Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
RINGKASAN EKSEKUTIF
VI-281
II. KERANGKA ANALISIS PENERAPAN PE
VI-282
CPO dan produk turunannya oleh Indonesia merupakan peluang pasar bagi
mereka.
10. Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan
keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit
sehingga industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya
dengan harga rendah (terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi
terselubung bagi industri hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut,
negara dapat mengumpulkan penerimaan negara bukan pajak. Perolehan
penerimaan negara ini tidak dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE.
Dengan perhitungan sederhana, akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak
pertengahan 1998 hingga akhir tahun 2003 mencapai sekitar Rp. 6,85
Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat mungkin dicapai dengan
penetapan formula penerimaan ekspor dengan komponen yang terdiri dari
volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan ekspor, tarif PE dan nilai
kurs Rupiah.
11. Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan
terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam
pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produk-
produk kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan
kelapa sawit. Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga
apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes
yang sering muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam
adalah karena kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal
ini pembangunan perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan
yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks
pencapaian tujuan, lantas bagaimana PE dapat melindungi kelestarian
sumber daya alam?. Pencantuman tujuan untuk melindungi kelestarian
sumber daya alam sekaligus dapat diartikan sebagai pembenaran atas
adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam kaitannya dengan
pembangunan perkebunan kelapa sawit.
VI-284
12. Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE
mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan
petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan
produk turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada
pernyataan tujuan yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu
kebijakan publik selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh
stakeholders.
13. Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan
pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35
Tahun 2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa keadilan
bagi stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa
bisnis berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya.
Tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum
jelas kepastian hukumnya tentang bagaimana mencapainya.
Tarif PE, HPE dan nilai kurs berpotensi sebagai sumber distrorsi
14. Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai Pasal 3, tarif PE
ditetapkan secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan
rumus: Tarif PE x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs.
Tarif atas PE CPO dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi
60%. Besarnya tarif PE dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Besarnya HPE ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri
Teknis terkait, seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya
memberi pertimbangan dan/atau usul atas penetapan besarnya tarif dan
HPE. Formulasi di atas pada dasarnya tidak merubah ketentuan PE yang
berlaku sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan data
perkembangan pengenaan PE untuk CPO dari bulan Juli 1998 hingga Maret
2005 (Tabel 1).
15. Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 3%
untuk tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 1% untuk
crude olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO)
dan Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan
Menteri Keuangan pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE
VI-285
masih belum ditentukan oleh Menteri Perdagangan. Menurut Menteri
Perdagangan, sesuai aturan yang berlaku selama ini, kalau belum ada
penetapan HPE yang baru, maka HPE yang lama masih berlaku.
Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005, HPE CPO dan produk
turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang
saat ini berkisar US$ 420 per ton.
Tabel 1. Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya
PE HPE Harga Nilai Kurs
Tahun
(%) (US$/ton) (US$/ton) (RP/US$)
Juli 98-Feb 99 60 610 650 14.550
Feb 99-Juni 99 40 535 535 8.850
Juni 99-Juli 99 30 365 440 8.171
Juli 99-Sept 99 10 260 312 6.873
Sept 99-Feb 2001 5 190 335 8.250
Feb 2001-Juni 2002 3 160 175 9.598
Juni 2002-Maret 3 160 429 9.750
2005
1
Sumber: Rosediana (2005)
17. Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu
diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk
tarif PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan
(i) sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi
mengguncang pasar CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak
negatif bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk
1
Rosediana, S. (2005). Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar
Nasional “Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Menuju Kesinambungan Sosial Ekonomi” yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 28
September 2005.
VI-286
program dan kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional
dan target PNBP. Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam
menentukan HPE disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa
bisnis dan keuntungan perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu,
kajian dan simulasi penetapan tarif PE dan HPE sangat diperlukan.
Penyempurnaan PP
18. Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE, khususnya Pasal 2
dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu
disempurnakan pada aspek-aspek: (i) memberi perhatian terhadap manfaat
pengenaan PE bagi pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii)
menciptakan keadilan dengan memperhatikan kepentingan stakeholders,
terutama petani secara proporsional, dan (iii) memberi kepastian hukum
dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya penegakan dari ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan dan implementasi penegakan hukum apabila
terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dimaksud. SK Menteri dan
pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya menjadi bahan
pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005, bukannya
menjadi sumber diskresi dari PP tersebut.
19. Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu: (1) dampak terhadap Produk
Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3)
dampak terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE
(pungutan ekspor) CPO yaitu:
a. PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
b. PE sebesar 3 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
c. PE sebesar 3 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE
berada sekitar 1/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 1
persen dari harga CPO dunia yang berlaku.
20. Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 3 persen dari
HPE CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua
kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu: (1)
VI-287
pemerintah menetapkan besaran HPE sebesar 1/3 dari harga CPO dunia
yang berlaku yang berarti setara dengan PE sebesar 1 persen dari harga
CPO dunia yang berlaku; (2) pemerintah merevisi besaran PE dari 3 persen
menjadi 1 persen, tetapi HPE ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang
berlaku.
21. Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang
diterima produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada
konstraksi kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun
demikian, PE atas CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam
negeri menurun sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut.
Dampak selanjutnya adalah ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam
negeri. Selain itu, PE atas CPO akan meningkatkan penerinaan PNBP
negara sebagai dana pembangunan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi
nasional.
22. Dampak kontraksi dan ekspansi dari penerapan PE tersebut secara umum
akan tercermin dari PDB. Apabila PDB meningkat mengidentifikasikan
bahwa PE tersebut berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi
nasional, tetapi sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel 1 tersebut terlihat
bahwa penerapan PE akan menyebabkan penurunan PDB disemua skenario.
Dampak penerapan PE 3 persen terhadap penurunan PDB lebih besar
dibanding PE 1 persen. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan PE ternyata
tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam negeri yang
menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi kehilangan
nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan agribisnis
kelapa sawit. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak menerapkan
PE terlalu tinggi dibanding yang berlaku sekarang.
VI-288
Tabel 2. Dampak Pungutan Ekspor (PE) terhadap kinerja Agribisnis Kelapa Sawit
dan Ekonomi Nasional (%)*)
24. Makin tinggi Pengenaan PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume
ekspor CPO Malaysia. Oleh karena itu, disarankan agar tingkat PE atas
CPO Indonesia tidak terlalu besar agar pangsa pasar CPO Indonesia tidak
direbut oleh CPO dari Malaysia.
VI-289
Agribisnis Kelapa Sawit
c. Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa
pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan
yang selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan
penurunan produksi CPO. Tambahan penenerimaan pemerintah dari PE
ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya,
sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja
ekonomi makro. Apabila pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE
CPO maka disarankan untuk menerapkan PE sebesar 3 persen dengan
HPE 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku.
VI-290
Pendapatan Petani
24. Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 3% sementara HPE mengikuti harga
CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada September mencapai
US$ 420 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir naik
cukup tinggi menjadi US$ 7,8 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar Rp78
per kg. Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban pungutan
ekspor yang besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha
kepada petani. Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp78 per kg
CPO, maka harga tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi
Rp15-Rp20 per kg. Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1
kg CPO jumlah TBS-nya harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS
20%). Selanjutnya, kalau harga TBS di petani saat ini sebesar Rp650 per kg,
maka harga beli pasti berkurang. Jika tarif ekspor hanya 1% dan HPE
disesuaikan dengan harga jual CPO di Rotterdam, maka pungutan ekspor
masih tetap rendah yakni US$ 4,20 per ton, sehingga tidak berpengaruh
pada pendapatan petani.
VI-291
VI-292
ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO
TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN
PENDAPATAN PETANI
Nizwar Syafa’at, Bambang Dradjat, Ketut Kariyasa, Supena Friyatno, Mohamad Maulana
PENDAHULUAN
Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditas strategis dalam
perekonomian Indonesia. Pertama, sebagai bahan utama minyak goreng yang
dikonsumsi masyarakat, CPO memainkan peran penting dalam menentukan
tingkat inflasi. Kedua, industri palm oil menyerap lebih dari dua juta orang tenaga
kerja. Ketiga, ekspor CPO merupakan sumber devisa negara yang telah
menghasilkan lebih dari satu juta USD sejak tahun 1997 hingga kini.
