Você está na página 1de 21

Options

Disable

Get Free Shots

• Awal
• Ihwal
• Salam
RSS Entri | Comments RSS
Search

On Happy Day

Isyraq mengucapkan Selamat Hari Raya


1429 H Minal Aidin wal Faizin Wa Kull Am wa Antum Bekheir

Penantian Manusia terhadap Agama


Ditulis pada Nopember 19, 2007 oleh isyraq

Dewasa ini, isu seputar “Penantian Manusia terhadap Agama”, banyak diangkat
oleh kalangan agamawan kontemporer di sejumlah media ilmiah maupun pusat-
pusat kajian ilmu dan filsafat. Nampaknya, pembahasan tersebut tengah menjadi
wacana hangat pada ranah teologi dan filsafat. Tidak mengherankan, jika berbagai
pandangan mengemuka dan sejumlah tulisan bermunculan.
Dari sekian gagasan yang mencuat, barangkali belum ada yang menukik pada
akar permasalahan. Berbagai pertanyaan mendasar masih belum dikaji serius
seperti; kapan, di mana dan pada situasi seperti apa persoalan tersebut lahir?
Lalu, setelah berapa masa sejak kemunculannya, kapan dan bagaimana
gelombang persoalan tersebut singgah di pusat-pusat ilmu kita?[1]
Almarhum Ayatullah Agung Burujerdi (1292-1380 Hq) mencurahkan perhatian
mendalam terhadap akar sejarah problematika fiqih. Hal ini pula yang menjadi
salah satu prinsip dasar dalam memahami al-Quran dan Sunnah secara benar.
Pada bidang Ushul, metode ini pun kerap digunakan.
Suatu hari, ia menjelaskan permasalahan masyhur dalam bidang Ushul,
“Apakah takhshîs ‘âm, menjadi sumber diperbolehkannya (sesuatu) atau tidak
?” Dengan pendekatannya yang khas, ia meneliti rentang perjalanan
beberapa abad dari sejarah persoalan tersebut, sampai pada konklusi bahwa
persoalan tersebut disistematikakan di Irak pada tahun 303 H. Bahkan, ia
juga menyoroti pasang surut permasalahan tersebut sepanjang sejarah.
Tidak ada keraguan bahwa Barat dan dunia Kristen, menjadi tempat lahirnya
berbagai pemikiran tentang filsafat agama. Di sisi lain, revolusi ilmu
pengetahuan serta industri di dunia Barat telah memberikan perubahan besar
pada persoalan kemanusiaan.
Berangkat dari fenomena tersebut, para pemikir membagi kebutuhan manusia
terhadap agama ke dalam dua kategori:
Pertama, kalangan yang memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi,
pengalaman serta eksperimen menyebabkan manusia tidak lagi
membutuhkan agama.
Kedua, kalangan yang berpendapat bahwa sebagian besar kebutuhan
manusia dapat terpenuhi melalui ilmu serta pengetahuan. Hanya sebagian
persoalan kecil saja, yang disandarkan di pundak agama.
Dalam hal ini, para pemikir mengamini pendapat yang berupaya meneliti
kembali agama serta memanfaatkannya dalam batas yang memungkinkan.
Nampaknya, dengan mempertimbangkan berbagai pengaruh pencerahan
agama terhadap kehidupan, mereka menuju resultan untuk mengembalikan
agama kepada masyarakat serta mengambil pengaruh positif dari kekuatan
spiritual. Mereka juga berupaya memberikan pengertian kepada para oposan
agama serta para kritikus kalangan gereja bahwa agama masih memiliki
peran di masyarakat. Maka dari itu, tidak sepatutnya ditinggalkan begitu saja.
Dari sinilah para psikolog serta sosiolog menata penelitian agama dengan
mengungkapkan berbagai pengaruh positif yang dapat diperoleh dari agama.
Peralihan Isu
Melalui pembahasan di atas, jelaslah bahwa isu “Penantian Manusia terhadap
Agama” merupakan peralihan dari tema sebelumnya, “Kebutuhan Manusia
terhadap Agama” serta “Dampak Pencerahan Agama”. Wacana ini
mengemuka dengan motif-motif tertentu yang berlainan. Salah seorang
pemikir yang mengkaji tentang penantian manusia terhadap agama, menulis:
“Penantian kita sebagai manusia terhadap agama adalah agama mampu
memahami kesulitan dan penderitaan kita. Dalam terminologi yang lebih luas,
agama diharapkan memberikan makna bagi kehidupan manusia. Dengan
memahami penderitaan yang kita alami, agama akan menyelamatkan
manusia serta mengantarkan kepada kondisi yang lebih baik. Maka, tidak
salah jika kita mengklaim bahwa penantian manusia terhadap agama adalah
manusia sampai pada kondisi yang diharapkan dari situasi buruk sebelumnya.
Dari jalan inilah, diperoleh makna kehidupan dan menjauhkan manusia dari
keadaan yang tidak diharapkannya”[2]
Apa yang mereka kemukakan sebagai “Penantian Manusia terhadap Agama”,
sama halnya dengan penjelasan para psikolog dalam pembahasan
“Kebutuhan Manusia terhadap Agama” serta “Dampak Pencerahan Agama”.
Sejatinya, hal ini lebih disebabkan adanya spirit wacana yang hampir paralel.
Hanya saja, wacana tersebut belakangan mengalami peralihan tema.
Dampak Pencerahan Agama: Kacamata Psikologi
Para psikolog berupaya mempelajari kejiwaan manusia di antara sekian
fenomena alam yag tak terbatas. Dalam hal ini, mereka berpendapat bahwa
kembalinya manusia pada agama, memiliki pengaruh yang dapat
meringankan berbagai problematika kehidupan: Pertama, terbelenggunya
sifat congkak dan membangkang, Kedua, menyelesaikan kesalah fahaman,
memberikan metode berpikir positif di antara sesama manusia serta berbagai
ketentuan lainnya. Ketiga, Terapi untuk mengatasi berbagai kesulitan dan
penderitaan hidup.
Di satu sisi, dengan kembali pada agama, manusia memperoleh ketenangan
dalam menghadapi berbagai guncangan dan bencana yang bersumber dari
alam maupun takdir. Pada sisi lain, sebuah keyakinan juga dapat mencegah
berbagai kerusakan yang berpangkal dari peradaban serta dapat memberikan
ketenangan batin[3].
Gustav Yung, sependapat bahwa agama menghadiahkan ketenangan kepada
pemeluknya. Selain itu, agama juga mampu memberikan makna keberadaan
manusia. Terlebih, agama juga mengajarkan kepada manusia cara mengatasi
berbagai persoalan[4].
William James meyakini bahwa dengan kembali pada agama, manusia akan
memperoleh ketenangan dan kebahagiaan tertentu. Agama juga memotivasi
munculnya kekuatan yang mampu mengubur kegetiran hidup. Kekuatan yang
diperoleh manusia dari agama untuk mengatasi berbagai kesulitan tersebut,
tidak akan pernah tergantikan oleh etika. Karena semangat yang diperoleh
manusia melalui keyakinan keagamaan, sama sekali tidak mampu dihasikan
dari etika[5].

Kebutuhan Manusia terhadap Agama: Kacamata Sosiologi


Para sosiolog yang mendasari telaahnya pada masyarakat, memposisikan
individu sebagai entitas masyarakat. Kalangan ini memandang bahwa agama
memiliki pengaruh dalam mengatasi berbagai konflik sosial.
Durkheim meyakini bahwa agama dalam implementasinya, dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat. Selain itu dikatakannya, keyakinan keagamaan
memiliki peran vital dalam mewujudkan sistem ekonomi.[6]
M.Yinger berpendapat, untuk kelangsungan hidupnya, manusia memerlukan
serangkaian nilai yang diyakininya. Nilai tersebut harus mampu menjawab
berbagai persoalan akhir kehidupan, terutama misteri kematian. Terlebih, nilai
tersebut juga harus dapat menjelaskan kepada manusia berbagai persoalan
sosial, seperti: frustasi, musibah serta penderitaan lain.
Dalam hal ini, hanya agamalah yang mampu menjawab berbagai persoalan
tersebut. Agama berupaya keras menjelaskan sesuatu yang tidak dapat
diungkapkan oleh yang lainnya. Demikian, Yinger menuturkan.[7]
Penjelasan kedua pandangan tersebut, mampu menyingkap tabir
problematika sebenarnya. Mereka juga menetapkan bahwa tujuan
mempertimbangkan peran agama, untuk mengungkapkan berbagai sisi
positifnya. Selain itu, untuk menunjukkan bahwa sampai saat ini pun kejayaan
agama belum berlalu. Manusia masih memerlukan agama dalam
kehidupannya, sebagai obat penenang.

