Você está na página 1de 16

II.

KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG ASASI (Al-Qawa’id Al-Asasiyah)


A. Meraih Kemaslahatan dan Menolak Kemafsadatan

ِ‫سد‬
ِ ‫مَفا‬
َ ‫ح وَد َْرءُ ال‬
ِ ِ ‫صال‬
َ ‫م‬ ُ ْ ‫جل‬
َ ‫ب ال‬ َ
“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”
Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi
Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah adalah maslahat, baik
dengan cara menolak mafsadah atau dengan dengan meraih maslahat. Setiap
kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaat
serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki tingkat-tingkatannya
dalam keburukan dan kemudaratannya. [27]
Imam al-Ghazali dalam al-mustashfa, Imam al-Syatibi dalam al-
Muwafaqat dan ulama sekarang seperti Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf
menjelaskan lebih konkret tentang ukuran dari kemaslahatan ini, yang apabila
disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat ajaran,
dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya.
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.
3. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan
yang diluar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
4. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan
kepada sebagian kecil masyarakat. [29-30]
Dari segi syariah, kemaslahatan dibedakan menjadi tiga, ada yang wajib
melaksanakannya, ada yang sunnah melaksanakannya, dan ada yang mubah
melaksanakannya. Demikian pula kemafsadatan, ada yang haram
melaksanakannya dan ada yang makruh melaksanakannya. [28]
Sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut, maka wasilah atau cara dalam
menuju kemaslahatan/ kemafsadatan itu pun disesuaikan dengan tujuannya. Dari
hubungan antara maqashid/tujuan ini memunculkan kaidah-kaidah seperti:
َ ‫ح‬ َ ِ ‫ل ِل ْوسائ‬
ِ‫صد‬
ِ ‫مَقا‬
َ ‫م ال‬
ُ ‫كا‬ ْ ‫لأ‬ِ َ َ
“Bagi setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum
tujuan”.[31]

B. Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)


1. Kaidah Asasi Pertama

‫ها‬
َ ِ ‫صد‬
ِ ‫مَقا‬
ِ ِ ‫موُْر ب‬ ُ
ُ ‫ال‬
“Segala perkara tergantung niatnya”
Dikalangan ulama-ulama Syafi’iyyah, niat diartikan dengan bermaksud
melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Dikalangan mazhab Hanbali
menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan
dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad
di dalam hatinya itupun sudah cukup; dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
[34]
Adapun fungsi niat adalah sebagai berikut:
 Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan
 Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan
 Untuk menetukan sah atau tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnah. [35-36]
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah
adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja. Kekecualian
kaidah tersebut diantaranya:
 Sesuatu yang jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan
yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah,
adzan, iqamah, membaca al-Qur’an kecuali apabila membacanya dalam
rangka nadzar, dan sebagainya.
 Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan buruk, karena dengan
tidak melakukan perbuatan tersebut sudah tercapai maksudnya.
 Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam
melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan. [36]
Dasar kaidah “al-umur bimaqashidiha” diantaranya adalah firman Allah
SWT dan Hadits Nabi berikut ini:

‫حَنَفاء‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ن َلُه الّدي‬
َ ‫صي‬
ِ ‫خِل‬
ْ ‫ل ُم‬
َّ ‫ل ِلَيْعُبُدوا ا‬
ّ ‫َوَما ُأِمُروا ِإ‬
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus”. (QS al-Bayyinah: 5)
‫وى‬ َ َ ‫مممان‬ َ ‫ئ‬ ٍ ِ‫ممر‬ ْ ‫لا‬ ّ ‫ممما ل ِك ُم‬ َ ّ ‫ت وَإ ِن‬ِ ‫ل ِبان ّّيا‬ ُ ‫ما‬ َ ْ‫ما اْللع‬ َ ّ ‫إ ِن‬
‫ه‬
ُ ‫جَرت ُم‬ ْ ِ‫سموْل ِهِ فَه‬ ُ ‫ه إ ِل َممى اللمهِ وَُر‬ ُ ُ ‫جَرت‬ ْ ِ‫ت ه‬ َ ‫ن‬
ْ َ ‫كان‬ ْ ‫م‬ َ َ‫ف‬
‫ه ل مد ُن َْيا‬ ُ ‫جَرت ُم‬ْ ِ‫ت ه‬ْ َ ‫ن ك َممان‬ ْ ‫مم‬ َ َ‫س موْل ِهِ و‬ ُ ‫إ ِل َممى الل مهِ وَُر‬
َ
ِ ْ ‫جَر إ ِل َي‬
‫ه‬ َ َ‫ماه‬َ ‫ه إ َِلى‬ ُ ُ ‫جَرت‬ْ ِ‫حَها فَه‬ ُ ِ ‫صي ْب َُها ا َوَْرأةٍ ي َن ْك‬
َ ُ‫ي‬
Artinya: “Setiap perbuatan itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai
dengan niatnyan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena
mengharapkan kepentingan dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka
hijrahnya kepada yang diniatkannya”. (HR Bukhari Muslim dari Umar bin
Khattab) [37-38]
Adapun yang termasuk dalam lingkungan kaidah tentang niat ini,
diantarnya kaidah-kaidah berikut ini:

