Você está na página 1de 116

BAB I

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM

PERUSAHAAN

A. Pengertian Perusahaan

Istilah perusahaan pertama kali dikenal sejak

dikeluarkannya Staatblaad No.276 Tahun 1938.

Staatsblaad ini mencabut Pasal 2 sampai 5

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Implikasi pencabutan tersebut yaitu dirubahnya

istilah kegiatan perniagaaan menjadi kegiatan

perusahaan.

Pada KUHD tidak ditemukan satu pasal pun

yang memberikan definisi mengenai

“perusahaan”. Hal ini rupanya disesuaikan


dengan keinginan pembentuk undang-undang

agar definisi atau pengertian perusahaan

berkembang sesuai dengan perkembangan

perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain

pengertian perusahaan diserahkan pada

pendapat-pendapat ahli hukum.

Berikut ini pendapat 2 ahli hukum yang

terkemuka yaitu:

1. Molengraaff

Menurut Molengraaff, perusahaan adalah

keseluruhan perbuatan yang dilakukan

secara terus-menerus, bertindak keluar,

untuk memperoleh penghasilan, dengan cara

memperdagangkan atau menyerahkan

barang atau mengadakan perjanjian


perdagangan. Molengraaff memandang

perusahaan dari sudut ekonomi karena

tujuannya memperoleh keuntungan. Unsur-

unsur perusahaan menurut Molengraaff yaitu

dilakukan secara terus-menerus, tidak

insidental, bertindak keluar.1

2. Polak

Polak memandang perusahaan dari sudut

komersial,artinya baru dikatakan perusahaan

apabila diperlukan perhitungan laba dan rugi

yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam

pembukuan. Di sini polak menambahkan

unsur pembukuan. Unsur ini perlu

ditambahkan karena pembukuan merupakan

1 Sebagaimana dikutif oleh Abdulkadir


Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hlm.7
unsur mutlak yang harus ada dalam

perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal

6 KUHD yang telah dirubah dengan Undang-

Undang No.8 Tahun 1997 Tentang Dokumen

Perusahaan.2

Pada tahun 1983 melalui Undang-Undang No.3

Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan,

diperoleh definisi atau pengertian yuridis dari

perusahaan yang tercantum dalam Pasal 1

huruf (b) yaitu: “perusahaan adalah setiap

bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis

usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus

dan didirikan, bekerja serta berkedudukan

dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan

memperoleh keuntungan dan atau laba.”


2 Ibid., hlm.8.
Pengertian perusahaan secara yuridis dapat

ditemukan dalam Undang-Undang No.8 Tahun

1997. Pada Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang

No.8 Tahun 1997, ditentukan bahwa

“perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang

melakukan kegiatan secara tetap dan terus-

menerus dengan memperoleh keuntungan dan

atau laba, baik yang diselenggarakan oleh

orang perorangan maupun badan usaha yang

berbentuk badan hukum atau bukan badan

hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam

wilayah negara Repubrik Indonesia.”

Jika dibandingkan kedua definisi perusahaan

baik menurut Undang-Undang No.3 Tahun

1982 maupun Undang-Undang No.8 Tahun


1997, maka terdapat perbedaan sebagai

berikut:3

1. Undang-Undang No.3 Tahun 1982

menggunakan rumusan “ menjalankan

segala jenis usaha”, sedangkan Undang-

Undang No.8 Tahun 1997 menggunakan

rumusan “melakukan kegiatan” tanpa

pembatasan“ dalam bidang

perekonomian.”

2. Undang-Undang No.3 Tahun 1982

menggunakan kata “usaha” sebagai

kegiatan dalam bidang perekonomian,

pelaku atau pengusaha, yaitu orang-

perorangan atau persekutuan atau

3 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan


Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.10.
badan hukum. Sedangkan Undang-

Undang No.8 Tahun 1997 menggunakan

kata “kegiatan” tanpa pembatasan

daslam bidang perekonomian. Namun

karena undang-undang ini berkenaan

dengan perusahaan, maka dapat

diartikan bahwa kata "kegiatan” juga

dalam bidang perekonomian, pelakunya

adalah orang-perorangan maupun badan

usaha yang berbentuk badan hukum

atau bukan badan hukum.

B. Hukum Perusahaan

Hukum perusahaan adalah keseluruhan aturan

hukum yang mengatur tentang bentuk usaha


dan jenis usaha.4

Bentuk usaha adalah wadah penggerak setiap

jenis usaha. Yang tergolong bentuk usaha yaitu

perusahaan perseorangan dan perusahaan

persekutuan. Bentuk perusahana perseorangan

yaitu Perusahaan Dagang (PD), Usaha Dagang

(UD), Perusahaan Bangunan (PB), Perusahaan

Otobis (PO). Perusahaan persekutuan meliputi

Firma, Perusahaan Komanditer (CV),

Perseroan Terbatas (PT), serta Koperasi.

Jenis usaha adalah berbagai macam usaha di

bidang perekonomian, yaitu bidang

perindustrian, bidang perdagangan, jasa.

4 Ibid., hlm.1
C. Sumber Hukum Perusahan

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang

menimbulkan hukum. Sumber hukum

perusahaan yaitu:

1. Perundang-Undangan

KUHPerdata, KUHD, Undang-Undang No.3

Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar

Perusahaan, Undang-Undang No.25 Tahun

1992 Tentang Perkoperasian, Undang-

Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha

Kecil, Undang-Undang No.1 Tahun 1995

Tentang Perseroan Terbatas, Undang-

Undang No.8 Tahun 1997 Tentang Dokumen

Perusahaan, Undang-Undang No.19 Tahun

2002 Tentang Badan Usaha Milik Negara,


Undang-Undang No.28 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Undang-Undang No.16 Tahun

2001 Tentang Yayasan.

2. Perjanjian

Perjanjian disini adalah perjanjian yang

dilakukan antara perusahaan.

3. Yurisprudensi

Putusan pengadilan berkenaan dengan

masalah perusahaan yang sudah memiliki

kekuatan hukum yang tetap.

4. Kebiasaan

Kebiasaan disini yaitu kebiasaan-kebiasaan

yang dilakukan di perusahaan.

5. Doktrin
Pendapat ahli hukum tentang perusahaan

yang diikuti oleh ahli hukum lain, misalnya

pendapat dari Molengraaff, Pendapat Polak,

dsb.

BAB II

BADAN USAHA MILIK NEGARA


A. Pendahuluan

Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya

disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh

atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara

melalui penyertaan modal secara langsung yang

berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

(Pasal 1 Angka (1) UU No.19 Tahun 2003 Tentang

BUMN).

Keberadaan BUMN sebagai salah satu

pelaku ekonomi, secara konstitusional diatur dalam

Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Pasal 33 Ayat

(2) UUD 1945 selengkapnya berbunyi: “Cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh


negara.” Kemudian Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945

selengkapnya berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan sebesar-besar

kemakmuran rakyat.”

Mengacu pada ketentuan UU No.9 Tahun

1969, terdapat tiga bentuk Perusahaan Negara

(BUMN), yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan),

Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan

Perseroan (Persero). Perjan merupakan

perusahaan negara yang modalnya berasal dari

kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan

memiliki misi untuk memberi pelayanan kepada

masyarakat. Perum merupakan perusahaan negara

yang modalnya berasal dari kekayaan negara yang


dipisahkan dan memiliki misi tidak hanya

memberikan pelayanan kepada masyarakat juga

mencari keuntungan. Sedangkan Perusahaan

persero) adalah perusahaan negara yang modanya

berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan

memiliki tujuan untuk mencari keuntungan.

Undang-Undang No.9 Tahun 1969

dinyatakan tidak berlaku sejak diberlakukannya

Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan

Usaha Milik Negara tepatnya pada Pasal 94 Ayat 3.

Undang-Undang No.19 Tahun 2003 hanya

mengenal 2 bentuk BUMN yaitu Persero dan

Perum. Bagi badan usaha milik negara berbentuk

perusahaan jawatan (perjan) diberikan jangka

waktu 2 tahun sejak undang-undang BUMN


berlaku untuk dilakukan perubahan menjadi perum

atau persero (Pasal 93 Ayat (1) UU No.19/2003).

Dengan demikian eksistensi Perjan sebagai BUMN

diberikan tenggang waktu selama 2 tahun untuk

dirubah menjadi perum atau persero.

B. Persero

Persero adalah BUMN yang berbentuk

perseroan terbatas yang modalnya terbagi atas

saham yang seluruh atau paling sedikit 51%

sahamnya dimiliki oleh Negara Repubrik Indonesia

yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

(Pasal 1 Angka 2 UU No.19 Tahun 2003).

Tujuan utama dari perusahaan perseroan

(Persero) adalah mengejar keuntungan sebanyak-


banyaknya karena negara hanya akan menyertakan

modal apabila benar-benar dapat diharapkan

memberi keuntungan bagi kas negara5.

Pengurusan Persero dilakukan oleh Direksi.

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan

managemen dari PT yang harus dilakukannya untuk

kepentingan dan tujuan dari PT itu. Pada prinsipnya

ada dua fungsi utama dari direksi suatu perseroan

yaitu sebagai berikut:6

1) Fungsi manajemen, dalam arti direksi

melakukan tugas memimpin perusahaan. Fungsi

manajemen ini dalam Hukum Jerman disebut

5 R.T. Sutantya R. Hadhikusuma dan


Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan,
Bentuk-bentuk perusahaan yang berlaku di Indonesia,
Rajawali Press, Jakarta, 1992, hlm.198
6
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern
Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.32
dengan Geschaftsfuhrungsbefugnis, dan

2) Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili

perusahaan di dalam dan di luar pengadilan.

Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan

menyebabkan perseroan sebagai badan hukum

akan terikat dengan transaksi atau kontrak-

kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan

untuk kepentingan perseroan. Fungsi

representasi ini dalam Hukum Jerman disebut

dengan Vertretungsmacht.

Wewenang direksi dibatasi oleh Anggaran

Dasar. Setiap anggota direksi wajib dengan itikad

baik dan penuh tanggung jawab menjalankan

tugasnya untuk kepentingan usaha PT, juga setiap

anggota direksi bertanggung jawab penuh secara


pribadi apabila secara pribadi apabila yang

bersangkutan “ bersalah” atau “ lalai” menjalankan

tugasnya. Jadi disini ada “ personal liability”

daripada pihak direksi terhadap PT yang

bersangkutan jika ia melanggar kewajibannya


7
seperti tercantum dalam Pasal 85 Ayat 1 dan 2 .

Pelaksanaan pengurusan yang dilakukan

Direksi diawasi oleh komisaris PT. Komisaris adalah

organ Persero yang bertugas melakukan

pengawasan dan memberi nasihat kepada direksi

dalam menjalankan kegiatan pengurusan Persero

termasuk pelaksanaan rencana jangka panjang dan

rencana kerja dan anggaran perusahaan, ketentuan

7 Sudargo Gautama, Komentar Atas


Undang-Undang Perseroan Terbatas (Baru) Tahun
1995 No.1 Perbandingan Dengan Peraturan Lama,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.91
Anggaran Dasar serta ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Komisaris

melakukan tugas dan kewenangan sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995

Tentang Perseroan Terbatas (Pasal 18 PP No.12

Tahun 1998 8.

Pada setiap persero dibentuk Satuan

Pengawas Internal yang merupakan aparat

pengawasan internal perusahaan. Satuan

Pengawas Internal tersebut dipimpin oleh seorang

kepala yang bertanggung jawab kepada Direktur

Utama (Pasal 28 PP No.12 Tahun 1998). Satuan

Pengawas Internal bertugas membantu Direktur

Abdulkadir Muhammad, Hukum


Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1998, hlm.118-119.
Utama dalam melaksanakan pemeriksaan internal

keuangan dan pemeriksaan operasional Persero,

menilai pengendalian, pengelolaan, dan

pelaksanaan pada Persero yang bersangkutan, dan

memberi saran-saran perbaikan (Pasal 29 Ayat (1)

PP No.12 Tahun 1998).

Baik direksi maupun komisaris diangkat dan

diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang

Saham. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

merupakan organ PT yang tertinggi dalam PT

memegang segala kewenangan yang tidak

diberikan kepada direksi dan komisaris. Negara

sebagai pemegang saham mayoritas. Pemegang

saham mayoritas melalui kapasitas suaranya di

Rapat Umum Pemegang Saham dapat


mengendalikan Badan Usaha Milik Negara tersebut.

A. Perum

Perum adalah BUMN yang seluruh modanya

dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham,

yang bertujuan untuk kemampaatan umum berupa

penyediaan barang dan / atau jasa yang bermutu

tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan

berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan

(Pasal 1 Angka4 UU No.19 Tahun 2003). Pendirian

Perum diusulkan oleh menteri BUMN kepada

Presiden disertai dasar pertimbangan setelah dikaji

bersama dengan menteri teknik dan menteri

keuangan. Perum memperoleh status badan hukum

sejak diundangkannya peraturan pemerintah


tentang pendiriannya.(Pasal 35 UU No.19/2003).

Maksud dan tujuan perum tiada lain yaitu

sebagai penyelenggara usaha yang bertujuan untuk

kemamfaatan umum berupa penyediaan barang

dan / atau jasa yang berkualitas. Untuk mendukung

kegiatan usaha tersebut atas persetujuan menteri

BUMN dapat melakukan penyertaan modal dalam

badan usaha lain (Pasal 36 UU No.19/2003).

Pengelolaan Perum dilakukan organ perum

yaitu menteri, direski dan dewan pengawas (Pasal

37 UU No.19/2003). Menteri memiliki kewenangan

untuk memberikan persetujuan atas kebijakan

pengembangan perum yang diusulkan oleh direksi,

membuat kebijakan usaha. Namun demikian

berdasarkan Pasal 39 UU No.19/2003, Menteri


tidak bertanggungjawab atas segala akibat

perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak

bertanggungjawab atas kerugian Perum melebihi

nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan,

kecuali apabila menteri baik langsung maupun

tidak langsung dengan itikad buruk

memanfaatkan perum semata-mata untuk

kepentingan pribadi, terlibat dalam perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh Perum atau

langsung maupun tidak langsung secara melawan

hukum menggunakan kekayaan Perum (Pasal 39

UU No.19 / 2003).

Pengelolaan Perum dilakukan oleh direksi

yang diawasi oleh Dewan Pengawas. Direksi

ditetapkan oleh Menteri. Anggota direksi sewaktu-


waktu dapat diberhentikan berdasarkan Keputusan

Menteri. Dewan pengawas bertugas mengawasi

direksi termasuk memberikan nasihat kepada

direksi (Pasal 60 UU No.19/2003).

A. Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN

Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan

dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan

satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi

internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan

meningkatkan nilai perusahaan.

Tujuan dari restukturisasi adalah untuk

meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,

memberikan manfaat berupa deviden dan pajak

kepada negara, menghasilkan produk dan layanan


dengan harga yang kompetitif dan memudahkan

pelaksanaan privatisasi (Pasal 72 Ayat 2 UU

No.19/2003). Restrukturisasi meliputi restrukturisasi

sektoral , restrukturisasi perusahaan dan

restrukturisasi internal.

Privatisasi merupakan salah satu bentuk dari

restrukturisasi. Privatisasi diartikan sebagai

pernjualan saham persero, baik sebagian maupun

seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka

menginkatkan kinerja dan nilai perusahaan ,

memperbesar manfaat bagi negara dan

masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham

oleh masyarakat. Privatisasi BUMN telah menjadi

program pemerintah dalam rangka menutupi defisit

anggaran belanja negara. Privatisasi dilakukan


dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi,

kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban ,

dan kewajaran (Pasal 75 UU No.19/2003). Kriteria

BUMN yang diprivatisasi adalah industri / sektor

usahanya kompetitif atau industri / sektor usaha

yang unsur teknologinya cepat berubah (Pasal 76

Ayat (1) UU No.19/2003) .

Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah

persero yang bidang usahanya berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan hanya

boleh dikelola oleh BUMN, Persero yang bergerak

di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan

dan keamanan negara, Persero yang bergerak

disektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan

tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu


yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,

dan persero yang bergerak di bidang usaha sumber

daya alam yang secara tegas berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang

untuk diprivatisasi. (Pasal 77 UU No.19/2003).

Privatisasi dilakukan dengan cara penjualan saham

berdasarkan ketentuan pasar modal, penjualan

saham secara langsung kepada investor, dan

penjualan saham kepada manajemen dan / atau

karyawan yang bersangkutan. (Pasal 78 UU

No.19/2003). Untuk membahas dan memutuskan

kebijakan tentang privatisasi , pemerintah

membentuk komite privatisasi dengan tugas

merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan

persyaratan pelaksanaan privatisasi, menetapkan


langkah-langkah yang diperlukan untuk

memperlancar proses privatisasi, membahas dan

memberikan jalan keluar atas permasalahan

strategis yang timbul dalam proses privatisasi,

termasuk yang berhubungan dengan kebijakan

sektoral pemerintah. Komite privatisasi dapat

mengundang,meminta masukan, dan atau bantuan

instansi pemerintah atau pihak lain yang dipandang

perlu. Komite privatisasi secara berkala

melaporkan perkembangan pelaksanaan privatisasi

kepada Presiden (Pasal 79-80 UU No.19/2003).

Dalam melaksanakan privatisasi, Menteri

bertugas menyusun program tahunan privatisasi,

mengajukan program tahunan privatisasi kepda

komite privatisasi untuk memperoleh arahan, dan


melaksanakan privatisasi (Pasal 81 UU

No.19/2003). Privatisasi harus didahului dengan

tindakan seleksi atas perusahaan-perusahaan dan

berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah dan terhadap perusahaan

yang telah diseleksi, setelah mendapat

rekomendasi dari Menteri Keuangan, selanjutkan

disosialisasikan kepada masyarakat serta

dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

(Pasal 82 UU No.19/2003).

B. Potret Privatisasi BUMN Sebagai Suatu

Proses Pembelajaran

Pada awal tahun 1994, beberapa saat

setelah menyampaikan Rencana Anggaran dan


Belanja Negara (RAPBN) tahun 1994-1995,

Presiden Soeharto secara khusus mengungkapkan

harapannya agar segera dilakukan privatisasi

terhadap BUMN yang dianggap sudah mandiri.

Indosat merupakan BUMN kedua setelah Semen

Gresik untuk diprivatisasi. Privatisasi Indosat

dilakukan dengan penjulan saham di pasar modal

(go public) dengan cara dual listing: di dalam dan di

luar negeri. Khusus penawaran saham perdana di

luar negeri, New York Stock Exchange,

dimaksudkan sebagai membangun citra Indonesia

diluar negeri dan membuka jalan bagi BUMN lain

masuk bursa luar negeri.