Isu Yang Masih Mentah


Isu penantian manusia terhadap agama, mengingatkan pada peristiwa di
sebuah dusun. Karena lokasinya yang jauh dari dokter serta balai pengobatan,
Masyarakatnya sedemikian asing dengan berbagai jenis penyakit. Mereka
selalu menanti kehadiran seorang dokter yang akan mengobati berbagai jenis
penyakit di daerah itu. Pada saat dokter tiba di lokasi tersebut, ia berhadapan
dengan ribuan pertanyaan yang tidak mungkin terjawab oleh satu atau dua
orang dokter.
Demikian halnya kondisi sosial masyarakat kini, sebagaimana penduduk
dusun tersebut. Harapan serta penantian mereka terhadap agama sedemikian
besar, sehingga tidak mungkin seluruhnya dapat terjawab.
Analisis di atas, mengindikasikan bahwa isu pembahasan sebaiknya dirubah
dan isu “Penantian Manusia terhadap Agama” tidak semestinya dibahas.
Karena, penantian masyarakat terhadap agama, tidak memiliki standar serta
aturan yang jelas. Setiap kelompok menghendaki permasalahannya dapat
teratasi. Kalau pun pembahasan ini harus diangkat, terlebih dahulu
memerlukan penyelesaian berbagai persoalan berikut:
1. Apa penantian agama terhadap manusia?
Jika agama merupakan sebuah fenomena yang informatif serta datang dari
Tuhan, apa penantiannya terhadap individu maupun masyarakat?
2. Kalau pun persoalan tersebut tetap dibahasakan dalam format
pertama, yaitu apa penantian manusia terhadap agama, sebelum menjawab
masalah ini, problem lainnya harus dituntaskan terlebih dahulu, bagaimana
mengetahui kemampuan agama dan kualifikasinya, barulah dapat berharap
sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Karena selama agama tidak dapat
tergambarkan secara benar serta tidak memiliki batasan yang jelas, kita tidak
dapat berharap sesuai dengan harapan.
Cobalah Anda bayangkan, untuk rehabilitasi sebuah negara yang berada
dalam peradaban terbelakang, para pakar diterjunkan mendatangi lokasi
tersebut. Sehingga seluruh kebutuhan masyarakat terdata serta bantuan yang
diberikan pun sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
Negara dengan kondisi demikian, tidak hanya memiliki satu atau dua
permasalahan. Tetapi, menyimpan segudang persoalan yang perlu
penyelidikan sebelumnya, kemudian barulah permasalahan tersebut dapat
diatasi oleh berbagai tim yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing.
Pada kondisi seperti itu, masyarakat tidak selayaknya berharap pada seorang
atau satu tim ahli, untuk dapat mengatasi seluruh persoalan. Tetapi,
sebelumnya perlu dianalisis dengan cermat sesuai dengan bidang studi serta
dasar keilmuannya, barulah harapan mereka akan terjawab selaras dengan
kemampuannya.
Para penggagas ide ini, sebelum menyuguhkan pemahaman keagamaan,
terlebih dahulu mengutarakan berbagai harapannya, baru kemudian
menentukan batasan serta memberikan sejumlah ilustrasi. Seringkali
harapan-harapan mereka itu, tidak berada dalam wilayah agama. Tetapi,
dapat terpenuhi melalui pengetahuan individu maupun masyarakat.
Bagaimanapun, apakah persoalan ini memiliki orisinalitas ataukah ia
merupakan distorsi dari wacana “Kebutuhan Manusia terhadap Agama” atau
“Pengaruh membangun agama”, yang jelas dalam topik permasalahan ini,
terkandung sejumlah ambiguitas dan berbagai kesulitan yang menghantui
yang urgen untuk dipecahkan.
a. Agama sebagai Alat
Isu pembahasan di atas, mengidentifikasikan pandangan sebagian kalangan,
alih-alih memandang agama dari aspek ibadah dan penyembahan, serta
berupaya memahami hubungannya dengan manusia, maupun hubungan
pencipta dengan ciptaannya. Sebaliknya, mereka malah memposisikan
agama sebagai alat serta mensejajarkannya dengan berbagai fasilitas
kehidupan lain yang dapat mengatasi kesulitan manusia.
Ketika dasar harapan manusia terhadap fasilitas kehidupan begitu jelas, maka
demikian pula dengan dasar penantian manusia terhadap agama. Padahal,
kedudukan agama lebih tinggi dan lebih baik ketimbang berbagai sarana dan
fasilitas kehidupan. Di sinilah mereka meletakkan agama sebagai alat.
Agama dalam pengertian umum merupakan keyakinan terhadap
ketergantungan manusia dan alam kepada wujud terbaik. Ketergantungan ini,
memiliki konsekuensi berupa serangkaian tugas baik pada aspek keyakinan
maupun perbuatan. Pada kondisi demikian, sudah semestinya kita menanti
perintahnya, tidak hanya mengharap pelayanannya dalam area pemikiran
maupun aktivitas kehidupan.

b. Humanisme
Kaum Materialis kontemporer, meremehkan aspek spiritualitas. Mereka
menganggap yang ada hanyalah materi yang berujung pada penegasian
setiap bentuk spiritualitas. Untuk menutupi kekosongan spiritualitas dalam
kehidupan manusia, mereka berupaya melahirkan tiruan. Sehingga
pandangan spiritual yang dianutnya, tidak terwarnai oleh pemahaman
spiritualitas. Dari sini, lahirlah isu humanisme. Mazhab yang menjanjikan cinta
sesama, kebahagiaan dan minus kerugian ini, berupaya mengambil alih peran
spiritualitas serta keyakinan pada metafisik.
Mereka berpegang pada superioritas manusia dengan tujuan
mengagungkannya. Humanisme pun lahir menambah deretan mazhab-
mazhab materialisme. Sejatinya, mereka meyakini satu bentuk spiritualitas
lain meringankan beban berat materialisme.
Dengan cara ini, kaum materialis berupaya membebaskan manusia dari
penghambaan kepada Tuhan. Tetapi, pada akhirnya malah menyeret manusia
pada pendewaan ekonomi serta alat produksi. Sebagaimana disitir kalangan
Marxisme, sarana produksi merupakan pembangun sejarah, sedang manusia
berada dalam arena permainannya. Kemuliaan apa yang diperoleh manusia,
ketika dia tidak lagi memiliki pilihan. Ke manapun alat produksi melangkah, ke
arah itu pula manusia berjalan.
Pelecehan pada manusia, ternyata tidak hanya terjadi dalam mazhab
Marxisme. Tetapi juga, ditemukan dalam mazhab Kapitalisme. Meski dalam
opini publik mereka menghormati manusia baik sebagai individu maupun
kelompok. Tetapi, lagi-lagi opini publik tersebut, telah dikuasai kaum borjuis.
Mereka merancang kegiatan sedemikian rupa untuk kepentingannya sendiri.
Kemudian, seluruh manusia digiring menjadi kapitalis.
Para Penggagas isu penantian manusia terhadap agama, secara tidak sadar
terpengaruh oleh paham humanisme yang memandang agama dari kaca
mata manusia. Apapun selainnya diposisikan sebagai pemuas kebutuhan.
Oleh karena itu, mereka menyebutkan: “Penantian kita terhadap agama
adalah ini dan itu”
Padahal kenyataanya, dalam pandangan seorang agamis, Tuhan sebagai
poros dan selainnya adalah pelayan serta hamba. Kemendasaran hanya milik
Tuhan serta agama, bukan manusia. Barangkali dalam terminologi yang lebih
tepat, manusia berkhidmat pada agama, bukan agama yang berkhidmat pada
manusia. Sebagaimana penjelasan al-Quran:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan menghadap
Tuhan yang maha pemurah, sebagai seorang hamba”[8]
Resultan dari kupasan isu di atas, menjelaskan kebutuhan manusia bukan
kemuliaan agama.

c. Segitiga Ambigu
Dalam tema pembahasan di atas, tersusun segitiga ambigu. Sejatinya, para
penggagas masalah ini, menuntaskan berbagai kesamaran dan kerancuan
pembahasan serta menjelaskan pemahaman ketiga unsur berikut:
masyarakat, agama dan penantian atau pemuas kebutuhan.
Unsur pertama perlu diperjelas, apa yang dimaksud dengan manusia?
Peradaban manusia telah melewati lebih dari sepuluh ribu tahun. Apakah yang
dimaksud adalah manusia jaman batu? Ataukah manusia setelahnya yang
dijelaskan dalam berbagai format? Pembagian masyarakat yang dilakukan
Marx berbeda dengan pemetaan yang dihasilkan para sosiolog lainnya.
Namun, keduanya bertemu pada titik bahwa manusia masa kini berhadapan
dengan berbagai gelombang pasang surut. Mereka sama sekali berbeda dari
sisi pemikiran, kehidupan maupun kebutuhannya.
Kini, kita akan meneliti unsur kedua, apakah pengertian agama hanya
dikhusukan pada agama langit, yang dikenal dengan agama Ibrahimi, ataukah
termasuk berbagai aliran mistisme seperti Brahmana, Budha dan Hindu? Jika
yang dimaksud adalah pengertian pertama, apakah ruang lingkupnya hanya
meliputi agama yang tidak terdistorsi, ataukah termasuk juga agama yang
mengalami penyimpangan? Misalnya agama yang menyebutkan bahwa Tuhan
turun dari langit ke kemah Ya’kub untuk bergulat bersamanya, dan melalui
pukulan dasyat, akhirnya menang. Ataukah agama yang menyebutkan, suatu
hari al-Masih menghadiri pesta pernikahan. Saat persediaan minuman untuk
para tetamu tidak mencukupi, al-Masih merubah air menjadi minuman melalui
mukjizat. Di sebutkan pula: “Al-Masih juga meminum minuman keras, ia pun
seorang pemabuk”.

