhan ini tidak dipenuhi, Fe yang terdapat di dalam
gudang akan digunakan dan gudang lambat laun menjadi kosong.
Akibatnya timbul anemia defisiensi Fe. Hal ini dapat disebabkan oleh
absorpsi yang jelek, perdarahan kronik dan kebutuhan yang meningkat.
Keadaan ini memerlukan penambahan Fe dalam bentuk obat.

SUMBER ALAMI
Makanan yang mengandung Fe dalam kadar tinggi (> 5mg/100g)
adalah hati, jantung, kuning telur, ragi kerang, kacang-kacangan dan
buah0buahan kering tertentu. Makanan yang mengandung besi dalam
jumlah sedang (1-5 mg/100g) termasuk diantaranya daging, ikan, unggas,
sayuran yang berwarna hijau biji-bijian. Sedangkan susu atau produknya,
dan sayuran yang kurang hijau mengandung besi dalam jumlah rendah
(kurang dari 1 mg/100g).

EFEK NONTERAPIS
Efek samping yang paling sering timbul berupa intoleransi terhadap
sediaan oral, dan ini sangat tergantung dari jumlah Fe yang dapat larut
dan yang diabsorpsi pada tiap pemberian. Gejala yang timbul dapat
berupa mual dan nyeri lambung (±7-20%). Konstipasi (±10%), diare
P a g e | 19

(±5%) dan kolik. Gangguan ini biasanya ringan dan dapat dikurangi
dengan mengurangi dosis atau dengan pemberian sesuadah makan,
walaupun dengan cara ini absorpsi dapat berkurang. Perlu diterangkan
kemungkinan timbulnya feses yang berwarna hitam kepada penderita.
Pemberian Fe secara IM (intramuskular) dapat menyebabkan reaksi
lokal pada tempat suntikan yaitu berupa rasa sakit, warna coklat pada
tempat suntikan, peradangan lokal dengan pembesaran kelenjar inguinal.
Peradangan lokal lebih sering terjadi pada pemakaian IM dibandingkan
IV. Selain itu dapat pula terjadi reaksi sistemik yaitu pada 0,5-0,8%
kasus. Reaksi yang dapat terjadi dalam 10 menit setelah suntikan adalah
sakit kepala, nyeri otot dan sendi, hemolisis, takikardi, flushing,
berkeringat, mual, muntah, bronkospasme, hipotensi, pusing dan kolaps
sirkulasi. Sedangkan reaksi yang lebih sering timbul dalam 1/2 – 24 jam
setelah suntikan misalnya sinkop, demam, menggigil, rash, urtikaria,
nyeri dada, perasaan sakit pada seluruh badan dan ensefalopatia. Reaksi
sistemik ini lebih sering terjadi pada pemberian IV, demikian pula syok
atau henti jantung.
Intoksikasi akut sangat jarang terjadi pada dewasa, kebanyakan
terjadi pada anak akibat menelan terlalu banyak tablet FeSo4 yang mirip
gula-gula. Intoksikasi akut ini dapat terjadi setelah menelan Fe sebanyak
1 g. Kelainan utama terdapat pada saluran cerna, mulai dari iritasi,
korosi, sampai terjadi nekrosis. Gejala yang timbul sering kali berupa
mual, muntah, diare, hematemesis serta feses berwarna hitam karena
perdarahan pada saluran cerna, syok dan akhirnya kolaps kardiovaskular
dengan bahaya kematian. Efek korosif dapat menyebabkan stenosis
pilorus dan terbentuknya jaringan parut berlebihan. Gejala keracunan ini
dapat timbul dalam waktu 30 menit atau setelah beberapa jam meminum
obat. Terapi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: pertama-tama
diusahakan agar penderita mundah, kemudian diberikan susu atau telur
yang dapat mengikat Fe sebagai kompleks protein Fe. Bila obat diminum
kurang dari 1 jam sebelumnya, dapat dilakukan bilasan lambung dengan
menggunakan larutan natrium bikarbonan 1%. Akan tetapi, bila masukan
obat telah lebih dari 1 jam, maka telah terjadi nekrosis sehingga bilasan
lambung dapat menyebabkan perforasi. Selanjutnya keadaan syok
P a g e | 20

dehidrasi dan asidosis harus diatasi. Selain itu, deferoksamin yang


merupakan zat pengkelat (chelating agent) spesifik untuk besi, efektif
untuk mengatasi efek toksik sistemik maupun lokal.

SEDIAAN DAN POSOLOGI


Sediaan Fe hanya digunakan untuk pengobatan anemia defisiensi
Fe. Penggunaan diluar indikasi ini, cenderung menyebabkan penyakit
penimbunan besi dan keracunan besi. Anemia defisiensi Fe paling sering
disebabkan oleh kehilangan darah. Selain itu, dapat pula terjadi misalnya
pada wanita hamil dan pada masa pertumbuhan, karena kebutuhan yang
meningkat. Banyak anemia yang mirip anemia defisiensi Fe. Sebagai
pegangan untuk diagnostik dalam hal ini ialah bahwa pada anemia
defisiensi Fe dapat terlihat granula berwarna kuning emas di dalam sel-
sel retikuloendotelial sumsum tulang.

Sediaan Oral
Besi untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk berbagai garam
fero dari sulfat, fumarat, glukonat, suksinat, glutamat dan laktat. Tidak
ada perbedaan absorpsi diantara garam-garam Fe ini. Jika ada, mungkin
disebabkan oleh perbedaan kelarutannya dalam asam lambung. Dalam
bentuk garam sitrat, tartrat, karbonat, pirofosfat, ternyata Fe sukar
diabsorpsi; demikian pula sebagai garam feri (Fe+++).
Sediaan yang banyak digunakan dan murah ialah hidrat sulfas
ferosus (FeSO4.7 H2O) 300 mg yang mengandung 20% Fe. Untuk anemia
berat biasanya diberikan 3 kali 300 mg sulfas ferosus sehari selama 6
bulan. Dalam hal ini mula-mula absorpsi berjumlah ± 45 mg sehari, dan
setelah depot Fe dipenuhi menurun menjadi 5-10 mg sehari. Selama
penyebab anemia belum teratasi terapi harus diteruskan. Pada mereka
yang intoleran terhadap dosis setinggi ini, dosis harus dikurangi sampai
jumlah yang terterima, atau bila perlu sediaan diganti dengan sediaan
parenteral.
Berbeda dengan fero sulfat, fero sumarat tidak mudah mengalami
oksidasi pada udara lembab; dosis efektifnya 600-800 mg/hari dalam
P a g e | 21

dosis terbagi. Fero glukonat, fero laktat, fero karbonat dosis efektifnya
kira-kira sama dengan fero sulfat.