Luas areal tanam kelapa sawit yang pada tahun 1988 mencapai 862 ribu
hektar, meningkat menjadi sekitar 4 juta hektar pada tahun 2002. Peningkatan
areal tanam sekitar 11 persen per tahun ini, berdampak pada peningkatan
produksi CPO sebesar 10 persen per tahun, dari 342 ribu ton pada tahun 1988
menjadi 7,97 juta ton tahun 2002. Sementara itu, penggunaan CPO sebagai
bahan utama minyak goreng juga meningkat tajam sekitar 10 persen per tahun.
Industri CPO juga memainkan peran penting di pasar internasional. Laju
pertumbuhan produksi CPO merupakan yang tertinggi diantara kategori minyak
lainnya yang dikonsumsi. Bahkan CPO telah diprediksi akan melewati
perdagangan minyak kedele yang selama paling banyak diperdagangkan di pasar
dunia.
Dengan strategisnya posisi CPO dalam perekonomian, pemerintah telah
merilis kebijakan untuk mengoptimalkan pembangunan industrinya. Salah satu
kebijakan penting tersebut adalah kebijakan pajak ekspor yang pertama
dimplementasikan pada bulan Agustus 1994 untuk menstabilkan dan
mengamankan pasokan dan harga. Pajak ekspor yang pada awalnya dikenakan
pada CPO berkisar antara 40-60% yang dihitung secara berbeda berdasarkan
harga CPO internasional dan harga patokan ekspor. Sejak 4 Juli 1987 sampai
Februari 1998, pajak ekspor turun menjadi 5% dari harga CPO. Kemudian, selama
masa krisis ekonomi yang menyebabkan harga CPO meningkat tajam dan
depresiasi Rupiah, pemerintah melarang ekspor CPO diawal tahun 1998. Kondisi
ini menyebabkan perubahan kabijakan pajak ekspor yang sangat drastis, yaitu
VI-293
peningkatan pajak ekspor dari 5% menjadi 60% yang kemudian turun lagi menjadi
30% pada Juli 1999 dan 4% pada tahun 2002 (Susila, 2004).
Saat ini pemerintah mempunyai instrumen baru dalam kegiatan
perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (PE) yang dilegalisasi pada
tanggal 10 September 2005 dengan penerbitan PP No. 35 Tahun 2005. PP ini
pada dasarnya sebagai pengganti SK Menteri Keuangan tentang pajak ekspor
yang untuk kelapa sawit telah diterapkan sejak tahun 1984. Selain itu, PP ini
dimaksudkan untuk melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan yang
telah berlaku secara nasional diantaranya UU No. 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
VI-294
METODOLOGI
Analisis Deskriptif
dimana :
2) Local CPO Price = Tender KPB Price - PPN – Local Transport Price ......... (3)
Dimana :
Tender KPB Price = harga lelang CPO oleh KPB ex Kuala Lumpur bulan
Oktober 2005 (USD/unit atau Rp/unit).
PPN = Pajak Pertambahan Nilai = 10% x TR
Local Transport Price (Rp).
VI-297
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2. Produksi Minyak Inti Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Pada 1991- 2003.
Tabel 3. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Inti Sawit, 1990 – 2002.
Ekspor
Tahun Minyak sawit Minyak Inti Sawit
Volume (ton) Nilai (ribu US$) Volume (ton) Nilai (ribu US$)
1990 815.580 203.507 158.303 44.182
1991 1167.689 335.481 136.322 42.754
1992 1.030.272 356.494 222.541 109.841
1993 1.632.012 582.629 275.225 110.188
1994 1.631.203 717.811 340.504 177.583
1995 1.265.024 747.414 311.399 187.267
1996 1.671.957 825.415 341.318 235.168
1997 2.967.589 1.446.100 502.979 294.255
1998 1.479.278 745.277 347.009 195.447
1999 3.298.987 1.114.242 597.843 347.975
2000 4.110.027 1.087.278 578.825 239.120
2001 4.903.218 1.080.906 581.926 146.259
2002 6.333.708 2.092.404 73.846 256.234
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian (2003).
