Você está na página 1de 43

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO

TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN


PENDAPATAN PETANI

RINGKASAN EKSEKUTIF

I. JUSTIFIKASI DAN TUJUAN KAJIAN

1. Saat ini pemerintah mempunyai instrumen baru dalam kegiatan


perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (PE) yang dilegalisasi
pada tanggal 10 September 2005 dengan penerbitan PP No. 35 Tahun 2005.
PP ini pada dasarnya sebagai pengganti SK Menteri Keuangan tentang
pajak ekspor yang untuk kelapa sawit telah diterapkan sejak tahun 1984.
Selain itu, PP ini dimaksudkan untuk melaksanakan amanat peraturan
perundang-undangan yang telah berlaku secara nasional diantaranya UU No.
20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

2. Kontroversi yang berkembang sejak pembahasan draf PP hingga


penerbitannya pada dasarnya berkisar pada Pasal 2 dan 3. Secara umum
stakeholders agribisnis kelapa sawit nasional mengaitkan substansi dari
tujuan dan besarnya tarif PE serta HPE dengan dimensi manfaat, keadilan
dan kepastian hukum. Setelah mencermati PP tentang PE dalam perspektif
pengembangan industri kelapa sawit nasional, terdapat 2 pasal yang perlu
dipahami secara mendalam. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 2, tentang
tujuan dan Pasal 3 ayat 5 dan 6, tentang besarnya tarif PE dan harga
patokan ekspor (HPE). Kedua pasal tersebut masih mengandung
pertanyaan-pertanyaan seperti: “apakah penetapannya telah
mempertimbangkan nilai manfaat konkrit bagi seluruh stakeholders kelapa
sawit nasional, memenuhi rasa keadilan dan memiliki kepastian hukum
dalam pelaksanaannya?”.

3. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis tentang: tujuan penerapan PE dan


besarnya tarif PE dan HPE dengan mempertimbangkan manfaatnya bagi
seluruh stakeholders kelapa sawit nasional, beban yang harus ditanggung
stakeholders dan kepastian hukum (daya penegakan dan penegakan
hukumnya), dan (2) dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),
kinerja agribisnis kelapa sawit dan pendapatan petani.

VI-281
II. KERANGKA ANALISIS PENERAPAN PE

4. Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional


berperan sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya
diutamakan untuk perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli
domestik (industri atau rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan,
kebijakan perdagangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah melalui pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri
suatu negara atau alasan-alasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan
pemerintah tentang penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya lebih
diutamakan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan proteksi bagi
industri dalam negeri penghasil produk turunan CPO, seperti industri minyak
goreng dan oleokimia.

5. Dalam aspek legal, pungutan ekspor yang dimaksudkan dalam PP No. 35


tahun 2005 adalah pungutan ekspor yang dikenakan atas barang ekspor
tertentu, termasuk CPO dan produk turunannya. Berdasarkan UU No. 20
Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PE untuk
CPO dan produk turunannya termasuk PNBP yang bersumber dari
pemanfaatan sumber daya alam. Masih berdasarkan UU tersebut, sesuai
jenisnya PNBP dari PE ini dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang
meliputi penelitian dan pengembangan teknologi, pendidikan dan pelatihan,
pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu dan pelestarian
sumber daya alam. Dengan ketentuan ini, maka pungutan ekspor berbeda
dengan pajak ekspor masa lalu. Penerimaan negara dari pajak ekspor tidak
jelas rincian penggunaannya.

6. Penerapan PE pada CPO dan produk turunannya mengandung konsekuensi


yang menguntungkan dan merugikan. Secara potensial, pihak yang
diuntungkan dari penerapan PE adalah pembeli dalam negeri (industri hilir
minyak sawit), pemerintah dan pesaing ekspor Indonesia untuk produk-
produk tersebut. Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena penerapan
PE akan menekan harga CPO dan produk turunannya di pasar dalam negeri.
Penerimaan negara akan meningkat sesuai dengan besarnya tarif, harga
dan volume ekspor. Penerapan PE cenderung menurunkan volume ekspor,
sehingga pengekspor luar negeri diuntungkan karena pengurangan ekspor

VI-282
CPO dan produk turunannya oleh Indonesia merupakan peluang pasar bagi
mereka.

7. Sedangkan pihak yang dirugikan dari penerapan PE adalah produsen kelapa


sawit dan CPO nasional, pembeli (importir) CPO dan produk turunannya di
luar negeri, penyedia jasa di pelabuhan dan pemasok input perkebunan
kelapa sawit serta negara. PE akan menekan harga di pasar dalam negeri
sehingga menimbulkan disinsentif berproduksi bagi produsen CPO dan
produk turunannya. Hal ini dapat berwujud pengurangan penggunaan input
sehingga pemasok input juga mengalami imbas kerugian produsen. Khusus
untuk kasus CPO, pengusaha penghasil CPO akan menekan harga tandan
buah segar (TBS) yang dihasilkan petani. Jadi secara implisit, TBS juga
terkena pungutan ekspor, meskipun petani tidak mengekspor. Selanjutnya,
penurunan produksi CPO dan produk turunannya menyebabkan ekspor
CPO dan produk turunannya turun. Penurunan ekspor ini mengakibatkan
kebutuhan importir di luar negeri tidak terpenuhi. Bahkan, apabila penerapan
PE oleh Indonesia ini menimbulkan guncangan harga di pasar internasional,
maka importir akan membeli CPO dan produk turunannya dengan harga
lebih tinggi dari pada tanpa PE. Penurunan volume ekspor ini juga berarti
merugikan pelaku bisnis di pelabuhan dan negara juga kehilangan devisa.

III. TINJAUAN KRITIS TERHADAP PP 35 TAHUN 2005

8. Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan


produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya
kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii)
mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang
ekspor tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam
negeri.

9. Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan


keadilan dari PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas,
maka penetapan tujuan PE ini semata-mata hanya memperhatikan
kepentingan pembeli domestik dan kepentingan negara (pemerintah) yang
dilihat secara parsial. Kepentingan produsen, yaitu perusahaan perkebunan
dan petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan
VI-283
produk turunannya terabaikan. Tidak ada pernyataan dalam tujuan yang
relevan dengan kepentingan produsen, penyedia jasa bisnis dan pemasok
input. Sedangkan kepentingan pelestarian sumber daya alam malahan
mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan sebagai tujuan kedua.

10. Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan
keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit
sehingga industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya
dengan harga rendah (terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi
terselubung bagi industri hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut,
negara dapat mengumpulkan penerimaan negara bukan pajak. Perolehan
penerimaan negara ini tidak dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE.
Dengan perhitungan sederhana, akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak
pertengahan 1998 hingga akhir tahun 2003 mencapai sekitar Rp. 6,85
Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat mungkin dicapai dengan
penetapan formula penerimaan ekspor dengan komponen yang terdiri dari
volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan ekspor, tarif PE dan nilai
kurs Rupiah.

11. Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan
terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam
pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produk-
produk kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan
kelapa sawit. Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga
apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes
yang sering muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam
adalah karena kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal
ini pembangunan perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan
yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks
pencapaian tujuan, lantas bagaimana PE dapat melindungi kelestarian
sumber daya alam?. Pencantuman tujuan untuk melindungi kelestarian
sumber daya alam sekaligus dapat diartikan sebagai pembenaran atas
adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam kaitannya dengan
pembangunan perkebunan kelapa sawit.

VI-284
12. Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE
mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan
petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan
produk turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada
pernyataan tujuan yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu
kebijakan publik selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh
stakeholders.

13. Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan
pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35
Tahun 2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa keadilan
bagi stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa
bisnis berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya.
Tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum
jelas kepastian hukumnya tentang bagaimana mencapainya.

Tarif PE, HPE dan nilai kurs berpotensi sebagai sumber distrorsi

14. Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai Pasal 3, tarif PE
ditetapkan secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan
rumus: Tarif PE x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs.
Tarif atas PE CPO dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi
60%. Besarnya tarif PE dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Besarnya HPE ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri
Teknis terkait, seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya
memberi pertimbangan dan/atau usul atas penetapan besarnya tarif dan
HPE. Formulasi di atas pada dasarnya tidak merubah ketentuan PE yang
berlaku sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan data
perkembangan pengenaan PE untuk CPO dari bulan Juli 1998 hingga Maret
2005 (Tabel 1).

15. Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 3%
untuk tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 1% untuk
crude olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO)
dan Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan
Menteri Keuangan pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE
VI-285
masih belum ditentukan oleh Menteri Perdagangan. Menurut Menteri
Perdagangan, sesuai aturan yang berlaku selama ini, kalau belum ada
penetapan HPE yang baru, maka HPE yang lama masih berlaku.
Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005, HPE CPO dan produk
turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang
saat ini berkisar US$ 420 per ton.

Tabel 1. Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya
PE HPE Harga Nilai Kurs
Tahun
(%) (US$/ton) (US$/ton) (RP/US$)
Juli 98-Feb 99 60 610 650 14.550
Feb 99-Juni 99 40 535 535 8.850
Juni 99-Juli 99 30 365 440 8.171
Juli 99-Sept 99 10 260 312 6.873
Sept 99-Feb 2001 5 190 335 8.250
Feb 2001-Juni 2002 3 160 175 9.598
Juni 2002-Maret 3 160 429 9.750
2005
1
Sumber: Rosediana (2005)

16. Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak


terlepas dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya
berkisar pada pilihan antara (i) tarif PE turun dari 3% menjadi katakanlah 1%
dengan HPE disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE
tetap 3% dengan HPE juga tetap US$ 160 per ton. Saat ini tarif PE CPO
telah ditetapkan 3%, sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE.

17. Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu
diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk
tarif PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan
(i) sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi
mengguncang pasar CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak
negatif bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk

1
Rosediana, S. (2005). Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar
Nasional “Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Menuju Kesinambungan Sosial Ekonomi” yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 28
September 2005.
VI-286
program dan kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional
dan target PNBP. Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam
menentukan HPE disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa
bisnis dan keuntungan perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu,
kajian dan simulasi penetapan tarif PE dan HPE sangat diperlukan.

Penyempurnaan PP

18. Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE, khususnya Pasal 2
dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu
disempurnakan pada aspek-aspek: (i) memberi perhatian terhadap manfaat
pengenaan PE bagi pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii)
menciptakan keadilan dengan memperhatikan kepentingan stakeholders,
terutama petani secara proporsional, dan (iii) memberi kepastian hukum
dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya penegakan dari ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan dan implementasi penegakan hukum apabila
terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dimaksud. SK Menteri dan
pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya menjadi bahan
pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005, bukannya
menjadi sumber diskresi dari PP tersebut.

III. ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PE CPO (PP NO 35/2005)

19. Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu: (1) dampak terhadap Produk
Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3)
dampak terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE
(pungutan ekspor) CPO yaitu:
a. PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
b. PE sebesar 3 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
c. PE sebesar 3 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE
berada sekitar 1/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 1
persen dari harga CPO dunia yang berlaku.

20. Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 3 persen dari
HPE CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua
kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu: (1)
VI-287
pemerintah menetapkan besaran HPE sebesar 1/3 dari harga CPO dunia
yang berlaku yang berarti setara dengan PE sebesar 1 persen dari harga
CPO dunia yang berlaku; (2) pemerintah merevisi besaran PE dari 3 persen
menjadi 1 persen, tetapi HPE ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang
berlaku.

Produk Domestik Bruto

21. Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang
diterima produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada
konstraksi kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun
demikian, PE atas CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam
negeri menurun sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut.
Dampak selanjutnya adalah ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam
negeri. Selain itu, PE atas CPO akan meningkatkan penerinaan PNBP
negara sebagai dana pembangunan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi
nasional.

22. Dampak kontraksi dan ekspansi dari penerapan PE tersebut secara umum
akan tercermin dari PDB. Apabila PDB meningkat mengidentifikasikan
bahwa PE tersebut berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi
nasional, tetapi sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel 1 tersebut terlihat
bahwa penerapan PE akan menyebabkan penurunan PDB disemua skenario.
Dampak penerapan PE 3 persen terhadap penurunan PDB lebih besar
dibanding PE 1 persen. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan PE ternyata
tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam negeri yang
menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi kehilangan
nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan agribisnis
kelapa sawit. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak menerapkan
PE terlalu tinggi dibanding yang berlaku sekarang.

VI-288
Tabel 2. Dampak Pungutan Ekspor (PE) terhadap kinerja Agribisnis Kelapa Sawit
dan Ekonomi Nasional (%)*)

Peubah 0% menjadi 1%**) 0% menjadi 3%**) 1% menjadi 3%**)


Produktivitas Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Produktivitas Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Produktivitas Swasta 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Luas Menghasilkan Negara (0.00008934) (0.00026593) (0.00017659)
Luas Menghasilkan Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Luas Menghasilkan Swasta (0.00512994) (0.01538651) (0.01025710)
Serapan T. Kerja Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Serapan T. Kerja Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Serapan T. Kerja Swasta (0.00067432) (0.00134864) (0.00067432)
Harga CPO dalam Negeri (0.00142792) (0.00285584) (0.00142794)
Konsumsi CPO dalam Negeri 0.00000551 0.00001653 0.00001102
Vol. Ekspor CPO Indonesia (0.01126562) (0.03379339) (0.02253031)
Nilai Ekspor CPO Indonesia (0.02294849) (0.06882694) (0.04588898)
Vol. Ekspor CPO Malaysia 0.00000389 0.000011666 0.00000777
Produksi CPO Indonesia (0.00678744) (0.02035882) (0.01357231)
Nilai Tambah CPO Indonesia (0.00341154) (0.01023309) (0.00682178)
Produk Domestik Bruto Indonesia (0.00000413) (0.00001031) (0.00000619)
Keterangan :
*) Model yang digunakan adalah model ekonometrik persamaan simultan yang terdiri
dari Blok produksi, konsumsi dan perdagangan.
**) 0, 1, 3 % besaran Pungutan Ekspor (PE) dalam % x harga CPO dunia; dan PE 1%
setara dengan PE 3% x HPE (Harga Patokan Ekspor) yang berlaku saat ini sekitar
US$ 160 per ton.
( ) tanda dalam kurung menunjukkan penurunan atau pengurangan.

Daya Saing CPO Inonesia vs Malaysia

23. Pengenaan PE akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di pasar


dunia, sementara harga ekspor CPO Malaysia tetap akibatnya daya saing
CPO Indonesia menurun terhadap CPO Malaysia. Hal ini tercermin dari
meningkatnya volume ekspor CPO Malaysia sementara volome ekspor CPO
Indonesia mengalami penurunan pada semua skenario.

24. Makin tinggi Pengenaan PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume
ekspor CPO Malaysia. Oleh karena itu, disarankan agar tingkat PE atas
CPO Indonesia tidak terlalu besar agar pangsa pasar CPO Indonesia tidak
direbut oleh CPO dari Malaysia.

VI-289
Agribisnis Kelapa Sawit

25. Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa


sawit disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis tersebut dapat dirangkum
sebagai berikut :

a. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 1 persen dari harga


CPO dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, maka produksi
CPO Indonesia mengalami penurunan karena luas tanaman yang
menghasilkan menurun, volume ekspor menurun lebih besar dibanding
kenaikan konsumsi domestik. Penurunan luas tanaman yang
menghasilkan terjadi pada perkebunan negara dan swasta, sedangkan
perkebunan rakyat tidak terjadi. Penurunan luas tanaman yang
menghasilkan pada perkebunan negara dan swasta sebagai respon
penurunan harga Tandan. Dampak dari penurunan luas tanaman yang
menghasilkan tersebut menyebabkan penyerapan tenaga kerja pada
usahatani kelapa sawit menurun. Penurunan volome ekspor akan
berdampak pada penurunan penerimanan devisa negara dari ekspor
CPO. Walaupun terjadi peningkatan penerimaan negara dari PE, namun
secara keseluruhan PDB nasional mengalami penurunan.

b. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 3 persen dari harga


CPO dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah
dampaknya sama dengan pemberlakuan PE 1 persen, tapi dampaknya
lebih besar pada PE 3 persen.

c. Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa
pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan
yang selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan
penurunan produksi CPO. Tambahan penenerimaan pemerintah dari PE
ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya,
sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja
ekonomi makro. Apabila pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE
CPO maka disarankan untuk menerapkan PE sebesar 3 persen dengan
HPE 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku.

VI-290
Pendapatan Petani

24. Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 3% sementara HPE mengikuti harga
CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada September mencapai
US$ 420 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir naik
cukup tinggi menjadi US$ 7,8 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar Rp78
per kg. Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban pungutan
ekspor yang besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha
kepada petani. Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp78 per kg
CPO, maka harga tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi
Rp15-Rp20 per kg. Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1
kg CPO jumlah TBS-nya harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS
20%). Selanjutnya, kalau harga TBS di petani saat ini sebesar Rp650 per kg,
maka harga beli pasti berkurang. Jika tarif ekspor hanya 1% dan HPE
disesuaikan dengan harga jual CPO di Rotterdam, maka pungutan ekspor
masih tetap rendah yakni US$ 4,20 per ton, sehingga tidak berpengaruh
pada pendapatan petani.

IV. REKOMENDASI KEBIJAKAN

25. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa penerapan PE atas CPO


berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto, daya saing CPO
Indonesia dibanding Malaysia di pasar dunia, kinerja agribisnis kelapa sawit
dan pendapatan petani.

26. Apabila pemerintah tetap menerapkan PE atas CPO untuk meningkatkan


penerimaan PNBP, maka disarankan agar tingkat PE tidak terlalu tinggi.
Apabila tingkat PE sebesar 3 persen, maka HPE disarankan sebesar 1/3 dari
harga CPO dunia yang berlaku. Namun jika tingkat PE sebesar 1 persen,
maka HPE disarankan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.