Benar dan Salah Bukan Parameter


Ketika pemuas kebutuhan menjadi poros dalam kehidupan manusia, benar
dan salah tidak lagi dianggap sebagai parameter. Meskipun, pemuas
kebutuhan itu berupa pandangan keliru, tetap saja harus disebut sebagai
agama dan wajib mensucikannya. Misalnya, dalam agama Hindu dan Budha
terdapat ajaran reinkarnasi. Mereka meyakini bahwa manusia mengalami
kematian berulang kali, kemudian kembali ke alam dunia. Manusia
memperoleh balasan pahala atau siksa sesuai dengan perbuatan yang
dilakukan dalam kehidupan sebelumnya.
Keyakinan semacam ini, menjestifikasi adanya perbedaan kelas serta ketidak
adilan melalui institusi agama. Seorang fakir yang tiada daya, menganggap
bahwa kefakiran yang menimpanya saat ini, akibat perbuatan tercela yang
dilakukan di kehidupan sebelumnya. Sebaliknya, manusia yang hidup
makmur, berkat perbuatan baik yang dilakukan sebelumnya.
Nampaknya, keyakinan ini kontradiksi dengan kepercayaan terhadap
kehidupan manusia pada masa mendatang, setelah kematiannya di dunia
mengurangi kegetiran kaum fakir, mensejahterakan kelompok hedonis. Hal ini
pada akhirnya, menghambat kelas proletar untuk melakukan berbagai
gerakan revolusi buruh menentang golongan borjuis.
Tentu saja, jalan keluar yang ditawarkan agama yang telah terdistorsi, sama
sekali berbeda dengan penyelesaian yang dilakukan oleh agama murni.
Dengan penjelasan lain, penantian kita terhadap keduanya, pastilah tidak
sama.
Adapun berkenaan dengan unsur ketiga, yaitu pemuas kebutuhan, perlu
penjelasan lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan kebutuhan? Apakah
kebutuan yang bersifat materi ataukah maknawi? Kebutuhan permanen
ataukah tentatif? Kebutuhan individu atau sosial? Kebutuhan absolut atau
sekedar maya?
Jika yang dimaksud adalah berbagai kebutuhan absolut, maka agama harus
dapat memenuhi seluruh kebutuhan, termasuk kebutuhan maya sekali pun.
Pada akhirnya, akan melahirkan konklusi bahwa agama memenuhi dua
kebutuhan yang kontradiktif. Misalnya saja, seorang Yahudi pecinta dunia,
mengharapkan kebutuhannya dalam menumpuk harta terpenuhi. Sementara,
seorang Kristiani yang jujur juga menanti keinginannya terkabul, yaitu
kesendirian serta menjauh dari kenikmatan dunia.
Seorang pemuda suci Kristen yang menolak berbagai kenikmatan biologis
seksual, dengan alasan Tuhan melarangnya, memiliki penantian tertentu
terhadap agama. Sedangkan kelompok yang berseberangan dengannya pun,
memiliki kebutuhan yang berbeda pula.
Jika yang dimaksud adalah kebutuhan sejati, bukan maya. Maka, parameter
apa yang digunakan untuk menilai kebutuhan benar dan salah?
Pada akhirnya, para penggagas isu ini, menempatkan agama sebagai pemuas
seluruh kebutuhan. Nampaknya, perlu membagi kebutuhan ke dalam dua
bagian: Pertama, kebutuhan yang dapat dipenuhi melalui pemikiran individu
maupun masyarakat. Kedua, kebutuhan di luar kemampuan individu maupun
masyarakat. Penantian masyarakat, berkenaan dengan bagian kedua.
Padahal, untuk meninjau kembali dua kebutuhan tersebut memerlukan
kriteria yang jelas.

Pemuas Kebutuhan atau Cinta Pada Kesempurnaan Absolut


Setiap kali mendiskusikan isu tentang penantian manusia terhadap agama
dalam area filsafat agama serta memposisikannya pada kavling filsafat,
secara spontan kekudusan agama akan sirna. Karena dalam konteks
demikian, manusia hanya akan meyakini agama ketika ia mampu memuaskan
kebutuhannya. Padahal, penggerak manusia dalam beragama adalah cinta
pada kesempurnaan mutlak yang keindahannya mampu menyihir manusia.
Dengan kata lain, pembahasan di atas hanya mengungkap hubungan materi
manusia dengan Tuhan. Sedikit pun tidak dipengaruhi oleh tujuan
kesempurnaan absolut.

Rasionalitas Mendahului Wahyu


Dalam analisis di atas, rasionalitas diposisikan lebih utama ketimbang wahyu
dan keinginan manusia dianggap sesuatu yang prima. Padahal sejatinya,
dalam penantian agama terhadap manusia tidak demikian.
Akhirnya, para deklarator isu ini, dengan kebingungan tanpa mengenal
hubungan manusia dengan Tuhan dan memahami tujuan beragama, tengah
menanti giliran kebutuhannya dapat terpuaskan. Kini, kita lihat, apa saja
penantian mereka. Perlu diingat kiranya, bagaimana penjelasan wahyu
berkenaan dengan penantian seperti itu.
Seandainya kebenaran memperturutkan hawa nafsu mereka, maka binasalah
langit, bumi serta semua yang ada di dalamnya[9].

Harapan Para Deklarator Penantian Manusia Terhadap Agama


Pada pembahasan yang lalu, telah dibuktikan bahwa pertanyaan “Apa
penantian manusia terhadap agama itu?” merupakan sebuah pertanyaan
yang jungkir balik, keliru. Sejumlah faktor mental maupun sosial,
menyebabkan terjadinya perubahan dari pertanyaan sebenarnya, tentang
“apa penantian agama terhadap manusia”.
Kini, apabila kita berasumsi, dengan mengabaikan berbagai kritik beragam
yang menghujani bahwa skema pertanyaan dalam format pertama adalah
benar, kita lihat apa harapan para deklarator ide ini terhadap agama. Pada
realitasnya, persoalan tersebut diungkap oleh pelbagai kalangan dengan
membawa ciri khasnya masing-masing. Dari seluruh pandangan di atas,
ditarik sejaumlah konklusi ke dalam lima aspek:
1. Agama tidak layak melakukan intervensi ke dalam persoalan duniawi
seseorang. Karena tujuan di utusnya nabi untuk kebahagiaan akhirat bukan
dunia;
2. Agama tidak pada tempatnya mengintervensi ke berbagai dimensi
kehidupan sosial manusia. Karena, agama hanya mengatur persoalan
individu;
3. Konklusi diterimanya kedua proposisi di atas, melahirkan pandangan
sekularisme dan pemisahan agama dari politik. Maka, sistem politik ilahiah
tidak selayaknya memerintah;
4. Agama merupakan pegangan yang tanpa arah, sama sekali tidak pernah
menampilkan arahnya yang khusus;
5. Agama adalah sesuatu yang bisu dan diam.

Selanjutnya, tulisan ini akan menyusuri pandangan-pandangan tersebut dan


menyuguhkan analisis terhadapnya.