Impor minyak sawit umumnya dalam bentuk olein dari Malaysia (Tabel 4).
Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana terjadi rush export
dari Indonesia. Dalam keadaan demikian biasanya pemerintah menggunakan
mekanisme pajak ekspor untuk menjamin pasokan dalam negeri yang besarnya
pernah mencapai 60%. Dengan pajak ekspor 60%, praktis seluruh pasokan
Indonesia diserap oleh pasar domestik, dan tidak ada kelebihan ekspor dari
menjual di dalam negeri.
VI-300
Tabel 4. Volume dan Nilai Impor Minyak Sawit dan Inti Sawit Indonesia, 1988-1997.
Impor
Tahun Minyak sawit Minyak Inti Sawit
Volume (ton) Nilai (ribu US$) Volume (ton) Nilai (ribu
1988 302.190 120.422 490 US$)
247
1989 412.392 224.904 61 35
1990 26.183 7.662 530 304
1991 37.874 13.891 17.493 7.803
1992 308.743 113.511 17.222 12.097
1993 151.939 63.671 3.327 1.944
1994 123.637 55.715 13.917 7.988
1995 49.785 48.113 4.239 3.277
1996 107.553 61.173 3.132 2.735
1997 91.680 55.456 3.159 3.011
1998 17.618 8.459 554 526
1999 1.648 543 1.209 1.004
2000 4.350 4.020 3.638 2.404
2001 141 60 4.974 2.464
2002 9.499 3.267 2.362 1.478
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2003).
VI-301
Tabel 5. Harga Rata-Rata Minyak Sawit di Pasar Domestik dan Internasional 1988 –
2003.
Harga Harga
Harga Lokal Harga Lokal
Tahun Ekspor Tahun Ekspor
(Rp/kg) (Rp/kg)
(US $ / ton) (US $ / ton)
1988 502 463 1996 1.275 532
1989 552 524 1997 1.148 545
1990 531 280 1998 1.424 678
1991 655 333 1999 3.943 438
1992 728 291 2000 2.979 310
1993 728 407 2001 2.412 276
1994 694 525 2002 2.049 389
1995 988 649 2003 2.840 449
Sumber : Laporan mingguan Bank Indonesia dan BPS 2003.
107
110
104
103
102
102
102
102
faktor musiman
105
99
98
100
95
93
93
95
90
85
MAR
MAY
OCT
DEC
JAN
APR
JUL
JUN
AUG
NOV
FEB
SEP
VI-302
tersebut, maka neraca minyak kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir
bergerak dari surplus ke arah keseimbangan, identik dengan neraca dunia
(Tabel 6).
VI-303
Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan
keadilan dari PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas, maka
penetapan tujuan PE ini semata-mata hanya memperhatikan kepentingan pembeli
domestik dan kepentingan negara (pemerintah) yang dilihat secara parsial.
Kepentingan produsen, yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit,
penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya terabaikan.
Tidak ada pernyataan dalam tujuan yang relevan dengan kepentingan produsen,
penyedia jasa bisnis dan pemasok input. Sedangkan kepentingan pelestarian
sumber daya alam malahan mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan
sebagai tujuan kedua.
Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan
keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit sehingga
industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya dengan harga rendah
(terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi terselubung bagi industri
hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut, negara dapat mengumpulkan
penerimaan negara bukan pajak. Perolehan penerimaan negara ini tidak
dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE. Dengan perhitungan sederhana,
akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak pertengahan 1998 hingga akhir tahun
2003 mencapai sekitar Rp. 6,85 Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat
mungkin dicapai dengan penetapan formula penerimaan ekspor dengan
komponen yang terdiri dari volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan
ekspor, tarif PE dan nilai kurs Rupiah.
Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan
terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam
pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produk-produk
kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga apabila tidak
dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes yang sering
muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam adalah karena
kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal ini pembangunan
perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan yang tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks pencapaian tujuan, lantas
bagaimana PE dapat melindungi kelestarian sumber daya alam?. Pencantuman
tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam sekaligus dapat diartikan
VI-304
sebagai pembenaran atas adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam
kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE
mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan petani
kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk
turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada pernyataan tujuan
yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu kebijakan publik
selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh stakeholders.
Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan
pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35 Tahun
2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa keadilan bagi
stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa bisnis
berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya. Tujuan
untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum jelas kepastian
hukumnya tentang bagaimana mencapainya.
Tarif PE, HPE dan Nilai Kurs Berpotensi Sebagai Sumber Distrorsi
Tabel 7. Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya.
PE HPE Harga Nilai Kurs
Tahun
(%) (US$/ton) (US$/ton) (RP/US$)
Juli 98-Feb 99 60 610 650 14.550
Feb 99-Juni 99 40 535 535 8.850
Juni 99-Juli 99 30 365 440 8.171
Juli 99-Sept 99 10 260 312 6.873
Sept 99-Feb 2001 5 190 335 8.250
Feb 2001-Juni 2002 3 160 175 9.598
Juni 2002-Maret 2005 3 160 429 9.750
2
Sumber: Rosediana (2005)
2
Rosediana, S. (2005). Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar
Nasional “Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Menuju Kesinambungan Sosial Ekonomi” yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 28
September 2005.
VI-306
Tabel 8. Perhitungan Profit Loss Analysis Dengan Menggunakan Harga CPO Ekspor dan Tender
KPB Ex Kuala Lumpur, Malaysia, Oktober 2005.
Nilai per
No. Transaction Info Satuan Nilai Nilai per Unit Nilai
Unit
A Penerimaan
1 Jumlah MT 5,000 5,000
2 Harga USD 386 386
3 Nilai USD 1,930,000 1,930,000
B Biaya
1 Pajak Ekspor 4.80 Per MT (USD) 24,000 11.00 55,000
2 Bongkar Muat 19.00 Per MT (USD) 95,000 19.00 95,000
3 Surveyor USD 1,155 1,155
4 L/C Ekspor - USD - - -
5 Pelabuhan 3,000,000 Rp 3,000,000 3,000,000 3,000,000
6 Asuransi 0.18 % (USD) 3,474 0.18 3,474
7 Penyusutan 0.30 % (USD) 5,790 0.30 5,790
8 Total Biaya (USD) 129,519 160,519
9 Total Biaya Rp 3,000,000 3,000,000
10 Grand Total Biaya 129,819 160,819
C Nilai Tukar Rp 10,000.00 10,000.00
D Harga Ekspor
Total Nilai Ekspor USD 1,930,000 1,930,000
Total Biaya Ekspor USD 129,819 160,819
Nilai Ekspor Total USD 1,800,181 1,769,181
Harga Ekspor Total USD/MT 360.0 353.84
Dalam Rp (Asli) Rp/kg 3,600.36 3,538.36
E Harga CPO Lokal
Tender KPB Price incl. PPN Rp 4,097 4,097
PPN 10% Rp 410 410
Tender Price Excl. PPN Rp 3,687 3,687
Transportasi Lokal Rp 110 110
Nett Tender Price Rp 3,577 3,577
FOB incl. PPN Rp 3,987 3,987
F Profit and Loss Analysis
- Harga Ekspor Bersih 3,600.36 3,538.36
- Harga Dalam Negeri 3,577.30 3,577.30
Profit (Loss) Rp/kg 23.06 (38.94)
Total Profit
in Rp 115,310,000 (194,690,000)
Penerimaan Negara 5,000 MT 240,000,000 5,000 MT 550,000,000
700,000 MT 33,600,000,000 700,000 MT 77,000,000,000
Sumber : Ditjen BP2HP Deptan, 2005, diolah.
VI-307
bila PE sebesar 3% maka terdapat kerugian jika melakukan ekspor karena harga
lokal lebih tinggi. Kerugian tersebut mencapai Rp. 38.94/kg. Dengan jumlah
ekspor sebesar 5000 MT CPO maka total keuntungan ekspor yang dapat ditarik
dengan memberlakukan PE sebesar 1% adalah Rp. 115.310.000,00. Sedangkan
bila PE sebesar 3% maka total kerugian dapat mencapai Rp. 194.690.000,00.