Sediaan Parenteral
Penggunaan sediaan untuk suntikan IM dan IV hanya dibenarkan
bila pemberian oral tidak mungkin; misalnya penderita bersifat intoleran
terhadap sediaan oral, atau pemberian oral tidak menimbulkan respons
terapeutik.
Iron-dextan (imferon) mengandung 50 mg Fe setiap ml (larutan
5%) untuk menggunakan IM atau IV. Respons terapeutik terhadap
suntikan IM ini tidak lebih cepat dari pada pemberian oral. Dosis total
yang diperlukan dihitung berdasarkan beratnya anemia, yaitu 250 mg Fe
untuk setiap gram kekurangan Hb. Pada hari pertama disuntikkan 50 mg,
dilanjutkan dengan 100-250 mg setiap hari atau beberapa hari sekali.
Penyuntikan dilakukan pada kuadran atas luar m.gluteus dan secara
dalam untuk menghindari pewarnaan kulit.
Untuk memperkecil reaksi toksik pada pemberian IV, dosis
permulaan tidak boleh melebihi 25 mg, dan diikuti dengan penigkatan
bertahap untuk 2-3 hari sampai tercapai dosis 100 mg/hari. Obat harus
diberikan perlahan-lahan yaitu dengan menyuntikkan 20-50 mg/menit.

2. Obat Lain
– Riboflavin. Riboflavin (vitamin B2) dalam bentuk flavin
mononukleotida (FMN) dan flavin-adenin dinukleotida (FAD)
berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme flavo-protein dalam
pernapasan sel. Sehubungan dengan anemia, ternyata riboflavin
dapat memperbaiki anemia normokromik-normositik (pure red-cell
aplasia). Anemia defisiensi riboflavin banyak terdapat pada
malnutrisi protein-kalori, dimana faktor defisiensi Fe dan penyakit
infeksi memegang peranan. Dosis yang digunakan cukup 10 mg
sehari per oral atau IM.

– Piridoksin. Vitamin B6 ini mungkin berfungsi sebagai koenzim


yang merangsang pertumbuhan heme. Defisiensi piridoksin akan
P a g e | 22

menimbulkan anemia mikrositik hipokromik. Pada sebagian besar


penderia akan terjadi anemia normoblastik sideroaksetik dengan
jumlah Fe non hemoglobin yang banyak dalam prekursor eritrosit,
dan pada beberapa penderita terdapat anemia megaloblastik. Pada
keadaan ini absorpsi Fe menigkat, Fe-binding protein menjadi
jenuh dan terjadi hiperferemia, sedangkan daya regenerasi darah
menurun. Akibatnya akan didapatkan gejala hemosiderosis.

– Kobal. Defisiensi kobal belum pernah dilaporkan pada manusia.


Kobal dapat meningkatkan jumlah hematokrit, hemoglobin dan
eritrosit pada beberapa penderita dengan anemia refrakter, seperti
yang terdapat pada penderita talasemia, infeksi kronik atau
penyakit ginjal, tetapi mekanisme yang pasti tidak diketahui. Kobal
merangsang pembentukan eritropoetin yang berguna untuk
meningkatkan ambilan Fe oleh sumsum tulang, tetapi ternyata pada
penderita anemia refrakter biasanya kadar eritropoietin sudah
tinggi. Penyelidikan lain mendapatkan bahwa kobal menyebabkan
hipoksia intrasel sehingga dapat merangsang pembentukan eritrosit.
Sebaliknya, kobal dosis besar justru menekan pembentukan
eritrosit.
Kobal sering terdapat dalam campuran sediaan Fe, karena
kobal dapat meningkatkan absorpsi Fe melalui usus. Akan tetapi,
harus diingat bahwa kobal dapat menimbulkan efek toksik berupa
erupsi kulit, struma, angina, tinitus, tuli, payah jantung, sianosis,
koma, malaise, anoreksia, mual dan muntah.

– Tembaga. Unsur ini trdapat dalam sitokrom oksidase, maka ada


sangkut paut antasa metabolisme tembaga (Cu) dan Fe. Hingga
sekarang belum ada kenyataan yang menunjukkan pentingnya
penambahan Cu baik dalam makanan maupun sebagai obat, dan
defisiensi Cu pada manusia sangat jarang terjadi.

Berikut ini daftar obat-obatan Anti-Anemia


Jenis Obat Jenis Obat
P a g e | 23

1. Adfer 32. Natabion


2. Arcored 33. Nemicap
3. Biosanbe 34. Nichobion
4. Calmin-AF 35. Nufolic
5. Cyanamin TRC 36. Obimin-AF
6. Dasabion 37. Obron-6
7. Diabion 38. Odiron-C
8. Elevit Pronatal 39. Opibion
9. Emibion 40. Perinal
10. Emineton 41. Pregnacare
11. Feral 42. Prenal
12. Fercee 43. Prenamia
13. Ferofort 44. Prenatal
14. Ferrocemin Trc 45. Prenatin Plus
15. Ferromia 46. Prolacta With Dha For
16. Folamil Mother
17. Folaplus 47. Sangobion
18. Gromaltin 48. Sangofer
19. Hebebion 49. Sangovitin
20. Hemafort 50. Solvitral
21. Hemarate CE 51. Sulfas Ferrosus
22. Hemobion 52. Supra Livron
23. Iberet Folic-500 53. Theragran-P
24. Iberet-500 54. Tivilac
25. Iberet-500 Filmtab 55. Timate-E
26. Inbion 56. Tropifer
27. Incremin With Iron 57. Vicanatal
28. Livron B Plex 58. Viliron
29. Madervit 59. Vitachol
30. Maltiron 60. Vitonal-F
31. Miacure 61. Vitral

II.1.4 Proses Keperawatan


1. Pengkajian
– Dapatkan riwayat anemia atau masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan anemia.
P a g e | 24

– Nilai pasien untuk tanda-tanda dan gejala-gejala anemia defisiensi


besi, seperti letih, malaise, pucat sesak napas, takikardia, dan
aritmia jantung.
– Periksa jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit
pasien.

