Você está na página 1de 35

Afrizal Malna

Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata


©2010 Afrizal Malna

Cetakan I, 2010

Hak cipta Kata Pengantar:


©2010 Michael H. Bodden
©2010 Marianne Koenig

Penyunting:
Antariksa

Perancang grafis:
Titarubi

Penerbit:
iCAN (Indonesia Contemporary Art Network)
Jl. Suryodiningratan 39 Yogyakarta 55141
Tel. +62 274 371219
Website: http://canmanage.net
Email: ican@canmanage.net,
canmanage@gmail.com

iCAN (Indonesia Contemporary Art Network) bekerja untuk mendorong


dialog lintas-disiplin antara seni rupa, bidang-bidang seni lainnya, dan
ilmu pengetahuan melalui proyek kesenian, penelitian, dan pendidikan

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

MALNA, Afrizal
Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata
Yogyakarta: iCAN (Indonesia Contemporary Art Network), 2010
xx + 428 hlm.;14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-98319-00

Salah satu aksara yang dipakai dalam buku ini adalah Titillium
rancangan Accademia Di Belle Arti Di Urbino

Dicetak di Yogyakarta oleh Kampung Kreasi


Daftar Isi

ix 1998 -2010: Galeri teater di lapangan parkir


xii Pengantar Komite Teater - Dewan Kesenian Jakarta
xiv Sebuah berita mengenai Indonesia kecil
Pengantar Michael H. Bodden
x viii Antologi tubuh dan kata
Pengantar Marianne Koenig

1| PROLOG BER LALU


3 Sihir teater
6 Perjalanan teater kedua

2 | RUANG, NEGAR A, TUBUH, DAN MEDIA


DALA M KOMUNIK ASI TEATER
21 Bocor dan retaknya ruang teater
33 Kritik teater dari kekuasaan dan budaya tontonan
45 Biografi publik, tubuh dan kata
57 Personifikasi elektronik untuk teater

3 | NASK AH TEATER DAR I K EN YATA AN DAN GAGASAN


73 Arkeologi teater: Penalaran tunggal dari kenyataan
84 Massa dan individu di antara penutur teater
95 Jalan teater dari cerita ke berita
107 Pergulatan mencari narasi baru
4 | TUBUH DALA M AKTING TEATER
119 Aktor dari tubuh kreol dan kebudayaan sebagai kepompong
130 Tubuh yang mempercayai dan meragukan sejarah
139 Aktor dari bibliografi teks ke biografi teks
147 Caligula menonton pertunjukan Teater Sae
154 Bungkusan untuk tubuh aktor

5 | TEATER POLITIK DAN KUALITAS K EHIDUPAN PUBLIK


(R EPORTASE-R EPORTASE TEATER)
163 Teater Luka: Revolusi dalam akting yang tegang
168 Teater Gandrik: Masyarakat dalam ekonomi yang gelap
171 Teater RSPD: Teater dari kota tanpa media massa
174 Teater Lembaga: Amerika dalam mulut perempuan
177 Teater Koma: Teater, parlemen, pemerintahan kota, dan karcis
183 Teater Kubur: Tubuh dari tema-tema pinggiran
189 Teater Que: Biarkan manusia murni dalam tubuhnya
192 Teater Kosong: Proposal palsu dari reptil-reptil politik

6 | GENER ASI YANG HILANG DAN PEMBOCOR AN BIOGR AFI


(R EPORTASE-R EPORTASE TEATER)
197 Studio Oncor: Rumah berbahaya dan teks-teks bebek
202 Bandar Teater Jakarta: Biografi aduh dan panggung miring
208 Teater Gumelar: Biografi emak di antara kabel listrik
211 Teater Pavita: Cinta yang bunuh diri dalam penyaduran
215 Teater Kami: Ada yang diam-diam berubah menjadi dirimu
220 Teater Sae: Instalasi teks dari luar pertunjukan
229 Teater Ragil: Seorang generasi yang hilang
231 Teater Gidag-gidig: Pencarian linguistik untuk Rusdi
234 Teater Potlot: Membersihkan teks dalam kamar mandi
237 Teater Kita Makassar: Dengarlah peluit di dalam tanah

7 | MOVING VISUAL (REPORTASE-REPORTASE TEATER)


243 Teater Payung Hitam: Demokrasi dari kaleng-kaleng rombeng
247 Teater Ruang: Seni rupa dari tubuh yang terus diciptakan
250 Teater Garasi: Ruang grafis Waktu Batu
257 Sanggar Merah Putih: Terigu dan metafora tanpa jenis kelamin
260 Teater Gardanalla: Generasi kepalsuan dan teater gaya hidup
264 Bengkel Mime Theatre: Bintang-bintang melawan perabotan rumah
tangga

8 | REPORTASE-REPORTASE FESTIVAL TEATER: JAWA TIMUR


271 Lomba Drama Lima Kota Jawa Timur:
Teater di antara blitz, teriakan, dan MC
280 Parade Seni W R. Soepratman’95:
Theater is life, film is art, television is furniture
286 Kompetisi Teater Indonesia: Generasi yang kehilangan narasi

9 | REPORTASE-REPORTASE FESTIVAL TEATER: JAKARTA


295 Festival Teater Jakarta 19, 20, 21
307 Teater 70: Sebuah lapangan semua boleh dilihat
311 Teater Aquila: Rincian visual menyusun puisi-puisi rupa
314 Teater Aristokrat: Konsistensi pentas dalam keresmian pemeranan
318 Teater Deep: Biarin gue terbang
320 Teater Kanvas: Memecahkan pusat kognisi pertunjukan
323 Teater Keung: Pembocoran pentas
327 Teater Kuman: Praktik-praktik akting dalam penjara
329 Teater Molek: Teater pop untuk absurdisme
332 Teater SBB: Teater komik untuk pidato politik
335 Teater Stasiun: Akting kompor meledak di panggung mini
337 Teater Tanah Air: Kebersihan di atas pentas
341 Teater Trotoar: Menghancurkan buku dan TV
344 Teater Tutur: Kegaduhan-kegaduhan editing
346 Sebentar, kami sedang membuat teater
355 Festival Teater Alternatif: Sebuah Indonesia yang sedang sakit
359 Festival Monolog FTI: Tubuh ketiga dari agresi ruang publik
10 | REPORTASE-REPORTASE FESTIVAL TEATER:
YOGYAKARTA - BANDUNG - SOLO
369 Festival Kesenian Yogyakarta VII: Tukang es yang dibunuh
374 Pertemuan Teater Bandung: Mengkoreografi dinding ke tiga
383 Mimbar Teater Indonesia: Putu dalam pembacaan generasi masa kini.
Sebuah permainan baru dalam konteks dan realisme dari tubuh-filmis

11 | TEATER KAMPUS
391 Festival Teater Kampus: Peristiwa yang terjadi itu bukan saya
400 Teater IKIP Bandung: Kesusastraan dengan dua panggung
403 Teater UNHAS Ujung Pandang: Narasi-narasi Belanda-Indonesia

12 | DUA PENUTUP
409 AGS Dipayana dan strategi menciptakan peristiwa, menyutradarai biografi sendiri
411 Ceritanya tidak dikarang

415 Ucapan terima kasih dan menanam pohon di tepi pantai


418 Indeks
1998-2010: GALERI TEATER DI LAPANGAN PARKIR

Buku ini sebuah tapal batas antara teater dengan yang “sebelum-teater” dan yang
“sesudah-teater”. Ia seperti waktu yang diterima lebih sebagai pembacaan daripada se-
bagai hitungan. Setelah sebuah pertunjukan teater usai, apakah yang “sebelum-teater”
itu bukan teater dan yang “sesudah-teater” itu juga bukan teater? Dalam tapal batas ini
semacam kontinuitas baru tumbuh menjadi kesadaran, tidak terduga, sedikit terduga,
kadang tak terjamah dalam membaca yang hadir dan yang baru saja kita alami. Biarkan
begitu saja: kita tidak bisa menggunakan kekerasan untuk mencairkan yang beku dengan
cara justru membuatnya menjadi pecah.
Akhir November 2009, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia membuat simposi-
um mengenai seni pertunjukan selama 3 hari di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Simposium ini melibatkan berbagai disiplin. Saya sempat terlibat dalam sesi pembicaraan
mengenai estetika teater. Dalam pembicaraan ini masing-masing peserta mendapat ke-
sempatan untuk mengungkapkan, bagaimana pengalaman pribadinya yang berkesan ke-
tika menonton teater. Pembicaraan ini berangkat dari pengandaian, apa sih estetika teater
itu kalau kita tidak pernah tahu pembacaan penonton atas pertunjukan yang ditonton-
nya?
Yang menarik dari pembicaraan ini—adalah—sebagian peserta mengungkapkan ke-
nangannya yang tidak terlupakan saat pertama kali menonton wayang. ST. Sunardi di
antaranya, merasa kalau terlalu lama tidak menonton wayang, ia khawatir hidup ini su-
ngguh-sungguh fiksi. Wayang lah yang membuat ia percaya bahwa hidup ini adalah nyata
dan bukan fiksi.
Pernyataan Sunardi itu, walaupun dinyatakan dengan nada berkelekar, untuk saya
merupakan sebuah pembacaan penting: bagaimana seorang penonton menempatkan