Dalam penawaran perdana, Pemerintah

memutuskan untuk melepas 35% saham, terdiri dari


25% dijual di Bursa Saham New York dan 10% di

bursa dalam negeri. Dengan demikian saham

pemerintah di PT Indosat (Persero) tinggal 65%

lagi. Tanggal 18 Oktober pagi di New York secara

resmi saham Indosat diperdagangkan di Bursa

Saham New York (Wall Street) dengan harga

perdana 32 dolar AS per ADS. Pada perdagangan

pertama,harga saham Indosat sempat melonjak

hingga 37,50 dolar AS per ADS dan ditutup pada

37,375 AS per ADS. Pada tanggal 19 Oktober

1994, saham Indosat secara resmi dicatatkan di

Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya

dengan harga penawaran Rp 7000,- per lembar.

Pada perdagangan hari pertama di Bursa Efek

Jakarta, harga saham Indosat sempat


diperdagangkan pada harga Rp 9000,- per lembar

saham sebelum akhirnya ditutup pada level Rp

8.475,- per lembar saham. Dari hasil penjualan

saham tersebut, dihasilkan dana sebesar Rp 1,16

Miliar dolar AS atau dikonversi dengan rupiah

sebesar Rp 2,5 3 triliun 9.

Posisi kepemilikan sebesar Rp 65% saham

pemerintah di PT Indosat bertahan selama tujuh

setengah tahun,hingga Mei 2002. Dengan alasan

untuk menambal APBN Pemerintah Megawati

melalui tangan Menteri Negara BUMN yaitu

Laksamana Sukardi, pada tanggal 17 Mei 2002

menjual 8,11% sahamnya. Dengan demikian

pemerintah mimiliki 56,89 % saham Indosat. Pada

Bondan Winarno, Manajemen Transformasi


BUMN, Pengalaman PT Indosat, hlm.209
penjualan saham tersebut, awalnya pemerintah

akan melepas 11,32% saham, namun dalam

pelaksanaannya terjadi kekacauan, bahkan nyaris

batal. Kekacauan tersebut terjadi bermula dari tidak

adanya koordinasi antara manajemen Indosat,

Kantor Meneg BUMN, pelaksana private placement

dan pelaksana rights issue. Adanya benturan

kepentingan di belakang peristiwa tersebut dan

adanya dugaan insider trading yang berdasarkan

penyelidikan Bapepam terdapat 13 pihak yang

terlibat, diantaranya Merril Lynch Indonesia, ABN

Amro Asia Securities, PT Danareksa Securities,

Credit Suisse First Boston, serta direksi Indosat.

Sayangnya sampai saat ini, Bapepam belum

mengambil keputusan kongkrit atas kasus dugaan


insider trading tersebut.

Pada tanggal 17 Mei 2002 kembali Presiden

Megawati melalui Kantor Meneg BUMN akan

melepas 41,94% saham pemerintah di Indosat.

Pada hari Sabtu 14 Desember 2002, saat hari libur

kerja, perundingan dilakukan antara Kantor Meneg

BUMN, direksi Indosat dan Sub Komisi Privatisasi

Komisi IX DPR dan manajemen STT serta pihak

lain yang terkait dalam transaksi itu. Perundingan

berlangsung hingga larut malam. Perundingan

dilanjutkan pada hari Minggu, 15 Desember 2002,

namun pihak yang terlibat berkurang yaitu Sub

Komisi Privatisasi Komisi IX DPR. Pada penjualan

41,94% terdapat keganjilan yaitu bidder yang

diumumkan sebagai pemenang STT namun yang


menandatangani perjanjian jual beli ternyata

Indonesia Communications Limited (ICL) , sebuah

perusahaan yang didirikan di Mauritius. Dari sisi

penerimaan pajak deviden, pemerintah kehilangan

potensi sebesar 25%, karena tax treaty hanya 5%

sedangkan pajak atas transaksi itu di Indonesia

mencapai 30%. Penggunaan Special Purposes

Vehicle (SPV) di Mauritius dimaksudkan untuk

menghindari pajak 25% sehingga Pemerintah

mengalami kerugian. 100 % saham ICL dimiliki oleh

STT. Sekarang Pemerintah Indonesia hanya

memiliki 14,94% saham Indosat 10.

10
Barisan Penyelamat Aset Negara,
Kejahatan Terhadap Negara Kasus Divestasi
Indosat, Jakarta, 2003, hlm.8-13
BAB III

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

A. Good Corporate Governance

Good Corporate Governance adalah sistem dan

struktur untuk mengelola perusahaan dengan tujuan

meningkatkan nilai pemegang saham

(stakeholders’value) serta mengalokasi berbagai

pihak yang berkepentingan dengan perusahaan


(stake holders) seperti kreditor, supplier, asosiasi

usaha, konsumen, pekerja, pemerintah dan

masyarakat luas. OICD ( Organization for economic

co-operation and development) mendefinisikan

corporate governance sebagai sekumpulan

hubungan antara pihak manjemen perusahaan,

board dan pemegang saham, dan pihak lain yang

mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Good

corporate governance juga mesyaratkan adanya

struktur, perangkat untuk mencapai tujuan, dan

pengawasan atas kinerja. Good corporate yang

baik dapat memberikan perangsang aatu insentif

yang baik bagi board dan manajemen untuk

mencapai tujuan yang merupakan kepentingan

perusahaan dan pemegang saham dan harus


memfasilitasi pemonitoran yang efektif, sehingga

mendorong perusahaan untuk menggunakan

sumber daya dengan lebih efisien.

Good governance dapat dibedakan ke dalam

dua kelompok, good government governance dan

good corporate governance. Good government

governance berkaitan dengan penerapan good

governance di birokrasi pemerintahan, sedangkan

good corporate governance merupakan penerapan

good governance di sektor swasta.11 Good

corporate governance hanya dapat diterapkan

pada lingkungan dimana pemerintah telah

menerapkan good government governance. Tiga

11

Iman Sjahputra Tunggal, Memahami


Konsep Good Corporate Governance, Harvarindo,
Jakarta, 2002
hal penting yang urgen untuk menciptakan clean

government adalah pemberantasan KKN ( korupsi,

kolusi, dan nepotisme), disiplin anggaran dan

penghapusan dana non budgetair, serta

peningkatan fungsi pengawasan.

Prinsip-prinsip good corporate governance

adalah tanggung jawab (responsibility),

akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness),

dan transparansi (transparancy) 12. Inti dari prinsip

tanggung jawab adalah bahwa selain bertanggung

jawab untuk menjalankan perusahaan kepada

pemegang saham, direksi dan komisaris serta

jajarannya juga bertanggung jawab kepada

stakeholders lainnya, termasuk karyawan dan

12
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Mengelola
Kredit Berbasis Good Corporate Governace,
Baliirung & Co, Yogyakarta, 2003, hlm.16
masyarakat. Perusahaan memiliki tanggung jawab

untuk mematuhi hukum dan ketentuan / peraturan

yang berlaku, termasuk tanggap lingkungan

dimana perusahaan berada.

Inti dari prinsip akuntabilitas adalah bahwa

terciptanya sistem pengendalian yang efektif

didasarkan atas distribusi dan keseimbangan

kekuasaan di antara anggota direksi, pemegang

saham, komisaris dan pengawas. Para komisaris,

direksi dan jajarannya wajib memiliki kemampuan

dan integritas untuk menjalankan usaha sesuai

aturan dan ketentuan yang berlaku. Sebagai

contoh,kewenangan board of commisioners dan

board of directions diatur dalam anggaran dasar

dan anggaran rumah tangga perusahaan yang


dilaksanakan secara konsekuen. Inti dari prinsip

keadilan adalah bahwa setiap keputusan yang

diambil senantiasa memperhatikan kepentingan

pemegang saham mayoritas. Atau dengan kata lain,

memberikan perlindungan kepada pemegang

saham minoritas dan stakeholders lainnya dari

rekayasa dan transaksi yang bertentangan dengan

peraturan yang berlaku.

Inti dari prinsip transparansi adalah

meningkatkan keterbukaan dari kinerja

perusahaan secara teratur dan tepat waktu serta

benar. Dalam pengambilan keputusan, direksi dan

dewan komisaris senantiasa berupaya

mengetengahkan keterbukaan kepada para

stakeholders.
A. Analisis Penerapan Good Corporate

Governance Dalam Privatisasi Tahap Ke tiga

PT Indosat (Persero) Tbk

Privatisasi PT Indosat tahap ketiga atau

lebih dikenal dengan divestasi 41,95% saham PT

Indosat ke STT telah banyak mengundang kritikan.

Apakah proses divestasi tersebut telah

dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip tata

kelola perusahaan yang baik (good corporate

governance) atau bahkan mengabaikan prinsip-

prinsip tersebut. Berikut ini analisis penerapan

prinsip-prinsip good corporate governance dalam

divestasi saham Indosat.