VI-291
VI-292
ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO
TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN
PENDAPATAN PETANI

Nizwar Syafa’at, Bambang Dradjat, Ketut Kariyasa, Supena Friyatno, Mohamad Maulana

PENDAHULUAN

Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditas strategis dalam
perekonomian Indonesia. Pertama, sebagai bahan utama minyak goreng yang
dikonsumsi masyarakat, CPO memainkan peran penting dalam menentukan
tingkat inflasi. Kedua, industri palm oil menyerap lebih dari dua juta orang tenaga
kerja. Ketiga, ekspor CPO merupakan sumber devisa negara yang telah
menghasilkan lebih dari satu juta USD sejak tahun 1997 hingga kini.
Luas areal tanam kelapa sawit yang pada tahun 1988 mencapai 862 ribu
hektar, meningkat menjadi sekitar 4 juta hektar pada tahun 2002. Peningkatan
areal tanam sekitar 11 persen per tahun ini, berdampak pada peningkatan
produksi CPO sebesar 10 persen per tahun, dari 342 ribu ton pada tahun 1988
menjadi 7,97 juta ton tahun 2002. Sementara itu, penggunaan CPO sebagai
bahan utama minyak goreng juga meningkat tajam sekitar 10 persen per tahun.
Industri CPO juga memainkan peran penting di pasar internasional. Laju
pertumbuhan produksi CPO merupakan yang tertinggi diantara kategori minyak
lainnya yang dikonsumsi. Bahkan CPO telah diprediksi akan melewati
perdagangan minyak kedele yang selama paling banyak diperdagangkan di pasar
dunia.
Dengan strategisnya posisi CPO dalam perekonomian, pemerintah telah
merilis kebijakan untuk mengoptimalkan pembangunan industrinya. Salah satu
kebijakan penting tersebut adalah kebijakan pajak ekspor yang pertama
dimplementasikan pada bulan Agustus 1994 untuk menstabilkan dan
mengamankan pasokan dan harga. Pajak ekspor yang pada awalnya dikenakan
pada CPO berkisar antara 40-60% yang dihitung secara berbeda berdasarkan
harga CPO internasional dan harga patokan ekspor. Sejak 4 Juli 1987 sampai
Februari 1998, pajak ekspor turun menjadi 5% dari harga CPO. Kemudian, selama
masa krisis ekonomi yang menyebabkan harga CPO meningkat tajam dan
depresiasi Rupiah, pemerintah melarang ekspor CPO diawal tahun 1998. Kondisi
ini menyebabkan perubahan kabijakan pajak ekspor yang sangat drastis, yaitu
VI-293
peningkatan pajak ekspor dari 5% menjadi 60% yang kemudian turun lagi menjadi
30% pada Juli 1999 dan 4% pada tahun 2002 (Susila, 2004).
Saat ini pemerintah mempunyai instrumen baru dalam kegiatan
perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (PE) yang dilegalisasi pada
tanggal 10 September 2005 dengan penerbitan PP No. 35 Tahun 2005. PP ini
pada dasarnya sebagai pengganti SK Menteri Keuangan tentang pajak ekspor
yang untuk kelapa sawit telah diterapkan sejak tahun 1984. Selain itu, PP ini
dimaksudkan untuk melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan yang
telah berlaku secara nasional diantaranya UU No. 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

JUSTIFIKASI DAN TUJUAN

Kontroversi yang berkembang sejak pembahasan draf PP hingga


penerbitannya pada dasarnya berkisar pada Pasal 2 dan 3. Secara umum
stakeholders agribisnis kelapa sawit nasional mengaitkan substansi dari tujuan
dan besarnya tarif PE serta HPE dengan dimensi manfaat, keadilan dan kepastian
hukum. Setelah mencermati PP tentang PE dalam perspektif pengembangan
industri kelapa sawit nasional, terdapat 2 pasal yang perlu dipahami secara
mendalam. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 2, tentang tujuan dan Pasal 3 ayat
5 dan 6, tentang besarnya tarif PE dan harga patokan ekspor (HPE). Kedua pasal
tersebut masih mengandung pertanyaan-pertanyaan seperti: “apakah
penetapannya telah mempertimbangkan nilai manfaat konkrit bagi seluruh
stakeholders kelapa sawit nasional, memenuhi rasa keadilan dan memiliki
kepastian hukum dalam pelaksanaannya?”.
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis tentang: tujuan penerapan PE dan
besarnya tarif PE dan HPE dengan mempertimbangkan manfaatnya bagi seluruh
stakeholders kelapa sawit nasional, beban yang harus ditanggung stakeholders
dan kepastian hukum (daya penegakan dan penegakan hukumnya), dan (2)
dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), kinerja agribisnis kelapa
sawit dan pendapatan petani.

VI-294
METODOLOGI

I. Kerangka Analisis Penerapan PE

Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional


berperan sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya
diutamakan untuk perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli
domestik (industri atau rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan,
kebijakan perdagangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah melalui pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri suatu
negara atau alasan-alasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah
tentang penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya lebih diutamakan untuk
meningkatkan penerimaan pemerintah dan proteksi bagi industri dalam negeri
penghasil produk turunan CPO, seperti industri minyak goreng dan oleokimia.
Dalam aspek legal, pungutan ekspor yang dimaksudkan dalam PP No. 35
tahun 2005 adalah pungutan ekspor yang dikenakan atas barang ekspor tertentu,
termasuk CPO dan produk turunannya. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PE untuk CPO dan produk
turunannya termasuk PNBP yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam.
Masih berdasarkan UU tersebut, sesuai jenisnya PNBP dari PE ini dapat
digunakan untuk kegiatan tertentu yang meliputi penelitian dan pengembangan
teknologi, pendidikan dan pelatihan, pelayanan yang melibatkan kemampuan
intelektual tertentu dan pelestarian sumber daya alam. Dengan ketentuan ini,
maka pungutan ekspor berbeda dengan pajak ekspor masa lalu. Penerimaan
negara dari pajak ekspor tidak jelas rincian penggunaannya.
Penerapan PE pada CPO dan produk turunannya mengandung
konsekuensi yang menguntungkan dan merugikan. Secara potensial, pihak yang
diuntungkan dari penerapan PE adalah pembeli dalam negeri (industri hilir minyak
sawit), pemerintah dan pesaing ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut.
Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena penerapan PE akan menekan harga
CPO dan produk turunannya di pasar dalam negeri. Penerimaan negara akan
meningkat sesuai dengan besarnya tarif, harga dan volume ekspor. Penerapan
PE cenderung menurunkan volume ekspor, sehingga pengekspor luar negeri
diuntungkan karena pengurangan ekspor CPO dan produk turunannya oleh
Indonesia merupakan peluang pasar bagi mereka.
VI-295
Sedangkan pihak yang dirugikan dari penerapan PE adalah produsen kelapa
sawit dan CPO nasional, pembeli (importir) CPO dan produk turunannya di luar
negeri, penyedia jasa di pelabuhan dan pemasok input perkebunan kelapa sawit
serta negara. PE akan menekan harga di pasar dalam negeri sehingga
menimbulkan disinsentif berproduksi bagi produsen CPO dan produk turunannya.
Hal ini dapat berwujud pengurangan penggunaan input sehingga pemasok input
juga mengalami imbas kerugian produsen. Khusus untuk kasus CPO, pengusaha
penghasil CPO akan menekan harga tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan
petani. Jadi secara implisit, TBS juga terkena pungutan ekspor, meskipun petani
tidak mengekspor. Selanjutnya, penurunan produksi CPO dan produk turunannya
menyebabkan ekspor CPO dan produk turunannya turun. Penurunan ekspor ini
mengakibatkan kebutuhan importir di luar negeri tidak terpenuhi. Bahkan, apabila
penerapan PE oleh Indonesia ini menimbulkan guncangan harga di pasar
internasional, maka importir akan membeli CPO dan produk turunannya dengan
harga lebih tinggi dari pada tanpa PE. Penurunan volume ekspor ini juga berarti
merugikan pelaku bisnis di pelabuhan dan negara juga kehilangan devisa.

II. Sumber Data, Lokasi dan Waktu Penelitian

Kajian ini menggunakan data sekunder. Sumber data adalah


lembaga/instansi yang terkait dengan data/informasi yang dibutuhkan dalam kajian
ini antara lain seperti Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian dan Kantor Pemasaran
Bersama PT. Perkebunan Nusantara, dan hasil kajian yang dilakukan oleh peneliti
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dan Lembaga Riset
Perkebunan Nasional.

III. Metode Analisis

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah metode – metode yang berkaitan dengan


pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi
yang berguna (Walpole, 1995). Analisis Deskriptif memberikan informasi
mengenai sekumpulan data dan mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis
selanjutnya, jika diperlukan analisis ini meliputi penyusunan ukuran pemusatan,
ukuran penyebaran, label, diagram dan grafik. Akan tetapi jika dari hasil analisis ini
VI-296
sudah dapat diambil kesimpulan yang tepat maka tidak perlu menganalisis dengan
cara yang lebih rumit. (Clark and Schkade, 1983).

Profit Loss Analysis


Profit Loss Analysis digunakan mengetahui berapa besar perubahan
keuntungan atau kerugian yang diperoleh para petani dengan diberlakukannya
pungutan ekspor terhadap produk CPO. Profit Loss Analysis ini dihitung dengan
menggunakan rumus :
1) HPE = TR – TC ............................................................................ (1)
n n
HPE = P.Q - ( ∑ TC + ∑ Pi X i ) .............................................. ........
i =1 i =1
(2)

dimana :

HPE = Harga Patokan Ekspor (USD/unit atau Rp/unit)


TR = total penerimaan
TC = total biaya
P = harga per unit
Q = jumlah unit
PI = harga komponen biaya operasional
XI = jumlah komponen biaya operasional

2) Local CPO Price = Tender KPB Price - PPN – Local Transport Price ......... (3)
Dimana :
Tender KPB Price = harga lelang CPO oleh KPB ex Kuala Lumpur bulan
Oktober 2005 (USD/unit atau Rp/unit).
PPN = Pajak Pertambahan Nilai = 10% x TR
Local Transport Price (Rp).