ix
dirinya di antara dunia pertunjukan dan ke-
nyataan. Posisi ini merupakan tapal batas di
mana sebuah pembacaan berubah menjadi
aktifitas penandaan yang genting, berani dan
terbuka. Aktifitas penandaan ini bukan untuk
melegitimasi sebuah pertunjukan itu bagus
atau jelek, melainkan bagaimana terciptanya
medan penandaan dalam wilayah pembacaan Wayang Orang Bharata
penonton akibat pertunjukan yang ditontonnya.
Pada masa kanak-kanak saya, di daerah Senen, Jakarta Pusat, ada sebuah gedung per-
tunjukan wayang orang. Wayang Orang Adiluhung, namanya. Kawasan ini memang me-
narik, karena memiliki 4 gedung pertunjukan: Wayang Orang Adiluhung, Wayang Orang
Bharata, Miss Tjitjih (gedung yang mementaskan drama-drama Sunda klasik) dan Bio-
skop Grand untuk memutar film.
Saya selalu takut untuk nonton di Miss Tjitjih, karena banyak mementaskan drama
mengenai hantu. Perempuan yang bunuh diri dalam sumur misalnya, menjadi kuntilanak,
atau beranak dalam kubur. Saya masih ingat sebuah adegan: perempuan hamil bergaun
putih, terbaring dengan sebuah batu besar di atas perutnya yang hamil. Banyak film horor
Indonesia berangkat dari drama-drama klasik Sunda ini. Drama-drama ini dibuat sangat
realis, di antara bulan purnama dan suara lolongan anjing di malam hari. Tetapi juga saya
selalu takut setiap muncul adegan keluarnya para raksasa dengan suara gemuruh dari
musik, teriakan dan geraman mereka, rambut gimbal, gigi tajam-tajam saat menonton
wayang orang Adiluhung.
Namun pada saat-saat tertentu, ketika saya sedang bermain, kadang saya main ke
lapangan parkir di samping gedung Adiluhung itu, saya bisa melihat pakaian-pakaian
wayang itu (termasuk pakaian dan gigi raksasa) sedang dijemur di lapangan parkir itu.
Saat-saat seperti itu sangat memukau saya. Sebagai anak kecil, saya bisa melihat gigi dan
mulut raksasa itu dari jarak dekat, menyentuh rambutnya yang kasar terbuat dari ijuk.
Peristiwa ini telah menjadi tontonan lain, seperti sebuah pameran. Lapangan parkir itu
seperti berubah menjadi galeri terbuka akibat pakaian-pakaian wayang yang dijemur
dengan cara menggeletakkannya begitu saja, terhampar di lapangan parkir.
Saya menarik nafas, seperti memasuki sebuah lorong dari dunia Jawa: lorong di mana
kenyataan dan fiksi bertemu sebagai bayangan yang nyata, seperti ungkapan ST. Sunardi
di atas. Lorong di mana pusat-pusat penandaan, visual maupun naratif, berubah menjadi
lalu lintas superego untuk berbagai aktivitas personifikasi yang mungkin bisa kita laku-
kan.
Miss Tjitjih dan gedung wayang orang Adiluhung itu kini sudah tidak ada. Miss Tjitjih
berubah menjadi gedung bioskop (Rivoli) yang memutar film-film India. Gedung Wayang
Orang Adiluhung yang juga pernah berubah menjadi gedung bioskop, kini mungkin su-

x
Intentionally blank for preview
Pengantar Komite Teater - Dewan Kesenian Jakarta

Pada suatu hari Afrizal Malna iseng mampir ke kantor Dewan Kesenian Jakarta,
lalu dengan gayanya yang seolah tak ada soal yang penting, dia berkata bahwa dia ada
manuskrip buku teater yang sudah hampir selesai. Kami berjingkrakan seperti anak
diberi permen loli bergaris-garis merah-kuning-hijau rasa tegang-tegang bingung: ba-
gaimanakah rupa buku yang disebutnya sebagai “kuburan teater”dan ditulis oleh “pen-
garang yang sudah mati” itu?
Ketika 400-an halaman buku itu datang, kami mengintipnya, dan langsung meringis
hangat: ada pengantar dari Marianne Koenig dan Michael Boden, kawan-kawannya se-
jak lama. Lalu tawa kami berderai ketika melihat foto Afrizal Malna dan Boedi S. Otong
sebagai foto ilustrasi ucapan terimakasihnya, dua orang yang persahabatannya sering
dikisahkan kembali bila beberapa orang teater Indonesia—yang sekarang berusia sekitar
40 tahunan—berkumpul dan berbincang soal teater sekarang dan dulu. Siapapun yang
mengenal mereka akan langsung teringat pada Teater Sae dengan pementasan-pemen-
tasan yang berjudul “lucu”, dengan “dialog” yang sering “bisa dimengerti, tapi tidak bisa
dimengerti dengan pasti”, dengan tubuh-tubuh yang bergerak aneh.
Bukan, buku ini bukan kuburan, ini album Afrizal Malna yang setiap kenangannya
tersusun dalam tulisan yang dibuat dengan teliti, sabar dan penuh kasih. Ini buku sejarah
teater kita yang ditulis dengan cara yang akrab.
Tentu, persetujuan kami untuk mendukung penerbitan buku ini tidak saja semata
karena Afrizal Malna akrab dengan kami, tetapi memang karena juga ada sekian tumpuk
kekhawatiran atas kurangnya buku atau tulisan yang lahir dari dunia teater kita: naskah-
naskah drama yang tak satu penerbitpun suka mencetaknya, karena selalu dianggap seba-
gai “proyek rugi”, tak adanya tulisan kritik teater yang mencerdaskan yang dapat membe-

xii
dah pertunjukan dengan baik, tak adanya tulisan-tulisan orang teater yang “ikut campur”
dalam usaha mengritisi segala kesemrawutan negeri ini. Uh, memang, rasanya, kami jadi
pengomel, tapi tak satupun orang yang akan menolaknya, bukan? Semoga saja buku ini
dapat terus menjadi pengingat untuk kita semua untuk terus bekerja keras mengusaha-
kan perbaikan atas kondisi yang ada.
Terima kasih kami tidak saja kepada Afrizal Malna, kepada semua sahabat teater,
tetapi—khususnya juga—kepada teman-teman di Festival Teater Jakarta 2010, karena
dukungan atas penerbitan buku ini  memang melibatkan juga dana dan usaha kawan-
kawan panitia FTJ 2010.
 
Jakarta, Desember 2010
Komite Teater - Dewan Kesenian Jakarta
Madin Tysawan
Jose Rizal Manua
Sari Madjid
Dewi Noviami

xiii
SEBUAH BERITA MENGENAI INDONESIA-INDONESIA KECIL

Pengantar Michael H. Bodden

Dari pengalaman saya bersama dia, saya dapat menarik kesimpulan bahwa Afrizal ter-
masuk pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang paling lihai.
Artinya, dengan matanya yang tajam—separuh mata seniman, separuh mata sosiolog—
dia bisa melihat banyak hal yang gampang luput dari pemandangan orang lain. Kemu-
dian, dengan pola pemikiran dan bahasanya yang khas, dia bisa mengatur hal-hal yang
diamatinya menjadi sebuah rumusan yang memang rumit dan harus dipikirkan lebih dari
satu-dua detik, tetapi juga mampu menghasilkan pengertian baru yang sangat berman-
faat kalau kita mau mempelajari bagaimana kebudayaan, teater misalnya, berhubungan
dengan wacana-wacana dan proses-proses masyarakat yang lain.
Tentu saja, justru itu yang penting di sini. Bagi Afrizal, teater tidak bisa berdiri sendiri:
para pemain sudah memiliki pengalaman pribadi di luar maupun di dalam ruang pentas.
Tubuhnya pun sudah dibentuk lewat pengalaman sosial dan sulit sekali menyembunyi-
kan pola-pola gerak badan yang sudah lama terdidik membungkuk-bungkuk, mengang-
gukkan kepala tanda setuju, memperlihatkan kemarahan atau justru menahan perasaan.
Juga, para penonton ikut membawa wacana-wacana luar ke dalam ruang pementasan,
dan proses penandaan yang berlangsung dalam pementasan tidak merupakan pesan-
pesan saja yang disampaikan para pemain kepada penonton yang pasif menerima. Para
penonton, apakah secara diam atau lebih vokal, juga ikut aktif dalam proses penandaan
dengan penafsiran mereka menyambut apa yang sedang terjadi dalam ruang pertun-
jukan dengan referensi tersendiri yang beranekaragam. Misalnya saja, ada pertunjukan
mengenai masa depan cemerlang berteknologi tinggi dengan komputer dan sebagainya
dan kemakmuran yang bukan main. Kalau kita masuk ruang pertunjukan, kita mungkin
membawa banyak referensi dari wacana-wacana lain: dari sejumlah besar novel dan film