1. Prinsip Keterbukaan (Transparancy)


Inti dari prinsip keterbukaan (Transparency) adalah

meningkatkan keterbukaan (disclosure) dari kinerja

perusahaan secara teratur dan tepat waktu (timely

basis) serta benar (accurate). Dalam mengambil

keputusan, direksi dan dewan komisaris senantiasa

berupaya mengetengahkan keterbukaan kepada

para stakeholder, dengan lima karakteristik yaitu

komprehensif, relevan, frindly, reliable dan

comparable. Privatisasi tahap ketiga yaitu penjualan

41,94% saham pemerintah di Indosat yang

dilakukan hari Sabtu dan Minggu yang merupakan

hari diluar hari kerja, disamping itu kontrak

pembelian ditandatangani oleh ICL sedangkan

dalam pengumuman resmi Kantor Meneg BUMN

adalah STT. Publik merasa bingung siapa


sebenarnya pemenang tender apakah ICL atau STT

meski dikemudian hari terungkap bahwa 100%

saham ICL dimiliki oleh STT. Meski demikian kedua

perusahaan tersebut baik ICL maupun STT

merupakan badan hukum sendiri dalam arti terpisah

satu dengan yang lain meski mereka dalam satu

grup. Pemerintah, direksi dan komisaris PT Indosat

dalam melakukan divestasi saham telah

mengabaikan prinsip keterbukaan.

2. Prinsip Akuntabilitas (accountability)

Inti dari prinsip akuntabilitas adalah bahwa

terciptanya pengendalian yang efektif didasarkan

atas distribusi dan keseimbangan diantara anggota

direksi, komisaris, dan pengawas. Para Komisaris,

direksi, dan jajarannya wajib memiliki kemampuan


dan integritas untuk menjalankan usaha sesuai

dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.

Penjualan saham 41,94% melabrak berbagai

atuaran dan ketentuan yang berlaku, seperti

ketentuan UU No. 1 Tahun 1995. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 6 ayat 6.3 Share Purchase

Aggrement (SPA) disebutkan bahwa governing law

yang diberlakukan adalah the law of the Repubrik

Indonesia. Dengan begitu, penjualan saham Indosat

harus memenuhi ketentuan-ketentuan UU No. 1

Tahun 1995.13 Penjualan saham tersebut telah

mengakibatkan pengalihan pengendalian

perusahan karena yang semula Pemerintah

13 Sutan Remy Sjahdeini, Menabrak 1001


Aturan, Makalah Seminar “ Menggugat Divestasi
Indosat” yang diselenggarakan ILUNI dan Apnatel pada
tanggal 28 Januari 2003
Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas

menjadi STT sebagai pemegang saham mayoritas.

Perbuatan pengambialihan dari Pemerintah ke STT

tidak memenuhi Pasal 103 ayat 3 UUPT dimana

setiap tindakan pengambilalihan perseroan harus

diakukan dengan membuat rencana pengabilalihan

yang disusun direksi perseroan yang akan

mengambilalihan dan yang akan diabilalih dan

rencana tersebut harus disetujui oleh RUPS

perusahan yang diambil alih maupun perusahaan

pengambilalih. Dalam penjualan saham tersebut

tidak dilakukan RUPS terlebih dahulu , oleh karena

itu melanggar Pasal 103 ayat 3 UUPT.

Pengambialihan juga harus memperhatikan Pasal

104 ayat (1) dimana tindakan pengambilaihan harus


memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang

saham minoritas dan karyawan dan kepentingan

masyarakat dan pesaingan sehat dalam melakukan

kegiatan usaha. Pihak-pihak tersebut tidak

diperhatikan , hal tersebut terlihat bahwa karyawan

PT Indosat protes dengan kebijakan privatisasi

tersebut.

Dengan demikian dalam divestasi 41,95% saham

Indosat, prinsip akuntabilitas tidak dilaksanakan.

3. Pinsip Keadilan (fairness)

Inti dari prinsip keadilan adalah bahwa setiap

keputusan yang diambil senantiasa memperhatikan

kepentingan pemegang saham (stake holders).

Atau dengan kata lain, memberikan perlindungan

kepada pemegang saham minoritas dan


stakeholders lainnya dari rekayasa dan transaksi

yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku..

Dalam pengambilan keputusan, direksi dan dewan

komisaris senantiasa berupaya mengetengahkan

keterbukaan kepada para stakeholders. Prinsip ini

diabaikan, hal tersebut terlihat dari menjelang

divestasi, harga saham PT Indosat Persero (Tbk)

antara Rp 18.000,- sampai Rp 19.000,- per lembar,

namun penjualan saham ke STT harganya Rp

12.900,- per lembar saham. Terlalu jauh antara

harga pasar saham dengan harga penjulan ke STT.

Perbedaan yang mencolok ini telah mendorong

terjadinya opini transaksi yang tidak wajar atau

transaksi yang syarat kolusi, korupsi dan

nepotisme. Nilai jual yang rendah ini telah


merugikan pemegang saham minoritas karena

mengalami kerugian yang luar biasa dari penurunan

harga. Disini terjadi ketidakadilan atau

ketidakjujuran karena pemegang saham minoritas

tidak diikutsertakan bahkan tidak ada satu RUPS

pun baik biasa ataupun luar biasa yang

mengagendakan divestasi 41,94% saham

Pemerinah Indonesia ke STT/ ICL.

4. Prinsip Tanggung jawab (Responsibility)

Inti dari tanggung jawab adalah bahwa selain

bertanggung jawab untuk menjalankan perusahaan

kepada pemegang saham, direksi dan komisaris

serta jajarannya juga bertanggung jawab kepada

stakeholders lainnya, termasuk karyawan dan

masyarakat. Perusahaan memiliki tanggung jawab


untuk mematuhi hukum dan ketentuan / peraturan

yang berlaku, termasuk tanggap lingkungan

dimana perusahaan berada. Transaksi divestasi PT

Indosat (Persero) Tbk ternyata selain telah

melabrak berbagai aturan hukum yang ada

sehingga diragukan aspek legalitasnya, juga telah

mengundang reaksi keras dari serikat perkerja PT

Indosat yang mana mereka tidak menyetujui proses

divestasi tersebut, dan lebih-lebih lagi divestasi

tersebut dilakukan kepada swasta yang juga

perusahaan asing yang belum tentu kebijakan-

kebijakan tidak akan merugikan masyarakat dan

Negara Indonesia.
BAB IV

MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI

A. Merger

Merger adalah penggabungan dua perusahaan

atau lebih di mana satu perusahaan masih eksis

sedangkan perusahaan lain yang bergabung

bubar.

Notasi dari proses merger yaitu

PT A + PT B = PT A

Proses merger yaitu sebagai berikut:

a. Masing masing Direksi PT A dan PT B

membuat usulan merger kepada RUPS

masing-masing.
b. RUPS membahas usulan merger, untuk

kemudian jika disepakati oleh RUPS maka

proses merger akan dilakukan.

c. Direksi PT A dan PT B bertemu membiarakan

berbagai hal diantarnya adalah karyawan,

supplier, atau pihak ketiga lainnnya.

d. Direksi perusahaan membuat akta

penggabungan.

Perbuatan hukum penggabungan perseroan

harus memperhatikan ketentuan Pasal 104 ayat

(1) UUPT yaitu:

a. Kepentingan perseroan, pemegang saham

minoritas dan karyawan perseroan;

b. Kepentingan masyarakat dan persaingan

sehat dalam melakukan usaha.


Penggabungan perseroan tidak mengurangi

hak pemegang saham minoritas untuk

menjual sahamnya dengan harga yang wajar.

Ini berarti bahwa pemegang saham minoritas

berhak untukmenjual sahamnya dengan

harga yang wajar, yaitu harga yang berlaku

umum di pasar. Apabila hak itu tidak

terlaksana maka pemegang saham minoritas

dapat tidak menyetujui penggabungan yang

diajukan oleh direksi dan melaksanakan

haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal

55 UUPT.

Keputusan penggabungan

perseroan sah apabila diambil sessuai

dengan ketentuan Pasal 74 Ayat (1) dan


Pasal 76 UUPT. Keputusan RUPS diambil

berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Keputusan sah apabila dihadiri oelh

pemegang saham yang mewakili paling

sedikit ¾ dari jumlah seluruh saham dengan

hak suara yang sah dan disetujui oleh paling

sedikit ¾ dari dari jumlah suara tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PP No.27/98

penggabungan mengakibatkan:

a. pemegang saham perseroan yang

menggabungkan diri menjadi pemegang

saham persweroan yang menerima

penggabungan;

b. aktiva dan pasiva perseroan yang

menggabungkan diri beralih karena


hukum kepada perseroan yang menerima

penggabungan.

Penggabungan pada perseroan dengan

jenis usaha bank, tunduk pada pengaturan

Undang-Undang No.7 Tahun 1992

sebagaimana telah dirubah dengan Undang-

Undang No.10 Tahun 1998.

C. Konsolidasi

Konsolidasi adalah peleburan dua perusahaan

atau lebih menjadi satu peusahaan baru hasil

peleburan. Kedua perusahaan yang melebur

bubar.

Notasi dari proses konsolidasi yaitu:

PT A + PT B = PT C
Perbuatan hukum perseroan harus

memperhatikan Pasal 104 ayat (1) UUPT.

Proses merger yaitu :

a. Direksi perusahaan yang akan melakukan

peleburan harus membuat usulan peleburan.

b. Usulan peleburan harus diajukan ke RUPS

untuk mendapat persetujuan.

c. Pembuatan akta peleburan.

d. Pendirian perusahaan baru hasil peleburan.

D. Akuisisi

Akuisisi adalah pengambilalihan suatu

perusahaan oleh perusahaan lain dengan

konsekuensi hukum, perusahaan pengambilalih

mengendalikan perusahaan yang diambil alih.


Notasi dari proses akuisisi yaitu:

PT A + PT B = PT A mengendalikan PT B.