‫مَباِني‬ َ ِ ‫صدِ والمَعاِنى ل َل‬


َ ‫ظ َوال‬
ِ ‫للَفا‬ َ َ ِ ‫مَقل‬
َ ِ ‫ي العُُقوْدِ لل‬
ْ ِ‫لعِب َْرةُ ف‬
“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan
ungkapannya”
ِ‫ب إ ِل ّ ِبان ّي َة‬ َ َ ‫ل َث‬
َ ‫وا‬
“Tidak ada pahala kecuali dengan niat” [38-39]
ِ ْ ‫ي الَقل‬
‫ب‬ ْ ِ‫ما ف‬ َ ُ ‫ب َفال‬
َ ‫معْت َب َُر‬ ُ ْ ‫ن َوالَقل‬
ُ ‫سا‬ َ َ ‫َلو اخت َل‬
َ ِ ‫ف الل‬
“Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada dalam hati
(diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati”
ٍ‫مل َمة‬
ْ ‫ج‬ ُ ‫ممما ت َل ْمُز‬
ُ ‫م فِممي‬ َ ّ ‫جمْزٍء إ ِن‬ ّ ‫ي ك ُم‬
ُ ‫ل‬ ْ ‫ة ال ِب َمماد َةِ فِم‬
ُ ‫م ن ِي َم‬ ُ ‫ل َي َل َْز‬
ُ ُ ‫ماي َْفعَل‬
‫ه‬ َ
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam
keseluruhan yang dikerjakan”
‫مَرة‬
ْ ُ‫ج َوالع‬ َ ‫حد ٌ إ ِل ّ ال‬
ّ ‫ح‬ ِ ‫ة َوا‬
ٌ ّ ‫ما ن ِي‬ ْ َ ‫ن فَل َت‬
َ ِ‫جزِي ْه‬ ِ ْ ‫ضي‬
َ ‫مَفّر‬ ّ ُ‫ك‬
َ ‫ل‬
“Setiap dua kewajiban tidak boleh denga satu niat, kecuali ibadah haji dan
umrah” [40]
َ َ‫ل ع‬ َ َ ‫كان ل‬
ِ‫جّردِ الن ّي َة‬
َ ‫م‬
ُ ِ ‫صل ِهِ ب‬
ْ ‫نأ‬ْ ُ ‫ل فَل َ ي َن ْت َِق‬
ٌ ‫ص‬
ْ ‫هأ‬ُ َ َ ‫ما‬ ّ ُ‫ك‬
َ ‫ل‬
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-
mata niat”
ِ ‫ظ عََلى ن ِي َةِ الل ََف‬
‫ظ‬ ِ ‫صد ُ ال َْف‬
ِ ‫مَقا‬
َ
“Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang
mengucapkan”
ِ‫صد‬
ِ ‫مَقا‬ َ ‫ة عََلى ا‬
َ ‫للَفا‬ َ
َ ‫ظ َوال‬ ٌ ّ ‫مب ْن ِي‬
َ ‫ن‬
ُ ‫ما‬
َ ْ ‫الي‬
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud” [41]

2. Kaidah Asasi Kedua

ّ ‫ل ِبال‬
‫شك‬ ُ ْ ‫َالي َِقي‬
ُ ‫ن ل َي َُزا‬
“Keyakinan tidak bisa hilang karena adanya keraguan” [42]
Dasar kaidah ini diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

‫ك‬ َ ‫ك إ َِلى‬
َ ُ ‫مال َي ُرِي ْب‬ َ ُ ‫ما ي ُرِي ْب‬
َ ْ‫د َع‬
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada
yang tidak meragukanmu”.