xiv
mengenai dunia masa depan yang utopis maupun yang anti-utopis dan tidak percaya ke-
pada janji cemerlang teknologi; dari pengalaman kita membungkuk berjam-jam di depan
komputer mengetik laporan atau karangan atau apa saja mengejar waktu sampai pundak
dan punggung kita menjadi kaku; dari kemungkinan komunikasi yang lebih luas de-
ngan komputer dan sarana perjalanan dan pos yang serba cepat dan canggih, tetapi juga
dengan pola produksi kapitalis yang selalu terburu-buru berinovasi membikin produk
baru sehingga para pembeli terpaksa ikut membeli yang baru dan juga supaya tidak keti-
nggalan zaman dan kalah bersaing; pola dan irama hidup dunia modern canggih dan
efisien yang bisa membuat orang makmur namun kena stres, cepat marah, frustrasi, dan
tekanan darah naik. Mungkin saja, kita akan membawa keinginan kita untuk kehidupan
yang lebih santai ke dalam ruang itu juga. Termasuk keinginan kita untuk menonton se-
suatu yang tidak “sulit” dimengerti, perlu berkeringat dan memikirkan hal yang kurang
menyenangkan. Atau justru kita mau menyaksikan pertunjukan yang akan menantang
kita dengan kritisisme terhadap dunia seadanya, karena kita frustrasi dan perlu berdia-
log dengan kawan-kawan seperasaan supaya lebih jelas memahami di mana kita berada
sebenarnya.
Juga, media massa selalu terlibat dalam sebuah proses penandaan yang jangkauannya
bukan main panjangnya dan luasnya kalau dibandingkan dengan teater. Pengertian dan
pradugaan para penonton maupun para pemain sudah ikut terbentuk oleh proses penan-
daan raksasa itu yang bertaraf nasional kalau tidak internasional. Proses ini menyem-
pitkan kemungkinan-kemungkinan lain penandaan. Bagaimana teater bisa menghadapi
dunia yang makin dibingkai oleh konglomerasi media raksasa?
Hal-hal seperti tersebut tadilah yang menjadi pusat perhatian Afrizal dalam buku
ini. Afrizal berusaha melihat teater secara utuh dalam hubungan-hubungannya yang se-
makin erat dan semakin majemuk dengan dunia luar. Seperti ditulisnya: “Teater ditonton
melalui ‘teks’ yang lain yang tidak berlangsung di pentas...” Jadi, Afrizal mau memikirkan
persoalan interaksi di antara pertunjukan dan para penonton yang ikut dalam peristiwa
teater, tetapi yang juga ada dalam dunia pengertian dan penandaan yang tersendiri. Juga,
dia sedang mempelajari hubungan yang ada di antara pertunjukan dan masyarakat yang
sedang berubah menurut proses-proses sosial yang besar.
Untuk mengerti proses penandaan yang menjadi penawaran teater kepada kha-
layaknya, Afrizal harus memperhitungkan banyak unsur pementasan. Dia sadar bahwa
bukan hanya alur cerita dan kata yang meminta arti dalam sebuah pertunjukan, tetapi
juga nada suara, posisi dan gerak tubuh, muka dan otot para pemain, maupun ruang,
benda yang dipakai di atas panggung (atau di dalam ruang lain yang dibentuk untuk per-
tunjukannya oleh sebuah kelompok) dan pakaian ikut serta dalam proses penandaan itu,
mau tidak mau. Afrizal sangat cermat mengamati cara pemecahan penandaan sebuah
pertunjukan—apakah unsur-unsur yang dipakai sebuah kelompok saling mendukung
atau bertentangan, dan apakah pertentangan atau kecocokan unsur-unsur itu subur seba-

xv
Intentionally blank for preview
Intentionally blank for preview
ANTOLOGI TUBUH DAN KATA

Pengantar Marianne Koenig

Ada dua hal yang ternyata penting diperhatikan kalau kita masuk ke dalam buku
Afrizal Malna ini. Yang pertama adalah kata “antologi” dari judulnya; yang kedua adalah
pernyataan mengenai “teater kedua” yang dihadirkan dan diutamakan di dalamnya.
“Antologi” berarti “bunga rampai”, sebuah kumpulan tulisan terpilih yang masing-
masing bisa berdiri sendiri, mengatakan sesuatu sendiri, yang bisa dibaca lepas satu dari
yang lain. Sifat antologi ini tidak hanya berlaku untuk buku ini secara keseluruhan, tetapi
ternyata dapat juga ditemukan dalam banyak esei yang menjadi bagiannya di mana satu
ide atau kalimat bisa berdiri sendiri, merupakan dunia tersendiri di samping dunia yang
lain. Namun, dunia-dunia ini seolah-olah harus ditentukan oleh pembaca sendiri, ber-
tolak dari sebuah istilah atau ide yang diberikan sebagai tanda darinya. Kata “antologi”
biasanya digunakan untuk kumpulan sajak, maka dunia atau ide-ide itu dan hubungan di
antaranya barangkali bisa dimengerti melalui pendekatan seorang pembaca sajak, lebih-
lebih karena Afrizal memang seorang penyair, yang juga membawa kepenyairannya ke
dalam eseinya.
Membaca buku Afrizal ini saya bahkan merasa tidak hanya menghadapi suatu antolo-
gi saja, melainkan sebuah kamus atau ensiklopedi di mana kita bisa mencari dan menda-
patkan sekian banyak informasi yang berguna. Namun, informasi di sini bukan informasi
biasa saja yang bersifat menjelaskan mengenai kenyataan teater kontemporer Indonesia:
jenis-jenis teater, kelompok teater, pertunjukan, akting, naskah, publik, kritisisme, me-
dia, dsb., melainkan informasi mengenai bagaimana—di bawah tema apa—kita bisa me-
mandang dan memahami teater.
Di sini “teater kedua” dari Afrizal masuk, yaitu teater nyata, yang disaksikannya,
seperti yang terjadi dalam renungannya. Renungan ini, jelmaan dari intelektualitas, ke-

xviii
pekaan dan pengalaman Afrizal, yang men-
jadi peng-hubung antara esei-esei dan ide-ide
dalam buku ini. Ini sekaligus berarti bahwa
buku ini memang bukan sebuah kamus, tetapi
sebuah antologi di mana bagian-bagiannya
selalu mempunyai keterkaitan satu sama lain-
nya, walaupun kadang-kadang mungkin se-
cara tersembunyi saja.
Namun, renungan atau “teater kedua” itu
bukan hanya penghubung, melainkan sebuah
dunia tersendiri, dunianya Afrizal, yang men-
jadi penting dalam buku ini. Dunia ini sangat
kaya dan luas dengan banyak ide, cara berpikir, Marianne Koenig dan anaknya (Elia) | Foto: Fitri
Setyaningsih
pertanyaan dan sudut pandang yang kreatif,
tidak biasa, merangsang. Kalau kita memasuki dunia Afrizal ini, kita tidak bisa berjalan-
jalan dengan enak di dalamnya: seringkali kita terbentur, merasa terganggu dan teras-
ing oleh suatu istilah, ide, atau jalan pikiran, yang membuat kita mengambang. Namun,
keadaan mengambang ini merupakan dorongan dan tantangan bagi kita untuk mengisi
sendiri ruang yang dibiarkan kosong dan diberikan pada kita pembaca untuk mengada-
kan suatu “teater ketiga”, yang barangkali berdasarkan “teater kedua”-nya Afrizal (sesuai
juga dengan tuntutan yang muncul berulang kali dalam buku ini agar penonton teater
ikut aktif dalam pertunjukan) diberikan posisi yang aktif dalam pembacaan. Maka, buku
ini tidak bisa dibaca dengan cepat dan enteng, tetapi kadang-kadang dalam kalimat demi
kalimat kita diajak berhenti untuk berdialog dengannya, menanyainya. Buku ini membuat
kita bekerja dengan intens (ini barangkali maksudnya keluhan orang yang dikutip Afrizal,
bahwa tulisannya tidak mudah dibaca), suatu kerja kreatif yang tidak berarti bahwa kita
ha-rus mengganti atau mengisi kekurangan kerja atau kreativitas dari penulis dalam tu-
lisannya, melainkan yang dapat lahir justru karena kerja dan kreativitasnya itu yang kuat.
Tidak seperti layaknya sebuah antologi, saya telah membaca buku Afrizal ini sekali-
gus dalam keseluruhannya daripada mencicipi esei ini atau itu sesuai dengan kebutuhan,
selera atau suasana aktual saya. Lewat pembacaan yang berturut-turut ini muncul be-
berapa hal lagi: munculnya kesetiaan Afrizal terhadap dirinya sendiri dan dunia intek-
tualnya, yang tidak mengenal basa-basi dan perkataan umum. Kesetiaan ini meyakinkan
dan membuat saya sebagai pembaca merasa aman dan siap untuk menerima “gangguan-
gangguan” yang ada dalam bukunya, sebagai sebuah ide yang patut dan penting untuk
terus direnungkan. Rasa mengambang hilang juga, karena keteguhan itu dan landasan
yang merupakan dasarnya, walaupun landasan ini mungkin belum bisa dinyatakan secara
tetap.
Selain oleh kesetiaan, saya terkesan oleh suatu kebebasan dan energi yang besar, yang

xix
Intentionally blank for preview
4
TUBUH DALAM AKTING TEATER
AKTOR DARI TUBUH KREOL
DAN KEBUDAYAAN SEBAGAI KEPOMPONG