Proses akuisisi yaitu :

a. Deriksi membuat rancangan

pengambilalihan.

b. Rencana pengalihan harus mendapat

persetujuan dari RUPS,

c. Dibuatkan akta pengalihan (akta akuisisi).

Perbuatan hukum akuisisi harus

memperhatikan:

a. Kepentingan perseroan, pemegang saham

minoritas dan karyawan perseroan.

b. Kepentingan masyarakat dan persaingan

usaha dalam melakukan usaha.

c. Kepentingan kreditor.
Pengambil alihan dapat dilakukan melalui

pengambilaihan asset dan melalui

pengambilalihan saham. Akuisisi asset

berbeda dengan akuisisi saham. Pada

akusisi aset yang dibeli


BAB V

KOPERASI

Koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun

1992 Tentang Perkoperasian yang selanjutnya

disebut UUP. Koperasi adalah badan usaha yang

beranggotakan orang-seorang atau badan hukum

koperasi dengan melandaskan kegiatannya

berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai

gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas

kekeluargaan (Pasal 1 Angka 1 UUP). Tujuan

utama didirikan koperasi adalah untuk

mensejahterakan anggotanya karena koperasi

didirikan untuk dan oleh anggota koperasi (Pasal 3

UUP). Menurut Pasal 6 UUP, ada dua jenis


koperasi yakni koperasi primer dan koperasi

sekunder. Koperasi primer didirikan oleh minimal 20

orang sedangkan koperasi sekunder didirikan oleh

minimal 3 koperasi primer.

Prosedur pendirian koperasi sbb:

a) Rapat pembentukan koperasi. Untuk

koperasi primer didirikan oleh minimal 20

orang anggota, sedangkan untuk koperasi

sekunder didirikan oleh minimal 3 koperasi

primer. Hasil kesepakatannya dituangkan

dalam berita acara;

b) Pembuatan akta pendirian koperasi di

notaris; Dalam akta pendirian koperasi

memuat anggaran dasar yang sekurang-

kurangnya memuat:
- daftar nama pendiri;

- nama dan tempat

kedudukan;

- maksud dan tujuan

serta bidang usaha;

- ketentuan mengenai

keanggotaan;

- ketentuan mengenai

rapat anggota;

- ketentuan mengenai

pengelolaan;

- ketentuan mengenai

permodala;

- ketentuan mengenai

jangka waktu
berdirinya;

- ketentuan mengenai

pembagian sisa hasil

usaha;

- ketentuan mengenai

sanksi.

c) Pengajuan permohonan pendirian koperasi

kepada menteri koperasi;

a) Pengesahan akta pendirian

koperasi;

e) Pengumuman pendirian koperasi di Berita

Negara.

Koperasi merupakan badan hukum, status

badan hukum diperoleh koperasi sejak adanya

pengesahan akta pendirian koperasi oleh


pemerintah dalam hal ini menteri koperasi (Pasal 9

UUP).

Dalam melakukan usahanya, koperasi harus

mengikuti tujuh prinsip pengelolaan koperasi (Pasal

5 UUP) yaitu:

a) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;

Sukarela maksudnya untuk menjadi anggota

koperasi tidak ada paksaan, mau masuk

menjadi anggota ataupun mau keluar jadi

anggota terserah dari anggota sendiri. Terbuka

maksudnya untuk menjadi anggota koperasi

tidak dibatasi oleh suku, agama,ras dan

golongan, asalkan memenuhi syarat untuk

diangkat menjadi anggota maka dapat menjadi

anggota.
b) Pengelolaan koperasi dilakukan secara

demokratis;

Pengelolan koperasi dilakukan dengan

melibatkan peran serta aktif semua anggota.

Dalam setiap keputusan yang akan dibuat,

musyawarah untuk mufakat selalu ditempuh

dahulu sebelum dilakukan pemungutan suara.

Dalam musyawarah satu anggota memiliki satu

suara dan suara tidak identik dengan besarnya

simpanan pokok,wajib dan sukarela dari

anggota.

c) Pembagian sisa hasil usaha dilakukan

secara adil sebanding dengan jasa usaha

masing-masing anngota;

Sisa hasil usaha yang merupakan keuntungan


koperasi dibagikan kepada para anggota

dengan perimbangan sesuai dengan jasa para

anggota. Jasa disini adalah keaktipan dari para

anggota dalam koperasi karena dalam koperasi

anggota koperasi tidak hanya sebagai pemilik

koperasi tetapi juga konsumen koperasi.

d) Pemberian balas jasa terbatas pada modal;

Dalam pengelolan koperasi diusahakan agar

biaya untuk menjalankan usaha koperasi tidak

lebih besar dari sisa hasil usaha atau

keuntungan dari koperasi itu sendiri, dengan

kata lain efisiensi dalam pengelolaan koperasi

mutlak diperlukan.

e) Kemandirian koperasi;

Pertumbuhan koperasi tidak didapatkan dari


adanya proteksi, adanya bantuan dari pihak lain

tetapi pertumbuhan usaha koperasi karena

koperasi itu sendiri. Tidak ada ketergantungan

koperasi dengan usaha lain. Koperasi harus

dapat mandiri.

f) Kerjasama antar koperasi;

Antara koperasi satu dengan koperasi lain

diperlukan adanya kerjasama sehingga

koperasi menjadi kuat dan dapat bersaing

dengan pelaku ekonomi lainnya yaitu badan

usaha milik negara dan badan usaha milik

swasta.

g) Pendidikan koperasi.

Pengurus dan pengawas koperasi diangkat dari

anggota koperasi oleh karena itu semua anggota


koperasi harus siap untuk menjadi pengurus dan

pengawas koperasi. Kesiapan tersebut

diwujudkan dengan adanya pendidikan koperasi.

Ada tiga perangkat organisasi koperasi

yakni:

a) Rapat Anggota, menurut Pasal 22 UUP,

Rapat Anggota merupakan pemegang

kekuasaan tertinggi dalam tata kehidupan

koperasi. Keputusan Rapat Anggota diambil

berdasarkan musyawarah untuk mufakat,

namun apabila tidak tercapai keputusan

maka dilakukan pengambilan keputusan

berdasarkan suara terbanyak (Pasal 24

UUP), Rapat Anggota dilakukan minimal

sekali dalam setahun, disamping itu ada


rapat anggota luar biasa yang

diselenggarakan lebih dari satu kali

tergantung dari kebutuhan koperasi itu

sendiri. Rapat Anggota juga memiliki

kewenangan mengangkat dan

memberhentikan pengurus dan pengawas,

merubah anggaran dasar dan

kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lain yang

bersifat strategis bagi koperasi;

b) Pengurus , menurut Pasal 29 UUP, pengurus

dipilih dari dan oleh anggota koperasi.

Pengurus merupakan pemegang kuasa rapat

anggota dan untuk pertama kalinya nama-

nama pengurus dicantumkan dalam akta

pendirian koperasi. Pengurus mewakili


koperasi di dalam maupun diluar pengadilan;

c) Pengawas, menurut Pasal 38 UUP,

Pengawas dipilih dari dan oleh anggota

koperasi dalam rapat anggota, oleh karena

itu pengawas bertanggung jawab kepada

rapat anggota. Disamping bertugas

mengawasi pengurus dalam mengelola

koperasi, pengawas juga diberi kewenangan

untuk memberi saran kepada pengurus

koperasi baik bersifat umum maupun khusus.

Modal koperasi menurut Pasal 41 UUP

terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.

Modal sendiri dapat berasal dari simpanan

pokok, wajib dan sukarela dari para

anggota,dana cadangan, dan hibah. Simpanan


pokok adalah simpanan yang dilakukan sekali

dalam masa keanggotaan koperasi. Simpanan

wajib adalah simpanan yang wajib dibayar oleh

anggota koperasi. Simpanan sukarela adalah

simpanan yang jumlah maupun waktunya tidak

dibatasi oleh koperasi. Modal pinjaman adalah

modal yang diperoleh koperasi dari anggota,

koperasi lain, bank dan lembaga pembiayaan,

penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya,

dan sumber lain yang sah. Disamping itu,

koperasi dapat memupuk modal dari modal

penyertaan baik yang bersumber dari

pemerintah maupun dari masyarakat. Pihak

yang menyertakan modal ikut menanggung

risiko, namun dalam rapat anggota tidak


memiliki hak suara. Pemupukan modal

penyertaan dilakukan dengan perjanjian yang di

buat dihadapan notaris.

Pembubaran koperasi menurut Pasal 46

UUP dapat dilakukan berdasarkan keputusan

rapat anggota atau berdasarkan keputusan

pemerintah. Pembubaran koperasi dengan

putusan pemerintah dilakukan apabila:

a) terdapat bukti bahwa koperasi yang

bersangkutan tidak memenuhi ketentuan

undang-undang;

b) kegiatannya bertentangan dengan

ketertiban umum dan atau kesusilaan;

c) kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi

diharapkan.
Setelah koperasi bubar maka dilanjutkan

dengan penyelesaian. Selama dalam proses

penyelesaian, koperasi tersebut tetap ada dengan

sebutan koperasi dalam penyelesaian.