1. Perencanaan
– Pasien akan mengkonsumsi makana yang kaya akan besi dan
mineral lainnya.
– Seorang pasien dengan anemia defisiensi besi atau dengan
hemoglobin rendah akan mendapat penggantian besi sesuai
dengan anjuran dokter.

1. Intervensi Keperawatan
– Dorong klien untuk mengkonsumsi diet bergizi dalam jumlah
memadai agar dapat memperoleh besi yang cukup. Suplemen besi
tidak diperlukan kecuali jika orang tersebut hamil atau malnutrisi.
– Berikan injeksi besi intramuskular dengan metode Z-track untuk
mencegah bocornya besi ke dalam jaringa subkutan dan kulit
karena akan mengiritasi dan menodai kulit.

1. Penyuluhan Kepada Pasien/Klien


– Beritahu orang tua untuk tidak meninggalkan tablet besi dalam
jangkauan anak-anak. Jika seorang anak menelan tablet besi,
usahakan agar ia muntah dan segera hubungi pusat pengendali
keracunan setempat. Nomor telepon pusat pengendali keracunan
terdapat di halaman depan hampir semua buku telepon; masukkan
nomor ini kedalam daftar referensi darurat.
– Beritahu klien yang memakai preparat besi cair untuk
menggunakan sedotan minum untuk mencegah perubahan warna
dari email gigi.

1. Evaluasi
P a g e | 25

– Evaluasi efektivitas terapi besi yang diresepkan dengan


menentukan apakah klien tidak lagi merasa letih atau sesak napas
dan hemoglobinnya berada di dalam batas-batas normal.

II.2 ANTI KOAGULAN


Dan Anti-koagulan merupakan obat yang digunakan untuk
mencegah penggumpalan darah atau pengencer darah atau juga bertujuan
memperlambat pembekuan darah.
Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan
jalan menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa
faktor pembekuan darah. Atas dasar ini antikoagulan untuk mencegah
terbentuk dan meluasnya trombus dan emboli, maupun untuk mencegah
bekunya darah in vitro pada pemeriksaan laboratorium atau transfusi.
Antikoagulan oral dan heparin menghambat pembentukan fibrin dan
digunakan secara profilaktik untuk mengurangi insiden tromboemboli
terutama pada vena. Kedua macam antikoagulan ini juga bermanfaat
untuk pengobatan trombosit arteri karena mempengaruhi pembentukan
fibrin yang diperlukan untuk mempertahankan gumpalan trombosit. Pada
trombus yang sudah terbentuk, antikoagulan hanya mencegah
membesarnya trombus dan mengurangi kemungkiana terjadinya emboli,
tetapi tidak memperkecil trombus.

II.2.1 Proses Koagulasi Normal


Koagulasi tidak terlepas dengan Hemostasis (penghentian
perdarahan) yang berarti serangkaian kompleks reaksi yang
menyebabkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan trombosit
dan bekuan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan diikuti dengan
resolusi atau lisi bekuan dan regenerasi endotel. Pada keadaan
homeostasis (stabilitas darah dalam tubuh), koagulasi melindungi
individu dari perdarahan masif akibat trauma. Pada keadaan abnormal,
dapat terjadi perdarahan yang mengancam jiwa atau trombosit yang
menyumbat cabang-cabang pembuluh darah.
P a g e | 26

Pada saat cedera, ada tiga proses utama yang menyebabkan


hemostasis dan koagulan: (1) vasokontriksi sementara (pengecilan
pembuluh darah); (2) reaksi trombosit yang terdiri atas adhesi
(penyatuan), reaksi pelepasan, dan agregasi trombosit (gumpalan massa
trombosit); serta (3) aktifasi faktor-faktor pembekuan. Langkah-langkah
awal terjadi pada permukaan jaringan cedera yang terpajan, dan reaksi-
reaksi selanjutnya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit yang
mengancam agregasi.
Jadi unsur utama dari koagulasi ialah trombosit. Trombosit bukan
merupakan sel, tetapi merupakan fragmen-fragmen sel granula,
berbentuk cakram, tidak berinti; trombosit ini merupakan unsur selular
sumsum tulang terkecil dan pernting untuk homeostasis dan koagulasi.
Trombosit berasal dari sel induk pluripoten yang tidak terikat
(noncommitted pluripotent stem cell).
Trombosit berdiameter 1 sampai 4 mikro meter dan memiliki siklus
hidup kira-kira 10 hari. Kira-kira sepertiga berada di dalam lien sebagai
sumber cadangan, dan sisanya berada di dalam sirkulasi, berjumlah
antara 150.000 dan 400.000/mm3. Jika asupan darah perifer
menggunakan pewarnaan Wright, maka sel-sel ini terlihat biru muda
dengan granula berwarna merah-ungu.