Teater Indonesia adalah teater yang kehilangan sejarah para aktornya. Nama-nama
mereka perlahan-lahan menjauh, menghilang lalu sirna hampir tanpa jejak untuk pemba-
caan maupun penulisan. Bab ini saya gunakan untuk mengucapkan terimakasih kepada
mereka, yang sebagian besar nama mereka telah luput dari jangkauan saya.
Menyaksikan mereka, saya seperti memasuki lalu-lintas anatomi yang berpindah-
pindah antara kepala, kaki, tangan, jari telunjuk, kuping, telapak tangan, hidung, rambut,
perut (ketika mereka bertelanjang dada), otot-otot perut, mata, tulang-tulang dada, ken-
ing, tulang-tulang punggung. Saya seperti memasuki teks yang berkeringat dan bernapas.
Teks yang memiliki rumah dan penghuninya sekaligus.
Seorang aktor, seperti memberikan sebuah lorong yang dalam lewat tarikan napasnya,
atau regangan beberapa otot yang dimilikinya sebagai kunci-kunci emosi. Tubuh yang ka-
dang bisa menghasilkan sesuatu yang tajam, terjal, atau sesuatu yang tinggi. Semua per-
mainan tubuh yang bergerak di antara jarak, getaran, regangan tubuh serta posisi yang di-
ambilnya di atas panggung. Sesuatu yang chaos pada matanya, atau kesunyian yang bergema
lewat mulutnya yang menganga. Tangisan yang mengunci kakinya untuk melangkah.

Laboratorium tubuh kreol


Bisakah bahasa mendeskripsikan kembali
seluruh gerakan dan ekspresi tubuh seorang ak-
tor, seperti partitur pada musik.Bagaimanakah
tubuh dijelaskan? Anthony Synnott mema-
hami: “Tubuh bukan hanya kulit dan tulang,
dirangkai dari bagian-bagiannya, sebuah
keajaiban medis... Tubuh juga, dan utamanya
merupakan sebuah diri. Kita semua bertubuh.
Sesuatu yang jelas, sekalipun apa yang terjadi
di dalam praktik mungkin tidak selalu begitu.
Berbagai kontroversi menghebat di sekitar
Semar, tubuh kreol antara dewa dan rakyat kecil dari tubuh, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai,
mitologi Jawa | Foto: Afrizal Malna
kriteria hidup dan mati, serta bagaimana se-

TUBUH DAL AM AKTING TE ATER 119


harusnya ia ditinggali dan dicintai.”1 Danarto
melihat tubuh sebagai, “kekuatan kesatuan
hukum energi, tubuh adalah bahasa pertama
yang dapat diutarakan kepada penonton. Tu-
buh adalah teater. Tubuh adalah satu-satunya
adegan di pentas yang paling mudah diidenti-
fikasi penonton”.2
Tubuh aktor, seperti sebuah ikatan atau ra-
jutan baru yang terkait antara dirinya, teks dan
ruang sebagai seluruh dramaturgi dari sebuah
pertunjukan. Ia merupakan ujung tombak
bagi terciptanya bahasa-bahasa teater. Teater
menjadi sebuah laboratorium hidup untuk
permainan politik identitas. Sebagian dari tu-
buh mereka adalah tubuh yang bergerak dari
desa ke kota. Melakukan penyeberangan ba-
hasa dan budaya antara bahasa lokal ke bahasa
Indonesia, antara budaya lokal yang mem-
bentuk masa kanak-kanak mereka ke budaya
lain sesuai dengan kota yang mereka tempati.
Politik identitas apakah yang mungkin bisa
dibaca dari tubuh mereka?
Kita tidak menggunakan kendaraan yang
bersih dalam proses berlangsungnya urban- Atas: Bissu, peran spiritual dalam tradisi Bugil: men-
gosongkan batas pemisah gender untuk pencapaian
isasi. Dalam kendaraan itu masih ada terasi, spiritual. Bawah: instalasi peralatan upacara Bissu.
Foto: Afrizal Malna
sesajen, sarung, ikan asin, sejarah kolonial,
dan imaji tentang kota. Begitu sebaliknya sampai di kota, dalam rumah kita juga masih
ada terasi, sesajen, sarung, ikan asin, sejarah kolonial, dan imaji tentang desa, ditambah
budaya pop. Perjalanan pulang-balik ini antara desa dan kota cukup tinggi lewat tradisi
(lebaran, natal, upacara) dan mekanisme keluarga (perkawinan, kematian, sakit) dita-
mbah liburan. Kita juga tidak menggunakan bahasa Indonesia yang bersih ketika meni-
nggalkan desa menuju ke kota. Bahasa ibu ikut menyertainya dari belakang. Mencipta-
kan bandul antara bahasa nasional dengan bahasa daerah, antara komunikasi fungsional
dengan komunikasi kultural.
Gradasi dari kedua proses di atas pada gilirannya akan ditentukan oleh sejarah dan
latar belakang budaya dari kota tempat tujuan urbanisasi itu. Proses yang pada giliran-

1  Anthony Synnott, Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri, dan Masyarakat (terjemahan Pipit Meizier),
Yogyakarta: Jalasutra, 2007, hal. 1.
2  Danarto, “Energi, yang Meluap dan yang Meredam”, Republika, 3 November 1994.

120 PER JAL ANAN TE ATER KEDUA | ANTOLOGI TUBUH DAN KATA
nya mengkonstruksi tumbuhnya “tubuh kreol”. Yaitu tubuh yang terajut dari bercampur
aduknya berbagai budaya dan bahasa dalam gradasi berbeda antara mereka yang hidup di
Medan dengan Jakarta, di Makassar dengan Yogyakarta dan seterusnya.
Tubuh kreol itu tumbuh, bergerak bahkan performance-nya bisa berganti-ganti sesuai
dengan lingkungan pekerjaan maupun lingkungan kota yang ditempatinya. Tubuh kreol
yang mampu melakukan “pembelahan identitas” antara identitas primordialnya (agama,
suku) dengan identitas aktualnya (pekerjaan, pergaulan). Beberapa fenomena memper-
lihatkan bagaimana tubuh kreol ini juga bergerak dalam perubahan gender atau orientasi
seksual.
Antara identitas yang terberi (ras, gender), identitas
dogma (agama, politik), identitas kultural (suku, lingkungan
sosial), saling membaur membentuk tubuh kreol itu. Kita me-
lihat perbedaan antara orang Jawa di Sumatra, orang Jawa di
Sulawesi dan orang Jawa di Jawa sendiri. Hal yang sama kita
temukan pada suku-suku yang lain. Tubuh kreol ini kini kian
menjadi seragam karena hampir setiap kota berorientasi ke
budaya konsumerisme yang sama, serta peralatan komunikasi
yang sama dimiliki oleh rata-rata masyarakat di kota-kota be- Salah seorang raja dari Kerajaan
Surakarta Hardiningrat
sar.