‫صّلى ث َل ًَثمما‬ َ ّ ‫ش‬


َ ‫م‬ ْ َ ‫صل َت ِهِ فَل‬
ْ َ ‫م ي َد ْرِك‬ َ ‫ي‬ ْ ُ ‫حد ُك‬
ْ ِ‫م ف‬ َ ‫كأ‬ َ ‫ذا‬ َ ِ‫إ‬
َ
‫ن )رواه‬ َ ‫ست َي َْق‬
ْ ‫ماا‬ َ ‫ن عََلى‬ ْ ّ ‫ش‬
ِ ْ ‫ك وَلي َب‬ ّ ‫ح ال‬ ْ ‫أْرب ًَعا فَل ْي َط َْر‬
(‫ي‬ ُ ْ ‫سعِي ْدٍ ال‬ َ
ّ ِ‫خد ْر‬ َ ‫ي‬ْ ِ ‫مسلم عن أب‬
Artinya: “Apabila seseorang ragu mengerjakan shalat, dia lupa berapa
raka’at dia telah melakukan shalatnya, apakah telah tiga raka’at
atau empat raka’at. Maka hilangkanlah keraguannya (empat
raa’at) dan tetaplah dengan apa yang dia yakini” (HR Muslim
dari Abu Sa’id Al-Khudri) [44]
Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
‫ظر أ َوْ الد ّل ِْيل‬
َ َ ‫ن َثاب ًِتا ِبالن‬ َ ‫ما‬
َ ‫كا‬ َ َ‫هُو‬
“Sesuatu yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil
(bukti)”. [44]
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini kemudian muncul
kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. Misalnya:
ِ‫مث ْل ِه‬
ِ ‫ن‬ ُ ْ ‫َالي َِقي‬
ُ ‫ن ي َُزا‬
ِ ْ ‫ل ِبالي َِقي‬
“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
[47]
َ
ٍ ْ ‫ن ل َي ُْرت َْفعُ إ ِل ّ ب ِي َِقي‬
‫ن‬ َ ْ ‫ماث َب‬
ٍ ْ ‫ت ب ِي َِقي‬ َ ‫ن‬
ْ ‫أ‬
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tida bisa hilang kecuali dengan
keyakinan lagi”
َ
‫ة‬
ِ ‫م‬
ّ ِ‫ل ب ََراَءةُ الذ‬ ْ ‫ا َل‬
ُ ‫ص‬
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab” [48]
َ
ُ‫ماي ُغَي ُّره‬
َ ‫ن‬ ْ َ ‫مال‬
ْ ُ ‫م ي َك‬ َ ‫ن‬
َ ‫كا‬ َ ‫ن عََلى‬
َ ‫ما‬ َ ‫ما‬
َ ‫كا‬ ُ ‫ص‬
َ ‫ل ب ََقاُء‬ ْ ‫ال‬
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”
َ
‫م‬
ُ َ ‫ضةِ العَد‬
َ ِ‫ت الَعار‬
ِ ‫صَفا‬
ِ ‫ي ال‬
ْ ِ‫ل ف‬ ْ ‫ا َل‬
ُ ‫ص‬
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada” [49]
َ َ َ
ِ ‫ث إ َِلى أقَْر‬
ِ‫ب أوَقات ِه‬ ِ ِ‫حاد‬ ُ َ‫ضاف‬
َ ‫ة ال‬ ْ ‫ا َل‬
ُ ‫ص‬
َ ِ‫ل إ‬
“Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya” [50]
‫ل عََلممى‬
ُ ْ ‫ل الممد ّل ِي‬
ّ ُ ‫حت ّممى َيممد‬
َ ‫ة‬
ُ ‫حمم‬ ْ َ ‫ي ال‬
َ ‫شممَياِء ال َِبا‬ ُ ‫صم‬
ْ ‫ل فِ م‬
َ
ْ ‫ا َل‬
ِ ‫ريم‬
ِ ‫ح‬
ْ َ ‫الت‬
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukan keharamannya” [51]
َ
‫ة‬ َ ‫ي الك َل َم ِ ال‬
ُ ‫حِقي َْق‬ ْ ِ‫ل ف‬ ْ ‫ا َل‬
ُ ‫ص‬
“Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”
َ ‫خ‬
ُ‫طاُءه‬ َ ‫ن ال ّذِيْ ي َظ ْهَُر‬
ّ َ ‫عب َْرةَ ِبالظ‬
ِ َ‫ل‬
“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya” [53]
ِ َ‫ل‬
ِ ‫عب َْرةَ لل ِت ّوَهّم‬
“Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”
‫ه‬ ِ ‫ل عََلى‬
ِ ِ‫خل َف‬ ْ َ ‫مال‬
ُ ْ ‫م ي َُقوْ الد ّل ِي‬ ُ َ ‫حك‬
َ ِ‫م ب َب ََقاِءه‬ ْ ُ‫ن ي‬
ٍ ‫م‬ َ ‫ماث ََتب‬
َ ‫ت ب َِز‬ َ
“Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan
berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan
dengannya” [54]
3. Kaidah Asasi Ketiga