II.2.2 Jenis Penyakit Koagulan


A. KelainanKoagulan
1. Kelainan Vaskuler
Pada pasien dengan kelainan pada sistem vaskuler biasanya
datang dengan perdarahan kulit, dan sering mengenai membran
mukosa. Perdarahan dapat diklasifikasikan menjadi purpure
(perdarahan kecil pada kulit) alergik dan purpure nonalergik.
Pada kedua keadaan ini, fungsi trombosit dan faktor koagulasi
adalah normal.
Purpure nonalergik merupakan penyakit yang tidak terdapat
alergi sejati tetapi terjadi berbagai bentuk vaskulitis. Yang paling
sering ditemukan adalah lupus eritematosus sistemik. Kelainan ini
P a g e | 27

merupakan penyakit vaskular-kolagen, yaitu pasien membentuk


autoantibodi. Purpure terjadi karena peradangan pembuluh darah
(vaskulitis) dan kerusakan integritas pembuluh darah.
jaringan peyokong pembuluh darah mengalami perburukan
dan tidak efektif yang terjadi seiring proses penuaan,
mengakibatkan purpuer senitis. Umumnya terlihat perdarahan
kulit pada dorsum manus dan lengan bawah serta diperburuk oleh
trauma. Manifestasi kulit yang serupa yang terlihat pada terapi
kortikosteroid jangka lama, yang diyakini diakibatkan dari
katabolisme protein di dalam jaringan penyokong pembuluh
darah.
Bentuk purpure vaskular terdapat pada epitaksis (perdarahan
hidung) dan perdarahan saluran cerna yang intermiten dan hebat.
Penyakit telangiektasia difus umumnya terjadi pada masa dewasa,
ditemukan pada mukosa bukal, lidah, hidung, dan bibir, dan
tampaknya meluar ke seluruh saluran cerna.
Purpura alergik atau purpura anafilaktoid diduga diakibatkan
oleh kerusakan imunologik pada pembuluh darah, ditandai
dengan perdarahan petekie pada bagian tubuh yang tergantung
dan juga mengenai bokong.

2. Trombositosis
Kelainan jumlah atau fungsi trombosit (atau keduanya) dapat
menggangu koagulasi darah. Trombosit yang terlalu banyak atau
terlalu sedikit mengganggu koagulasi darah. Keadaan yang
ditandai dengan trombosit berlebihan dinamakan trombositosis
atau trombositemia. Trombositosis umumnya didefinisikan
sebagai peningkatan jumlah trombosit lebih dari 400.000/mm3
dan dapat primen dan sekunder.
Jika jumlah trombosit melebihi 1 juta atau pasien simtomatik,
pengobatan dimulai dan ditujukan untuk mengurangi aktivitas
sumsum tulang melalui penggunaan agen-agen sitotoksik seperti
hidroksiurea, yang secara dramatis menurunkan jumlah semua
jenis sel. Anogrelit hidroklorida (Agrylin) ditambahkan untuk
P a g e | 28

spesifisitasnya dalam mengurangi produksi trombosit. Dalam


keadaan terjadinya perdarahan atau trombosit akut, tromboferesis
sementara waktu dapat menyembuhkan. Agen-agen antitrombosit
seperti aspirin dan antikoagulan juga digunakan.

3. Trombositopenia
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit
kurang dari 100.000/mm3. Jumlah trombosit yang rendah ini
dapat merupakan akibat berkurangnya produksi atau
meningkatnya penghancuran trombosit. Namun umumnya tidak
ada manifestasi klinis sehingga jumlahnya kurang dari
100.000/mm3 dan lebih lanjut dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
lain yang mendasari atau yang menyertai, seperti leukimia atau
penyakit hati. Ekimosis (bercak perdarahan) yang bertambah dan
perdarahan yang memanjang akibat trauma ringan terjadi pada
kadar trombosit kurang dari 50.000/mm3. Petekie merupakan
manifestasi utama, dengan jumlah trombosit kurang dari
30.000/mm3. Terjadi perdarahan mukosa, jaringan dalam, dan
intrakranial dengan jumlah trombosit kurang dari 20.000/mm3 dan
memerlukan tindakan segera untuk mencegah perdarahan dan
kematian.
Pernurunan produksi trombosit dibuktikan dengan aspirasi
dan bipsi (pemeriksaan mikroskopis) sumsum tulang, yang
dijumpai disegala kondisi yang mengganggu atau menghambat
fungsi sumsum tulang. Kondisi ini meliputi anemia aplastik,
mielofibrosis (penggantian unsur-unsur tulang dengan jaringan
fibrosa), leukimia akut, dan karsinoma metastatik untuk
mengganti unsur-unsur sumsum normal.
Fungsi trombosit dapat berubah melalui berbagai cara, yang
mengakibatkan semakin lamanya perdarahan. Obat-obatan seperti
aspirin, indometasin, dan fenilbutazon menghambat agregesi dan
reaksi pelepasan trombosit, dengan demikian menyebabkan
perdarahan yang memanjang walaupun jumlah trombosit normal.
P a g e | 29

Pengaruh aspirin dosis tinggi dapat berlangsung selama 7 hingga


10 hari.

A. Gangguan Plasma Herediter


1. Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau
didapat yang paling sering dijumpai, bermanifestasi sebagai
episode perdarahan intermiten. Hemofilia disebabkan oleh mutasi
gen Globulin antihemofilik atau faktor Christmas, dikelompokkan
sebagai hemofilia A dan hemofilia B. Kedua agen tersebut
terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif
terkait-X. Oleh karena itu, semua anak perempuan dan laki-laki
yang menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan anak laki-
laki tidak terkena. Anak laki-laki dari perempuan yang karier
memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofilia.
Dapat terjadi wanita homozigot dengan hemofilia (ayah
hemofilia, ibu karier), tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi.
Kira-kira 33% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan
mungkin akibat mutasi spontan.
Dua jenis utama hemofilia yang secara klinis identik adalah:
(1) hemofiia klasik atau hemofilia A, yang ditemukan adanya
defisiensi atau tidak adanya aktivitas faktor antihemofilia VIII,
dan (2) penyakit Christmas, atau hemofilia B, yang ditemukan
adanya defisiensi atau tidak adanya aktivitas faktor IX. Hemofilia
diklasifikasikan sebagai (1) berat, dengan kadar aktivitas faktor
kurang dari 1%, (2) sedang, dengan kadar aktivitas di antara 1
smapai 5%,serta ringan (3) ringan, jika 5% atau lebih .
perdarahan spontan dapat terjadi jika kadar aktivitas faktor
kurang dari 1%. Akan tetapi, pada kadar 5% atau lebih,
perdarahan terjadi umumnya terjadi berkaitan dengan trauma atau
prosedur pembedahan. Manifestasi klinis meliputi perdarahan
jaringan lunak, otot, dan sendi, terutama sendi-sendi yang
menopang berat badan, disebut Hemartosis (perdarahan sendi).
P a g e | 30