Geografi tubuh kreol


Bagaimanakah membaca jejak-jejak perjalanan tubuh kreol itu? Penulisan sejarah In-
donesia sebagai negeri kepulauan banyak dilihat sebagai penentu perubahan-perubahan
yang berlangsung dalam wilayah geografi politik maupun ekonomi negeri kepulauan ini.
Saya ingin mengutip bagaimana J.S. Furnivall mendeskripsikannya. Sebuah bayangan
waktu jauh ke belakang, masa di sekitar abad ke-17. Seperti mimpi waktu membacanya:
“Kepulauan ini merupakan jalan penghubung dua samudra dan jembatan dua dunia
dan sejarahnya, baik secara politik maupun ekonomi sangat ditentukan oleh geografi.
Ada beberapa ciri yang istimewa. Selama berabad-abad Kepulauan Rempah-rempah atau
Maluku, di Ujung Timur, punya monopoli atas kemewahan yang membuat air liur di se-
luruh dunia menetes di ujung barat, jalur sempit, Selat Malaka adalah rute terpendek bagi
rempah-rempah ini mencapai anak benua India dan Eropa, dan juga rute laut terpendek
antara China dan Barat. Karena itu jalur ini secara alami menjadi pusat perdagangan dan,
sejak awal mula sejarah, kota-kota kaya di salah satu sisinya, Sriwijaya (Palembang), Me-
layu ( Jambi), Malaka dan Singapura saling susul menguasai gerbang antara Timur dan
Barat itu. Kota-kota perdagangan itu mampu membangun imperium perdagangan yang
menguasai kepulauan itu”.3
3  J.S. Furnivall, Hindia Belanda Studi Tentang Ekonomi Majemuk (terjemahan Samsudin Berlian).
Jakarta: Freedom Institute, 2009.

TUBUH DAL AM AKTING TE ATER 121


Intentionally blank for preview
INDEKS

A Alie Deep 257


Aad Akbar 374 Ali Sadikin 9, 347
AAS Adiputra 351 Altes Schlacthaus 226
Abdi Wiyono 352 Amak Baljun 9, 124, 126
Abdurrahman Wahid 110 Amanda Gibson 416
Abner Rawung Jabo 176, 320 A. Marwiah 404
Abu Hanifah 78 Amien Kamil 327
Achdiat Karta Miharja 75 Ami Priyono 349
Achmad Albar 57 Amran 237, 238
Adham Weda 351 A. Mukhlis HM 371
Adi Khurdi 349 Andi Bersama 187, 206, 305, 325
Adi Kurdi 140 Andri Nur Latif 250
Adi Widayat 283, 313, 324 Andri Susprandi 302
Ady Santoso 359 Andy Seno Aji 251
A. Faisal 396 Andy Sri Wahyudi 265
Afrizal Malna xiv-xx Angga Permana 261
AGS Aryadipayana 351 Anggiat Tornado 392
Agus Hari Purwanto 283 Anna Dwi 166
Agus Noor 112-113 Anna Tarigan 316
Agus Nur Amal 385 Anouk Sutardjo 150
Agus Riyadi 237 Anthony Synnott 119, 120
Agus Sarjono xi Anto Kribo 53
Agus Smock 205 Anton Chekov 113, 277, 396
Agus Sularto 312, 325, 416 Anwari 304
Agus Susilo 384, 388 Apiuni Amphibi 396
Ahmad Jaidu 264 Apriyanti 261
Ahmad Tohari 396 Apung CH 300
Akademi Teater Nasional 78 Ardus M. Sawega 28
Akhudiat 18, 44, 61, 80, 85, 88, 90, 92, 101, Ari Dwianto 251, 264, 266
123, 164, 230, 278, 311, 327-328, 344 Arie F. Batubara 12, 44, 130, 349, 398
Akkas 237 Arifin C. Noer xvi, 8-9, 18, 34, 49, 50, 63, 80,
Albert Camus 56, 147, 301 84-86, 88-90, 96, 109, 126, 134, 136-
Aldisar Syafar 352 137, 148, 163-164, 254, 297, 344,
Aldy Eksplorasi 360 349, 353, 403
Alfan Syafrudin 302 Arif Rahman 223
Ali Asmara 277 Arisan Teater 290

418 PER JAL ANAN TE ATER KEDUA | ANTOLOGI TUBUH DAN KATA
Aristoteles 341 Barbara Hartley 416
Arjuna 171, 173 Basuki Rachmad 272
Armien Azis 304 Bella Panca 395
Armijn Pane 76 Benedict Anderson 97
Arri Samsari 257 Bengkel Mime Theatre 264-267
Arswendo Atmowiloto 33, 80 Bengkel Muda Surabaya 95, 230, 280
Arturo GP 61, 103, 342 Bengkel Teater Muda Jakarta Utara 298
ASDRAFI 78 Bengkel Teater Rendra 35, 40, 48, 57, 79,
Asep Supriatna 137 88, 189
Ashadi Siregar 43, 47, 51 Bengkel Teater Surabaya 88
Asia Ramli Prapanca 30, 109-111, 238, 239, Bengkel Teater Yogya 24, 45-46
255, 415 Beni Siswo Wardoyo 265
Asita 264 Benny L. Sriaji 229, 281
Aslan Abidin 383 Benny Yohanes 13, 105, 360
Aspar Paturusi 18, 105 Bernard Shaw 79
Asrul Sani 78, 80, 82 Binal Eksperimental Art 28-29
ATNI 78-79 Blontang 127, 232, 233
Auditorium ASTI Bandung 398 Boedi S. Otong 26, 37, 62, 104, 109, 145,
Auditorium Bulungan 215, 296, 312, 324-325 148-151, 153, 221-222, 225, 255,
Auditorium Kabanjahe 296, 323 349, 352, 415
Austin Warren 141 Boi G. Sakti 403
Autar Abdilah 284 Boyke Roring 8, 53, 415
Azuzan J.G 340 Brecht 50, 204
Azwan Zulfan 175 BRM Yudono 370
B. Soelarto 75
Buana Dharnoto 352
B Buchner 163-165
Bagus Taufiqurahman 264 Buckett 341, 395
Bahrul Ulum 129 Budi Darma 54, 96
Bakdi Sumanto xi, 39, 104, 105 Budi K 338
Balai Pemuda Surabaya 280 Budi Saputra 393
Bambang BS 176 Budi Tompel 206
Bambang Budjono 349 Burhan Piliang 88
Bambang Dwi 104, 163, 166, 352 Busro Yusuf 149, 150-151, 282, 286-287
Bambang Ginting 101, 110, 223, 226, 278, Busyra Q Yoga 147
282, 347 Butet Kartaredjasa 24, 102, 168
Bambang Keliek 298 Buyung 24
Bambang L Hadi 183
Bambang Sadono SY 172
Bambang Subandriono 171 C
Bambang Sujiyono 280 Cabbina Gillid 383
Bambang Widoyo SP 18, 25, 105 Calon Arang 111, 255
Bandar Teater Jakarta 53, 96, 100-101, 146, Candi Jago 81
202, 204-205, 348, 351-352 Candi Sukuh 13, 35, 58, 80-122
B. Andar Wirawan 416 C.C. Fabryono 152
Banton M 130 Celah-Celah Langit 378-379, 381

INDEK S 419
Centhini 124, 125
Chaerul Umam 57
E
Eddy de Ronde 176
Chairil Anwar 197
Eddy Golex 199
Chairul Harun 14
Eddy Yan Mudaeddy 335
Chandra S 338
Edo Salabose 237-239
Chepy Pribadi 306
Edward C. Smith 177
Cici 34
Edy Utama 347, 403
Ciley Muhammad Ikhlas 403
Een Fananan Nandiar 329
Citra Pratiwi 129, 251
E’eng Saptahadi 212
Claudine Salmon 73
Eka Elmaut 303
Combina 416
Eka Nusa Pratiwi 264
Conie C. Sema 12, 234
Eko Tunas 171
Cornelis van de Ven 21
Elis Yusniawati 364
Elizaberth Lutters 214
Elizabeth D. Inandiak 122, 25
D E.M. Foster 140, 141
Dami N. Toda 54
Emha Ainun Nadjib 13, 35, 108, 113-114,
Danarto 34, 54, 62, 68-96, 120, 206, 212,
178
274, 330-331, 349
Endank Ramli 284
Danarto Timur 212
Epi Kusnandar 301
DA. Peransi 54
Erasmus 216-218
Darmanto Jatman 96
Ereh Yunartin 176
Datu Rembulan 261
Erna Hermawati 339-340
Dayang Sumbi 358
Erythrina Baskorowati 251
D. Djajakusuma 18, 77-78, 88, 176, 316
Eugene Ionesco 79, 301, 329
Dede Eri Supriya 66
Eurepedes 303
Dedi Warsana 381
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) xii, xiii, 12,
34, 78, 80, 87-89, 92, 96, 113-114,
128, 140, 163, 175, 221, 347, 352,
F
Fabriyono 332-333
416
Fadjar Suharno 113
Dewi Jepun 311, 313
Fahmi Syarif 79, 82, 383
Dewi Noviami xiii, 34, 416
Faisal Yunus 237-238
Dezzy Arharane 301
Fajar Sidik 66
Dharma Wanita 36
Fajar Suharno 93, 105
Dian Hasri 212
Farid Syamlan 280
Didi Petet 24, 179
Faruk HT 50-51
Dindon WS 37, 96, 98, 103, 110, 183, 305,
Febrinawan 264
349, 352
Federasi Teater Indonesia xi, 16, 295-296,
Diyanto 203, 205, 223, 228, 349
359
Djohan Nasution 338
Ferry Tenggo 205
Djoko Quantiantyo 127
Festival Kesenian Yogyakarta 253, 295, 369
Djoko Quartanto 53, 348, 354
Festival Monolog 295, 359
Dominique 51
Festival Naskah-naskah Jepang 279
Doorman Borisman 352
Festival Salihara 295
Festival Seni Pertunjukan Rakyat 95