Pendapat Pertama
Salah seorang tokoh lama[10] menuliskan pandangannya berkenaan dengan
persoalan di atas:
Tidak selayaknya menanti pada agama Islam, Kristen mapun Yahudi untuk
memberikan kepada kita berbagai konstitusi dan undang-undang serta
berbagai ketentuan secara sempurna dalam ideologi, politik, ekonomi,
berbagai disiplin ilmu terapan, kedokteran dan kesehatan. Sebagaimana tidak
disampaikannya ilmu memasak, menjahit, bangunan, ilmu keterampilan hidup
serta berbagai penemuan lainnya.
Dalam pandangan di atas, terdapat mixing antara substansi agama dengan
kulitnya yang merupakan bentuk penerapan hukum. Karena agama, di
samping memiliki undang-undang yang tetap dan kekal. Ia juga memuat
formulasi universal tentang politik, ekonomi, persoalan sosial serta akhlak
yang sejalan dengan fitrah penciptaan manusia. Bentuk realisasinya yang
disebut konstitusi dan lainnya, diserahkan kepada pemikiran masyarakat.
Misalnya, untuk memperkuat situasi pertahanan, agama menawarkan prinsip
universal. Dari awal hingga saat ini, tidak akan hilang keuniversalannya,
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kalian sanggupi[11]
Tetapi, penerapannya tergantung pada para pemikir yang menangani
masalah pertahanan. Mereka memiliki persenjataan khusus pada masanya.
Agama dapat memberikan pandangan tentang prinsip universal ekonomi
sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan hukum akal. Melimpahkan otoritas
untuk melakukan transaksi sesuai kesepakatan dan kerelaan kedua belah
pihak,[12] mengharamkan praktik riba[13] dan melarang berbagai jenis
kontrak yang mengandung spekulasi maupun penipuan.
Tetapi, bentuk penerapan prinsip-prinsip ini, dengan melihat di sepanjang
masa disertai dengan perubahan, diserahkan kepada pemikiran masyarakat.
Pada wilayah ini, tidak akan pernah terjadi intervensi.
Prinsip serupa juga dapat diterapkan dalam ruang lingkup politik serta
keluarga. Di sini agama menyajikan berbagai prinsip universal yang
membentuk bangunan ekonomi serta politik. Adapun yang diserahkan pada
pemikiran masyarakat, berupa penerapan konstitusi serta undang-undang.

Kontradiksi Pandangan
Nampak amat menarik di sini, ketika sang narator menyampaikan pemikiran
tersebut di akhir kehidupannya. Karena, ia berada pada situasi kekalahan
politik dan naiknya pemerintahan agama. Padahal pada masa sebelumnya,
yaitu pra revolusi Islam, ia menyerukan pemikiran yang sama sekali berbeda.
Berikut beberapa contoh petikannya. Ia menuliskan demikian dalam bukunya:
“Islam mendesain aturan serta metode tertentu untuk semua perbuatan yang
bersifat individu. Prinsip-prinsip tersebut sebelumnya diterapkan oleh kaum
muslimin. Sehingga mampu mengarahkan seluruh pemikiran, kejadian serta
perbuatan. Mereka juga memahami bahwa kebahagian dunia serta
keselamatan akhirat terdapat pada prinsip-prinsip tersebut ”[14]
Pada bagian lain, ia menyebutkan:
Batu ujian (kitab) al-Qur’an sedemikian detail hingga mencakup berbagai
persoalan besar maupun kecil. Menentukan pahala serta siksa setiap
perbuatan, memuat aturan kenegaraan, memposisikan tinggi ilmu dan
penelitian. Memberikan petuah tentang cara berbakti pada ayah dan ibu,
berbuat baik pada keluarga serta orang lain. Meletakkan aturan
kemasyarakatan dalam bidang kebersihan, menentukan waktu perdamaian
serta peperangan, menawarkan konsep mu’amalah dalam bentuk fiqih dan
berbagai syariat[15].
Ia juga dalam bukunya yang lain “Ihtiyâj Ruz” menuliskan:
Pada masa permulaan Islam, masjid dan jama’ah merupakan pusat
perencanaan berbagai kegiatan serta pengambilan keputusan bersama. Di
tempat itu pula, berbagai persoalan diselesaikan. Para khalifah serta Imam,
seusai melaksanakan shalat jama’ah, berpidato di atas mimbar serta
menyampaikan berbagai persoalan terbaru dan yang diperlukan oleh
masyarakat. Para jama’ah juga memberikan sumbangsih pendapatnya serta
mengikat janji bersama.
Di sana pula, perdamaian dan peperangan diputuskan. Tak jarang, barisan
shalat jama’ah berganti menjadi barisan perang serta pertahanan. Para
prajurit berangkat dari masjid untuk bertempur ke medan laga. Betapa
banyak, para pejuang Islam dari berbagai tempat serta medan perang,
memasuki masjid dengan pakaian kotor. Kemudian, melaporkan berbagai
operasi militernya kepada masyarakat, sebelum akhirnya mereka kembali ke
rumahnya masing-masing.”[16]
Kesimpulan dari berbagai pandangan di atas, agama memiliki pesan untuk
setiap tema pembahasan. Di antaranya adalah persoalan duniawi, politik serta
kenegaraan. Pembahasan ini, bertentangan dengan dua hipotesis sebelumnya
yang menyebutkan bahwa agama terpisah dari politik dan tujuan diutusnya
para nabi hanya untuk kebahagiaan akhirat. Coba Anda lihat, begitu jauh jarak
perbedaannya.
Untuk membuktikan klaimnya, yang kebanyakan berbicara seputar pemisahan
agama dari politik[17], penulis buku tersebut berupaya mengajukan berbagai
argumentasi yang cukup mengejutkan bagi sosoknya sebagai seorang peneliti
dan agamis[18]. Tentu saja, sampai saat ini kondisi spiritualnya terpengaruh
oleh berbagai argumentasi tersebut. Dengan mempertimbangkan pengaruh
serta berbagai pidatonya yang berharga, kiranya perlu memandang hal ini
sebagai sejumput kesalahan yang hinggap di akhir hidupnya.
Dalam kesempatan ini, hanya akan difokuskan pada dua sampel argumentasi.
Sehingga jelas, sejauh mana kekuatan metode berpikir seperti ini?

Argumentasi Pertama
Agama diturunkan untuk mengatasi berbagai persoalan ilmu dan amal
akhirat. Bukan untuk menyelesaikan berbagai penderitaan hidup serta
persoalan duniawi. Jika atas nama agama, ideologi serta pemerintahan agama
terbentuk, maka pastilah para pemimpin agama tidak akan sukses mengatasi
persoalan sosial. Hasilnya, masyarakat mukmin, terutama para pemuda yang
penuh semangat, akan berperasangka negatif terhadap keyakinan
keagamaannya.
Analisis
Argumentasi yang ditawarkan oleh si penulis yang mengemukakan gagasan
tersebut, bersandar pada prinsip yang tidak tepat. Sehingga, konklusi yang
dihasilkannya pun akan keliru. Penawaran ideologi serta pembentukan
pemerintahan agama oleh kalangan agamawan, tidak berarti meliburkan
aktivitas ilmiah dan pemikiran serta berbagai usaha sosial dengan hanya
mencukupkan ketentuan dan aturan umum agama saja.
Menjadi kesepakatan nampaknya, setiap kategori yang dipresentasikan oleh
ideologi dan pembentukan pemerintahan, yang menjadikan manusia
diasumsikan tidak lagi membutuhkan ilmu dan pengetahuan serta kerja keras.
Hal ini, hanya sekedar menegaskan kesimpulan yang telah disampaikan
penulis saja. Di sini, para pemimpin agama dalam area pemerintahan akan
mengalami prustasi, sehingga menyebabkan para pemuda menjauh dari
agamanya.
Namun, tidak ada seorang pemimpin agama pun yang menyampaikan
ideologi untuk membentuk pemerintahan dengan pemikiran seperti itu.
Bahkan sebaliknya, dalam ketentuan berbagai aturan Islam, masyarakat
didorong menuju kutub ilmu, pengetahuan, kesungguhan, dialog dan
pertukaran gagasan serta memanfaatkan seluruh potensi lainnya. Disepakati
kiranya, pandangan ideologi dan terbentuknya pemerintahan seperti itu,
keduanya akan mengalami keberhasilan. Ketika terjadi kegagalan pada
penerapannya, bisa jadi disebabkan oleh faktor lain.
Ketika pemerintahan Rasulullah dan Alawi berhasil melaksanakan tugas-
tugasnya, hal ini berdasarkan prinsip dan kriteria tersebut.

Argumentasi Kedua
Penelitian historis membuktikan bahwa setiap agama dan pemerintahan yang
berada di tangan pemimpin agama, menimbulkan banyak kerugian dalam
masyarakat. Di sini, Bazargan membuktikannya dengan berbagai fakta
tentang pemerintahan ribuan tahun kekuasaan Paus dan pemerintahan
gereja, pemerintahan Umawi, Abasi dan Ustmani, Kesultanan Shafawi dan
Qajar.

Analisis
Kekeliruan dari argumentasi ini sangat jelas. Karena, adanya perbedaan
antara realitas agama dan penyalahgunaaan agama di sisi lain. Jika
kenyataannya, agama Tuhan bergandengan dengan politik dan melakukan
intervensi dalam urusan sosial. Ketika terjadi penyalahgunaan agama oleh
para pemimpin dan aparat, maka- jika hal tersebut dianggap benar sekalipun-
tidak bisa menjadi dalil bagi terpisahnya agama dan politik. Sebagai contoh,
para pakar sebuah bangsa menentukan undang-undang dasarnya dengan
seteliti dan seholistik mungkin untuk pemerintahan mendatang. Namun, jika
pemerintah ada kalanya menyalahgunakan undang-undang tersebut, hal ini
bukan dalil bagi lemahnya hukum, tetapi argumentasi bagi rapuhnya
penerapan hukum tersebut.
Pada akhirnya pandangan seperti ini, alih-alih mengkaji al-Quran dan sunnah
hingga posisi agama dan relasinya dengan berbagai persoalan sosial dan
politik diketahui. Malah, memilih jalan lain dengan menyandarkan pada
pendapat pribadi. Agama dipersepsi menurut pandangannya sendiri,
dikatakannya agama harus begini dan tidak begitu. Padahal harus dikaji
bagaimana sumber agama berbicara mengenai persoalan tersebut.