Pengobatan hemofilia menganjurkan pemberian infus


profilaktik yang dimulia pada usia 1 hingga 2 tahun pada anak-
anak yang mengalami defisiensi berat untuk mencegah penyakit
sendi kronis. Intervensi dini pada saat timbul gejala-gejala atau
tanda-tanda perdarahan paling awal, serta penggantian faktor
praoperatif pada persiapan untuk prosedur pembedahan, penting
dilakukan pada pasien-pasien ini. Pengobatan ditujukan untuk
meningkatkan faktor atau aktivitas yang berkurang ke tingkat
normal dan dengan demikian mencegah komplikasi.

2. Von Willebrand
Penyakit von Willebrand adalah gangguan koagulasi
hereditas yang paling sering terjadi. Dikenal sebagai subtipe I, II,
dan III, tapi yang paling sering adalah tipe I. Semua tipe
diturunkan secara dominan autosomal, sama-sama terjadi pada
laki-laki dan perempuan. Seperti pada hemofilia, kasus-kasus
terjadi pada riwayat keluarga dan gangguan tersebut diyakini
terjadi akibat mutasi genetik. Bergantung pada subtipe dan
beratnya penyakit, spektrum perdarahan dapat jarang terjadi,
perdarahan mukokutaneus (kulit dan membran mukosa) ringan
sampai sedang; perdarahan akibat trauma atau pembedahan; atau
perdarahan yang mengancam jiwa. Sering terjadi perdarahan
saluran cerna, ekistaksis, dan monoragia.

II.2.3 Jenis Obat Serta Hubungan Dengan Penyakit


Antikoagulan dapat dibagi menjadi 3 kelompok : (1) heparin; (2)
antikoagulan oral, terdiri dari derivat 4-hidroksikumarin misalnya:
dikumoral, warfarin, dan derivat-derivat indan-1,3-dion misalnya:
anisindion; (3) antikoagulan yang bekerja dengan mengikat ion kalsium,
salah satu faktor pembekuan darah.
Dan dalam bab ini akan dibahas tentang Heparin

HEPARIN
P a g e | 31

Heparin endogen merupakan suatu mukopolisakarida yang


mengandung sulfat. Zat ini disintesis di dalam sel mast dan terutama
banyak terdapat di paru. Peranan fisiologik heparin belum diketahui
seluruhnya, akan tetapi pelepasannya ke dalam darah yang tiba-tiba pada
syok anafilaksis menunjukkan bahwa heparin mungkin berperan dalam
reaksi imunologik.

FARMAKODINAMIKA
Mekanisma Kerja. Heparin mengikat antitrombin III membentuk
kompleks yang berafinitas lebih besar dari antitrombin III sendiri,
terhadap beberapa faktor pembekuan darah aktif, terutama trombin dan
faktor Xa. Oleh karena itu heparin mempercepat inaktivasi faktor
pembekuan darah. Sediaan heparin dengan berat molekul rendah (<
6000) beraktivitas anti-Xa kuat dan sfat antitrombin sedang; sedangkan
sediaan heparin dengan berat molekul yang tinggi (> 25.000) beraktivitas
antitrombin kuat dan aktivitas anti-Xa yang sedang.
Dosis kecil heparin dengan AT-III menginaktivasi faktor Xa dan
mencegah pembekuan dengan mencegah perubahan protrombin menjadi
trombin. Heparin dengan jumlah yang lebih besar bersama AT-III
menghmbat pembekuan dengan menginaktivasi trombin dan faktor-
faktor pembekuan sebelumnya, sehingga mencegah perubahan fibrinogen
menjadi fibrin. Heparin juga menginaktivasi faktor XIIIa dan mencegah
terbentuknya bekuan fibrin yang stabil.
Terhadap lemak darah, heparin bersifat lipotropik yaitu
memperlancar transfer lemak darah ke dalam depot lemak. Aksi
penjernih ini terjadi karena heparin membebaskan enzim-enzim yang
menghidrolisis lemak (salah satu diantaranya ialah lipase lipoprotein) ke
dalam sirkulasi serta menstabilkan aktivitasnya. Efek lipotropik ini dapat
dihambat oleh protamin.

Pengaruh heparin terhadap hasil pemeriksaan darah. Bila ditambahkan


pada darah, heparin tidak mengubah hasil pemeriksaan rutin kimia darah,
tetapi heparin mengubah bentuk eritrosit dan leukosit. Uji fragilitas tidak
dapat dilakukan pada darah berheparin karena heparin mencegah
P a g e | 32

hemolisis. Hitung leukosit darah yang dicampur heparin in vitro harius


dilakukan dalam 2 jam, sebab setelah 2 jam leukosit dapat menghilang.
Nilai laju endap eritrosit (BSR) darah berheparin juga berbeda
dibandingkan darah dengan senyawa oksalat atau sitrat.
Sampel darah yang diambil melalui kanula IV, yang sebelumnya
secara intermiten dilalui larutan garam berheparin, mengandung kadar
asam lemak bebas yang meningkat. Hal ini akan menghambat ikatan
protein plasma dari obat-obat lipofisik misalnya propranolol, kuinidin,
fenitoin dan digoksin sehingga mempengaruhi pengukuran kadar obat-
obat tersebut.

Efek lain. Heparin dilaporkan menekan kecepatan sekresi aldosteron,


meningkatkan kadar tiroksin bebas dalam plasma, menghambat aktivator
fibrinolitik, menghambat penyembuhan luka, menekan imunitas selular,
menekan reaksi hospes terhadap grafi dan mempercepat penyembuhan
luka bakar.