420 PER JAL ANAN TE ATER KEDUA | ANTOLOGI TUBUH DAN KATA
Festival Teater Alternatif 355 Graha Bhakti Budaya TIM 40, 179
Festival Teater Jakarta xiii, xvi, 46, 85, 92, 94, GSSTF UNPAD 395, 397
95, 130, 145, 295-298, 300-305, 307, Gunawan Maryanto 111, 113, 250
309, 311-316, 318, 321-325, 327, Gunawan Wibisono 303
329-330, 332-333, 335, 337-338, Gusmiati Said 403
340-344, 346-350, 352-353
Festival Teater Kampus 295, 391-392, 394,
397 H
Festival Teater Realis 113 Halim HD 14, 280, 285, 384, 415
Festival Teater Remaja 95, 349 Halim Thole 281
Ficky Tri Sanjaya 264 Handayaningsih 169, 170
Francis Bacon 227 Hanindawan 100, 231-233
Frans Raharja 393 Hanner Muller 290
Fred Wedik 349 Hardi 66
Freud 226 Hardiman Radjab 174
Friedrich Durrenmatt 227 Hardjono WS 278
F. Tuturilino 259 Hare Rumemper 280, 282
Fuad Hassan 49 Harold Clurman 140
Harold Pinter 144
Harris Priadie 56, 215-217
G Harta Pinem 12
Gai Littler 299 Harymawan 78
Galeri Nasional 296 Hasan 277
Gandung Bondowoso 142, 348 Hasan A.O 338, 340
Gareng 172 Hatta 77, 160
Gati Andoko 370 Hedi Sentosa 415
Gatotkaca 28, 29, 312 Helena Konig 228
Gatot WD 379 Heliana Sinaga 384-387
Gaus FM 243 Helmi Prasetya 247
G. Djaduk Ferianto 169 Hendra Setiawan 362-363
Gedung Cak Durasim 156, 271-273, 279 Hendrik Ibsen 79, 301
Gedung Erasmus Huis 216 Henri Chambert-Loir 97
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) 40 Henry G. Tarigan 141
Gedung Kesenian Societeit de Harmoni 237 Heri Dono 26, 29
Gedung RRI Makassar 205 Hermasyah Nasution 284
Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Herry Dim 44, 135
Lampung 357 Heru Kesawa Murti 80, 93, 105, 168
Gendon Tohjora 370 Heru Siswantoro 370
Genthong HSA 44 Hikmat Gumelar 105, 396, 398
George Buchner 163 Hindra Setyarini 264
George Orwell 225 Hitler 224, 225
Gerakan Seni Rupa Baru 54, 66 Hotel Indonesia 45-46
Ging Ginanjar 150, 416 H.U. Mardiluhung 277
Gita Asmara 314, 315
Godi Suwarna 400
Goenawan Mohamad 7, 30, 40, 49, 54, 84,
89-90, 92, 96, 97, 114

INDEK S 421
I Joko Bibit 21, 22, 110, 247, 248, 249
Ibed Surgana Yuga 388 Joko Kamto 168, 170, 371
Ibnu Saleh Barnaba 352 Jompet 251
Ignatius Sugiarto 251 Joned Suryatmoko 260
Ihasenah 257 Joseph Ginting 176
Ikranagara 18, 74, 80, 85, 88, 94, 349, 384 Jose Rizal Manua xiii, 337-338, 340
Imam Wahyudi 148 Journal of Moment Arts 410
Iman Soleh 374, 378, 381 J.S. Furnivall 121
Imas Sobariah 34 Jujuk Prabowo 113, 168
Immanuel Robles 314 Julius R Siyaranamual 45
Inang Samudra 238 Junaidi Asfihani 277
Indra Tranggono 40, 44, 347 Justifar M. Junus 278
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 176
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 105
Ipung Gozali 37
K
Kamsudi Merdeka 53, 125, 127, 165, 305
Iqbal Komaini 351
Karl D. Jackson 97
Irene J. 212
Karsono Erka 229
Irma Rachmawati 330
Keith Foulcher 77
Irwan Jamal 378, 384
Kenneth Arthur 395, 397
Ismail Sofyan Sani 352
Kikuchi Kan. 280
István Örkény 113, 114
Kirdjomuljo 75, 77
Iswadi Pratama 127, 357
Kompetisi Teater Indonesia 286, 290-291,
Iwan Simatupang 89, 90, 96, 394, 396
295
Iwan Siregar 315
Komunitas Belajar dan Bermain Anak-anak
Iyus Nabang 313
Tembi 411
Komunitas Kampung Halaman 411
J Konsorsium Rakyat Miskin Kota 16
Jacob Marala 154 Kossy Koeswara 301
Jakob Sumarjo xi, 76 Kresna 172, 173
Jamaluddin Latif 129 Kuncung Kuncoro 369
Jambore Teater 231, 234 Kuntowijoyo 50, 88
James Saunders 143 Kurniasih Zaitun 34
Jarot Budidarsono 360
Jaulham Hutasoid 24, 51, 62, 79, 88, 133,
140, 272, 416 L
Jeffar P. Lumban Gaol 176 Lajos Egri 141
Jeff Last 305 Landung Simatupang 142
Jeihan 66 Lauw Giok Lan 34
Jeremias Nyangoen 174, 176 Leo 237
Jil P. Kalaran 278, 347 Leon Agusta 349
Jim Adilimas 79 Lidya S. Ghita 234-235
Johan Didik 260 Lik Warsito 251
John Mac Aloon 49 Lili Sudraba 310
John Travolta 147, 148 Linda Djatmiko 175-176
Join Bayuwinanda 335 LIP (Lembaga Indonesia Prancis) 123, 260
Lisa Syahtiani 384

422 PER JAL ANAN TE ATER KEDUA | ANTOLOGI TUBUH DAN KATA
Lo Fen Koei 73 Mona Sylviana 144
Lomba Drama Lima Kota (LDLK) xvi, 271, Mono 147, 208, 209
274, 278, 286, 347 Monsun Theater 223
Lorca 344 Monte Verita 224
Louis XVl 165 Montinggo Boesje 74
Lucien W. Pye 97 M. Rizky Sasono 251
Lydia Kieven 81 Mudji Samdjojo 278
Muhammad Yamin 76
Muh. Rustandi Kartakusuma 88
M Mujhiono Daromi 91
Made Wianta 59, 60 Mulyadi Kartasasmita 277
Madin Tysawan xiii Museo Casa Selma 224
Malhamang Zamzam 101, 146, 202, 205,
223, 225-226
Maman Yik 275 N
Margesti 150, 223-224, 228 Nana Carnina 232
Marianne Koenig xi, xii, xviii, xix, xx, 10, 26, Nandang Aradea 112, 160, 383
225, 416 Nani Tanjung 34
Mario Sujatmoko 274 Naomi Srikandi 34, 251
Markus 193 Nashar 53-54, 66, 96, 127
Mary Zurbuchen 416 Nawang Sekarjati 261
Mas Nasir 416 Nicholai Gogol 79, 277, 370
Mas Warso 416 Ningrum N.H 305
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Noorca M. Massardi 34, 85, 164, 330, 348,
(MSPI) ix, 416 349
Matrodzy 361 Norman R. Akyuwen 176
Maulana Firdaus 199 Nor Pud Binarto 12
Mbah Maridjan 122 Nova Anggraeny 176
M. Brewok AS 275 Novi Budianto 168
Megatruh 267 N. Riantiarno 18, 24, 34, 79, 93, 96, 113, 177,
Mei Mura 102, 229-230 179-181, 353
Mella Jaarsma 129, 256 Nunung Deni Puspitasari 264
Meredith Monk 259 Nurmala 306
Meyerhold 50 Nyai Roro Kidul 238
M.H. Zaelani Tamaka 278
Michael Bodden xi, 383, 416
Miftahul Jannah 304 O
Mimbar Teater Indonesia 295, 383-384 Oesman Effendi 66
Minard 33 Ohan Adiputra 351
Mirkoen Awaly 370, 372 Ono Kasuwo 51
Miss Tjitjih x Opu Daeng Risaju 157, 404-405
Mochtar Pabottinggi 97 Otto Sukatno CR 371
Mochtar Sum 305
Moekit Faqtoerrrozie 278
Mogan 215, 217 P
Mohamad Amin 223, 299-300 Pabrik Teater 378, 384
Moliere 304, 396 Pamusuk Eneste 48