Pendapat kedua
Beberapa kalangan, melihat kehadiran agama dalam kancah politik dan arena
sosial, harus diminimalisasi dan disempitkan perannya, hanya pada individu
dan moral saja. Di sini, mereka mengemukakan pra justifikasi tertentu
sebagai berikut:
Agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia, terdiri dari dua karakter
penting. Pertama, pada posisi praktis seperti ”tali” tidak mempunyai arah.
Kedua, pada posisi teoritis sebagaimana alam “diam” dan “bisu”. Maka
definisi deskriptif yang tepat, agama merupakan sebuah tali yang diam.
Maksud dari makna “tali” adalah tidak “berarah”. Artinya, pada dasarnya
dalam dataran praktis siapapun dengan tujuan dan arah apa pun tidak
ditetapkan. Namun maujud yang memiliki arah dan tujuanlah yang
menggunakan baik atau buruknya. Manusia yag bertakwa dapat
menggunakan tali ini untuk keluar menyelamatkan diri dari jurang. Sementara
manusia yang tidak bertakwa, mempergunakan media tersebut untuk
menuruni dan terjun ke dalam jurang tersebut.[19]

Analisis
Menyoroti pandangan ini, terdapat beberapa kritik mendasar antara lain:
Pertama, jika dikatakan oleh beberapa kalangan bahwa pada dasarnya agama
tidak bisa di tarik oleh siapa pun ke arah mana pun. Di sini, arah tidak
memiliki makna.
Muncul pertanyaan di benak kita apa maksud penulis, agama tidak ditarik
pada arah tertentu ? Jika yang dimaksud adalah bukan “agama dalam format
potensi deterministik yang menarik manusia.” Pandangan ini walau pun
benar, tetapi tidak ada kaitannya dengan pembahasan kita. Tidak ada
agamawan yang meyakini bahwa agama dengan potensi konstrainnya secara
praktis menarik manusia. Jika realitas agama demikian, di dunia ini tidak ada
orang yang tidak beragama. Tentu saja hal ini, tidak bernilai. Karena, secara
praktis sebuah tindakan harus dilandasi pilihan. Pada akhirnya manusia
berada dalam dua jalan, mengikuti perintah Tuhan atau mendahulukan hawa
nafsunya. Al-Quran mengisyaratkan tentang iman dengan ikhtiar bukan iman
dengan keterpaksaan. Allah Swt berfirman: “Dan Jika Tuhan-mu
menghendaki, semua manusia di atas bumi ini beriman pada-Nya, apakah
kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya ?” [20]
Dalam ayat ini, Tuhan tidak menginginkan iman deterministik karena tidak
bernilai.
Jika maksud dari pembahasan penafian arah pembagian adalah memberikan
arah aturan dan penjelasan, maka tidak diragukan lagi, agama Islam memiliki
kategori arah pembagian yang dimaksud dan melalui jalan tersebut arah
kehidupan menjadi jelas.
Tuhan menyampaikan perintah kepada Nabi dalam firman-Nya: “Katakanlah,
inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha suci Allah dan aku
bukan termasuk orang-orang Musyrik”[21]
Al-Quran di dalam ayat lain, menceritakan kalangan yang mengimaninya
sebagai petunjuk hidup. Allah Swt berfirman: “…Sesungguhnya kami telah
mendengarkan al-Quran yang menakjubkan, yang memberikan petunjuk
kepada jalan yang benar, lalu kami beriman padanya. Kami sekali-kali tidak
akan memepersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami” [22]
Pandangan yang mengatakan bahwa “agama sebagaimana tali dan tiada
berarah, yang dengannya bisa keluar dan masuk ke dalam jurang”
sepenuhnya mengalami fallacy. Karena, al-Quran tidak pernah
mengibaratkan agama dengan tali. Tetapi al-Quran memperkenalkannya
dengan tali Tuhan atau “hablullah”. Dengan jelas, hal tersebut menunjukan
posisinya sebagai sumber keselamatan dari jurang, bukan jatuh ke dalamnya.
Oleh karena itu, agama adalah bersambungnya sarana untuk menggapai
kesempurnaan dan kebahagiaan, serta keluar dari jurang kebodohan.
Al-Quran dalam posisi memuji persatuan kaum muslimin, menggunakan terma
hablullah, sebagaimana firman-Nya: “ Dan berpegang teguhlah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah padamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya padamu, agar kamu
mendapat petunjuk.” [23]
Apabila hablullah al-Matin ini dalam kenyatannya merupakan sebuah tali yang
tak bertujuan, tanpa nilai dan seni, mengapa al-Quran mendeskripsikannya
dengan “fa anqa dzakum minha”, yakni kamu sebelumnya dalam api,
kemudian tali ini menyelamatkan kamu dari jilatan api.
Kedua, jika yang dimaksud dengan ideologisasi agama, -sebagaimana yang
diyakini oleh beberapa kalangan- bahwa agama hadir dalam domain memiliki
arah, dalam bentuk ternafikan kondisi keterikatan darinya dan kemungkinan
penyalahgunaannya, dengan tinjauan ini pada dasarnya syarat “takwa” telah
terhapus dengan sendirinya. Jika seseorang menginginkan keyakinan langit
dan illahi ini ditawarkan dalam suatu format dimana format itu secara
otomatis memiliki tujuan serta darinya hanya dapat diaplikasikan dalam satu
model, maka di samping tidak mungkin, juga telah menghapuskan syarat
taqwa dan iman.
Analisis seperti ini, beranjak dari adanya tumpang tindih antara hidayah
takwini dan hidayah tasyri’i. Keberadaan yang tidak memerlukan takwa
adalah hidayah takwini, bukan tasyri’i.
Adanya tujuan sesuatu bermakna hidayah takwini, yang jelas menunjukkan
bahwa hal ini tidak memerlukan takwa. Sebagai contoh, itik yang lahir dari
sebutir telur, kemudian keluar mencari butiran makanan. Hidayah seperti ini
tidak diperlukannya sama sekali, kecuali kecenderungan fitri.
Hidayah tasyri’i memerlukan takwa dan takut kepada Tuhan. Karena, ia tidak
akan keluar dari area nasehat dan bahasa. Maka, keberadaan manusia tidak
secara otomatis ada dengan sendirinya, karena ia tetap memerlukan sebab
yang menghentikan dan menggerakannya.
Tujuan agama dengan ketakwaan, secara penuh seiring sejalan. Dengan
adanya tujuan di jalan ini, agama menempatkan takwa berupa keadaan takut
kepada Tuhan pada posisi sebagai kekuatan internal, yang menyebabkan
manusia ditarik menuju arah tertentu, dan menghindar dari penyimpangan ke
kiri maupun kanan.
Pendapat Lainnya
Syariat, sesuatu yang ‘diam’ dan ‘bisu’, bermakna bahwa dalam batinnya
tidak mudah berada pada setiap orang. Maka tidak setiap orang yang
mengkaji Kitab-Nya dan hadis Rasulullah Saw serta para hadis Imam akan
memahaminya. Dengan demikian, diperlukan mata dan akal yang jernih
terhadap berbagai prinsip dan pertanyaan yang terkait.
Syariat diam dan bisu, namun tidak berarti tanpa kata dan bahasa. Perkataan
sendiri ditawarkan kepada yang hadir dan bertanya. Ketika tiada pertanyaan
maupun tidak mengetahui apa yang diperlukan, sedikit memperoleh manfaat
darinya. Pertanyaan manusia pada setiap zaman senantiasa baru.