Monitoring pengobatan. Agar obat efektif mencegah pembekuan dan


tidak menimbulkan perdarahan maka diperlukan penentuan dosis yang
tepat, pemeriksaan daeah berulang dan tes laboratorium yang dapat
dipercaya hasilnya. Pada saat ini telah terbukti bahwa dosis kecil heparin
yang diberikan subkutan untuk mencegah emboli vena tidak memerlukan
pemeriksaan darah berulang. Akan tetapi karena respons pasien terhadap
heparin bervariasi maka mungkin satu atau 2 tes untuk aktivitas heparin
diperlukan pada permulaan pengobatan. Monitoring pemeriksaan
laboratorium mungkin diperlukan bila dosis standar heparin diberikan
secara intermiten IV atau secara infus IV. Berbagai tes yang dianjurkan
untuk memonitor pengobatan dengan heparin ialah waktu pembekuan
darah (whole blood clotting time), partial thromboplastin time (PTT),
atau activated partial thromboplastin time (APTT). Ter APTT ialah yang
paling banyak dilakukan. Trombosis umumnya dapat dicegah bila APTT
11/2 – 2 kali nilai normal (nilai APTT 60-80 detik bila nilai normal 40
detik).
P a g e | 33

FARMAKOKINETIK
Heparin tidak diabsobsi secara oral, karena itu diberikan secara SK
(subkutan) atau IV (intravena). Pemberian secara SK memberikan masa
kerja yang lebih lama tetapi efeknya tidak dapat diramalkan. Efek
antikoagulan segera timbul pada pemberian suntikan bolus IV dengan
dosis terapi, dan terjadi kira-kira 20-30 menit setelah SK. Heparin cepat
dimetabolisme terutama di hati. Masa paruhnya tergantung dari dosis
yang digunakan, suntikan IV 100, 400, atau 800 unit/ kgBB
memperlihatkan masa paruh masing-masing kira-kira 1, 21/2 dan 5 jam.
Masa paruh mungkin memendek pada pasien emboli paruh dan
memanjang pada pasien sirosis hepatitis atau penyakit ginjal berat.
Metabolik inaktif diekskresi melalui urine. Heparin diekskresi dalam
bentuk utuh melaui urin hanya bila digunakan dosis besar IV. Penderita
emboli paru memerlukan dosis heparin yang lebih tinggi karena bersihan
yang lebih cepat. Terdapat variasi individual dalam efek antikoagulan
yang ditimbulkan maupun dalam kecepatan bersihan obat. Heparin tidak
melalui plasenta dan tidak terdapat dalam air susu ibu.

PASOLOGI
Heparin tersedia sebagai larutan untuk pemakaian parenteral
dengan kekuatan 1000-40000 unit/ml dan sebagai respository atau depot
heparin dengan kekuatan 20.000-40.000 unit/ml.
Pemberian IV (intermiter): pada orang dewasa biasanya dimulai
dengan 5.000 unit dan selanjutnya 5.000-10.000 unit untuk tiap 4-6 jam,
tergantung dari berat badan dan respons pasien. Pada hakekatnya dosis
ditentukan berdasarkan masa pembekuan. Untuk DIC ada yang
menganjurkan dimulai dengan 50 unit/kg pada dewasa dan 25 unit/kg
pada anak tiap 6 jam atau diberikan secara infus. Untuk anak, dimulai
dengan 50 unit/kgBB dan selanjutnya 100 unit/kgBB tiap 4 jam.
Pada infus IV untuk orang dewasa heparin 20.000-40.000 unit
untuk dilarutkan dalam 1 liter larutan glukosa 5% atai NaCl 0,9% dan
diberikan dalam 24 jam. Untuk mempercepat timbulnya efek, dianjurkan
menambahkan 5000 unit langsung ke dalam pipa infus sebelumnya.
P a g e | 34

Kecepatan infus didasarkan pada nilai APTT. Komplikasi perdarahan


umumnya lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pemberian secara
intermiten. Untuk anak dimulai dengan 50 unit/kg diikuti dengan 100
unit/kg tiap 4 jam.
Heparin dapat juga diberikan secara SK dalam. Pada orang dewasa
untuk tujuan profilaksis tromboemboli pada tindakan operasi diberikan
5.000 unit 2 jam sebelum operasi dan selanjutnya tiap 12 jam sampai
pasien keluar dari rumah sakit. Dosis penuh biasanya 10.000-12.000 unit
tiap 8 jam atau 14.000-20.000 unit tiap 12 jam.
Pemakaian heparin IM tidak dianjurkan lagi karena sering terjadi
perdarahan dan hematoma yang disertai rasa sakit pada tempat suntikan.

EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI


Bahaya utama pemberian heparin secara IV atau SK ialah
perdarahan, tetapi pemberian secara IV atau SK jarang menimbulkan
efek samping. Terjadinya perdarahan dapat dikurangi dengan: (1)
mengawasi/mengatur dosis obat; (2) menghindari penggunaan bersamaan
dengan obat yang mengandung aspirin; (3) seleksi pasien; dan (4)
memperhatikan kontraindikasi pemberian heparin. Selama masa
tromboemboli akut, resistensi atau toleransi terhadap heparin dapat
terjadi, dan karena itu efek antikoagulan harus dimonitor dengan tes
pembekuan darah misalnya APTT. Perdarahan antara lain dapat berupa
perdarahan saluran cerna (hematuria).
Karena heparin berasal dari jaringan hewan, maka harus digunakan
secara hati-hati pada pasien alergi. Reaksi hipersensitivitas antara lain
berupa menggigil, demam, urtikaria atau syok. Pada penggunaan jangka
panjang dapat terjadi mialgia (nyeri otot), nyeri tulang dan osteoporosis.
Osteoporosis dan fraktur spontan dapat terjadi bila dosis melebihi 20.000
unit/hari diberikan selama 4 bulan atau mungkin kurang. Kadang-kadang
dapat terjadi alopesia (botak) sementara dan terasa panas pada kaki.
Penggunaan heparin pada masa kehamilan nampaknya tidak lebih aman
dari antikoagulan oral. Insidens perdarahan maternal, lahir mati dan lahir
prematur dilaporkan meningkat pada penggunaan heparin.
P a g e | 35