Total penerimaan negara dari PE sebesar 1% untuk skala ekspor 5000 MT
mencapai Rp. 240 juta, sedangkan untuk peningkatan PE menjadi 3% maka total
penerimaan negara mencapai Rp. 550 juta. Apabila besaran ekspor dihitung
berdasarkan ekspor CPO Indonesia ke Rotterdam Belanda sebesar 700.000 MT
maka akan menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 33,6 milyar untuk PE 1% dan
Rp. 77 milyar untuk PE 3%.
Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu
diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk tarif
PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan (i)
sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi
mengguncang pasar CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak negatif
bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk program dan
kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional dan target PNBP.
Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan HPE
disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa bisnis dan keuntungan
perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu, kajian dan simulasi penetapan
tarif PE dan HPE sangat diperlukan.
Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE, khususnya Pasal 2
dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu disempurnakan
pada aspek-aspek : (i) memberi perhatian terhadap manfaat pengenaan PE bagi
pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii) menciptakan keadilan dengan
memperhatikan kepentingan stakeholders, terutama petani secara proporsional,
dan (iii) memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya
penegakan dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan implementasi
penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
dimaksud. SK Menteri dan pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya
menjadi bahan pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005,
bukannya menjadi sumber diskresi dari PP tersebut.
VI-308
Analisis Dampak Penerapan PE CPO (PP No 35/2005)
Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu : (1) dampak terhadap
Produk Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3)
dampak terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE (pungutan
ekspor) CPO yaitu :
d. PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
e. PE sebesar 3 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
f. PE sebesar 3 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE
berada sekitar 1/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 1
persen dari harga CPO dunia yang berlaku.
Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 3 persen dari
HPE CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua
kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu: (1) pemerintah
menetapkan besaran HPE sebesar 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku yang
berarti setara dengan PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku;
(2) pemerintah merevisi besaran PE dari 3 persen menjadi 1 persen, tetapi HPE
ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.
Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang
diterima produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada
konstraksi kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun
demikian, PE atas CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam negeri
menurun sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut. Dampak
selanjutnya adalah ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam mengeri. Selain
itu, PE atas CPO akan meningkatkan penerinaan PNBP negara sebagai dana
pembangunan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi nasional.
Dampak kontraksi dan ekspansi dari penerapan PE tersebut secara umum
akan tercermin dari PDB. Apabila PDB meningkat mengidentifikasikan bahwa PE
tersebut berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi nasional, tetapi
sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel 7 tersebut terlihat bahwa penerapan PE
akan menyebakan penurunan PDB disemua skenario. Dampak penerapan PE 3
persen terhadap penurunan PDB lebih besar dibanding PE 1 persen. Ini
VI-309
mengindikasikan bahwa peningkatan PE ternyata tidak mampu mengakselerasi
kegiatan industri hilir dalam negeri yang menciptakan nilai tambah lebih besar
untuk mengkompensasi kehilangan nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan
PE pada kegiatan agribisnis kelapa sawit. Oleh karena itu, disarankan agar
pemerintah tidak menerapkan PE terlalu tinggi dibanding yang berlaku sekarang.
VI-310
Tabel 9. Ekspor (ton) dan Pangsa Ekspor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2002.
Indonesia Malaysia
Tahun Dunia
Ton % Ton %
1969 179 113 20.49 380 000 43.48 874 000
1974 281 221 16.52 900 000 52.88 1 702 000
1979 351 280 11.85 1 900 000 64.08 2 965 000
1984 127 938 2.85 2 978 000 66.30 4 492 000
1989 781 844 10.39 5 213 000 69.28 7 525 000
1994 1 631 203 14.80 6 895 200 62.58 11 019 000
1999 3 298 987 23.25 9 234 700 65.09 14 186 500
2000 4 110 027 26.99 9 280 000 60.95 15 226 100
2001 4 939 700 27,92 10 732 700 60,67 17 688 100
2002 6 379 500 32,64 11 195 400 57,28 19 544 900
Tabel 10. Impor (ton) dan Pangsa Impor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2002.