BAB VI

USAHA KECIL DAN KEMITRAAN

Pemerintah Indonesia telah mengatur usaha

kecil melalui Undang-Undang yaitu Undang-Undang


No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Usaha kecil

adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil

dan memenuni kekayaan bersih atau hasil

penjualan tahunan serta kepemilikian yang

memenuhi Kriteria usaha kecil sebagaimana diatur

dalam Pasal 5 yaitu:

1. Memiliki kekayaaan bersih paling banyak Rp

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha

atau memiliki hasil penjualan tahunan paling

banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2. Milik warga negara Indonesia;

3. Berdiri sendiri,bukan merupakan anak

perusahaan atau cabang perusahaan yang

dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung


maupun tidak langsung dengan usaha

menengah atau usaha besar; dan

4. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha

yang tidak berbadan hukum,atau badan usaha

yang berbadan hukum termasuk koperasi.

Sedangkan usaha menengah dan besar

adalah kegaitan ekonomi yang mempunyai kreteria

kekayaan besih atau hasil penjualan tahunan lebih

besar dari kekayaan besih dan hasil penjulan

tahunan usaha kecil.

Perlindungan usah kecil dilakukan dengan

membuat kebijakan untuk menentukan peruntukan

temapt usaha , mencadangkan bidan usaha dan

jensi kegitan usaha yang memiliki, mengutakanan

penggunakan produk yang dihasilkan usaha kecil,


megantur pengadaan barang atau jsaa dan

pemborongan pekerjaan kerja pemerintah dan

memberikan bantuan konsultasi hukum dan

pembelaan.(Pasal 13 UU No.9/95).

Dalam rangka memberdayakan usaha kecil

maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah No.44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.

Kemitraan adalah kerja sama usaha kecil dengan

usaha menengah dan atau usaha besar dengan

memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling

memperkuat dan saling menguntungkan.

Pelaksanaan kemitraan dilakukan melalui pola-pola

kemitraan. Adapun pola-pola kemitraan dimaksud

yaitu: pola inti plasma, pola dagang besar, sub

kontrak dan pola waralaba (Pasal 3 PP


No.44/1997).

Pola inti plasma maksudnya usaha besar

dan usaha menengah sebagai inti membina dan

mengembangkan usaha kecil yang menjadi

plasmanya dalam penyediaan dan penyimpanan

lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian

bimbingan teknis menajemen usaha dan produksi,

perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi

yang diperlukan, pembiayaan dan bantuan lainnya.

Pola sub kontrak yaitu pola di mana usaha

besar dan usaha menengah memberikan bantuan

berupa: kesempatan untuk mempekerjakan

sebagian produksi dan atau komponen,

kesempatan yang seluas-luasnya dalam

memperoleh bahan baku yang diproduksinya


secara berkesinambungan dengan jumlah dan

harga yang wajar, bimbingan dan kemampuan

teknis produksi atau manajemen, perolehan,

penguasaan dan peningkatan teknologi yang

diperlukan dan pembiayaan.

Pola dagang umum yaitu kemitraan antara

usaha besar dan atau usaha menengah dengan

usah akecil dapat berlansung dalam bentuk

kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi

usaha,atau penerimaan pasokan dari usaha kecil

mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang

diperlukan oleh usaha besar dan atau usaha

menengah yang bersangkutan.

Pola waralaba yaitu pola di mana usaha

menengah dan atau usaha besar yang memiliki


kinerja dan reputasi yang baik memberikan izin

kepada usaha kecil untuk menggunakan merek dan

cara usaha usaha menengah dan atau besar.

Usaha besar, usaha menengah dan usaha

kecil yang melaksanakan kemitraan mempunyai

hak untuk meningkatkan efisiensi usaha dalam

kemitraan, mendapatkan kemduhan untuk

melakukan kemitraan, membaut perjanjian

kemintran, dan membatalkan perjanjian bila salah

satu pihak mengingkari. Usaha besar dan usaha

menengah mempunyai hak untuk mengetahui

kinerja kemitraan usaha kecil mitra usahanya,

sedangkan usaha kecil yang bermitra memiliki hak

untuk memperoleh pembinaan dan pengembangan

dari usaha besar, dan atau usaha mengengah


mitranya dalam satu aspek atau lebih tentang

pemasaran, sumber daya manusia, permodalan

dan teknologi.

BAB VII

BADAN HUKUM YAYASAN

A. Pengaturan dan Pengertian Yayasan

Pengaturan yayasan sebelum lahirnya


Undang-Undang No.16 Tahun 2001 menggunakan

hukum kebiasaan yaitu kebiasan-kebiasaan pendiri

yayasan. Setelah diberlakukannya Undang-Undang

No.16 Tahun 2001 Tentang Yayasan yaitu satu

tahun sejak diundangkan yaitu Tanggal 6 Agustus

2001 dan berlaku tanggal 6 Agustus 2002. 2 tahun

kemudian tepatnya tahun 2004 dilakukan

perubahan terhadap Undang-Undang No.16 Tahun

2001 dengan Undang-Undang No.28 Tahun 2004

yang mulai berlaku satu tahun sejak diundangkan,

diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004, maka

Undang-Undang No.28 Tahun 2004 mulai berlaku

sejak tanggal 6 Oktober 2005.

Saat ini, Undang-Undang No.28 Tahun 2004

belum diberlakukan, sehingga dasar pengaturan


yayasan sekarang yaitu Undang-Undang No.16

Tahun 2001 Tentang Yayasan. Jika Undang-

Undang No.28 Tahun 2004 efektif diberlakukan

maka tidak berarti keseluruhan muatan Undang-

Undang No.16 Tahun 2001 semuanya dinyatakan

tidak berlaku, Hal ini didasarkan karena perubahan

undang-undang tersebut tidak dilakukan secara

keseluruhan namun terhadap beberapa pasal-pasal

saja, sehingga pasal-pasal yang tidak dirubah

dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2001 tetap

berlaku.

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

No.16 Tahun 2001, Yayasan adalah badan hukum

yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan

diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di


bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang

tidak mempunyai anggota. Dari pengertian yuridis

tersebut menunjukan bahwa yayasan merupakan

lembaga nir laba artinya lembaga yang tujuan

pokoknya tidak semata-semata mencari kentungan.

Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 3 ayat (1)

yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk

menunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan

dengan cara mendirikan badan usaha dan / atau

ikut serta dalam suatu badan usaha. Kegiatan

usaha yang dapat dilakukan yayasan beserta

batatasannya diatur dalam Pasal 7 dan 8 yaitu :

mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai

dengan maksud dan tujuan yayasan, yayasan dapat

melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk


usaha yang prosepektif dengan ketentuan paling

banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan yayasan,

anggota pembina, pengurus dan pengawas dialrang

merangkap sebagai anggota direksi atau pengurus

dan anggota dewan komisaris atau pengawas dari

badan usaha.

Yayasan tidak boleh membagikan hasil

kegiatan usaha kepada pembina, pengurus dan

pengawas (Pasal 3 ayat (2)). Namun demikian

berdasarkan Pasal 6, yayasan wajib membayar

segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh

organ yayasan dalam rangka menjalankan tugas

yayasan.

Sepintas lalu, kedua pasal tersebut saling

bertentangan, namun jika ditelaah lagi lebih


mendalam, ternyata kedua pasal tersebut tidak

saling bertentangan karena yang tidak

diperbolehkan dibagikan kepada organ yayasan

adalah harta kekayaan yayasan , namun jika

digunakan untuk keperluaan biaya organ yayasan

dimungkinkan. Ketegasan dari Pasal dijembantani

oleh Pasal 5 yang mengatur mengenai larangan

pengalihan kekayaan yayasan kepada pembina,

pengurus dan pengawas, kecuali anggaran dasar

yayasan menentukan bahwa pengurus bukan

pendiri yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri,

pembina dan pengawas, serta melaksanakan

pengurusan yayasan secara langsung dan penuh.

B. Proses Pendirian Yayasan


Pendiriaan yayasan dilakukan dengan 3 tahap

yakni:

1. Pembuatan akta pendirian yayasan di

Notaris (Pasal 9);

2. Permohonan pengesahan dari Menteri

Kehakiman (Pasal 12);

3. Pengumuman pendirian yayasan di

Tambahan Berita Negara (Pasal 24).

Yayasan memperoleh status sebagai badan

hukum setelah akta pendirian yayasan

mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman

dan Hak Asasi Manusia. Permohonan

pengesahan dilakukan melalui notaris yang

membuat akta pendirian yayasan yang harus

disampaikan dalam jangka waktu 10 hari


terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan

ditandatangani. Menurut Pasal 13 A perbuatan

hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama

yayasan sebelum yayasan memperoleh status

badan hukum menadi tanggung jawab

pengurus secara renteng.

C. Kekayaan Yayasan

Kekayaan yayasan diatur dalam Pasal 26 dan

27. Kekayaan yayasan berasal dari sejumlah

kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang

atau barang, selain itu kekayaan yayasan dapat

diperoleh dari sumbangan atau bantuan yang

tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, serta

perolehan lain yang tidak bertentangan dengan


angggaran dasar yayasan dan atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku .

D. Organ Yayasan

Yayasan memiliki organ sebagai berikut:

1. Pembina

Pembina yaitu Organ yayasan yang mempunyai

kewenangan yang tidak diserahkan kepada

pengurus atau pengawas, kewenangan tersebut

yaitu perubahan anggaran dasar, pengangkatan

dan pemberhentian pengurus dan anggota

pengawas, penetapan kebijakan umum

yayasan, pengesahan program kerja dan

rancangan anggaran tahunan yayasan serta

penetapan keputusan mengenai penggabungan

atau pembubaran yayasan. (Pasal 28).