3) Profit Loss Analysis = HPE – Local CPO Price

Jumlah Pungutan Ekspor


Untuk jumlah pungutan ekspor dihitung dengan cara :

Tarif Pungutan Ekspor x Jumlah Ekspor x HPE x Nilai Kurs Rp


terhadap USD ................................................................ ............................... (4)

VI-297
HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Luas dan Produksi Kelapa Sawit

Melalui berbagai upaya pengembangan, baik yang dilakukan oleh


perkebunan besar, proyek-proyek pembangunan maupun swadaya masyarakat,
perkebunan kelapa sawit telah berkembang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas
areal yang baru 120 ribu ha menjadi 5.743 ribu ha pada tahun 2003. Selain dari
pertumbuhan areal yang cukup besar tersebut, hal lain yang lebih mendasar lagi
adalah penyebarannya, yang semula hanya ada pada 3 propinsi saja di Sumatera,
tetapi saat ini telah tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Sumatera masih memiliki
areal terluas di Indonesia, yaitu mencapai 75,98% diikuti Kalimantan dan
Sulawesi, masing-masing 20,53% dan 2,81%. Komposisi pengusahaan kelapa
sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya hanya perkebunan besar,
tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Pada
tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu ha (34,9%),
perkebunan negara seluas 645 ribu ha (12,3%) dan perkebunan besar swasta
seluas 2.765 ribu ha (52,8%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan,
sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan
swasta dan perkebunan rakyat.
Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kelapa sawit juga
mengalami peningkatan, dari hanya 181 ribu ton CPO pada tahun 1968 menjadi
9,8 juta ton pada tahun 2003 (Tabel 1), dengan komposisi Perkebunan rakyat (PR)
memberi andil produksi CPO sebesar 3.645 ribu ton (37,12%), perkebunan besar
negara (PBN) sebesar 1.543 ribu ton (15,7 %) dan perkebunan besar swasta
(PBS) sebesar 4.627 ribu ton (47,13%).
Produksi tersebut dicapai pada tingkat produktivitas PR sekitar 2,73 ton
CPO/ha atau setara 13,65 ton TBS (tandan buah segar)/ha, PBN 3,14 ton CPO/ha
atau setara 15,70 ton TBS/ha dan PBS 2,58 ton CPO/ha atau sekitar 12,90 ton
TBS/ha. Produksi tersebut akan terus meningkat di masa datang, yang berasal
dari tanaman belum menghasilkan (TBM) saat ini dan dari pengoptimalan
tanaman menghasilkan (TM) yang telah ada. Perkebunan kelapa sawit juga telah
menyebar ke berbagai wilayah Indonesia dengan perbandingan 85,55%
Sumatera, 11,45% Kalimantan, 2%, Sulawesi, dan 1% wilayah lainnya.
Produktivitas perkebunan kelapa sawit di Sumatera relatif lebih tinggi
VI-298
dibandingkan dengan di Kalimantan dan Sulawesi. Disamping CPO, perkebunan
kelapa sawit juga menghasilkan minyak inti sawit yang pada tahun 2003 mencapai
tidak kurang dari 2,1 juta ton (Tabel 2).

Tabel 1. Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan, 1991- 2003.

Produksi Minyak Sawit (ribu ton)


Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan
Jumlah
Rakyat Milik Negara Besar Swasta
1991 413 1.360 884 2.657
1992 699 1.489 1.077 3.266
1993 582 1.469 1.370 3.421
1994 839 1.572 1.597 4.008
1995 1.001 1.614 1.864 4.479
1996 1.133 1.707 2.058 4.898
1997 1.293 1.800 2.287 5.380
1998 1.648 1.857 2.435 5.640
1999 1.544 1.846 2.615 6.005
2000 1.978 1.971 3.632 7.581
2001 2.801 1.606 4.690 9.097
2002 3.134 1.643 5.243 10.020
2003 3.649 1.673 5.361 10.683
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian (2004).

Tabel 2. Produksi Minyak Inti Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Pada 1991- 2003.

Produksi Inti Sawit (ribu ton)


Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan Jumlah
Rakyat Negara Swasta
1991 85 285 181 551
1993 105 288 209 602
1994 196 384 362 942
1997 279 423 526 1.229
1999 357 440 595 1.393
2000 396 453 726 1.575
2001 560 369 938 1.868
2002 627 378 1.049 2.053
2003 730 385 1.072 2.187
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian (2004).
VI-299
Perkembangan Ekspor dan Harga Minyak Sawit
Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan
mendesak Indonesia juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor
minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina dan Jepang.
Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil,
CPO dan beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit
Indonesia 1988-2000 meningkat dengan laju 13,5%/tahun (Tabel 3).

Tabel 3. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Inti Sawit, 1990 – 2002.

Ekspor
Tahun Minyak sawit Minyak Inti Sawit
Volume (ton) Nilai (ribu US$) Volume (ton) Nilai (ribu US$)
1990 815.580 203.507 158.303 44.182
1991 1167.689 335.481 136.322 42.754
1992 1.030.272 356.494 222.541 109.841
1993 1.632.012 582.629 275.225 110.188
1994 1.631.203 717.811 340.504 177.583
1995 1.265.024 747.414 311.399 187.267
1996 1.671.957 825.415 341.318 235.168
1997 2.967.589 1.446.100 502.979 294.255
1998 1.479.278 745.277 347.009 195.447
1999 3.298.987 1.114.242 597.843 347.975
2000 4.110.027 1.087.278 578.825 239.120
2001 4.903.218 1.080.906 581.926 146.259
2002 6.333.708 2.092.404 73.846 256.234
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian (2003).

Impor minyak sawit umumnya dalam bentuk olein dari Malaysia (Tabel 4).
Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana terjadi rush export
dari Indonesia. Dalam keadaan demikian biasanya pemerintah menggunakan
mekanisme pajak ekspor untuk menjamin pasokan dalam negeri yang besarnya
pernah mencapai 60%. Dengan pajak ekspor 60%, praktis seluruh pasokan
Indonesia diserap oleh pasar domestik, dan tidak ada kelebihan ekspor dari
menjual di dalam negeri.

VI-300
Tabel 4. Volume dan Nilai Impor Minyak Sawit dan Inti Sawit Indonesia, 1988-1997.

Impor
Tahun Minyak sawit Minyak Inti Sawit
Volume (ton) Nilai (ribu US$) Volume (ton) Nilai (ribu
1988 302.190 120.422 490 US$)
247
1989 412.392 224.904 61 35
1990 26.183 7.662 530 304
1991 37.874 13.891 17.493 7.803
1992 308.743 113.511 17.222 12.097
1993 151.939 63.671 3.327 1.944
1994 123.637 55.715 13.917 7.988
1995 49.785 48.113 4.239 3.277
1996 107.553 61.173 3.132 2.735
1997 91.680 55.456 3.159 3.011
1998 17.618 8.459 554 526
1999 1.648 543 1.209 1.004
2000 4.350 4.020 3.638 2.404
2001 141 60 4.974 2.464
2002 9.499 3.267 2.362 1.478
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2003).

Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan


internasional sejak tahun 1988 sampai dengan 2002 menunjukkan kecenderungan
yang menaik (Tabel 5). Pergerakan harga minyak sawit di pasar internasional
ditransmisikan ke pasar domestik (border price dan whole sale price) melalui
mekanisme pasar. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik
searah dengan perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional. Selain
itu, harga minyak sawit juga mempunyai fluktuasi musiman (Gambar 1). Dalam
semester 1, harga pada bulan Januari biasanya adalah paling tinggi kemudian
turun melandai dalam Februari sampai Mei. Dalam semester 2, penurunan harga
yang paling tajam terjadi pada Mei-Juli/Agustus dan naik sampai dengan bulan
Januari.

VI-301
Tabel 5. Harga Rata-Rata Minyak Sawit di Pasar Domestik dan Internasional 1988 –
2003.

Harga Harga
Harga Lokal Harga Lokal
Tahun Ekspor Tahun Ekspor
(Rp/kg) (Rp/kg)
(US $ / ton) (US $ / ton)
1988 502 463 1996 1.275 532
1989 552 524 1997 1.148 545
1990 531 280 1998 1.424 678
1991 655 333 1999 3.943 438
1992 728 291 2000 2.979 310
1993 728 407 2001 2.412 276
1994 694 525 2002 2.049 389
1995 988 649 2003 2.840 449
Sumber : Laporan mingguan Bank Indonesia dan BPS 2003.
107

110

104
103
102
102

102

102
faktor musiman

105
99

98
100
95
93
93

95
90
85
MAR

MAY

OCT

DEC
JAN

APR

JUL
JUN

AUG

NOV
FEB

SEP

Gambar 1. Pola harga CPO

Neraca Minyak Kelapa Sawit Untuk Penggunaan Domestik


Hingga saat ini, konsumsi minyak sawit domestik diperkirakan sekitar 50%-
60% dari produksi dan penggunaannya sebagian besar untuk pangan (80%-85%)
sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil (15%-20%). Menurut
perkiraan, pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5
%/tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar
dibandingkan pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia (10%). Dengan perkiraan

VI-302
tersebut, maka neraca minyak kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir
bergerak dari surplus ke arah keseimbangan, identik dengan neraca dunia
(Tabel 6).

Tabel 6. Neraca Minyak Sawit Indonesia dan Dunia, 1998-2002.

No Uraian 1998 1999 2000 2001 2002


1 Stok Awal
Indonesia 510 700 860 750 975
Dunia 3,203 2,688 3,701 4,015 4,098
2 Produksi
Indonesia 5,640 6,250 6,950 8,030 9,020
Dunia 17,154 20,625 21,874 23,921 25,033
3 Ekspor
Indonesia 2,002 3,319 4,140 4,940 6,380
Dunia 11,417 14,172 15,217 17,688 19,545
4 Impor
Indonesia 18 2 0 0 9
Dunia 11,528 13,939 15,215 17,569 19,300
5 Konsumsi
Indonesia 2,832 2,895 2,927 2,857 2,933
Dunia 17,663 19,493 21,589 23,742 24,952
6 Stok Akhir
Indonesia 700 860 750 975 700
Dunia 2,688 3,701 4,015 4,098 3,935
7 (Stok Awal + Produksi + Impor) –
(Stok Akhir + Konsumsi + Ekspor)
atau Penawaran-Permintaan

Indonesia 633 (122) (7) 8 (8)


Dunia 117 (114) (31) (24) (0)
Sumber : Oil World (2004).

Tinjauan Kritis Terhadap PP 35 Tahun 2005


Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan
produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya
kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii)
mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor
tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri.