AS Belanda Pakistan
Tahun Dunia
Ton % Ton % Ton %
1969 61 000 5.95 42 097 4.10 1 000 0.10 1 025 687
1974 200 000 9.84 39 872 1.96 90 000 4.43 2 031 872
1979 145 000 4.37 60 478 1.82 192 000 5.78 3 319 478
1984 148 000 3.10 24 546 0.51 400 000 8.37 4 777 268
1989 108 000 1.40 169 383 2.20 538 000 6.98 7 711 830
1994 149 000 1.25 434 100 3.64 1 114 000 9.34 11 925 304
1999 142 900 1.02 748 400 5.37 1 051 800 7.54 13 944 000
2000 165 100 1.08 775 500 5.09 1 107 100 7.27 15 234 300
2001 171 100 0,97 985 000 5,60 1 325 000 7,54 17 569 300
2002 219 000 1,13 1 061 400 5,49 1 300 000 6,73 19 299 700
Tabel 11. Produksi CPO Negara Pesaing 1999 – 2004 (000 ton).
VI-312
Tabel 12. Dampak Pungutan Ekspor (PE) terhadap kinerja Agribisnis Kelapa
Sawit dan Ekonomi Nasional (%)*)
VI-313
b. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 3 persen dari harga CPO
dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah dampaknya sama
dengan pemberlakuan PE 1 persen, tapi dampaknya lebih besar pada PE 3
persen.
c. Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa
pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan yang
selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan penurunan
produksi CPO. Tambahan penerimaan pemerintah dari PE ternyata tidak
mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya, sehingga penerapan
PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja ekonomi makro. Apabila
pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE CPO maka disarakan untuk
menerapkan PE sebesar 3 persen dengan HPE 1/3 dari harga CPO dunia
yang berlaku.
Tabel 13. Pengaruh Kenaikan BBM dan PE Terhadap Biaya Produksi TBS, 2005.
VI-315
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
2004 2005 2006 2007 2008
16,000,000
14,000,000
12,000,000
10,000,000
8,000,000
6,000,000
4,000,000
2,000,000
-
2004 2005 2006 2007 2008
Potensi
Kesesuaian dan ketersediaan lahan. Pengembangan tanaman kelapa
sawit telah dilakukan secara luas di Indonesia baik di kawasan barat maupun di
kawasan timur Indonesia. Potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan
kelapa sawit umumnya cukup bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, lahan
berpotensi sedang, dan lahan yang berpotensi rendah (Tabel 14).
Lahan berpotensi tinggi adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian
Lahan (KKL) untuk kelapa sawit tergolong sesuai (>75%) dan sesuai bersyarat
(<25%). Lahan berpotensi sedang memiliki KKL tergolong sesuai (25-50%) dan
sesuai bersyarat (50-75%), sementara lahan berpotensi rendah memiliki KKL
tergolong sesuai bersyarat (50-75%) dan tidak sesuai (25-50%). Penyebaran areal
yang berpotensi untuk pengembangan kelapa sawit tersebut umumnya terdapat
di propinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian
Jaya, Sumatera Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
VI-317
Tabel 14. Potensi dan Kesesuaian Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit.
Pada saat ini areal berpotensi tinggi sudah terbatas ketersediaannya, dan
areal yang masih cukup tersedia dan berpeluang untuk dikembangkan adalah
yang berpotensi sedang – rendah. Areal berpotensi rendah – sedang tersebut
memiliki faktor pembatas untuk pengembangan kelapa sawit yang meliputi:
(i) Faktor iklim yaitu jumlah bulan kering yang berkisar 2-3 bulan/tahun yang
menggambarkan penyebaran curah hujan yang tidak merata dalam
setahun.
(ii) Topografi areal yang berbukit-bergunung dengan kelerengan 25 – 40%
(areal dengan kemiringan lereng di atas 40% tidak disarankan untuk
pengembangan tanaman kelapa sawit).
(iii) Kedalaman efektif tanah yang dangkal, terutama pada daerah dengan jenis
tanah yang memiliki kandungan batuan yang tinggi dan kondisi drainase
kurang baik.
(iv) Lahan gambut.
(v) Drainase yang jelek pada dataran pasang surut, dataran aluvium, dan
lahan gambut.