KONTRAINDIKASI
Heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang mengalami
perdarahan atau cenderung mengalami perdarahan misalnya: pasien
hemofilia, permeabilitas kapiler yang meningkat, threatened abortion,
endokarditis bakterial subakut, perdarahan intrakranial, lesi ulseratif pada
saluran cerna, anestesia lumbal atau regional, hipertensi berat, syok.
Heparin tidak boleh diberikan selama atau setelah operasi mata, otak atau
medula spinal dan pasien yang mengalami pungsi lumbal atau anestesi
blok. Heparin juga dikontrainsikasikan pada pasien yang mendapat dosis
besar etanol, peminum alkohol dan pasien yang hipersensitif terhadap
heparin. Meskipun heparin tidak melalui plasenta, obat ini hanya
digunakan untuk wanita hamil bila benar-benar memang diperlukan. Hal
ini disebabkan insidents perdarahan maternal, lahir mati dan lahir
prematur yang dilaporkan meningkat pada penggunaan heparin.

INDIKASI
Heparin merupakan satu-satunya antikoagulan yang diberikan
secara parenteral dan merupakan obat terpilih bila diperlukan efek yang
cepat, misalnya untuk emboli paru-paru dan trombosit vena dalam, oklusi
arteri akut atau infark miokard akut. Obat ini juga digunakan untuk
profilaksis tromboemboli vena selama operasi dan untuk
mempertahankan sirkulasi ekstrakorporal selama operasi jantung terbuka.
Heparin juga diindikasikan untuk wanita hamil yang memerlukan
antikoagulan.

INTOKSIKASI HEPARIN
Perdarahan ringan akibat heparin biasanya cukup diatasi dengan
menghentikan pemberian heparin. Perdarahan yang cukup berat perlu
dihentikan dengan antagonis heparin. Tersedia bermacam-macam sediaan
antagonis heparin antara lain protamin sulfat.
Protamin sulfat ialah suatu basa kuat yang dapat mengikat dan
menginaktivasi heparin, tetapi zat ini juga memiliki efek antikoagulan
dan memperpanjang waktu pembekuan. Tiap mg protamin menetralkan
80-100 USP unit aktivitas heparin. Reaksi ini berlangsung segera dan
P a g e | 36

menetap kira-kira 2 jam. Karena efek heparin lebih lama dari protamin
maka perdarahan dapat kambuh terutama pada pasien pascabedah,
sehingga diperlukkan suntikan protamin berikutnya.
Penggunaan protamin biasanya cukup aman. Dosis sampai 200 mg
IV dalam 2 jam biasanya tidak menimbulkan efek samping.
Protamin tersedia dalam bentuk larutan atau serbuk untuk suntikan
IV. Dosis total ditentukan oleh jumlah heparin yang diberikan selama 3-4
jam sebelumnya, 1 mg protamin sulfat menetralkan sekurang-kurangnya
80 USP unit aktivitas heparin dari jaringan paru dan 100 USP unit
aktivitas heparin dari mukosa usus. Obat ini harus disuntikkan perlahan-
lahan untuk mencegah trombosis. Larutan 1% disuntikkan selama 1-3
menit, atau maksimal 50 mg dalam 10 menit. Penderita diabetes mellitus
yang mendapat protamin zinc insulin jika hipersensitif terhadap protamin
dapat mengalami reaksi berat dengan gejala antara lain hipotensi, sesak
napas dan bradikardi. Kadang-kadang terdapat perasaan panas dan
flusing pada muka.

Berikut ini daftar obat-obatan Antikoagulan


Jenis Obat Jenis Obat
1. Actilyse 19. Fraxiparine
2. Aggrenox 20. Heparin Sodium B Braun
3. Aggravan 21. Ibustrin
4. Agulan 22. Inviclot
5. Antrotik 23. Kybernin P
6. Aptor 24. Lovenox
7. Arixtra 25. Nufaclapid
8. Ascardia 26. Piclodin
9. Aspilets 27. Plavix
10. Aspimec 28. Pletaal
11. Astika 29. Procardin
12. Cardio Arpirin 30. Restor
13. Cartrilet 31. Simarc 2
14. Ceto 32. Streptase
15. Citaz 33. Thrombo Aspilets
16. Farmasal 34. Ticlid
17. Fimakinase 35. Ticuring
18. Goclid 36. Warfarin Eisai
P a g e | 37

II.2.4 Proses Keperawatan


1. Pengkajian
– Tanyakan riwayat pembekuan darah abnormal atau masalah
kesehatan yang mempengaruhi pembekuan darah, seperti
alkoholisme berat dan penyakit hati atau ginjal.

1. Perencanaan
– PTTs atau APTT akan menjadi 1,25 sampai 2,5 kali nilai normal.
– Tidak timbul perdarahan abnormal selama klien memakai
antikoagulan. PT akan dipantau dengan baik.

1. Intervensi Keperawatan
– Pantau tanda-tanda vital. Penigkatan denyut jantung diikuti
dengan penurunan tekanan darah sistolik dapat menunjukkan
adanya kekurangan volume cairan karena perdarahan internal atau
eksternal.
– Periksa PT untuk warfarin dan dikumarol dan APTT untuk
heparin sebelum memberikan antikoagulan. PT dan APTT
diharapkan berada 1,25 sampai 2,5 kali nilai normal dalam
beberapa detik. Hasilnya adalah rasio waktu protrombin yang
lebih rendah. Hitung trombosit harus dipantau, karena
antikoagulan dapat menurunkan hitung trombosit.
– Berikan heparin secara subkutan pada abdomen atau jaringan
lemak di lengan atas. Heparin tidak diberikan intramuskular
karena banyaknya pembuluh darah di jaringan otot; Suntikan ini
akan terasa sakit dan bisa timbul hematoma. Untuk pemberian
intravena heparin secara terus menerus, harus dipakai alat infus
elektronik.
P a g e | 38

– Periksa adanya perdarahan di mulut, hidung (epistaksis), urin


(hematuria), tempat suntikan atau intravena infus, luka, dan kulit
(purpura).
– Periksa tinja secara periodik untuk menemukan adanya darah.
– Pantau dengan hati-hati adanya perdarahan pada klien yang sudah
tua untuk memakai warfarin. Kulit merasa tipis dan jaringan
kapilernya mudah pecah. PT harus diperiksa dengan hati-hati.
– Selalu sediakan antagonis antikoagulan (protamin, vitamin K,
atau vitamin K3) jika dosis obat meningkat atau jika ada indikasi
perdarahan. Transfusi trombosit segar atau beku mungkin
diperlukan.