INDEK S 423
Panuti Sudjiman 14 Retno Sayekti Lawu 34
Papimoer Teater 297 R. Giryadi 113
Parade Seni WR Soepratman 280 Ria Ellysa Mifelsa 129, 374, 379
Parlin Tampubolon 175, 176, 301 Ria Sambas 315
Partai Komunis Indonesia (PKI) 380-381 Ridwan 237, 238
Parto Tegal 172 Rik A. Sakri 311, 313, 349, 352
Pasar Seni Ancol 41, 92 Rindra Panca Setia 329-330
Penny M 339 Rio Vitra 344-345
Pertemuan Teater Bandung 374-375 Rita Sahaja 336
Pertemuan Teater Nasional 27, 74, 79 Riyan Polo 298
Petruk 172 Rizal Nasti 299
Pipit Meizier 120 Rizky Rizkika Riani 381
Pitoto 238 Robespierre 164-165
Popo Iskandar 66 Robin Al Kausar 101
Poppy Patty 176 Rodmad Tono 308
Porman Wilson 189 Roedjito 4, 21, 23-27, 53, 91, 168, 222-223,
Pramana PMD 18, 176, 349 225, 228, 349, 415
Prasetyo Budi Mulyo 251 Roestam Effendi 76
Pujangga Baru 42, 76-77 Roland Maurer 226-227
Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin 34 Rolf Lauckner 339
Puthut EA 260 Roni Novianto 247
Putu Wijaya xvi, 7-9, 18, 43, 49, 50-54, 61, Rosihan Anwar 78
63, 80, 86-91, 96, 109, 126-128, 163- Rote Fabrik 225-226
164, 202, 254, 282, 286, 348-349, Roy Genggam 223, 416
353, 360, 383-388, 412, 413 R. Tono 307
Rudi Witanto 316
Rudolf Puspa 277, 280, 284
R Rudy Aryanto 103, 153
Rachman Sabur 245 Rulyani Isfihana 169
Rachmayati Nilakusuma 401 Rumentang Siang 46, 137, 143
Radhar Panca Dahana xi, 12, 16, 113, 192 Rusdi xi, 100, 231, 232
Rahmah Bujang 74 Rusdiyono 416
Rahman Arge 43, 56, 88 Ryunosuke Akutagawa 338
Rahman Labaranjangi 259
Rahman Sabur 31, 109, 243, 255, 374, 380
Ratna N. Riantiarno 24, 179 S
Ratna Rukmana 336 Saini K.M. 33
Ratna Sarumpaet 18, 34, 113, 128 Salihara 25, 113, 295
Ray Sahetapy 62, 197, 199 Salim Bungsu 179
Remy Novaris DM 12 Sam Shepard 48
Remy Sylado 88, 96 Samuel Backett 301
Rendra 18, 22-24, 35, 40, 42, 45-46, 48-49, Samuel Buckett 395
57-58, 79, 87-88, 94, 96, 133-134, Samuel Glaspel 396
139-140, 157, 177-180, 189, 348-349, Sanento Yuliman 54, 96
394, 403 Sanggar Asyik Jakarta, 351
Rene Wellek 141 Sanggar Kampung Seni Banyuning 355-356
Reni Jayusman 53, 103, 386 Sanggar Merah Putih 257

424 PER JAL ANAN TE ATER KEDUA | ANTOLOGI TUBUH DAN KATA
Sangkuriang 111, 255, 358 197-200, 354
Sanusi Pane 51, 76 Studi Teater Komidi 274, 279
Sapardi Djoko Damono xi, 54, 55, 96, 101, Study Teater 24 299
215-216, 349 Subagio Sastrowardojo 42
Sardono W. Kusumo 54, 57, 96, 403 Subur Sukirman 223, 227
Sari Madjid xiii, 179 Sugiati 211, 214
Sarip 14, 15, 16, 21 Sugiati S.A. 13, 374, 379
Sartre 275, 301, 315, 342 Sugiyono Kuntet 341
Sayembara Penulisan Naskah Drama 92, 96 Suharto 13, 36, 37, 177, 253
Semi Ikra Anggara 378 Sukarno 36-37, 42, 63, 77-78, 106, 177
Seno Dirjo Subroto 300, 305 Sukarno Hadian 42
Serge Mercier 379 Sukarno M. Noor 78
Shakespeare 48, 135, 157, 211, 213-214 Sukma Sillanan 238, 259
Sheilla 187 Sulistyo 403
Shinta 250, 251, 253, 259 Sulistyowati 283
Shinta Febriani 34 Sultan Hasanuddin 154
Shobir Poerwanto 391 Sumar Baladewa 297
Sigit Hardadi 212 Sunan Kalijaga 287
Silmi Rahmadi 296 Susilo Nugroho 168
Sinansari Ecip 97 Sutardji Calzoum Bachri 54, 66, 96
Siti Aisyah 186 Suwarno Yossi S. 392
Siti Artati 212 Suyatna Anirun xi, 18, 42, 46, 48, 132-137,
Sitor Situmorang 135 144, 374, 378-379
Sjahrir 77 Syahrini Fathi 257
Slamet Abdul Sjukur 54, 96, 224-225, 228 Syaiful Anwar 179
Slamet Rahardjo 286, 349 Syu’bah Asa 54, 349
Slamet Sukirnanto 349
Socrates 63
Soempeno 105 T
Sofie Ampera 394 Taman Budaya Jawa Tengah 35, 46, 383
Sony Mawardy 303 Taman Budaya Yogyakarta 128, 250, 253, 264
Sori Siregar 43 Taman Ismail Marzuki 8-9, 24, 27, 37, 40-41,
Sosiawan Leak 395 46, 48, 52-53, 57, 62, 68, 78-79, 88,
Sri Hardini 174-176 92, 114, 127, 133-135, 140, 148, 150,
Sri K 183 154, 157, 163, 168, 174, 179, 186,
Sri Murtono 78 199, 202, 204, 221, 243, 272, 352
Sri Qadariatin 129, 251 Tamara Aberle 383
Sri Uma 250, 251 Tami Yoyik Lembayung 308
Stanislavsky 50, 140 Tan Malaka 114-115
STB (Studyclub Teater Bandung) 46, 48, Tarida Gloria 179
79, 88, 133, 135-136, 143-144, 374, Taslim Idrus 150, 223-224
378-379 Tatiek Maliyati 132, 136, 176, 348
STEMA ITB 396 Taufiq Ismail 349
Stiftung Pro Helvetia 225 Taufiq Rahzen 416
ST. Sunardi ix, x, 411 T. Bagus Afifi 199
Studio Oncor 10, 39-40, 49, 62, 96, 106, 151, Teater 15 351

INDEK S 425
Teater 70 307, 308, 356 Teater Gardanalla 260
Teater Abdi 309, 310 Teater Gedek 279
Teater Abu 39 Teater Gelut 352
Teater Ampera 297 Teater Genta 277-278
Teater Anka Adika 358 Teater Gerwasi 277, 279
Teater Api 95, 101, 110, 230, 275, 278, 282 Teater Gidag-Gidig 39, 100, 231-233
Teater Aquila 311-313, 349, 352 Teater G.R. Jaktim 352
Teater Aristokrat 48, 77, 314-315, 317 Teater Gumelar 39, 147, 208
Teater Art Study Club 352 Teater Hasta 279
Teater ASTI Bandung 130 Teater Hijrah 396, 397
Teater Asy Syifa 276, 279 Teater Ibukota 352
Teater Awal 396 Teater IKIP Bandung 400, 402
Teater Bangkit IKIP Jakarta 391 Teater Jaguar 281
Teater Bathu 277 Teater Jeger 808 289
Teater Batu 297 Teater Jeprik 95
Teater Bel 95 Teater Kail 34, 63, 95, 352
Teater Bellgombest 283 Teater Kami 55-56, 96, 101-102, 104, 215-
Teater Biru 290 216, 218-219, 354
Teater Bodoh 49, 54 Teater Kanvas 65, 68, 96, 99, 152, 320-322,
Teater Camus 393 352
Teater Cassonava 375-376, 379 Teater Kecil 8-9, 33, 37, 50, 85, 88, 109, 124-
Teater Celah-Celah Langit 379, 381 126, 163, 254, 353
Teater Cengkir Surabaya 275 Teater Kedok 279
Teater Cengkirunwip Surabya 278 Teater Keliling 284, 354
Teater Cermin 356 Teater Kelompok 36 301
Teater Cikar 277, 279 Teater Kembar IKJ 395
Teater Cinta Lakon 302 Teater Keung 68, 100, 103, 323-326
Teater Dadisilkertam 35 278 Teater Kidung 355
Teater De Alusedina Bujang 291 Teater Kimos 351
Teater Deep 103, 153, 318-319 Teater Kita 30, 48, 53, 109-111, 135, 203,
Teater Dharma Nusa 288 206, 237, 239, 255, 347, 403-404
Teater Dinasti 35, 95, 255 Teater Klosed 111, 395
Teater Dinasty 88 Teater Koma 4, 23-24, 27, 35, 79, 94, 96, 99,
Teater Doyan Rondo 289 110, 113, 136, 145, 177-181, 255,
Teater Enhakam 351 353, 382
Teater Eska 369, 371-372 Teater Kopra 356
Teater F3 289 Teater Kosaster 403
Teater Gama-12 369 Teater Kosong 16, 39, 192-193, 194
Teater Gandrik 50-51, 88, 93-95, 102, 104- Teater Kristal 303
105, 109-110, 112-113, 136, 168-170, Teater Kubur 39, 54, 62, 96, 98, 110, 183-
179, 299, 403 184, 186-188, 352
Teater Gang Tuti Indra Malaon 40 Teater Kuman 327, 328
Teater Gapit 18, 25, 28, 88, 95, 104-105, 110, Teater Kummis 392
255 Teater Kusuma Untag 45 279
Teater Garasi xi, 34, 109-111, 113, 126, 128- Teater Kyai Kanjeng 109-110
129, 159, 250-256, 360, 381, 387 Teater Laga 277, 279