‫سي ُْر‬
ِ ْ ‫ب الت َي‬
ُ ِ ‫جل‬
ْ َ‫ة ت‬ َ ‫م‬
ُ ‫شّق‬ َ ‫ال‬
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
Al-Masyaqqah menurut bahasa adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kesulitan,
dan kesukaran. Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan. Dalam
ilmu fiqh, kesulitan yang membawa kemudahan setidaknya ada ada tujuh macam,
yaitu:
a. Sedang dalam perjalanan.
b. Keadaan sakit.
c. Keadaan terpaksa yang membahayakan hidupnya.
d. Lupa (al-nisyan).
e. Ketidaktahuan (al-jahl).
f. umum al-Balwa.
g. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqash). [55-57]
Yang dikehendaki kaidah ini adalah bahwa kita dalam melaksanakan
ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan tidak tafrith (kurang dari batas).
Oleh Karena itu, para ulama membagi Masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan,
yaitu:
a. Al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat). Masyaqqah
semacam ini membawa keringanan.
b. Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan).
Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat
kepada Masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu.
Apabila lebih dekat kepad Masyaqqah yang ringan, maka tidak ada
kemudahan disitu.
c. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan. Masyaqqah semacam
ini tidak ada kemudahan. [57-58]
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya Masyaqqah
setidaknya ada tujuh macam, yaitu:
a. Takhfif isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan.
b. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan.
c. Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian.
d. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan.
e. Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan.
f. Takhfif tarkish, yaitu keringanan karena rukhsah.
g. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang
dilakukan. [58-59]
Apabila kaidah ini dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits,
ternyata banyak ayat dan hadits nabi yang menunjukkan akurasi kaidah “al-
masyaqqah tajlib taysir”, diantaranya:

… ‫حَرج‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ن ِم‬
ِ ‫عَلْيُكْم ِفي الّدي‬
َ ‫ل‬
َ ‫جَع‬
َ ‫… َوَما‬
Artinya: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”. (QS al-Hajj: 78)
…‫سَر‬
ْ ‫ل ُيِريُد ِبُكُم اْلُع‬
َ ‫سَر َو‬
ْ ‫ل ِبُكُم اْلُي‬
ّ ‫… ُيِريُد ا‬
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesulitan bagimu”. (QS al-Baqarah: 185)
‫شُرْوا وَل َت ُن َّفُرأ‬ ّ َ‫سُرْوا وَل َ ت ُع‬
ّ َ ‫سُروْ وَب‬ ّ َ‫ي‬
Artinya: “Mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan
gembirakanlah dan jangan menyebabkan mereka lari”. (HR al-
Bukhari) [59-60]
Dari kaidah “al-masyaqqah tajlib taysir” kemudian dimunculkan kaidah-
kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab
tertentu, diantarnya:

‫ع‬
َ ‫س‬ َ َ ِ‫إ‬
َ ّ ‫مُر إ ِت‬
ْ ‫ضاقَ ال‬
َ ‫ذا‬
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya hukumnya meluas”
[61]
َ
ِ َ ‫صُر إ َِلى الب َد‬
‫ل‬ ُ ‫ص‬
َ ُ‫ل ي‬ ْ ‫ذا ت َعَذ ََر ال‬
َ ِ‫إ‬
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya” [62]
‫ه‬
ُ ْ ‫معُْفوْعَن‬
َ ‫ه‬
ُ ‫م‬
ِْ ‫حُرْز‬
َ ّ ‫ن الت‬ ْ ُ ‫مال َ ي‬
ْ ِ ‫مك‬ َ
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan ”
‫صى‬
ِ َ ‫مع‬ ُ ‫ص ل َت َُنا‬
َ ‫ط ِبال‬ َ ‫خ‬
ْ ‫الّر‬
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan” [63]
‫جاِز‬
َ ‫م‬
َ ‫ى ال‬
َ ‫صاُر ِإل‬
َ ُ‫ة ي‬
ُ ‫حِقي َْق‬ ْ ‫ذا ت َعَذ ََر‬
َ ‫ت ال‬ َ ِ‫إ‬
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhya, maka kata
tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
‫ل‬ َ ْ‫ل الك َل َم ِ ي ُه‬
ُ ‫م‬ ُ ‫ما‬
َ ْ‫ذا ت َعَذ َّر إ ِع‬
َ ِ‫إ‬
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan”
‫داِء‬ ْ ِ‫مال َي ُغْت ََفُر ف‬
َ ‫ي ال ِْبت‬ َ ِ ‫ي الد َّوام‬
ْ ِ‫ي ُغْت ََفُر ف‬
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya” [64]

ِ ‫ي الد َّوام‬
ْ ِ‫ما ي ُغْت ََفُر ف‬
َ ‫داِء‬
َ ‫ي ال ِْبت‬
ْ ِ‫ي ُغْت ََفُر ف‬
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
ْ ِ‫مال َ ي ُغْت ََفُر ف‬
َ ِ‫ي غَي ْر‬
‫ها‬ َ ‫ولب ِِع‬
َ ّ ‫ي الت‬
ْ ِ‫ي ُغْت ََفُر ف‬
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya ” [65]