1. Penyulukan Kepada Klien


– Beritahukan klien untuk memeriksakan ke dokter sebelum
memakai obat-obat yang terjual bebas. Aspirin tidak boleh
dipakai bersamaan warfarin karena aspirin akan memperkuat
kerja warfarin dan bisa terjadi perdarahan. Anjurkan klien untuk
memakai asetaminofen.
– Anjurkan klien untuk melaporkan adanya perdarahan, seperti
petekie, ekimosis, purpura, tinja berwarna ter, perdarahan gusi,
atau batuk darah.
– Nasehati klien untuk melakukan tes laboratorium seperti PT. PT,
APTT, dan PTT dipakai untuk meregulasi dan mempertahankan
dosis antikoagulan agar tetap sesuai.
– Anjurkan klien untuk menjauhi alkohol, yang dapat
meningkatkan perdarahan, dan banyak memakan sayur-sayuran
berdaun hijau, yang dapat menghambat efek obat yang
diinginkan.
– Beritahukan klien untuk bercukur dengan alat pencukur listrik.
Perdarahan yang timbul dari pisau cukur dapat sulit untuk
dikendalikan.

1. Evaluasi
P a g e | 39

– Evaluasi efektifitas terapi. Hasil laboratorium (PT atau APTT)


klien berada pada niali yang diinginkan. Penderita bebas efek
samping.

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar
Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat
(Nelson,1999).
Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat di sebabkan
oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya
produksi sel darah merah. (Guyton,1997).
Macam-macam atau klasifikasi dari anemia berdasarkan
morfologinya yaitu: anemia, anemia defisiensi besi, anemia megaloblastik
(defisiensi asam folat dan B12).

Koagulasi adalah rangkaian kompleks reaksi-reaksi yang


menyebabkan kontrol perdarahan melalui pembentukan trombosit dan
bekuan fibrin di tempat cidera.
Pada saat cidera, tiga proses utama yang menyebabkan hemostasis
adalah: (1) vasokontriksi sementara; (2) reaksi trombosit yang terdiri
adhesi, reaksi pelepasan, dan agregasi trombosit; (3) aktivasi faktor-faktor
pembekuan.
P a g e | 40

Setelah pembentukan bekuan, penghentian pembekuan darah lebih


lanjut penting untuk menghindari keadaan trombotik yang tidak diinginkan
yang disebabkan oleh pembentukan bekuan sistemik yang berlebihan.
Antikoagulan yang terdapat secara alami adalah antitrombin III (ko-
faktor heparin), protein C, dan protein S.

II.2 Saran
Antianemai dan Antikoagulan merupakan dua jenis obat yang
berhubungan dengan keadaan darah. Antianemia, sering disebut sebagai
obat penambah darah, yang merupakan pengobatan dengan tujuan untuk
mempertahankan stabilitas jumlah dan kadar dalam darah (zat besi).
Sedangkan, Antikoagulan, sering disebut sebagai obat pengencer darah,
merupakan pengobatan dengan tujuan memperlambat pembekuan darah.
Disamping untuk tindakan kuratif (penyembuhan), pemberian obat
pengencer darah (antikoagulan) juga dapat digunakan sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya penyakit jantung . Tindakan tersebut telah lama
diketahui dan di praktekkan dalam terapi medis.
Permasalahannya adalah banyak pasien yang mendapat terapi
anemia dan antikoagulan kurang begitu memperhatikan pentingnya
peranan antianemia dan antikoagulan dalam membantu mempertahankan
kondisi darahnya. Pemahaman yang kurang tepat dapat berakibat fatal,
misalnya pada penggunaan antikoagulan, jika seorang pengguna obat
antikoagulan sebaiknya menghentikan penggunaannya tiga hari sebelum
menghadapai operasi atau cabut gigi untuk menghindari pendarahan yang
berlebihan. Pada umumnya masyarakat belum memahami dengan benar
cara penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan dimungkinkan karena
belum dikenal atau familiar kedua jenis obat ini yang mana dalam
penerapannya di kehidupan sehari-hari cukup penting dan sangat
membantu.
Kiranya dengan ada makalah ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang obat-obatan khususnya tentang Antianemia dan
Antikoagulan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Dan agar
P a g e | 41

lebih hati-hati menggunakan obat-obat ini karena dapat mengakibatkan


keracunan khususnya pada obat Antianemia.

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi Empat. Jakarta:


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran – Universitas Indonesia.
Purwanto, Listyawati, dkk. 2008. DOI: Data Obat di-Indonesia. Edisi II. Jakarta:
PT. Muliapurna Jayaterbit.
Kee, Joyce L. dan Hayes, Evelyn R. 1996. Farmakologi. Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E., dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Katzung, B. G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC
Kamus saku kedokteran Dorlan. Edisi – 25. Jakarta: EGC, 1998.
http://getyourhealthy.blogspot.com/2009/06/definisi-farmakologi.html
http://medicastore.com/apotik_online/obat_jantung/antikoagulan.htm
http://labkesehatan.blogspot.com/2009/11/antikoagulan.html. Riswanto, Sabtu 14
November 2009
http://sehat-semua.blogspot.com/2008/12/menggunakan-antikoagulan-secara-
aman.html. Umar-khaled.
http://www.fortunestar.co.id/news-a-articles-mainmenu-7/38-seminar-ksehatan-
penggunaan-antikoagulan-oral.html
P a g e | 42

Você também pode gostar