Berdasarkan Pasal 29, pembina tidak boleh

merangkap sebagai anggota pengurus dan /

anggota pengawas. Pembina mengadakan rapat

sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.

2. Pengurus

Pengurus merupakan organ yayasan yang

melaksanakan kepengurusan yayasan.

Pengurus tidak boleh merangkap sebagai

pembina atau pengawas (Pasal 31). Pengurus

dapat diangkat oleh pembina berdasarkan

rapat pembina untuk jangka waktu 5 tahun dan

dapat diangkat kembali. Susunan pengurus yaitu

seorang ketua, seoang sekretaris dan seorang

bendahara.

Pengurus yayasan tidak berwenang mewakili


yayasan jika terjadi perkara di depan

pengadilan atara yayasan dengan anggota

pengurus yayasan, atau dalam hal pengurus

memiliki kepentingan yang bertentangan dengan

kepentingan yayasan. (Pasal 36).

Dalam hal pengurus dinilai oleh pembina telah

lalai sehingga merugikan yayasan maka

pengurus dapat diberhentikan sebelum

waktunya (Pasal 32).

3. Pengawas

Pengawas merupakan organ yayasan yang

bertugas melakukan pengawasan serta memberi

nasihat kepada pengurus dalam penjalankan

kegaitan yayasan. Yayasan memiliki pengawas


sekurang-kurangnya satu orang (Pasal 40).

Pengawas dapat diberhentikan sementara

anggota pengurus dengan menyebutkan

alasannya .

Tanggung jawab pengurus dan pengawas

berdasarkan kesalahan baik karena kalaian atau

kesengajaan sehingga yayasan mengalami

kerugian. Jika terbukti pengurus lalai sehingga

yayasan mengalami kerugian maka pengurus

bertanggung jawab renteng (Pasal 39), namun

dalam hal terjadai kepailitan yayasan yang

diakibatkan oleh kelalaian atau kesalahan dari

pengawas maka pengawas bertanggung jawab

renteng terhadap kerugian yayasan tersebut.


E. Restrukturisasi Yayasan

Yayasan dapat bergabung dengan yayasan lain.

Penggabungan ini harus memperhatikan

ketidakmampuan yayasan, yayasannya harus

sejenis, dan tidak pernah melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan anggaran dasarnya,

ketertiban umum dan kesusilaan. Usul

penggabungan harus disampaikan pengurus

kepada pembina jika ¾ hadir dan 3/4nya dari

yang hadir telah setuju. Setelah disetujui oleh

masing-masing pembina yayasan, maka

dibuatlah akta penggabungan yayasan.

F. Pembubaran Yayasan

Pembubaran yayasan diatur dalam Pasal 62

yang mengatur bahwa Yayasan bubar karena:


1. Jangka waktu yang ditetapkan dalam

Anggaran Dasar berakhir;

2. Tujuan yayasan yang ditetapkan dalam

Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak

tercapai;

3. Pusutan pengadilan yang memperoleh

kekuatan hukum yang tetap berdasarkan:

a. Yayasan melanggar ketertiban umum dan

kesusilaan;

b. Tidak mampu membayar utang yayasan

setelah dinyatakan pailit, atau

c. Harta kekayaan yayasan tidak cukup

untuk melunasi utang yayasan setelah

pernyataan pailit dicabut.

Setelah yayasan bubar harus dilikuidasi, jika


masih ada sisa harta yayasan maka

berdasarkan Pasal 68:

a. diserahkan kepada yayasan lain yang

mempunyai kesamaan kegiatan dengan

yayasan;

b. diserahkan kepada badan hukum lain

yang mempunyai kesamaan kegiatan

dengan yayasan;

c. Jika tidak diserahkan ke yayasan lain

atau kepada badan hukum lain maka sisa

harta dikembalikan kepada negara dan

penggunaannya disesuaikan dengan

maksud dan tujuan yayasan yang bubar.


BAB VIII

PTN SEBAGAI BADAN HUKUM MILIK NEGARA

A. PTN sebagai Badan Hukum

Beberapa perguran tinggi di Indonesia

berubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Badan

Hukum Milik Negara. Isu tersebut berhembus sejak

Pemerintah Memberlakukan Peraturan Pemerintah

No.61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan

Tinggi Sebagai Badan Hukum. Pada Pasal 2

disebutkan bahwa Perguran Tinggi merupakan

badan hukum milik negara yang bersifat nir laba.

Sesungguhnya bahwa Perguran Tinggi


Negeri (PTN) merupakan badan hukum bukan

suatu yang baru, disebabkan pada kenyataannya

dewasa ini sudah berkedudukan sebagai badan

hukum dalam kehidupannya. Keadaan ini dapat

diperhatikan bahwa pada praktiknya PTN

memenuhi unsur-unsur suatu badan hukum

menurut doktrin, yaitu mempunyai harta kekayaan

sendiri, mempunyai tujuan sendiri, mempunyai

kepentingan sendiri, dan mempunyai organ atau

organisasi yang teratur.14 Dengan demikian PP

No.61 Tahun 1999 bersifat lebih mempertegas

kedudukan Perguran Tinggi sebagai Badan Hukum

Milik Negara.

Apabila memperhatikan klasifikasi badan


14 Man S. Sastrawidjaja, Implikasi Penetapan
Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum Milik Negara Dari
Perspektif Hukum, Makalah Seminar yang selenggarkan oleh
Lembaga Penelitian Unpad, 1999, hlm.1.
hukum itu sendiri, maka diperoleh 2 bentuk badan

hukum yakni badan hukum publik dan badan hukum

perdata. Ukuran untuk menentukan badan hukum

publik atau badan hukum perdata pada umumnya

memperhatikan:

1. Cara pendiriannya / pembentukannya;

Apabila pembentukannya oleh negara maka

termasuk badan hukum publik, namun jika

pembentukannya oleh swasta maka termasuk

badan hukum perdata.

2. Ruang lingkup kerjanya

Apabila ruang lingkup kerjanya untuk melayani

kepentingan umum maka termasuk badan

hukum publik sebaliknya jika ruang lingkup

kerjanya tidak melayani umum termasuk badan


hukum perdata.

3. Berkaitan dengan wewenangnya.

Apabila wewenangnya berada pada negara

maka termasuk badan hukum publik, namun

jika wewenangnya dimiliki oleh swasta maka

termasuk badan hukum perdata.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka badan

hukum milik negara termasuk badan hukum

publik.

PTN memiliki kekayaan sendiri yang terpisah

dari kekayaan pendirinya. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 5 PP No.61 Tahun 999 menyebutkan bahwa

kekayaan awal perguruan tinggi berasal dari

kekayaan negara yang dipisahkan dari anggaran

pendapatan belanja negara. Dengan modal awal


tersebut PTN dapat menjalankan tujuannya

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No.61 Tahun

1999, tujuan PTN adalah bersifat sosial dalam

pendidikan.

B. Organ-Organ PTN BHMN

Organ-organ PTN terdiri dari Majelis Wali

Amanat, senat akademik, dewan audit. Majelis wali

amanat merupakan organ PT yang berfungsi untuk

mewakili pemerintah dan masyarakat. Tugas dari

majelis wali amanat yaitu menetapkan kebijakan

umum perguruan tinggi dalam bidang non

akademik, mengangkat dan memberhentikan

pimpinan, mengesahkan rencana

strategis,melakukan pengawasan dan


pengendalikan umu atas pengelolaan PT,

melakukan penilaian atas kinerja pimpinan,

bersama pimpinan menyampaikan laporan kepada

menteri termasu menyusun masukan dan pendapat

kepada menteri.

Dewan audit adalah organ PT dengan tugas

menetapkan kebijakan audit internal, mempelajari

dan menilai hasil audit, serta mengambil

kesimpulan dan mengajukan saran kepada Majelis

Wali Amanat. Senat akademik adalah badan

normatif tertinggi di perguruan tinggi di bidang

akademik. Senat akademik terdiri dari pimpinan,

dekan fakultas, guru besar yang dipilih, wakil dosen

bukan guru besar, kepala perpustakaan perguruan

tinggi, serta unsur lain yang terdapat pada PP


No.61 Tahun 1999.

C. Perbuatan Hukum PTN BHMN

Menurut Pasal 14 Ayat (1) PP No.61 Tahun

1999, pimpinan PTN terdiri dari rektor yang dibantu

oleh beberapa orang pembantu rektor. Pimpinan

mewakili perguruan tinggi di dalam dan di luar

pengadilan untuk kepentingan dan tujuan perguruan

tinggi (Pasal 15 Ayat (2) PP No.61 Tahun 1999).

Hubungan hukum antara pimpinan dengan

PTNBHMN merupakan hubungan pemberi kuasa

sehingga di dalamnya terdapat perwakilan, oleh

karena itu berlaku ketentuan pemberian kuasa

sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata

sampai Pasal 1819 KUHPerdata.15 Perwakilan

tersebut sumbernya adalah peraturan perundang-


15 Ibid., hlm.7.
undangan (Pasal 15 Ayat (2) dan Ayat (4) PP No.61

Tahun 1999).

Perbuatan hukum pimpinan selama dalam

batas-batas wewenangnya mengikat PTNBHMN

dan tidak mengikat pimpinan secara pribadi,

namun jika perbuatan tersebut di luar batas

wewenangnya maka pimpinan bertanggung jawab

secara pribadi, kecuali perbuatan tersebut

mendapat persetujuan organ lain yang lebih tinggi.