Analisis
Pada prinsipnya, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari syariah yang
diam dan berakal budi. Dari sini, diamnya al-Qur’an dan syariah ditafsirkan ke
dalam dua perspektif.
Pertama, para alim yang mumpuni terhadap penguasaan al-Qur’an dan
Sunnah. Ketika merujuk pada kedua sumber tersebut, maka apa yang singgah
dalam hatinya tidak akan diutarakan. Dengan demikian, mereka akan
terdiam untuk menyampaikan risalahnya.
Jika seperti itu, jelas sekali hipotesis ini gugur. Dengan ini, makna dari
turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk, tidak memiliki manfaat sama sekali dan
tertolak dengan sendirinya.
Kedua, Adanya beberapa kalangan yang bukan spesialisasinya, yang tidak
menguasai kajian terhadap kitab dan sunnah melakukan penilaian terhadap
agama dan syariah dan mengambil manfaat dari keduanya. Mereka, bukan
hanya tidak mendapatkan manfaat dari al-Qur’an dan sunnah. Bahkan, al-
Qur’an menolak dan menutup jalannya. Karena, tanpa kelayakan dalam
kriteria pemahaman agama dan syariah, al-Qur’an dan sunnah tidak
mengungkapkan rahasianya sendiri. Dalam makna ini, al-Qur’an diam. Bukan
untuk kalangan pertama, tetapi bagi kalangan kedua.
Sejatinya, jika al-Qur’an yang berhadapan dengan kelompok pertama diam,
lalu apa makna dari penyataan tersebut.
Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, “… (al-Qur’an) membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab selain itu…”[24]
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus
dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan
amal saleh bahwa mereka mendapatkan pahala yang besar”[25]
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an sebagai pelajaran, maka
adakah orang-orang yang mengambil pelajaran ?”[26]
Nampaknya terjadi kontradiksi antara pemahaman al-Qur’an yang mudah
dipahami, dengan pengertian al-Qur’an yang diam.
Al-Qur’an tidak hanya menjadi petunjuk bagi kaum muslimin, tetapi sumber
yang merupakan neraca antara hak dan batil bagi kitab terdahulu. Ketika para
ulama Yahudi dan Kristen, mengharapkan Taurat dan Injil bebas
penyimpangan yang memasukinya. Kedua kitab tersebut, harus
dikonfirmasikan dengan al-Qur’an, hingga menemui kebenaran. Maka, jelaslah
al-Qur’an tidak hanya untuk kaum muslimin. Bahkan, bagi kaum kafir
sekalipun, terdapat pesan di dalamnya.
Jika kita berkaca pada sabda Imam Ali As, sebagai sosok Imam yang
berbicara sedangkan al-Qur’an sebagai imam yang diam. Maka, al-Qur’an
secara mandiri merupakan peran yang tertulis dalam kertas. Sedangkan para
alim sejati dan orang-orang yang mengenal lisan wahyu, mengungkapkannya.
Di sini, Imam Ali As dalam salah satu khutbahnya menjelaskan:
Inilah al-Quran yang akan berbicara, selamanya ia sendiri tidak berbicara[27]
Dalam pengadilan, terdapat undang-undang sangat banyak, namun hanya
dengan adanya peraturan saja tidak cukup. Tetapi, harus ada hakim yang
memutuskannya, hingga aturan tersebut memiliki peran.
Berangkat dari sini, selain al-Qur’an terdapat alim natiq yang
menyampaikannya. Hal ini, di luar al-Qur’an yang diam, sehingga tidak cukup
diperoleh manfaat darinya.

Pendapat Akhir
Benar kiranya, pandangan yang meyakini bahwa dunia ini dikelola secara
rasional oleh orang-orang yang berakal. Dalam realitasnya, hingga saat ini
pun demikian. Fiqih program, tidak pernah memperlihatkan hasilnya. Bahkan,
program fiqhi hanyalah sebuah kontradiksi yang kontras. Padahal, hanya fiqih
yang menjadi wajah paling ril dan dekat hubungannya dengan unsur-unsur
agama dalam kehidupan. Dalam hal ini, fiqih merupakan ilmu tentang cabang
hukum. Maka jelas sekali, fiqih menjadi penjamin berbagai ketentuan hukum,
perintah dan larangan untuk seluruh perilaku sosial maupun individual.
Siapa pun yang menyakini bahwa agama memiliki program untuk kehidupan
dunia ini, akan menyandarkannya pada ketentuan fiqih yang berkaitan
dengan ekonomi dan politik. Namun, pandangan ini masih bisa
diperdebatkan.
Di sini, kita menjadikan fiqih sebagai titik tekan dan analisis, meskipun dalam
area akhlak dan akidah tidak demikian.[28]
Pandangan yang meyakini bahwa alam harus diatur dan dikelola secara
rasional oleh orang-orang yang berakal, merupakan pendapat yng kuat.
Namun, yang menjadi pertanyaan, hal ini berada dalam lingkup hukum dan
prinsip aturan yang mana? Di sinilah, kedua kalangan terpisah. Para penganut
agama Islam, mengatakan bahwa orang-orang yang berakal, harus menyusun
dan merencanakannya berdasarkan prinsip aturan Ilahi.
Jika dikatakan bahwa fiqih hanyalah hukum, bukan program. Nampaknya, hal
ini tidak penting. Benar, fiqih merupakan hukum, namun program sebagai
jubah implementasinya. Dalam prinsip hukum, fiqih sangat urgen dan kami
sudah menyampaikan keberatan dengan adanya pemisahan antara
keduanya.

Penantian Agama Terhadap Manusia


Mengikuti alur penjelasan ketiga isu sebelumnya,[29] nampaknya tidak perlu
lagi mengupas isu keempat, tentang “Penantian Tuhan terhadap Manusia”.
Karena, dengan penjelasan tujuan di utusnya para Nabi, yang hakikatnya
berujung simpul pada kebahagiaan dunia dan akhirat, penantian agama
terhadap manusia menjadi jelas.
Terma “agama” dalam diskursus yang lalu, kembali pada rahasia pemilik
agama itu sendiri, yaitu Tuhan pencipta manusia serta alam semesta.
Terminologi “Penantian Tuhan terhadap manusia”, jika memang tepat
digunakan, mengandung pengertian bahwa Tuhan mengharapkan manusia
menempuh jalan kesempurnaan, melalui jalan tauhid dan manifestasi sifat-
sifat-Nya. Dialah Tuhan yang maha mengetahui dan kuasa, maha melihat dan
mendengar, maha adil serta bijaksana. Manusia juga menjadi manifestasi
sifat-sifat Tuhan tersebut, sesuai dengan kapasitas eksistensi mungkinnya
sendiri.
Penantian agama terhadap manusia adalah berbagai upaya menerapkan
hukum-hukum Tuhan dalam mencapai kebahagiaan dunia sebagai pengantar
menuju kebahagiaan akhirat, mengindahkan tapal batas agama serta tidak
memperturutkan hawa nafsu.
Kami akan menuntaskan pembahasan sampai di sini. Barangkali, tema ini
dapat dikembangkan hingga persoalan sebenarnya menjadi jelas.
[www.wisdoms4all.com]

[1] Doktor Abdullah Nashri merupakan salah seorang penulis mumpuni di Iran,
ia menulis sebuah buku dengan tema serupa setebal 303 halaman yang
diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan, Ilmu dan Pemikiran kontemporer.
Penulis tidak hanya mengutip berbagai gagasan para pemikir, bahkan ia juga
melakukan analisis dan kritik terhadap beragam pendapat tersebut.
[2]. Jame’eh Syenâsi Din hal. 205.
[3] Âyandeh Yek Fendâr, hal. 179.
[4] Fard wa Jâme’eh-hâye Imruzi hal. 7-9.
[5] Din Dardân hal 178.
[6] Majalah Naqd wa Nazar, edisi 6, hal 35.
[7] Tafakkur dini dar Qarn-e Bistum, hal 233-249
[8] Qs. Maryam, 19:93
[9] Qs. Al-Mu’minun, 23: 71.
[10] Âgha-ye Muhandes Bazargân
[11] Qs. al-Anfal, 8: 60.
[12] Qs. al-Baqarah, 2: 275.
[13] Qs. al-Baqarah, 2:275.
[14] Muhandes Bazargan, Mazahib dar Eropa Tabriz, Penerbit Soroush, , 1343
Hs: hal 17
[15] Ibid
[16] Ihtiyaj Ruz cetakan ketiga hal. 39-40
[17] ibid
[18] Di antara kebanggaan sejarah yang melekat padanya adalah untuk
pertama kalinya pasca peristiwa bulan Syahrivar 1320 Hs, ia mengobarkan
semangat keagamaan di kampus.
[19] Âkhirat, Khodâ, wa Bi’tsat-e Anbiyâ, hal. 6, 80, 97, 98,102.
[20] Qs. Yunus, 10 :99
[21] Qs. Yusuf, 12:108
[22] Qs. al-Jin, 72:1-2
[23] Qs. ali-Imran, 3:103
[24] Qs. al-Maidah, 5 :48.
[25] Qs.al-Isra, 17 :9.
[26] Qs.al-Qamar, 54 :17.
[27] Nahj al-Balaghah Khutbah 158.
[28] Mudara va Mudiriyat hal. 253
[29] Pertama, Penantian Manusia terhadap agama. Kedua, Agama
Mencerahkan Kehidupan. Ketiga, Duta Tuhan ke atas Manusia.

Agama bagi Manusia atawa Sebaliknya?