VI-303
Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan
keadilan dari PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas, maka
penetapan tujuan PE ini semata-mata hanya memperhatikan kepentingan pembeli
domestik dan kepentingan negara (pemerintah) yang dilihat secara parsial.
Kepentingan produsen, yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit,
penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya terabaikan.
Tidak ada pernyataan dalam tujuan yang relevan dengan kepentingan produsen,
penyedia jasa bisnis dan pemasok input. Sedangkan kepentingan pelestarian
sumber daya alam malahan mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan
sebagai tujuan kedua.
Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan
keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit sehingga
industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya dengan harga rendah
(terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi terselubung bagi industri
hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut, negara dapat mengumpulkan
penerimaan negara bukan pajak. Perolehan penerimaan negara ini tidak
dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE. Dengan perhitungan sederhana,
akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak pertengahan 1998 hingga akhir tahun
2003 mencapai sekitar Rp. 6,85 Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat
mungkin dicapai dengan penetapan formula penerimaan ekspor dengan
komponen yang terdiri dari volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan
ekspor, tarif PE dan nilai kurs Rupiah.
Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan
terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam
pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produk-produk
kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga apabila tidak
dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes yang sering
muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam adalah karena
kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal ini pembangunan
perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan yang tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks pencapaian tujuan, lantas
bagaimana PE dapat melindungi kelestarian sumber daya alam?. Pencantuman
tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam sekaligus dapat diartikan

VI-304
sebagai pembenaran atas adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam
kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE
mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan petani
kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk
turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada pernyataan tujuan
yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu kebijakan publik
selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh stakeholders.
Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan
pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35 Tahun
2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa keadilan bagi
stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa bisnis
berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya. Tujuan
untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum jelas kepastian
hukumnya tentang bagaimana mencapainya.

Tarif PE, HPE dan Nilai Kurs Berpotensi Sebagai Sumber Distrorsi

Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai Pasal 3, tarif PE


ditetapkan secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan
rumus: Tarif PE x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs.
Tarif atas PE CPO dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi 60%.
Besarnya tarif PE dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya
HPE ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri Teknis terkait,
seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya memberi
pertimbangan dan/atau usul atas penetapan besarnya tarif dan HPE. Formulasi di
atas pada dasarnya tidak merubah ketentuan PE yang berlaku sebelumnya.
Sebagai ilustrasi dapat disampaikan data perkembangan pengenaan PE untuk
CPO dari bulan Juli 1998 hingga Maret 2005 (Tabel 7).
Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 3%
untuk tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 1% untuk crude
olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO) dan Refined
Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan Menteri Keuangan
pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE masih belum ditentukan oleh
Menteri Perdagangan. Menurut Menteri Perdagangan, sesuai aturan yang berlaku
VI-305
selama ini, kalau belum ada penetapan HPE yang baru, maka HPE yang lama
masih berlaku. Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005, HPE CPO dan produk
turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang saat
ini berkisar US$ 420 per ton.

Tabel 7. Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya.
PE HPE Harga Nilai Kurs
Tahun
(%) (US$/ton) (US$/ton) (RP/US$)
Juli 98-Feb 99 60 610 650 14.550
Feb 99-Juni 99 40 535 535 8.850
Juni 99-Juli 99 30 365 440 8.171
Juli 99-Sept 99 10 260 312 6.873
Sept 99-Feb 2001 5 190 335 8.250
Feb 2001-Juni 2002 3 160 175 9.598
Juni 2002-Maret 2005 3 160 429 9.750
2
Sumber: Rosediana (2005)

Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak


terlepas dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya
berkisar pada pilihan antara (i) tarif PE turun dari 3% menjadi katakanlah 1%
dengan HPE disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE tetap
3% dengan HPE juga tetap US$ 160 per ton. Saat ini tarif PE CPO telah
ditetapkan 3%, sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE.
Jika harga net ekspor CPO Indonesia ex Kuala Lumpur berdasarkan nilai
absolut PE pada bulan September 2005 sebesar USD 4,80 (PE 1%),
menghasilkan HPE sebesar USD 360/MT atau sebesar Rp.3.600,36/kg (Tabel 8).
Tarif PE CPO yang saat ini telah ditetapkan pemerintah sebesar 3%
menyebabkan harga ekspor turun menjadi Rp. 3.538.36/kg. Hal ini sangat
mempengaruhi perhitungan profit loss analysis. Jika PE sebesar 1% dari HPE ex
Kuala Lumpur maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 23,06/kg sedangkan

2
Rosediana, S. (2005). Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar
Nasional “Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Menuju Kesinambungan Sosial Ekonomi” yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 28
September 2005.
VI-306
Tabel 8. Perhitungan Profit Loss Analysis Dengan Menggunakan Harga CPO Ekspor dan Tender
KPB Ex Kuala Lumpur, Malaysia, Oktober 2005.

Nilai per
No. Transaction Info Satuan Nilai Nilai per Unit Nilai
Unit
A Penerimaan
1 Jumlah MT 5,000 5,000
2 Harga USD 386 386
3 Nilai USD 1,930,000 1,930,000
B Biaya
1 Pajak Ekspor 4.80 Per MT (USD) 24,000 11.00 55,000
2 Bongkar Muat 19.00 Per MT (USD) 95,000 19.00 95,000
3 Surveyor USD 1,155 1,155
4 L/C Ekspor - USD - - -
5 Pelabuhan 3,000,000 Rp 3,000,000 3,000,000 3,000,000
6 Asuransi 0.18 % (USD) 3,474 0.18 3,474
7 Penyusutan 0.30 % (USD) 5,790 0.30 5,790
8 Total Biaya (USD) 129,519 160,519
9 Total Biaya Rp 3,000,000 3,000,000
10 Grand Total Biaya 129,819 160,819
C Nilai Tukar Rp 10,000.00 10,000.00
D Harga Ekspor
Total Nilai Ekspor USD 1,930,000 1,930,000
Total Biaya Ekspor USD 129,819 160,819
Nilai Ekspor Total USD 1,800,181 1,769,181
Harga Ekspor Total USD/MT 360.0 353.84
Dalam Rp (Asli) Rp/kg 3,600.36 3,538.36
E Harga CPO Lokal
Tender KPB Price incl. PPN Rp 4,097 4,097
PPN 10% Rp 410 410
Tender Price Excl. PPN Rp 3,687 3,687
Transportasi Lokal Rp 110 110
Nett Tender Price Rp 3,577 3,577
FOB incl. PPN Rp 3,987 3,987
F Profit and Loss Analysis
- Harga Ekspor Bersih 3,600.36 3,538.36
- Harga Dalam Negeri 3,577.30 3,577.30
Profit (Loss) Rp/kg 23.06 (38.94)
Total Profit
in Rp 115,310,000 (194,690,000)
Penerimaan Negara 5,000 MT 240,000,000 5,000 MT 550,000,000
700,000 MT 33,600,000,000 700,000 MT 77,000,000,000
Sumber : Ditjen BP2HP Deptan, 2005, diolah.

VI-307
bila PE sebesar 3% maka terdapat kerugian jika melakukan ekspor karena harga
lokal lebih tinggi. Kerugian tersebut mencapai Rp. 38.94/kg. Dengan jumlah
ekspor sebesar 5000 MT CPO maka total keuntungan ekspor yang dapat ditarik
dengan memberlakukan PE sebesar 1% adalah Rp. 115.310.000,00. Sedangkan
bila PE sebesar 3% maka total kerugian dapat mencapai Rp. 194.690.000,00.
Total penerimaan negara dari PE sebesar 1% untuk skala ekspor 5000 MT
mencapai Rp. 240 juta, sedangkan untuk peningkatan PE menjadi 3% maka total
penerimaan negara mencapai Rp. 550 juta. Apabila besaran ekspor dihitung
berdasarkan ekspor CPO Indonesia ke Rotterdam Belanda sebesar 700.000 MT
maka akan menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 33,6 milyar untuk PE 1% dan
Rp. 77 milyar untuk PE 3%.
Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu
diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk tarif
PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan (i)
sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi
mengguncang pasar CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak negatif
bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk program dan
kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional dan target PNBP.
Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan HPE
disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa bisnis dan keuntungan
perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu, kajian dan simulasi penetapan
tarif PE dan HPE sangat diperlukan.
Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE, khususnya Pasal 2
dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu disempurnakan
pada aspek-aspek : (i) memberi perhatian terhadap manfaat pengenaan PE bagi
pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii) menciptakan keadilan dengan
memperhatikan kepentingan stakeholders, terutama petani secara proporsional,
dan (iii) memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya
penegakan dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan implementasi
penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
dimaksud. SK Menteri dan pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya
menjadi bahan pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005,
bukannya menjadi sumber diskresi dari PP tersebut.

VI-308
Analisis Dampak Penerapan PE CPO (PP No 35/2005)

Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu : (1) dampak terhadap
Produk Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3)
dampak terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE (pungutan
ekspor) CPO yaitu :
d. PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
e. PE sebesar 3 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,
f. PE sebesar 3 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE
berada sekitar 1/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 1
persen dari harga CPO dunia yang berlaku.

Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 3 persen dari
HPE CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua
kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu: (1) pemerintah
menetapkan besaran HPE sebesar 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku yang
berarti setara dengan PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku;
(2) pemerintah merevisi besaran PE dari 3 persen menjadi 1 persen, tetapi HPE
ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.