Batas-batas wewenang tersebut tercantum dalam

Anggaran Dasar PTN BHMN.


BAB IX

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam rangka melindungi konsumen,

pemerintah telah memberlakukan UU No.8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen atau

disingkat UUPK. Undang-undang ini memberi posisi

yang seimbang antara konsumen dengan produsen.

Undang-undang ini mengatur mengenai hak dan

kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku

usaha, larangan bagi pelaku usaha, perjanjian

baku, tanggung jawab pelaku usaha dan ganti

kerugian kepada konsumen.

A. Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak konsumen yang paling pokok adalah


hak atas kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan / atau jasa. Barang dan / atau jasa yang

penggunaannya tidak memberikan kenyamanan

terlebih lagi yang tidak aman atau

membahayakan keselamatan konsumen jelas

tidak layak untuk diedarkan pada masyarakat.

Untuk menjamin kenyamanan,keamanan dan

keselamatan, konsumen diberikan hak untuk

memilih barang dan / atau jasa yang

dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan

informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika

terdapat penyimpangan yang merugikan,

konsumen berhak untuk didengar, memperoleh

advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil,


termasuk konpensasi sampai pada ganti

kerugian (Pasal 5 UUPK). Selain memperoleh

hak, konsumen berkewajiban membaca atau

mengikuti informasi dan prosedur penggunaan

barang dan / atau jasa, beritikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian, membayar

harga sesuai dengan kesepakatan, dan

mengikuti upaya penyelesaian hukum secara

patut. Hal ini dimaksudkan agar konsumen

dapat memperoleh hasil optimum atas

perlindungan hukum.

B. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam rangka menciptakan kenyamanan

berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai


keseimbangan atas hak-hak yang diberikan

kepada konsumen, ke

pada pelaku usaha diberikan hak untuk

menerima pembayaran yang sesuai,

mendapatkan perlindungan hukum dari

tindakan konsumen yang beritikad tidak baik,

melakukan pembelaan sepatutnya, rehabilitasi

nama baik. (Pasal 6 UUPK). Kewajiban bagi

pelaku usaha yaitu beritikad baik dalam

melakukan kegiatan usaha, memberikan

informasi yang benar, jelas dan jujur berkenaan

dengan kondisi dan jaminan barang dan / atau

jasa, memperlakukan atau melayani konsumen

secara baik dan tidak diskriminatif, menjamin

kualitas barang dan / atau jasa,memberi


konpensasi , ganti kerugian akibat pengunanan

barang dan / jasa kepada konsumen (Pasal 7

UUPK).

C. Larangan Pelaku Usaha

Dua larangan pokok berdasarkan Pasal 8

UUPK yakni larangan mengenai produk itu

sendiri, yang tidak memenuhi standar yang

layak untuk dipergunakan oleh konsumen dan

larangan mengenai ketersediaan informasi yang

tidak benar dan tidak akurat yang menyesatkan

konsumen.

D. Perjanjian Baku

Perjanjian baku (standard contract)


merupakan perjanjian yang telah dibuat terlebih

dahulu oleh pihak yang dominan dalam hal ini

pelaku usaha. Terhadap perjanjian tersebut

konsumen tidak memiliki daya tawar yang

cukup. Tidak semua perjanjian baku dilarang,

yang dilarang adalah perjanjian baku yang

isinya berupa pengalihan tanggung jawab dan

perjanjian baku yang letak dan atau bentuknya

sulit terlihat atau tidak dibaca secara jelas, atau

pengungkapannya sulit dimengerti (Pasal 18

UUPK).

E. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha dan

Ganti Rugi Kepada Konsumen

Pelaku usaha yang merugikan konsumen


dapat menutut pertanggungjawaban pelaku

usaha. Untuk konsumen perorangan maka

pemerintah telah membentuk Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen namun

untuk konsumen perusahaan maka tuntutan

tersebut di proses melalui pengadilan. Proses

pembuktiannya bersifat terbalik dalam arti

pelaku usahalah yang harus membuktian

bahwa barang dan / atau jasa yang dijual tidak

merugikan konsumen. Jumlah ganti kerugian

tergantung dari putusan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen atau pengadilan. Bagi

pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap UUPK akan diberikan sanksi berupa

sanksi administratif, pidana pokok dan pidana


tambahan. Hal tersebut disesuikan dengan

tingkat pelanggarannya.

BAB X

GROUP COMPANY
Group Company atau group perusahaan

adalah susunan atau gabungan dari beberapa

perusahaan yang secara yuridis mandiri tetapi

mempunyai kesatuan dalam bidang ekonomi.

Unsur-unsur dari group company adalah:

1. Gabungan dari beberapa perusahaan misalnya

PT A, PTB, PT C dan PT D.

2. Sacara yuridis mandiri, misalnya PT A berdiri

sendiri begitupun PT B, PT C dan PT D.

3. Secara ekonomi merupakan satu kesatuan ,

misalnya PT B, PT C dan PT D, sahamnya

dimiliki sebagaian besar oleh PT A.

Contoh kongkrit group company yaitu: Group

Bakri, Group Bimantara, Group Astra, Grup

Humpus, Group Tempo dll.


Terdapat dua model group perusahaan yaitu

group manajemen dan group investasi. 16

1. Group manajemen yaitu group perusahaan di

mana perusahaan induk masih turut terlibat

dalam bidang manajemen anak-anak

perusahaan, tetapi tidak melakukan investasi.

2. Group investasi yaitu perusahaan induk hanya

memegang saham dari anak perusahaan

secara mayoritas, tanpa turut terlibat langsung

dalam menajemen perusahaan.

Perbedaan ini membawa konsekuensi yang

berbeda dalam hal tanggung jawabnya terhadap

pihak ketiga. Pada group manajemen, perusahaan

induk ikut bertanggungjawab atas kewajiban anak


16

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan


Praktek, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994,
hlm.14.
perusahaan terhadap pihak ketiga, sedangkan

dalam grup investasi, induk perusahaan tidak

secara langsung bertanggungjawab terhadap atas

kewajiban anak perusahaan . Sebagai contoh: Grup

Salim yang termasuk grup investasi yang

memberikan kebebasan kepada anak

perusahaannya untuk membuka usaha. Induk

perusahaan hanya melakukan koordinasi saja.

Mekanisme ekspansi group usaha dapat

berupa ekspansi secara vertikal, integrasi

perusahaan bergerak ke hilir maupun ke hulu.

Misalnya Grup Astra, pada mulanya mendirikan

usaha perakitan, kemudian mendirikan aki mobil

merek GS, Selanjutnya mendirikan pabrik chasis

dan spart part mobil lainnya, mendirikan perusahan


body mobil, dan sekarang sudah bergerak ke pasar

eceran melalui gerai Auto 2000. Ekspansi

horizontal dilakukan melalui diversifikasi usaha.

Contohnya : Group Humpus dengan aneka anak

perusahaan namun tidak dalam rangkaian produksi

induk perusahaanya. Mekanisme campuran antara

ekspansi horizontal dan vertikal dimana induk

perusahaan melakukan perluasan usaha tidak

hanya memperhatikan hubungan bisnis hulu dan

hilir, tapi melakukan perluasan usaha ke bidan

usaha lain yang tidak terkait dengan bisnis induk

perusahaan.

Indonesia belum membuat pengaturan

khusus berkenaan dengan group perusahaan, hal

ini berbeda dengan di Jerman dan Brazil yang telah


membuat peruturan tersendiri untuk group

perusahaan. Pengaturan group perusahaan di

Indonesia hanya di atur dalam Undang-Undang

No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,

itupun hanya sebatas proses untuk menjadi group

perusahaan yaitu melalui penggabungan (merger),

peleburan (konsolidasi) dan pengambialihan

(akuisisi) yaitu Pada Pasal 102 sampai 109.

Peraturan pelaksaaan untuk merger, konsolidasi

dan akuisisi diatur dalam PP No.27 Tahun 1998.

Secara teori pembentukan group perusahaan dapat

terjadi karena merger, akuisisi, joint venture dan

pembentukan anak perusahaan.

Hubungan perusahaan-perusahaan dalam

satu group dapat berupa:


1. Hubungan karena pemilikan saham

PT A sebagai perusahaan induk, memiliki

saham di PT B juga PT C. PT A, B, dan C

merupakan group. Hubungan antara PT B

dengan PT A hanya hubungan kepemilikan

saham, sehingga kontruksinya dapat mengacu

pada Pasal 3 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang

No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.

Apabila anak perusahaan mengalami kerugian,

maka batas tanggung jawab induk perusahaan

sebatas saham yang dimilikinya saja (Pasal 3

Ayat (1)) atau bahkan dapat lebih dari batas

saham jika terpenuhi syarat-syarat sebagaimana

diatur dalam Pasal 3 Ayat (2).

2. Hubungan kemitraan usaha


Dua perusahaan bermitra, satu dan yang lain

bukan antara induk perusahaan dengan anak

perusahaan, juga sebaliknya. Hubungan hukum

kedua perusahaan mengacu pada kontrak

kemitraan dua perusahaan tersebut. Contoh PT

Unilever mempunyai dua holding yaitu satu

holding di Belanda dan satu lagi holding di

Inggris. Ikatan di antara mereka adalah

manajemen tunggal, tanpa kepemilikan saham

diantara perusahaan-perusahaan tersebut.

Você também pode gostar