Ditulis pada Agustus 5, 2007 oleh isyraq

Sebagian menyangka bahwa karakteristik zaman modern adalah segala


sesuatu untuk manusia atau humanisme, termasuk agama untuk manusia.
Padahal dalam pandangan tradisional, manusia untuk agama. Mereka
mengatakan, dalam penafsiran klasik terhadap agama, kedudukan manusia
lebih rendah dari agama dan akidah. Dengan dasar ini, manusia berkhidmat
pada agama dan jiwa manusia menjadi tidak bernilai, serta dengan mudah
mereka akan mengorbankan jiwanya demi agama. Adapun di masa modern,
manusia menempatkan dirinya lebih tinggi dari agama, dan ini berarti bahwa
manusia tidak mengorbankan diri demi agama dan membunuh seseorang
atas nama agama.

Kedudukan Tinggi Manusia atas Pemikiran di Masa Modern

Tidak diragukan lagi bahwa di masa modern manusia diposisikan lebih


tinggi dari pemikiran. Namun pandangan ini perlu ditinjaun kembali, pertama
dengan dasar apa manusia diposisikan lebih tinggi dari pemikiran, kedua
apakah karakteristik pemikiran-pemikiran tradisional adalah sebagaimana
juga sekarang ini atau bertentangan? Adapun di masa modern bahwa manusia
telah menjadi terhormat dan kedudukan pemikiran menjadi rendah, hal ini
karena dari satu sisi merupakan akibat dari kedudukan yang terlupakan dari
manusia dan dari sisi lain sebagai akibat hilangnya sisi kepastian kebenaran
pengetahuan manusia. Manusia modern memahami bahwa pengetahuan itu
bersifat nisbi sehingga tidak mungkin diharapkan memiliki nilai mutlak, karena
itu pengetahuan menjadi berada pada titik terendah dari manusia. Jika
manusia suatu saat kembali menemukan bahwa pengetahuan dan
pemikirannya memiliki nilai mutlak, maka pemikirannya akan kembali mulia,
suci, dan terhormat serta kembali menjadi lebih tinggi dari
manusianya. Adapun mengenai substansi tradisi pemikiran-pemikiran klasik
itu tidak selayaknya dipandang sama, begitu banyak tradisi-tradisi pemikiran
yang ditemukan dalam sejarah manusia yang tidak dapat dihukumi secara
sama. Salah satu kesalahan mendasar dari sistem pengajaran moderen
adalah memandang sama semua budaya dan tradisi di semua negara pada
masa pra pembaharuan Eropa. Mereka ini tidak ingin bersusah payah untuk
melakukan penelitian dan seenaknya memandang bahwa semua budaya dan
tradisi adalah sama dengan kebudayaan dan tradisi Eropa abad
pertengahaan. Pandangan yang tak berdasar dan tak ilmiah ini merupakan
persoalan penting bagi para peneliti pada zaman moderen yang harus
dicarikan solusinya.

Tujuan Agama

Di sini, Kami tak memiliki kesempatan untuk mengisyaratkan semua tradisi


pemikiran klasik. Tetapi kami akan menerangkan hal-hal yang berhubungan
dengan substansi pemikiran Islam sebagaimana tradisi Islam itu sendiri, yakni
diturunkannya Kitab-Kitab Suci dan diutusnya para Rasul adalah bertujuan
untuk menyempurnakan manusia. Adalah sangat jelas bahwa agama adalah
petunjuk Tuhan yang mengarahkan manusia untuk pencapaian kesempurnaan
hakiki manusia. Tujuan agama adalah memberi petunjuk pada manusia dalam
mengaktualkan semua potensinya dan menyampaikannya ke-haribaan
Ilahi. Jika demikian, maka agama adalah perantara dalam membantu tugas
manusia untuk merealisasikan tujuan mulianya. Dengan pandangan ini, tidak
dapat dipersepsi bahwa bagaimana mungkin kehadiran agama menyebabkan
manusia berkorban untuknya. Jika ditetapkan bahwa manusia dikorbankan
untuk agama, potensi-potensi manusia tidak mengaktual, dan tujuan agama
tidak tercapai. Jika manusia dengan sia-sia dan semata menghancurkan
dirinya dengan nama agama, maka sebaiknya agama seperti ini tidak
dihadirkan. Dalam pandangan Islam, agama sebagai jalan kesempurnaan dan
keselamatan manusia. Agama sebagai jalan menyampaikan manusia pada
tujuan dan kesempurnaan wujud tertinggi. Agama sebagai rantai penyambung
antara alam materi dan alam malakut. Agama hadir supaya manusia yang
tercipta dari tanah yang rendah ini dapat melesak ke alam tinggi malakuti.
Agama sebagai pengobat rasa takut dan kekhawatiran kita. Agama sebagai
pelindung dan jalan keluar terhadap berbagai kesulitan yang bersumber dari
karakter alam materi. Agama adalah pemberi makna bagi kehidupan manusia.
Agama menyirnakan rasa takut manusia akan kematian dan memberikan
manusia harapan pasti akan kehidupan abadi di alam akhirat. Di sini, kami
tidak berargumentasi atas pandangan-pandangan diatas, tapi hanya
menjabarkan pandangan Islam tentang substansi agama dan hubungannya
dengan manusia. Mengidentitaskan ikatan agama dengan manusia.
Sebagaimana diperhatikan bahwa semua permasalahan di atas berkaitan
dengan tujuan manusia. Agama berkhidmat untuk manusia dan untuk
keselamatannya. Sekarang terdapat sebuah pertanyaan bahwa jika demikian,
mengapa manusia mesti berkorban di jalan agama, mengapa untuk
menghidupkan dan menjaga agama begitu banyak manusia yang telah
dikorbankan, dan mengapa terdapat budaya kesyahidan dalam agama
khsususnya dalam agama Islam?

Motivasi-Motivasi Manusia

Sebelum memaparkan masalah ini, perlu memperhatikan beberapa


mukadimah berikut ini. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia tidak
terlepas dari dua hal, yaitu perbuatan yang dilakukan tersebut berpijak pada
kebenaran atau karena berdasarkan asas manfaat ? Dengan kata lain,
motivasi manusia ada dua bentuk, yakni mencari sebuah kebenaran dan
berpikir secara mashlahat. Ketika saya mengerjakan shalat, terdapat dua
alasan, yakni karena Tuhan memang layak disembah dan Dia menginginkan
jalan penyembahan ini (motivasi mencari kebenaran) atau dengan alasan
bahwa shalat menyebabkan kebahagiaan dan keselamatan saya (motivasi
mashlahat dan manfaat). Jika saya tidak berbohong, dengan dalil bahwa
berbohong adalah tidak benar (motivasi kebenaran) atau dengan dalil bahwa
berbohong menyebabkan hadirnya siksaan (motivasi mashlahat). Berdasarkan
dua prinsip tersebut, kita bisa memberikan dua solusi atas masalah ini:

1. Mencari Kebenaran

Mencari kebenaran bisa disaksikan dalam tiga perkara:

1. Kecenderungan; 2. Pandangan; 3. Metodologi.

Mencari hakikat kebenaran akan ditemukan dalam tiga bentuk:

1. Kecenderungan pada kebenaran;

2. Menerima dan yakin pada kebenaran;

3. Implementasi kebenaran dan kebenaran sebagai tolok ukur.

Manusia-manusia pencari kebenaran menempatkan hakikat kebenaran itu


dalam tiga sisi wujudnya, pertama hati sebagai pusat kecenderungan, cinta,
dan benci. Kedua pikiran sebagai tempat pandangan dan pemikiran. Ketiga
tubuh sebagai tempat lahirnya amal perbuatan dan tingkah laku manusia.
Kecintaan dan kebencian mereka ini semata-mata berdasarkan hakikat
kebenaran (kecenderungan kebenaran), dia tidak meyakini dan mengimani
selain kepada pandangan-pandangan benar dan menerima setiap pemikiran
yang benar (menerima dan yakin pada kebenaran), dan mengamalkan
kebenaran, rela menerima segala konsekuensinya, istiqomah dalam
kebenaran, dan segala prilakunya berdasarkan pada kebenaran (implementasi
kebenaran dan kebenaran sebagai tolok ukur).

Imam Ali sebagai Teladan Pencari Kebenaran


Teladan tertinggi manusia sebagai pencari kebenaran adalah Ali Bin Abi
Thalib as dimana dalam segala sesuatu senantiasa berpegang pada
kebenaran dan tidak mencintai sesuatu selain kebenaran, dan sekalipun itu
kekuasaan jika bertentangan dengan kebenaran, maka tidak akan bernilai
sama sekali[1]. Paling mulianya seorang dalam pandangannya adalah orang
yang mengamalkan kebenaran di sisinya lebih dia cintai dari segala sesuatu.
Dia tidak menerima selain kebenaran dan ketika dia mengenal kebenaran dia
tidak menunda sedetikpun untuk menerimanya[2]. Dalam amal perbuatan
juga berpegang teguh pada kebenaran dan tidak rela meraih kekuasaan
dengan kebohongan (dalam musyawarah pemilihan khalifah kedua) serta
orang kuat dalam pandangan beliau adalah lemah sehingga mereka
menerima kebenaran[3], dan dia bersumpah pada Tuhan untuk berperang
demi kebenaran dan membebaskan kebenaran dari cengkraman kebatilan
dan orang-orang mencampuradukkannya dengan kebatilan[4]. Pemihakannya
pada kebenaran sedemikian sehingga terwujud peperangan yang tak
diiginkan dengan orang-orang ekstrim Khawarij, para pecinta kekuasaan
(Muawiyah), dan kelompok munafik. Puncak perjuangannya menegakkan
kebenaran dan keadilan berujung pada kesyahidannya.