4. Kaidah Asasi Keempat

ُ ‫ضَرُر ي َُزا‬
‫ل‬ َ ‫ال‬
“Kemudaratan (harus) dihilangkan”.
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-
Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan
kemudharatan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:
- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat
karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat.
- Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana
Islam) adalah juga untuk menghilangkan kemudhratan.
- Adanya aturan alhajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk
menghilangkan kemudharatan. Demikian pula aturan hak syuf’ah.
Kaidah tersebut diatas sering diungkapkan dengan apa yang tersebut
dalam hadits:

ِ َ ‫ضَرَر وَل‬
‫ضَراَر‬ َ َ‫ل‬
Artinya: “Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh di mudharatkan”. (HR.
Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu
‘Abbas) [67-68]
Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mendukung kaidah tersebut antara lain:

... ‫دوا‬
ُ َ ‫ضَراًرا ل ِت َعْت‬ ّ ُ‫سك ُوْ ه‬
ِ ‫ن‬ ْ ُ ‫ وَل َ ت‬....
ِ ‫م‬
Artinya: ”Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudharatan karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka”. (QS. Al-Baqarah: 231)
ّ ِ‫ضي ُّقوا عَل َي ْه‬
... ‫ن‬ َ ُ ‫ن ل ِت‬ َ ُ ‫وََل ت‬...
ّ ُ‫ضاّروه‬
Artinya:”dan janganlah kamu memudharatkan mereka (istri) untuk
menyempitkan hati mereka”. (QS. Ath-Thalaaq: 6)
ِ ِ‫ه ب ِوَل َد‬
...‫ه‬ ُ ّ ‫موُْلود ٌ ل‬ َ ِ‫ضآّر َوال ِد َةٌ ب ِوَل َد‬
َ َ ‫ها وَل‬ َ ُ ‫ ل َ ت‬...
Artinya: “Janganlah dimudharatkan seorang ibu karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
َ
‫م‬
ٌ ‫حَرا‬ ْ ُ ‫ضك‬
َ ‫م‬ ْ ُ ‫م وَأموَل َك‬
َ ‫م وَإ ِعَْر‬ ْ ُ ‫ماَءك‬
َ ِ‫ن د‬
ّ ِ‫إ‬
Artinya: “Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan
kehormatan kamu semua adalah haram diantara kamu semua” (HR. Muslim)
[69-70]
Kekecualian dari kaidah diatas pada prinsipnya adalah:
 Apabila menghilangkan kemudharatan mengakibatkan datangnya
kemudharatan yang lain yang sama tingkatannya, maka hal itu tidak boleh
dilakukan.
 Apabila dalam menghilangkan kemudharatan menimbulkan kemudharatan
lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka hal itu tidak
boleh dilakukan.
 Dalam menghilangkan kemudharatan, dilarang melampaui batas dan betul-
betul tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah
satu-satunya jalan. [70-71]
Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah ”al-dharar
yuzal”, diantaranya adalah sebagai berikut :

ِ ‫خظ ُوَْرا‬
‫ت‬ ْ ‫م‬
َ ‫ح ال‬
ُ ْ ‫ت ت ُب ِي‬
ُ ‫ضُروَرا‬
ّ ‫ال‬
“Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang” [72]
‫ها‬
َ ِ‫ت ت َُقد ُّر ب َِقد َر‬
ُ ‫ضُروَرا‬
ّ ‫ال‬
“Keadaan darurat ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”
‫ن‬ َ ‫م‬
ِ ‫كا‬ ُ ‫ضَرُر ي َُزا‬
ْ ِ ‫ل ب َِقد ْرِ ال‬ َ ‫ال‬
“Kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”
‫ضَرِر‬ ُ ‫ضَرُر ل َي َُزا‬
َ ‫ل ِباال‬ َ ‫ال‬
“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi ” [73]
‫ف‬ َ َ ‫ضَررِ ال‬
ّ ‫خ‬ ّ ‫ل ِبال‬ َ َ ‫ضَرُر ال‬
ُ ‫شد ّ ي َُزا‬ َ ‫ال‬
“Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih
ringan” [74]
‫ما‬ ُ ْ‫ضَرُر ل َي َك ُو‬
ً ْ ‫ن قَدِي‬ َ ‫ال‬
“Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi”
[75]
‫ة‬
ً ‫ص‬ َ ْ‫ن أ َو‬
َ ‫خا‬ َ ‫ة‬
َ ‫كا‬ ٌ ‫م‬
َ ‫عا‬
َ ِ‫ضُروَْرة‬ َ َ ‫من ْزِل‬
ّ ‫ة ال‬ َ ِ‫ة ت َن ْز‬
َ ‫ل‬ ُ ‫ج‬
َ ‫ح‬
َ ‫ال‬
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum amupun
khusus” [76]
ُ
َ ‫ح قَب ْم‬
‫ل‬ ْ َ ‫سمت َب‬ ْ ‫جمةِ ل َم‬
ْ ُ‫م ت‬ َ ‫حا‬
َ ‫ض مُروَْرةِ َوال‬
ّ ِ ‫ت لل‬
ْ ‫حم‬
َ ْ ‫صةٍ أب ِي‬
َ ‫خ‬ ّ ُ‫ك‬
ْ ‫ل ُر‬
‫ها‬
َ ِ‫وود‬
ْ ‫ُوجث‬
“Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah tidak
boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah” [77]
‫ه‬
ُ ْ ‫ي عَن‬
ْ ِ‫من ْه‬
َ ‫حا‬ َ َ‫دا ا َوْ د َفْع‬
ً َ ‫صل‬ َ َ‫جّر ق‬
ً ‫سا‬ َ ‫ف‬
ٍ ‫صّر‬ ّ ُ‫ك‬
َ َ‫ل ت‬
“Setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak
kemaslahatan adalah dilarang” [78]