(vi) Potensi tanah sulfat masam pada daerah dataran pasang surut.
VI-318
Produktivitas. Produktivitas PBN, PR dan PBS hingga tahun 2008 ke
depan masing-masing meningkat dari 4.79, 3.18 dan 3.21 ton CPO/ha/tahun tahun
2004 menjadi 5.23, 3.69 dan 3.28 ton CPO/ha/tahun (Gambar 4). Artinya,
produktivitas PR diproyeksikan akan mengalami peningkatan terbesar diikuti
dengan PBN. Meskipun mengalami peningkatan, tingkat produktivitas ketiga jenis
perkebunan di atas masih berada dibawah potensi produktivitas 8 ton
CPO/ha/tahun dan produktivitas yang dicapai perkebunan kelapa sawit Malaysia,
yaitu antara 6-7 ton CPO/ha/tahun.
0
2004 2005 2006 2007 2008
VI-320
K ayu Pelepah TBS K elapa Sawit Pupuk
Kompos
RANUT
Kompos
PK S Limbah cair
Biogas
Proses Pulping Inti
Limbah padat
Furnitur Pulp
CPO Ref+Frac Pulping
Crushing RBD RBD
Rationing Pulp
olein stearin
Bungkil PKO Kegunaan Ref
Pakan teknis,
ternak
RBD Pengu
sabun dll PO Blending Penyabu rai
Margarin nan Serat
Ref+Frac Ref. Splitting Blending M.goreng Sabun
Rayon
Stearin RBD Fatty Margarin M.masak
PKO acids Splitting Serat
Olein Vanaspati Shortening Fatty acids
Es krim
Proses Penya
Hidrogen. M.goreng Blending bunan
Blending Fatty amida Ref+Frac
Hyd. PKO Shortening Margarin
Margarin Sabun
Fatty alkohol Cocoa butter Shortening
Hyd Olein equivalent
Fatty amines
Super olein
Blending Proses
Confectio Blending Krim Biskuit Es krim ...
Ref=Rafinasi Emuls
nary Ref=Rafinasi
Frac=Fraksinasi, ifier
Margarin Susu isian Confectionary Frac=Fraksinasi,
Hidrog=hidrogenasi
Hidrog=hidrogenasi
KESIMPULAN
VI-321
harus berkisar sekitar USD 160 sampai 170 USD agar harga CPO Indonesia
masih cukup kompetitif. Disamping itu distorsi nilai tukar Rupiah harus
dipertimbangkan sebagai faktor penentu yang penting.
Penerapan PE akan menyebakan penurunan PDB disemua skenario
kegiatan agribisnis kelapa sawit. Dampak penerapan PE 3 persen terhadap
penurunan PDB lebih besar dibanding PE 1 persen. Ini mengindikasikan bahwa
peningkatan PE ternyata tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam
negeri yang menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi
kehilangan nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan
agribisnis kelapa sawit. Pengenaan PE juga berdampak pada penurunan luas
tanaman menghasilkan yang selanjutnya berdampak pada penurunan
kesempatan kerja, dan penurunan produksi CPO. Tambahan penerimaan
pemerintah dari PE ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru
sebaliknya, sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek
kinerja ekonomi makro.
Kenaikan PE menjadi 3% menyebabkan harga TBS semakin rendah.
Ditambah lagi dengan adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang rata-
rata mencapai 107% juga sangat mempengaruhi turunnya harga TBS. Kedua hal
tersebut menyebabkan harga TBS turun menjadi Rp. 577,21/kg. Penurunan harga
TBS menyebabkan keuntungan petani menurun dari Rp. 194,75/kg menjadi Rp.
87,61/kg, atau turun sebesar 55%. Jika diasumsikan 1 KK petani kelapa sawit
memiliki lahan rata-rata 2 ha dengan produktivitas 15 ton TBS/ha/tahun maka
keuntungan per KK menurun dari sekitar Rp. 5,8 juta menjadi hanya Rp. 2,6 juta.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Clark, C.T. and L.L. Schkade. 1983. Statistical Analysis for Administrative
Decisions. South Western Publishing Co., Ohio.
D:\data\data\Anjak-2005/ANALISIS pe3
VI-323