Pengorbanan dan Kesetiaan di Jalan Kebenaran

Keadaan ini akan hadir pada diri seseorang yang telah menemukan
kebenaran dan berpegang teguh padanya. Jika seseorang telah menemukan
kebenaran suatu agama, apabila dia pencari kebenaran, apakah dia tidak
boleh berkorban dan setia pada kebenaran. Apakah tidak bernilai jika seorang
manusia mengorbankan jiwanya untuk kebenaran? Bukankah suatu
kesempurnaan manusia yang berpegang teguh pada kebenaran hingga akhir
hayatnya dan berperang demi kebenaran? Bukankah kemanusiaan kita
terletak pada pengamalan kebenaran? Manusia pencari kebenaran memahami
bahwa kemanusiaannya terletak pada kecenderungan kebenaran, keyakinan
pada kebenaran, dan implementasi kebenaran serta menjadi kebenaran
sebagai tolak ukur. Oleh karena itu, untuk mencapai derajat kemuliaan
manusia ini dia bahkan rela mengorbankan kehidupan materialnya. 2.
Berpikir Mashlahat Seseorang yang berbuat berdasarkan prinsip
kemaslahatan dan asas manfaat, sebelumnya harus mengenal manfaat-
manfaat dirinya dan mengetahui apa keuntungannya yang terbesar serta
memahami bagaimana cara meraihnya sedemikian sehingga tidak melakukan
apa yang mendatangkan bahaya baginya dan mengerjakan apa yang
membawa keuntungan baginya. Intinya, dia mesti mengetahui perkara-
perkara yang memiliki manfaat dan hal-hal yang tidak yang menguntungkan.
Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mengetahui bahwa Tuhan
Yang Maha Bijaksana niscaya mengetahui dan menghendaki
kemashlahatannya. Oleh karena itu, kemashlahatan yang paling tinggi
terletak dalam ruang lingkup agama, walaupun kemashlahatan agama ini
akan bertabrakan dengan manfaat duniawi yang bersifat sementara. Dengan
demikian, mashlahat hakiki terletak dalam agama dan orang yang
mengamalkan agama akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di
dunia dan di akhirat. Walhasil, apabila orang beragama memahami
bahwa untuk mencapai kebahagiaan hakiki dia harus mengorbankan jiwanya,
maka perbuatan ini adalah hal yang sangat logis dan manusiawi, karena
kemashlahatannya hanya akan terjamin dengan pengorbanan ini. Sangat
mungkin kemashlahatan duniawi akan hilang, namun kemaslahatan abadi
pasti tergapai. Bentuk jual-beli dan perdagangan seperti ini sangat agung dan
membawa keuntungan yang sangat besar, hal ini sebagaimana disebutkan
dalam al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang
pedih. Yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahui”[5]. Setiap manusia bisa meraih maslahat akhirat melalui jalan ini
dan menggapai keselamatan dan kebahagian diri serta akan mendapatkan
ketenangan pikiran di dunia. Agama seperti tali yang digantungkan dari
puncak gunung, sehingga para pendaki dengan bantuan tali tersebut mampu
mendaki hingga ke puncak gunung, tali ini juga sebagai pengaman dari
kejatuhan ke dasar lembah yang gelap atau sebagai alat bantu dari
keterjebakan. Agama tidak lain adalah tali Allah yang sangat kuat yang
dengan berpegang teguh padanya mampu mengantarkan manusia ke puncak
keselamatan dan mendapatkan kemashlahatan yang abadi serta meniti jalan
ini menciptakan keamanan dan ketenangan jiwa. Yakni ketenangan duniawi
dan kebahagiaan akhirat, Tuhan berfirman, “Barang siapa yang berpegang
pada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk ke jalan yang
lurus….”, “Dan berpeganglah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah
bercerai berai…”[6]. Adapun jika diperhadapkan pada kemaslahatan
sosial, agama juga -khususnya agama Islam - bermanfaat bagi masyarakat.
Suatu masyarakat yang berjalan di atas kemashlahatan duniawi bisa meraih
kemashlahatan ini lewat jalan agama (yakni berkaitan dengan urusan duniawi
yang telah diatur dalam agama).

Pengorbanan dan Kesetiaan untuk Menjaga Kemashlahatan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menerima secara rasional bahwa


kehadiran agama untuk manusia dan menjamin kemashlahatan manusia,
dengan demikian segala bentuk pengorbanan di jalan agama memiliki makna
yang sangat berarti. Jika masyarakat ingin memperoleh kemashlahatan ini,
maka harus berpegang pada agama dan mereka mesti menjaga agamanya
dengan segenap kemampuan walaupun dengan mengorbankan jiwanya. Yang
pasti apa yang telah dikorbankan untuk agama tidak berarti jika dibandingkan
dengan manfaat abadi yang diraihnya. Salah satu fungsi komandan pasukan
dalam medan perang adalah menjaga keselamatan jiwa kelompoknya dan
menyelamatkan mereka dari serangan dan kepungan musuh. Jika komandan
ini tidak ada, maka pasukannya akan banyak yang terbunuh. Namun seorang
komandan mampu menyelamatkan semua atau sebagian dari mereka. Untuk
menyelamatkan mayoritas anggota-angota kelompok maka komandan harus
terjaga. Dari sini menjadi rasional bahwa sebagian anggota pasukan akan
mengorbankan diri demi menjaga dan menyelamatkan sebagian anggota
pasukan dan seluruh anggota pasukan bertanggung jawab menjaga
komandan pasukan serta rela terbunuh lebih awal demi keselamatan jiwa
komandan. Memang benar bahwa seorang komandan bertujuan
menyelamatkan seluruh anggota pasukannya, bukan sebaliknya. Namun
untuk terealisasikan fungsi komandan ini terkadang dibutuhkan pengorbanan
beberapa anggota pasukan demi keselamatan jiwa komandan, supaya dengan
keberadaan komandan keselamatan semua pasukan menjadi terjamin.
Oleh karena itu, walaupun dengan dasar berpikir mashlahat duniawi,
pengorbanan dan kesetiaan merupakan alat bagi agama dan apabila
diperhadapkan dengan keuntungan-keuntungan duniawi, maka kedua hal
tersebut tetap memiliki arti, begitu pula segala pengorbanan di jalan agama
sesungguhnya untuk menjamin maslahat-maslahat manusia. Begitu juga
dengan kelanggengan agama ini dapat menjamin maslahat-maslahat mereka.
Untuk itu, dorongan pengorbanan diri atau mati syahid (syahadah) dalam
agama bukan bermakna merendahkan nilai dan harga jiwa manusia, tetapi
berarti mempersiapkan manusia-manusia untuk menjamin kemashlahatan
dirinya sendiri, yakni pengorbanan manusia untuk agama sama dengan
menjamin kemashlahatan manusia itu sendiri.

Kesempurnaan Manusia lewat Pengorbanan dan Kesetiaan

Dengan demikian, dengan tidak berpijak pada prinsip-prinsip dan penjelasan


di atas kita tidak dapat menuduh Islam dengan sangkaan merendahkan jiwa
manusia atau manusia dikorbankan untuk agama, tetapi semata-mata
memandang agama dari dalam dan bukan mengklaim berdasarkan
kemashlahatan duniawi manusia. Jika ungkapan ‘pengorbanan jiwa di jalan
agama’ digunakan, sesungguhnya menjelaskan tentang proses kesempurnaan
manusia dan proses penitian jalan kebahagiaan. Pengorbanan jiwa manusia
bukan dipandang tidak memiliki makna, bahkan dengan ini manusia diarahkan
pada puncak kesempurnaan dan hingga pada batasan dimana dengan
pengorbanan ini Tuhan membanggakannya di hadapan para malaikat. Para
syuhada dan pembela agama, disamping mereka mendapatkan kebahagiaan
abadi, mereka juga melestarikan agama serta menghaturkan kebahagiaan
bagi manusia-manusia lain. Sungguh hal ini merupakan suatu kebanggaan tak
terkira.[wisdoms4all.com]

[1] . Nahjul Balaghah, khutbah 33.[2] . Ibid, khutbah 4.[3] . Ibid, khutbah 37.
[4] . Ibid, khutbah 104[5] . Qs. Shaf: 10-11.[6] . Qs. Al-Imran: 101 dan 103.

DIarsipkan di bawah: Neo Teologi

Você também pode gostar