5. Kaidah Asasi Kelima

‫ة‬ َ ّ ‫حك‬
ٌ ‫م‬ َ ‫م‬
ُ ُ‫الَعاد َة‬
“Adat (dipertimbangkan didalam) menetapkan hukum”
Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits
Nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menguatkannya.
Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para ulama sepanjang
sejarah hukum islam, akhirnya menjadi kaidah yang mapan.
Diantara ayat Al-Qur’an dan Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
َ ‫خذ ال ْعْفو وأ ْمر بال ْعرف وأ‬
‫ن‬ َ ْ ‫ن ال‬
َ ‫جاهِِلي‬ ِ َ ‫ع‬ ‫ض‬
ْ ِ ‫ر‬ْ ‫ع‬ َ ِ ْ ُ ِ ْ ُ َ َ َ ِ ُ
Artinya :” Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS : Al-‘Araaf :
199) [81]
‫ن‬
ٌ ‫س‬
َ ‫ح‬ ِ َ‫سًنا فَهُو‬
َ ِ‫عن ْد َ الله‬ َ ‫ح‬
َ ‫ن‬
َ ْ ‫مو‬
ُ ِ ‫سل‬
ْ ‫م‬
ُ ‫ماَراهُ ال‬
َ
Artinya : “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang islam, maka baik pula
disisi Allah”. (HR Imam Ahmad) [82]
Al-’Aadah yang bisa dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah
al-’Aadah al-Shahihah bukan al-’Aadah al-Fasidah. Oleh karena itu, kaidah
tersebut tidak digunakan apabila :
- Al-’Aadah bertentangan dengan nash baik Al-Quran maupun Al-hadits, seperti
: shaum terus-terusan atau shaum 40 hari atau 7 hari siang malam.
- Al-’Aadah tersebut tidak menyebabkan ke mafsadatan atau menghilangkan
kemaslahatan termasuk didalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau
kesukaran, seperti memboroskan harta.
- Al-’Aadah berlaku pada umumnya berlaku dikaum muslimin, dalam arti bukan
hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh
beberapa orang maka tidak dianggap ada. [83-84]
Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah “al-‘adah muhkamah” adalah
sebagai berikut:

ُ ‫م‬
‫ل ب َِها‬ َ َ‫ب الع‬
ُ ‫ج‬
ِ َ‫ة ي‬
ٌ ‫ج‬
ّ ‫ح‬
ُ ‫س‬ ُ ‫ما‬
ِ ‫ل الّنا‬ َ ْ‫ست ِع‬
ْ ِ‫إ‬
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argumen/dalil)
yang wajib diamalkan” [84]

َ
ْ َ ‫ت أوْ غَل َب‬
‫ت‬ ْ ‫ضط ََردض‬ َ ِ ‫ما ت ُعْت َب َُر الَعاد َةُ إ‬
ْ ‫ذا ا‬ َ ّ ‫إ ِن‬
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang
terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
‫شائ ِِع ل َِللّنادِِر‬
ّ ‫ب ال‬
ِ ِ ‫العِب َْرةُ لل َِغال‬
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia
bukan dengan yang jarang terjadi” [85]
ً ‫شر‬
‫طا‬ َ ‫ط‬ ْ ‫م‬
ِ ‫شُرو‬ َ ‫عرًفا‬
َ ‫كال‬ ُ ‫ف‬ َ ‫َال‬
ُ ْ‫معُْرو‬
“Sesuatu yang telah dikenal karena ‘Urf seperti yang disyaratkan dengan suatu
syarat”
‫م‬
ْ ُ‫ط َبين َه‬ ْ ‫م‬
ِ ‫شُرو‬ َ ِ‫جار‬
َ ‫كال‬ ّ ّ ‫ن الت‬
َ ْ ‫ف ب َي‬
ُ ْ‫معُْرو‬
َ ‫ال‬
“Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara
mereka” [86]
‫ن ِبالّنص‬ َ ‫ف‬
ِ ْ ‫كالت ّعِي‬ ِ ‫ن ِبالعُُر‬
ُ ْ ‫الت ّعِي‬
“Ketentuan berdasarkan ‘Urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
‫ة‬
ً ‫حِقي َْق‬
َ ‫مت َن َِع‬
ْ ‫م‬ َ ً‫عاد َة‬
ُ ‫كلل‬ َ ُ‫مت َن َع‬
ْ ‫م‬
ُ ‫ال‬
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak
berlaku dalam kenyataan”
ِ‫ك ب ِد َل َل َةِ الَعاد َة‬
ُ ‫ة ت ُت َْر‬
ُ ‫حِقي َْق‬
َ ‫ال‬
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut
adat” [87]
ِ ‫ن الل َْف‬
‫ظى‬ َ ‫ن العُْرِفى‬
ِ ْ ‫كال ِذ‬ ُ ْ ‫ال ِذ‬
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin
menurut ucapan” [88]