(1) Produk Domestik Bruto

Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang
diterima produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada
konstraksi kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun
demikian, PE atas CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam negeri
menurun sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut. Dampak
selanjutnya adalah ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam mengeri. Selain
itu, PE atas CPO akan meningkatkan penerinaan PNBP negara sebagai dana
pembangunan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi nasional.
Dampak kontraksi dan ekspansi dari penerapan PE tersebut secara umum
akan tercermin dari PDB. Apabila PDB meningkat mengidentifikasikan bahwa PE
tersebut berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi nasional, tetapi
sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel 7 tersebut terlihat bahwa penerapan PE
akan menyebakan penurunan PDB disemua skenario. Dampak penerapan PE 3
persen terhadap penurunan PDB lebih besar dibanding PE 1 persen. Ini

VI-309
mengindikasikan bahwa peningkatan PE ternyata tidak mampu mengakselerasi
kegiatan industri hilir dalam negeri yang menciptakan nilai tambah lebih besar
untuk mengkompensasi kehilangan nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan
PE pada kegiatan agribisnis kelapa sawit. Oleh karena itu, disarankan agar
pemerintah tidak menerapkan PE terlalu tinggi dibanding yang berlaku sekarang.

Daya Saing CPO Indonesia vs Malaysia


Sebuah negara mempunyai keunggulan komparatif terhadap suatu produk
jika mampu menghasilkan produk yang lebih baik dengan harga yang lebih murah
(Simeh, 2004). Pengenaan PE akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia
di pasar dunia, sementara harga ekspor CPO Malaysia tetap akibatnya daya saing
CPO Indonesia menurun terhadap CPO Malaysia. Hal ini tercermin dari
meningkatnya volume ekspor CPO Malaysia sementara volome ekspor CPO
Indonesia mengalami penurunan pada semua skenario.
Makin tinggi Pengenaan PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume
ekspor CPO Malaysia. Oleh karena itu, disarankan agar tingkat PE atas CPO
Indonesia tidak terlalu besar agar pangsa pasar CPO Indonesia tidak direbut oleh
CPO dari Malaysia.
Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor minyak sawit kedua
terbesar di dunia setelah Malaysia. Malaysia memegang peranan penting dalam
perdagangan minyak sawit pada akhir tahun 1960-an saat Indonesia dan Nigeria
mengalami stagnasi produksi. Pada tahun 1969 pangsa ekspor minyak sawit
Malaysia mencapai sekitar 43.48 persen dari ekspor minyak sawit dunia dan pada
tahun 2002 pangsa ekspor Malaysia tumbuh menjadi 57,28 persen. Pada periode
yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 20.49 persen dan
32,64 persen. Sisanya dikuasai oleh beberapa negara, seperti Papua Nugini dan
Pantai Gading (Tabel 9).
Amerika Serikat, Belanda dan Pakistan secara tradisional merupakan
negara pengimpor utama minyak sawit. Pada tahun 1969 ketiga negara
mengimpor sekitar 11 persen dari impor minyak sawit dunia. Pada tahun 2002,
pangsa impor ketiga negara meningkat menjadi sekitar 13.35 persen (Tabel 10).
Perubahan pangsa impor ketiga negara tersebut terjadi karena adanya
peningkatan impor oleh Pakistan yang cukup nyata. Saat ini ketiga pengimpor
minyak sawit tersebut berperan cukup penting bagi Indonesia.

VI-310
Tabel 9. Ekspor (ton) dan Pangsa Ekspor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2002.

Indonesia Malaysia
Tahun Dunia
Ton % Ton %
1969 179 113 20.49 380 000 43.48 874 000
1974 281 221 16.52 900 000 52.88 1 702 000
1979 351 280 11.85 1 900 000 64.08 2 965 000
1984 127 938 2.85 2 978 000 66.30 4 492 000
1989 781 844 10.39 5 213 000 69.28 7 525 000
1994 1 631 203 14.80 6 895 200 62.58 11 019 000
1999 3 298 987 23.25 9 234 700 65.09 14 186 500
2000 4 110 027 26.99 9 280 000 60.95 15 226 100
2001 4 939 700 27,92 10 732 700 60,67 17 688 100
2002 6 379 500 32,64 11 195 400 57,28 19 544 900

Sumber : Oil World (berbagai terbitan), diolah .

Tabel 10. Impor (ton) dan Pangsa Impor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2002.

AS Belanda Pakistan
Tahun Dunia
Ton % Ton % Ton %
1969 61 000 5.95 42 097 4.10 1 000 0.10 1 025 687
1974 200 000 9.84 39 872 1.96 90 000 4.43 2 031 872
1979 145 000 4.37 60 478 1.82 192 000 5.78 3 319 478
1984 148 000 3.10 24 546 0.51 400 000 8.37 4 777 268
1989 108 000 1.40 169 383 2.20 538 000 6.98 7 711 830
1994 149 000 1.25 434 100 3.64 1 114 000 9.34 11 925 304
1999 142 900 1.02 748 400 5.37 1 051 800 7.54 13 944 000
2000 165 100 1.08 775 500 5.09 1 107 100 7.27 15 234 300
2001 171 100 0,97 985 000 5,60 1 325 000 7,54 17 569 300
2002 219 000 1,13 1 061 400 5,49 1 300 000 6,73 19 299 700

Sumber : Oil World (berbagai terbitan), diolah.

Pada ketiga pasar tersebut, Malaysia merupakan pesaing utama Indonesia


dan umumnya CPO asal Malaysia lebih kompetitif karena antara lain, mutu yang
lebih baik dan adanya kemudahan-kemudahan yang didapat Malaysia dari negara
pengimpor dan tidak diperoleh Indonesia. Namun, perkembangan ekspor minyak
sawit Malaysia diperkirakan akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumber daya
VI-311
lahan dan tingginya tingkat upah pekerja. Sedangkan Indonesia masih mempunyai
potensi untuk berkembang karena dukungan biaya produksi murah dan lahan
potensial yang masih tersedia. Namun Indonesia juga menghadapi kendala dalam
pengembangan ekspor karena tingkat konsumsi domestik tinggi. Sementara itu,
Malaysia pun tidak berdiam diri dan terus meningkatkan produktivitas tenaga
kerjanya, sehingga mereka mengembangkan dengan sungguh-sungguh industri
produk turunan CPO yang bernilai lebih tinggi.
Berdasarkan data produksi tahun 1999 – 2004, terlihat jelas bahwa
Malaysia masih menempati peringkat pertama di dunia untuk produksi CPO. Pada
tahun 1999 produksi CPO Malaysia sekitar 10,6 juta ton, sedangkan Indonesia
hanya 6 juta ton (56,6 %). Pada tahun 2004 Produksi CPO Malaysia meningkat
menjadi 14 juta ton, sedangkan Indonesia sebesar 11,4 juta ton (81,4%).
Peningkatan produksi CPO Indonesia lebih besar disebabkan oleh peningkatan
luas areal penanaman kelapa sawit. Sedangkan produksi negara lainnya, seperti
Colombia, Ivory Coast dan Thailand masih jauh di bawah tingkat produksi
Indonesia maupun Malaysia (Tabel 11).

Tabel 11. Produksi CPO Negara Pesaing 1999 – 2004 (000 ton).

No Negara 1999 2000 2001 2002 2003 2004


1 Colombia 500 524 548 528 527 632
2 Ecuador 220 238 240 245 - -
3 Indonesia 6060 7000 7900 9200 10300 11430
4 Ivory Coast 282 266 247 280 - 790
5 Malaysia 10553 10840 11804 11908 13354 13974
6 Nigeria 720 740 770 775 785 -
7 Papua New Guinea 270 336 - - - -
8 Philipina - 54 55 56 - -
9 Thailand 410 525 600 600 640 670
10 Negara Lainnya 1262 1300 1661 1693 2276 2493
Total 20277 21823 23825 25285 27882 29989
Sumber : Oil World (2005).

(2). Agribisnis Kelapa Sawit

Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa


sawit disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis tersebut dapat dirangkum sebagai
berikut :

VI-312
Tabel 12. Dampak Pungutan Ekspor (PE) terhadap kinerja Agribisnis Kelapa
Sawit dan Ekonomi Nasional (%)*)

Peubah 0% menjadi 1%**) 0% menjadi 3%**) 1% menjadi 3%**)

Produktivitas Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000


Produktivitas Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Produktivitas Swasta 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Luas Menghasilkan Negara (0.00008934) (0.00026593) (0.00017659)
Luas Menghasilkan Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Luas Menghasilkan Swasta (0.00512994) (0.01538651) (0.01025710)
Serapan T. Kerja Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Serapan T. Kerja Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000
Serapan T. Kerja Swasta (0.00067432) (0.00134864) (0.00067432)
Harga CPO dalam Negeri (0.00142792) (0.00285584) (0.00142794)
Konsumsi CPO dalam Negeri 0.00000551 0.00001653 0.00001102
Vol. Ekspor CPO Indonesia (0.01126562) (0.03379339) (0.02253031)
Nilai Ekspor CPO Indonesia (0.02294849) (0.06882694) (0.04588898)
Vol. Ekspor CPO Malaysia 0.00000389 0.000011666 0.00000777
Produksi CPO Indonesia (0.00678744) (0.02035882) (0.01357231)
Nilai Tambah CPO Indonesia (0.00341154) (0.01023309) (0.00682178)
Produk Domestik Bruto Indonesia (0.00000413) (0.00001031) (0.00000619)
Keterangan :
*) Model yang digunakan adalah model ekonometrik persamaan simultan yang terdiri dari Blok
produksi, konsumsi dan perdagangan.
**) 0, 1, 3 % besaran Pungutan Ekspor (PE) dalam % x harga CPO dunia; dan PE 1% setara
dengan PE 3% x HPE (Harga Patokan Ekspor) yang berlaku saat ini sekitar US$ 160 per ton
( ) tanda dalam kurung menunjukkan penurunan atau pengurangan.

a. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 1 persen dari harga CPO


dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, maka produksi CPO
Indonesia mengalami penurunan karena luas tanaman yang menghasilkan
menurun, volume ekspor menurun lebih besar dibanding kenaikan konsumsi
domestik. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan terjadi pada
perkebunan negara dan swasta, sedangkan perkebunan rakyat tidak terjadi.
Penurunan luas tanaman yang menghasilkan pada perkebunan negara dan
swasta sebagai respon penurunan harga Tandan. Dampak dari penurunan
luas tanaman yang menghasilkan tersebut menyebabkan penyerapan tenaga
kerja pada usahatani kelapa sawit menurun. Penurunan volume ekspor akan
berdampak pada penurunan penerimanan devisa negara dari ekspor CPO.
Walaupun terjadi peningkatan penerimaan negara dari PE, namun secara
keseluruhan PDB nasional mengalami penurunan.