426 PER JAL ANAN TE ATER KEDUA | ANTOLOGI TUBUH DAN KATA
Teater Lakon 289, 291 Teater Puspa Karang 301
Teater Lantai 19 34 Teater Qeu 95
Teater Laskar Panggung 138, 355-356, 377- Teater Ragil 95, 102, 110, 229-230, 279, 280
378 Teater Rajawali 95, 277, 279
Teater Lecture 289 Teater Ras 300, 305
Teater Lembaga 46, 48, 88, 142, 174-175 Teater Remaja Jakarta 352
Teater Lentera 298 Teater Remaja Kreatif Seni 276, 279
Teater Lidi’s 278 Teater Rinda Entopea 34
Teater Lingkar 95, 281 Teater Road 352
Teater Lingkar Merah Putih 281 Teater RSPD Tegal 171, 172
Teater Lintas IAIN Jakarta 394 Teater Ruang 21-24, 39, 110, 247, 248
Teater Lisendra 352 Teater Sae xii, 18, 37, 48, 51, 54, 62, 95, 104,
Teater Luka 63, 96, 104, 163-166, 352 109, 112, 147, 148-150, 159-160,
Teater Lungid 387 187, 220, 222-223, 225-228, 255,
Teater Madu 301 286, 352, 415
Teater Mahakam 358 Teater Sandradekta 277
Teater Mahasiswa IKIP Bandung 137, 400 Teater Sanggar Kreatif Seni 276
Teater Makasar 154 Teater Sanggar Surabaya 275, 278
Teater Mandiri 8-9, 47, 49, 50-52, 61, 63, 86, Teater Satu Lampung 34, 127, 357
88, 91, 109, 125-128, 158, 164, 254- Teater Satu Merah Panggung 34, 40, 128
255, 353, 382, 384-386, 413 Teater SBB 332-333
Teater Mata 355 Teater Sendiri 305
Teater Maya 78 Teater Seni Teku 384, 388
Teater Mbeling 279 Teater Siluet 303-304
Teater Mega-Mega 302 Teater Sim 355, 357
Teater Melati Surabaya 277 Teater SMA YPPI II 276, 279
Teater Merah Putih 30 Teater Srengenge 276, 279
Teater Misi Surabaya 277, 279 Teater SS 351
Teater Molek 329, 330, 331 Teater Stasiun 335-336
Teater Mubi Smada 278 Teater Studio Banten 160
Teater Ngrakit Gresik 277 Teater Studio Oncor 96, 106
Teater Nusantra 296 Teater Surabaya 88, 272
Teater Obong 357 Teater Syahid IAIN Jakarta 396
Teater Padang 88 Teater Tanah Air 337-340, 385
Teater Pagupon 394 Teater Tarek 274
Teater Paku 369, 370-372 Teater Teladan 304-305
Teater Pasdokarma 355 Teater Tetas 351, 409
Teater Pavita 95, 156, 211 Teater Tobong 230
Teater Payung Hitam xi, 11, 31, 63, 95, 109, Teater Trotoar 61, 103, 341, 342
157, 159, 243-244, 255, 374, 378, Teater Tutur 297, 344-345
380-381 Teater UNHAS 403
Teater Perintis 79 Teater Yos Sudarso 279
Teater Populer 45-46, 48, 79, 88, 137, 181, Teatro Dimitri 224
353 Teguh Karya 18, 27, 41, 45-46, 48, 78-79,
Teater Potlot 39, 95, 234-235 134-135, 304-305, 349, 353
Teater Prasasti 393 Tengku Luckman Sinar 74

INDEK S 427
Tennesse Williams 174, 176 Y
T. Harjono 274 Yadi Timo 314, 316
Theodora Chrislando 129 Yahya Andi 325
Titik Sandhora 43 Yana Gartika 245
Tommy F. Awuy xi Yatno Kulon 351
Tony Broer 243 Yoesh A. Lolo 257
Toto Sudarto Bachtiar 174 Yono Daryono 171, 172
Tri Aru Wiratno 65 Yose Rizal 53, 338, 384-385
Tries Karo-karo 277 Yudhiaryani xi, 34
Tuti Indra Malaon 7, 16, 24, 26, 41, 64, 137 Yudhistira ANM Massardi 61, 80, 87
T. Wijaya 12, 235 Yudi Ahmad Tajudin 109, 126, 251, 255
Tya Setiawati 34 Yuniawan Setyadi 264
Yusep Muldiyana 138, 374
Y.Y. Harjo Guritno 171
U
Ucok R. Siregar 315
Ugo Betti 142 Z
Ugoran Prasad 111, 250 Zainal Abidin Domba 148, 150, 160
Umar Kayam 16, 39, 54 Zaini 66
Usmar Ismail 78 Zainuri 282
Utami Ragiel Budhi 284 Zak Sorga 65, 96, 99, 103, 152-153, 303, 320,
Utuy Tatang Sontani 34 322, 352, 396
Zul Ardhya 68, 323, 324, 325

V
Vakhtangov 50
Vera Piller 223, 228
Viddy Alimahfud 12
Vredi Kastam Marta 33

W
Wahyoe Deen 352
Wahyu Sihombing 18, 46, 48, 51, 78, 88, 133,
140, 142, 176, 349, 353
Wahyu Wibisana 400
Wail M Irsyad 374
Wangi Indriya 129, 256
Wawan Sofyan 144, 360
W. Christiwan 374
Wijayanto 370
Willem Pattirajawane 63
Willy Jelaga 344, 345
Winasis 164, 165
Wiratmo Sukito 48, 76, 108, 134, 253
Wisran Hadi 18, 80, 83, 88, 93, 164, 396, 403
WS Kodrat 396

428 PER JAL ANAN TE ATER KEDUA | ANTOLOGI TUBUH DAN KATA
Buku ini penting. Saya dapat menarik kesimpulan bahwa Afrizal termasuk
pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang
paling lihai. Dengan matanya yang tajam—separuh mata seniman, separuh
mata sosiolog—dia bisa melihat banyak hal yang gampang luput dari
pemandangan orang lain. Bagi Afrizal, teater tidak bisa berdiri sendiri: para
pemain sudah memiliki pengalaman pribadi di luar maupun di dalam ruang
pentas. Tubuhnya pun sudah dibentuk lewat pengalaman sosial dan sulit
sekali menyembunyikan pola-pola gerak badan yang sudah lama terdidik.
Michael H. Bodden, University of Victoria, British Columbia, Canada

Membaca buku Afrizal ini saya bahkan merasa tidak hanya menghadapi suatu
antologi saja, melainkan sebuah kamus atau ensiklopedi di mana kita bisa
mencari dan mendapatkan sekian banyak informasi yang berguna. Namun,
informasi di sini bukan informasi biasa saja yang bersifat menjelaskan
mengenai kenyataan teater kontemporer Indonesia, melainkan informasi
mengenai bagaimana—di bawah tema apa—kita bisa memandang dan
memahami teater. Di sini “teater kedua” dari Afrizal masuk, yaitu teater nyata,
yang disaksikannya, seperti yang terjadi dalam renungannya.
Marianne Koenig, University of Bern, Switzerland

Afrizal Malna (lahir di Jakarta, 1957) adalah penyair yang


banyak memberi perhatian pada fenomena tubuh dan
bahasa dalam kesenian—terutama teater, tari, sastra, dan
kemudian juga seni rupa. Buku-bukunya yang sudah terbit
meliputi puisi, prosa, teater, sastra, dan seni rupa.

Você também pode gostar