VI. PENERAPAN KAIDAH FIQH


Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan kaidah fiqh agar
tepat penggunaannya, ketiga hal tersebut adalah:
A. Kehati-hatian Dalam Menerapkan Kaidah
Kehati-hatian dalam menggunakan kaidah ini diperlukan agar antara
masalah yang akan dipecahkan dengan kaidah yang digunakan bersesuaian ssatu
sama lain.
Oleh karena itu, masalah yang dihadapi harus diteliti lebih dahulu,
setidaknya dalam lima aspek, yaitu:

1) Ruang lingkup masalah yang dihadapi. Apakah masalah tersebut dalam


bidang ibadah, munakahat, muamalah, jinayah, siyasah, atau peradilan,
atau menyangkut keseluruhan bidang tersebut;
2) Apakah masalah yang dihadapi tersebut, substansinya perubahan
hukum atau bukan;
3) Apakah masalah tersebut berhubungan dengan masalah prioritas karena
adanya benturan atau pertentangan kepentingan sehingga diperlukan
pilihan-pilihan mana yang akan diambil;
4) Apakah masalah tersebut ruang lingkupnya sangat kecil yang hanya
berhubungan dengan bab-bab tertentu dari bidang-bidang hukum Islam
sehingga cukup digunakan al-qawa’id al-tafshiliyah atau dhabit atau
mulhaq-nya; dan
5) Hubungan antara masalah yang akan dipecahkan tersebut dengan teori-
teori fiqh dalam arti teori materi fiqh.
Secara sederhana, proses pemecahan masalah dengan menerapkan kaidah
fiqh dapat diilustrasikan sebagai berikut: [183-186]

Alat-
Masala Hasilny Penilaia Hasil
alat
h a n Akhir
Analisis
Kasus Hukum: Dalil- Fatwa
Fikih Kaida wajib, dalil tentang
atau h- sunat, Kulli masala
Identifika kaidah mubah, dan h yang
si Fikih makruh, Prinsip dihada
Masalah atau Syariah pi
haram
B. Meneliti Masalah-masalah Fiqh yang Merupakan Kekecualian Yang Ada
di Luar Kaidah Fiqh
Dalam menerapkan kaidah fiqh harus memerhatikan nasalah-masalah
furu’ atau materi-materi fiqh yang ada di luar kaidah fiqh yang digunakan. Hal ini
penting karena setiap kaidah fiqh memiliki kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat)
yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah tertentu. Dengan demikian, kita
akan terhindarkan dari kesalahan memasukkan masalah yang akan dijawab atau
yang akan dipecahkan ke dalam kaidah, yang sesungguhnya masalah tersebut
merupakan kekecualian dari kaidah yang digunakan.
Disinilah pentingnya membagi kaidah fiqh kedalam berbagai ruang
lingkup secara berjenjang dari yang paling luas sampai kepada yang paling
sempit. Dengan adanya kaidah-kaidah fiqh dalam bidang-bidang hukum tertentu
akan mempermudah dalam proses memecahkan masalah yang dihadapi. Misalnya,
apabila masalahnya dalam bidang muamalah, maka cara dahulu kaidah-kaidah
fiqh dibidang tersebut. Apabila tidak ditemukan, maka ditelusuri kepada kaidah-
kaidah yang lebih umum. Apabila tidak ditemukan juga, barangkali masih
diperlukan memunculkan kaidah-kaidah baru karena belum ter-cover oleh kaidah-
kaidah yang ada. Walaupun demikian, apabila masalah tersebut dikembalikan
kepada kaidah asasi yang lima atau menurut mazhab Hanafi kaidah fiqh yang
enam, maka pasti ter-cover, apalagi bila dikembalikan kepada kaidah dari
Izzuddin bin Abd al-Salam, yaitu: “Meraih kemslahatan dan menolak
kemafsadatan”.
Langkah-langkah ini penting untuk mengetahui kekecualian-kekecualian
dari kaidah dan menghindari risiko kesalahan menggunakan kaidah yang terlalu
besar untuk masalah yang yang ruang lingkupnya kecil. Atau sebaliknya,
memaksakan untuk memasukan kepada kaidah yang kecil untuk masalah yang
ruang lingkup dan cakupannya besar. [187-190]
C. Kesinambungan Antara Satu Kaidah dengan Kaidah Lainnya
Dalam penerapan kaidah fiqh perlu juga diperhatikan keseimbangan
antara satu kaidah yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan kaidah
lain yang lebih luas ruang lingkup dan cakupannya. Hal ini memang tidak terlalu
mudah, perlu menguasai keseluruhan kaidah fiqh dari mata rantai kaidah yang
paling kecil sampai kepada yang paling besar dalam suatu sistem kaidah.
Sebagai salah satu contoh kecil misalnya, seseorang meminjam uang
dengan dijanjikan pada waktu bayar harus ada tambahannya atau singkatnya
meminjam dari rentenir. Pendekatan kaidah fiqh dalam kasus ini cukup dengan
menggunakan kaidah tafshiliyah, yaitu:

‫جّر ت َْفًعا فَهُوَ رَِبا‬ ّ ُ‫ك‬


ٍ ‫ل قَْر‬
َ ‫ض‬
“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang mengutangkan)
adalah riba”
Dengan menggunakan kaidah tersebut, jelas bahwa meminjam uang dari
rentenir hukumnya haram karena termasuk riba. Kaidah tersebut jelas pula ada
dalam bidang fiqh muamalah. Dan kaidah diatas berhubungan dengan kaidah fiqh
dalam muamalah. Tetapi bukan dari sisi kebolehannya muamalah, melainkan dari
sisi ada bukti keharamannya yaitu riba, yaitu kaidah:

‫ل عََلى‬ َ َ
ٌ ْ ‫ل د َل ِي‬ ْ ‫ة إ ِل ّ أ‬
ّ ُ ‫ن ي َد‬ َ ‫مل َةِ ال َِبا‬
ُ ‫ح‬ َ ‫مَعا‬
ُ ‫ل ِفي ال‬ ُ ‫ص‬ْ ‫ال‬
‫ه‬َ ‫م‬ِ ‫ري‬
ِ ‫ح‬ ْ َ‫ت‬
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”
Jadi, haramnya meminjam dari rentenir merupakan kekecualian dari
hukum asal karena ada bukti tentang riba. Kaidah di atas termasuk kaidah yang
khusus. Apabila kaidah di atas dihubungkan dengan kaidah yang ruang
lingkupnya lebih luas (kaidah fiqh yang umum), maka kaidah tersebut di atas
berhubungan dengan kaidah:

ٌ ِ ‫شرِي ْعَةِ َباط‬


‫ل‬ َ ‫صو‬
ّ ‫ل ال‬ ُ ُ ِ ‫خال‬ ّ ُ‫ك‬
َ ‫ل‬
ُ ‫فأ‬ َ ‫م‬
ُ ‫ط‬
ٍ ‫شْر‬
“Setiap syarat yang menyalahi prinsip syariah adalah batal”
Dalam kasus di atas, rentenir mensyaratkan riba, maka syarat tersebut
adalah batal. Bagi orang yang mengatakan bahwa riba itu ada untungnya atau
manfaatnya, tetapi jelas riba diharamkan, yang berarti mafsadah bagi kehidupan,
hal ini terkena oleh kaidah:
‫ح‬
ِ ِ ‫صال‬
َ ‫م‬ ِ ْ ‫جل‬
َ ‫ب ال‬ َ ‫م عََلى‬
ٌ ّ ‫مَقد‬
ُ ِ‫سد‬
ِ ‫مَفا‬
َ ‫د َْرءُ ال‬
“Menolak mafsadah harus didahulukan daripada meraih maslahat”
Kedua kaidah di atas apabila dihubungkan dengan kaidah asasi
merupakan bagian dari kaidah:

ُ ‫ضَرُر ي َُزا‬
‫ل‬ َ ‫ال‬
“Segala kemudaratan (harus) dihilangkan”
Terakhir, kaidah asasi di atas berhubungan dengan kaidah inti:

ِ‫سد‬
ِ ‫مَفا‬
َ ‫ح وَد َْرءُ ال‬
ِ ِ ‫صال‬
َ ‫م‬ ُ ْ ‫جل‬
َ ‫ب ال‬ َ
“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”
Dalam kasus rentenir di atas, perbuatannya adalah haram karena
membawa mafsadah sedangkan mafsadah harus ditolak.
Dari contoh di atas jelas terlihat kesinambungan satu kaidah dengan
kaidah lainnya. hal ini berarti bahwa penggunaan kaidah tafshiliyah dalam contoh
di atas yang mengharamkan rentenir cukup akurat digunakan dalam memecahkan
masalah yang ada di masyarakat. [190-192]

Você também pode gostar