VI-313
b. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 3 persen dari harga CPO
dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah dampaknya sama
dengan pemberlakuan PE 1 persen, tapi dampaknya lebih besar pada PE 3
persen.

c. Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa
pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan yang
selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan penurunan
produksi CPO. Tambahan penerimaan pemerintah dari PE ternyata tidak
mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya, sehingga penerapan
PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja ekonomi makro. Apabila
pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE CPO maka disarakan untuk
menerapkan PE sebesar 3 persen dengan HPE 1/3 dari harga CPO dunia
yang berlaku.

(3) Pendapatan Petani


Harga Tandan Buah Segar (TBS) pada saat PE 1% bulan September 2005
adalah sebesar Rp. 587,75/kg (Tabel 13). Kenaikan PE menjadi 3% menyebabkan
harga TBS semakin rendah. Ditambah lagi dengan adanya kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM) yang rata-rata mencapai 107% juga sangat mempengaruhi
turunnya harga TBS. Kedua hal tersebut menyebabkan harga TBS turun menjadi
Rp. 577,21/kg.
Penurunan harga TBS menyebabkan keuntungan petani menurun dari Rp.
194,75/kg menjadi Rp. 87,61/kg, atau turun sebesar 55%. Jika diasumsikan 1 KK
petani kelapa sawit memiliki lahan rata-rata 2 ha dengan produktivitas 15 ton
TBS/ha/tahun maka keuntungan per KK menurun dari sekitar Rp. 5,8 juta menjadi
hanya Rp. 2,6 juta.
Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 3% sementara HPE mengikuti harga
CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada September mencapai
US$ 420 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir naik cukup
tinggi menjadi US$ 7,8 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar Rp78 per kg.
Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban pungutan ekspor yang
besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha kepada petani.
Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp78 per kg CPO, maka harga
tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi Rp15-Rp20 per kg.
VI-314
Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1 kg CPO jumlah TBS-nya
harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS 20%). Selanjutnya, kalau harga
TBS di petani saat ini sebesar Rp 650 per kg, maka harga beli pasti berkurang.
Jika tarif ekspor hanya 1% dan HPE disesuaikan dengan harga jual CPO di
Rotterdam, maka pungutan ekspor masih tetap rendah yakni US$ 4,20 per ton,
sehingga tidak berpengaruh pada pendapatan petani.

Tabel 13. Pengaruh Kenaikan BBM dan PE Terhadap Biaya Produksi TBS, 2005.

Biaya Pengaruh Kenaikan Pengaruh Kenaikan


Uraian Produksi/ Kg BBM PE dan BBM
TBS % Rp
Biaya Pemupukan 100.00 30 130.00 130.00
Biaya Pemeliharaan 133.00 20 159.60 159.60
Biaya Panen 100.00 20 120.00 120.00
Biaya Transport TBS 50.00 40 70.00 70.00
Biaya Administrasi / Iuran, dll 10.00 - 10.00 10.00
Total Biaya 393.00 489.60 489.60
Harga Jual TBS 587.75 587.75 577.21
Keuntungan Petani 194.75 98.15 87.61
Pendapatan per KK Plasma 17,632,500 17,632,500 17,316,300
Biaya Produksi per KK Plasma 11,790,000 14,688,000 14,688,000
Keuntungan per KK Plasma 5,842,500 2,944,500 2,628,300
Penurunan Keuntungan (%) 49.60 55.00
Sumber : Dirjen BP2HP, Deptan, 2005.
Keterangan :
1. Asumsi 1 KK memiliki 2 ha dengan produktivitas 15 ton TBS/ha/tahun
2. Kenaikan BBM rata-rata 107%
3. Kenaikan PE dari 4.80 menjadi 11.00 USD.

Prospek Dan Potensi Pengembangan Kelapa Sawit


Prospek
Harga. Hingga tahun 2008, harga minyak sawit di pasar Rotterdan
diperkirakan akan mengalami kenaikan walaupun secara riil akan mengalami
sedikit penurunan karena adanya kenaikan inflasi. Pada tahun 2004, harga
minyak sawit di Rotterdam sekitar US$ 0.56/kg dan pada tahun 2008 mencapai
US$ 0.68/kg (Gambar 2). Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari
berkembangnya pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang.
Dengan kata lain, minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan.

VI-315
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
2004 2005 2006 2007 2008

Harga riil Harga nominal

Gambar 2. Harga Riil dan Nominal CPO di Rotterdam (US$/kg)

Ekspor. Meskipun hingga tahun 2008 ekspor CPO Indonesia meningkat


dengan laju 5.22% per tahun, Malaysia masih tetap unggul dibandingkan
Indonesia. Ekspor Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 masing-masing 4.57
juta dan 5.6 juta ton menjadi 5.61 juta dan 8.78 juta ton pada tahun 2008
(Gambar 3). Dalam periode di tersebut, Indonesia akan menguasai 33.32%,
sedangkan Malaysia menguasai 56.90% dari total ekspor dunia.

16,000,000
14,000,000
12,000,000
10,000,000
8,000,000
6,000,000
4,000,000
2,000,000
-
2004 2005 2006 2007 2008

Ekspor Indonesia Ekspor Malaysia Ekspor Dunia

Gambar 3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia, Malaysia dan Dunia (ton).


VI-316
Gambar di atas juga mengisyaratkan bahwa hanya dengan pertumbuhan
minimal 17.69% per tahun, ekspor Indonesia baru dapat menyamai ekspor
Malaysia. Pertumbuhan tersebut dapat dicapai jika Indonesia mengalami
peningkatan produktivitas menjadi rata-rata sekitar 5.51 ton CPO/ha/tahun hingga
tahun 2008. Dengan kondisi pertanaman yang ada, Indonesia masih memiliki
kemungkinan untuk meningkatkan produktivitas dan produksi.
Pengembangan Produk. Pengembangan produk kelapa sawit diperoleh
dari produk utama, yaitu minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit, dan produk
sampingan yang berasal dari limbah. Beberapa produk yang dihasilkan dari
pengembangan minyak sawit diantaranya adalah minyak goreng, produk-produk
oleokimia, seperti fatty acid, fatty alkohol, glycerine, metalic soap, stearic acid,
methyl ester, dan stearin. Perkembangan industri oleokimia dasar merangsang
pertumbuhan industri barang konsumen seperti deterjen, sabun dan kosmetika.
Sedangkan produk-produk yang dihasilkan dari pemanfaatan limbah
diantaranya adalah pupuk organik, kompos dan kalium serta serat yang berasal
dari tandan kosong kelapa sawit, arang aktif dari tempurung buah, pulp kertas
yang berasal dari batang dan tandan sawit, perabot dan papan partikel dari
batang, dan pakan ternak dari batang dan pelepah, serta pupuk organik dari
limbah cair dari proses produksi minyak sawit.

Potensi
Kesesuaian dan ketersediaan lahan. Pengembangan tanaman kelapa
sawit telah dilakukan secara luas di Indonesia baik di kawasan barat maupun di
kawasan timur Indonesia. Potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan
kelapa sawit umumnya cukup bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, lahan
berpotensi sedang, dan lahan yang berpotensi rendah (Tabel 14).
Lahan berpotensi tinggi adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian
Lahan (KKL) untuk kelapa sawit tergolong sesuai (>75%) dan sesuai bersyarat
(<25%). Lahan berpotensi sedang memiliki KKL tergolong sesuai (25-50%) dan
sesuai bersyarat (50-75%), sementara lahan berpotensi rendah memiliki KKL
tergolong sesuai bersyarat (50-75%) dan tidak sesuai (25-50%). Penyebaran areal
yang berpotensi untuk pengembangan kelapa sawit tersebut umumnya terdapat
di propinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian
Jaya, Sumatera Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

VI-317
Tabel 14. Potensi dan Kesesuaian Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit.

No. Kelas Kesesuaian Lahan Uraian Luas (ha)


1 Lahan Berpotensi Tinggi
S Sesuai 22.914.479
S/CS Sesuai/sesuai bersyarat 1.964.100
Jumlah 1 24.878.579
2 Lahan Berpotensi Sedang
S/N Sesuai/tidak sesuai 2.530.500
CS/S Sesuai bersyarat/sesuai 142.600
CS/N Sesuai bersyarat/tidak sesuai 704.006
Jumlah 2 3.377.106
3 Lahan Berpotensi Rendah
CS Sesuai bersyarat 7.670.100
CS/N Sesuai bersyarat/tidak sesuai 10.857.106
N/S Tidak sesuai/sesuai 121.225
Jumlah 3 18.648.431
Jumlah keseluruhan 46.904.116

Pada saat ini areal berpotensi tinggi sudah terbatas ketersediaannya, dan
areal yang masih cukup tersedia dan berpeluang untuk dikembangkan adalah
yang berpotensi sedang – rendah. Areal berpotensi rendah – sedang tersebut
memiliki faktor pembatas untuk pengembangan kelapa sawit yang meliputi:
(i) Faktor iklim yaitu jumlah bulan kering yang berkisar 2-3 bulan/tahun yang
menggambarkan penyebaran curah hujan yang tidak merata dalam
setahun.
(ii) Topografi areal yang berbukit-bergunung dengan kelerengan 25 – 40%
(areal dengan kemiringan lereng di atas 40% tidak disarankan untuk
pengembangan tanaman kelapa sawit).
(iii) Kedalaman efektif tanah yang dangkal, terutama pada daerah dengan jenis
tanah yang memiliki kandungan batuan yang tinggi dan kondisi drainase
kurang baik.
(iv) Lahan gambut.
(v) Drainase yang jelek pada dataran pasang surut, dataran aluvium, dan
lahan gambut.
(vi) Potensi tanah sulfat masam pada daerah dataran pasang surut.

VI-318
Produktivitas. Produktivitas PBN, PR dan PBS hingga tahun 2008 ke
depan masing-masing meningkat dari 4.79, 3.18 dan 3.21 ton CPO/ha/tahun tahun
2004 menjadi 5.23, 3.69 dan 3.28 ton CPO/ha/tahun (Gambar 4). Artinya,
produktivitas PR diproyeksikan akan mengalami peningkatan terbesar diikuti
dengan PBN. Meskipun mengalami peningkatan, tingkat produktivitas ketiga jenis
perkebunan di atas masih berada dibawah potensi produktivitas 8 ton
CPO/ha/tahun dan produktivitas yang dicapai perkebunan kelapa sawit Malaysia,
yaitu antara 6-7 ton CPO/ha/tahun.

0
2004 2005 2006 2007 2008

Perkebunan Negara Perkebunan Rakyat Perkebunan Swasta

Gambar 4. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (ton CPO/ha/


tahun)

Hal ini mengisyaratkan bahwa peluang untuk meningkatkan produktivitas


kebun berbagai jenis pengusahaan masih ada, sehingga gerakan peningkatan
produktivitas nasional harus menjadi tema penting dalam pengembangan kelapa
sawit ke depan. Penggunaan bibit unggul dalam penanaman baru dan
peningkatan intensitas pemeliharaan menjadi kunci sukses program peningkatan
produktivitas.
Pengembangan Industri. Produk-produk yang dapat dihasilkan dari minyak
sawit sangat luas dengan intensitas modal dan teknologi yang bervariasi.
Produksi CPO Indonesia yang diolah di dalam negeri sebagian besar masih dalam
bentuk produk antara seperti RBD palm oil, stearin dan olein, yang nilai
tambahnya tidak begitu besar dan baru sebagian kecil yang diolah menjadi
VI-319
produk-produk oleokimia dengan nilai tambah yang cukup tinggi (Gambar 5).
Industrri yang mempunyai potensi untuk dikembangan adalah industri minyak
makan dan industri oleokimia.
Industri Minyak Makan; Industri fraksinasi/rafinasi menghasilkan nilai
tambah yang relatif kecil tetapi kapasitas terpasang industri ini sudah terlalu besar.
Disisi lain, tahapan fraksinasi/rafinasi harus dilakukan dalam industri minyak
makan. Nilai tambah yang diperoleh dari perdagangan eceran (retail) minyak
makan cukup besar. Oleh karena itu pengembangan industri ini perlu diarahkan
kepada usaha retail minyak makan baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk
pasar luar negeri. Untuk itu dibutuhkan kebijakan pemerintah yang terpadu dalam
pengembangan minyak goreng/makan (edible oil).
Industri oleokimia dasar masih relatif kecil padahal nilai tambahnya cukup
besar. Penggunaan minyak/lemak dalam industri oleokimia dunia hanya sekitar
6% dari total produksi minyak/lemak dunia. Namun, industri oleokimia berkembang
dengan sangat pesat terutama di Malaysia. Produksi oleokimia dasar dalam 1970-
1995 meningkat dari 2,5 juta ton menjadi 5 juta ton dan diperkirakan menjadi 6
juta ton pada 2000. Produksi Malaysia pada tahun 1995 adalah 1,792 juta ton
sedangkan Indonesia baru 652 ribu ton/tahun.
Segmen pasar oleokimia akan berkembang sejalan dengan perkembangan
teknologi oleokimia dan kesadaran masyarakat akan lingkungan serta semakin
langkanya petrokimia. Teknologi untuk membuat berbagai produk oleokimia sudah
ditemukan tetapi belum layak dikembangkan karena belum adanya insentif untuk
produk-produk yang ramah lingkungan.

VI-320
K ayu Pelepah TBS K elapa Sawit Pupuk
Kompos
RANUT
Kompos
PK S Limbah cair
Biogas
Proses Pulping Inti
Limbah padat
Furnitur Pulp
CPO Ref+Frac Pulping
Crushing RBD RBD
Rationing Pulp
olein stearin
Bungkil PKO Kegunaan Ref
Pakan teknis,
ternak
RBD Pengu
sabun dll PO Blending Penyabu rai
Margarin nan Serat
Ref+Frac Ref. Splitting Blending M.goreng Sabun
Rayon
Stearin RBD Fatty Margarin M.masak
PKO acids Splitting Serat
Olein Vanaspati Shortening Fatty acids
Es krim
Proses Penya
Hidrogen. M.goreng Blending bunan
Blending Fatty amida Ref+Frac
Hyd. PKO Shortening Margarin
Margarin Sabun
Fatty alkohol Cocoa butter Shortening
Hyd Olein equivalent
Fatty amines
Super olein
Blending Proses
Confectio Blending Krim Biskuit Es krim ...
Ref=Rafinasi Emuls
nary Ref=Rafinasi
Frac=Fraksinasi, ifier
Margarin Susu isian Confectionary Frac=Fraksinasi,
Hidrog=hidrogenasi
Hidrog=hidrogenasi

Gambar 5. Pohon Industri Kelapa Sawit.

KESIMPULAN

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan


Pajak (PNBP), PE untuk CPO dan produk turunannya termasuk PNBP yang
bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam. Sesuai jenisnya, PNBP dari PE
ini dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang meliputi penelitian dan
pengembangan teknologi, pendidikan dan pelatihan, pelayanan yang melibatkan
kemampuan intelektual tertentu dan pelestarian sumber daya alam.
Dengan menggunakan harga patokan ekspor ex Kuala Lumpur pada bulan
September 2005, kenaikan PE dari 1% menjadi 3% menghilangkan keunggulan
ekspor CPO Indonesia. Agar tidak memberatkan petani dan pengusaha kelapa
sawit, jika penentuan PE menggunakan harga patokan ekspor ex Kuala Lumpur
pada bulan September 2005 maka prosentase PE yang masih kompetitif maksimal
sebesar 1,5%. Jika penetapan PE 3% sudah diberlakukan maka penentuan HPE

VI-321
harus berkisar sekitar USD 160 sampai 170 USD agar harga CPO Indonesia
masih cukup kompetitif. Disamping itu distorsi nilai tukar Rupiah harus
dipertimbangkan sebagai faktor penentu yang penting.
Penerapan PE akan menyebakan penurunan PDB disemua skenario
kegiatan agribisnis kelapa sawit. Dampak penerapan PE 3 persen terhadap
penurunan PDB lebih besar dibanding PE 1 persen. Ini mengindikasikan bahwa
peningkatan PE ternyata tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam
negeri yang menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi
kehilangan nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan
agribisnis kelapa sawit. Pengenaan PE juga berdampak pada penurunan luas
tanaman menghasilkan yang selanjutnya berdampak pada penurunan
kesempatan kerja, dan penurunan produksi CPO. Tambahan penerimaan
pemerintah dari PE ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru
sebaliknya, sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek
kinerja ekonomi makro.
Kenaikan PE menjadi 3% menyebabkan harga TBS semakin rendah.
Ditambah lagi dengan adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang rata-
rata mencapai 107% juga sangat mempengaruhi turunnya harga TBS. Kedua hal
tersebut menyebabkan harga TBS turun menjadi Rp. 577,21/kg. Penurunan harga
TBS menyebabkan keuntungan petani menurun dari Rp. 194,75/kg menjadi Rp.
87,61/kg, atau turun sebesar 55%. Jika diasumsikan 1 KK petani kelapa sawit
memiliki lahan rata-rata 2 ha dengan produktivitas 15 ton TBS/ha/tahun maka
keuntungan per KK menurun dari sekitar Rp. 5,8 juta menjadi hanya Rp. 2,6 juta.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa penerapan PE atas CPO


berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto, daya saing CPO Indonesia
dibanding Malaysia di pasar dunia, kinerja agribisnis kelapa sawit dan
pendapatan petani.
Apabila pemerintah tetap menerapkan PE atas CPO untuk meningkatkan
penerimaan PNBP, maka disarankan agar tingkat PE tidak terlalu tinggi. Apabila
tingkat PE sebesar 3 persen, maka HPE disarankan sebesar 1/3 dari harga CPO
dunia yang berlaku. Namun jika tingkat PE sebesar 1 persen, maka HPE
disarankan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.
VI-322
DAFTAR PUSTAKA

Clark, C.T. and L.L. Schkade. 1983. Statistical Analysis for Administrative
Decisions. South Western Publishing Co., Ohio.

Simeh, Mohd Arif. 2004. Comparative Advantage of The European Rapeseed


Industry vis-a-vis Other Oils and Fats Producers. Oil Palm Industry
Economic Journal Volume 4 No. 27. Lembaga Minyak Sawit Malaysia.
Kuala Lumpur.

Susila, W.R. 2004. Impacts of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian


CPO Industry. Oil Palm Industry Economic Journal Volume 4 No. 27.
Lembaga Minyak Sawit Malaysia. Kuala Lumpur.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi – 3. Terjemahan Bambang


Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

D:\data\data\Anjak-2005/ANALISIS pe3

VI-323

Você também pode gostar