Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Budaya bangsa Indonesia secara lambat laun terus luntur, sekaligus mengalami degradasi.
Padahal disamping merupakan identitas suatu bangsa, budaya juga merupakan aset yang harus
dipertahankan dan terus dikembangkan.
Bahkan kekayaan budaya yang kita miliki merupakan aset bangsa dalam menunjang dunia
kepariwisataan, seperti halnya Negara-negara Asia lainnya. Namun sangat disayangkan justru
sebaliknya generasi di kita malah semakin melupakan , dan hal hal ini pada akhirnya
menimbulkan degradasi budaya ujar mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika
(Sumber PR 15/2-2005).
Alangkah lebih baiknya jika kita terlebih dahulu berbicara mengenai apa itu konsep kebudayaan?
Sebelum melangkah lebih jauh berbicara mengenai kebudayaan kita yang mengalami degradasi.
Menurut salah satu pakar sosiologi Koentjaraningrat dia mengatakan : “banyak orang
mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas ialah pikiran, karya dan hasil karya manusia
yang memenuhi hasratnya akan keindahan”. Dengan singkat kata kebudayaan adalah kesenian.
Dalam arti seperti itu konsep itu memang terlalu sempit.
Sebaliknya banyak orang terutama para ahli ilmu sosial, mengartikan konsep kebudayaan itu
dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang
tidak berakar kepada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia melalui
suatu proses belajar. Konsep ini terlalu luas karena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia
dalam kehidupannya. Maka dari itu Koentjaraningrat menjabarkan unsur-unsur kebudayaan
sebagai berikut :(1)sistem religi,(2)sistem organisasi kemasyarakatan (3)sistem pengetahuan,
(4)bahasa,(5)sistem mata pen-caharian hidup,dan(7)sistem teknologi dan peralatan.
Kembali pada permasalahan kita mengenai lunturnya kebudayaan. Jika kita mau jujur dan
melihat realitas yang berkembang saat ini maka apa yang diungkapkan oleh Mantan Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata itu merupakan suatu hal yang sudah tidak bisa terbantahkan lagi
kebenaran pernyataan tersebut. Kebudayaan yang merupakan hasil manifestasi dari cara berfikir
dan kebudayaan yang menurut Sidi Gazalba merupakan perangkat untuk mengatur tingkah laku
perbuatan waganya terhadap lingkungan, interaksi sosial dan dunia gaib. Hal itu berpangkal dari
cara berfikir dan cara merasa kebudayaan. Kemudian timbul pertanyaan mengapa kebudayaan
yang pernah di junjung tinggi oleh nenek moyang kita itu harus luntur? Dan mengapa generasi
yang ada saat ini sudah melupakan kebudayaannya sendiri?
Musnahnya kebudayaan bangsa ini yang terdiri dari berbagai suku, ras dan etnis bisa disebabkan
oleh beberapa hal. Diantaranya menurut Sidi Gazalba itu adalah Pertama, apabila ditemukan
unsur baru. Saat ini arus globalisasi adalah suatu hal yang sudah tidak bisa terelakkan lagi.
Betapa tidak kemajuan dibidang teknologi dan informasi yang ada lebih banyak merupakan buah
pemikiran orang-orang asing yang tentu saja membawa budaya asing pula. Dalam rangka
mensejajarkan dan mengadopsi kemajuan itu otomatis kita harus beradaptasi dengan mereka.
Hanya saja yang patut kita sayangkan adalah ketiadaaan batas-batas yang mesti kita sesuaikan
dengan mereka yang pada akhirnya kita lupa diri dan kebablasan sehingga kita kehilangan
identitas dan jati diri kita yang sebenarnya sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan.
Kedua, apabila unsur baru dipinjam dari kebudayaan lain. Dan ini masih berkaitan erat dengan
poin satu.
Ketiga, apabila unsur-unsur kebudayaan tidak lagi cocok dengan lingkungan, ditinggalkan atau
diganti dengan yang lebih baik. Jika kita merasa sekarang ini betapa banyak lunturnya
kebudayaan kita yang semestinya tetap ada dan terlestarikan. Kemungkinan besar hal ini terjadi
karena masyarakat hari ini menilainya sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman saat ini.
Dan hal ini pun tergantung dari cara berfikir atau paradigma yang dianut serta ketajaman orang
itu dalam melihat suatu kebudayaan yang pantas atau tidaknya untuk dipertahankan.
Sebagai contoh masyarakat yang tinggal di tanah Pasundan, merasa telah kehilangan identitasnya
sebagai orang Sunda dengan segala tata krama dan adat istiadatnya. Untuk itu, Bupati Bandung
terhitung sejak Senin 11 Oktober 2004 menginstruksikan kepada seluruh pegawai Pemkab
Bandung, termasuk ditingkat kecamatan hingga tingkat kelurahan dan desa, setiap hari senin
dalam kepemerintahan harus menggunakan bahasa Sunda.
Hal ini berarti masyarakat Pasundan masih memandang kebudayaan Sunda dan adat istiadatnya
masih sangat relevan dengan berbagai argumentasi yang beraneka ragam. Beberapa diantaranya
karena bahasa Sunda mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi dan mengandung nilai estetika
yang tinggi pula. Sehingga dalam usahanya melestarikan kebudayaannya ini dibuatlah Perda
nomor 6 dan 7 tahun 1996 yang mengatur tentang pelestarian budaya, aksara, sastra dan bahasa
Sunda.
Jadi, bukan berarti lunturnya kebudayaan itu memang masyarakat hari ini menganggapnya sudah
tidak cocok lagi jika masih digunakan, karena bisa jadi poin keempat merupakan permasalahan
yang sebenarnya yakni (poin keempat)apabila ada yang hilang karena gagal dalam pewarisan
dari satu angkatan ke angkatan berikutnya.
Sekarang yang mesti kita lakukan adalah membuat analisis mengenai lunturnya kebudayaan.
Apakah memang punahnya kebudayaan itu disebabkan masyarakat hari ini menganggapnya tidak
relevan lagi atau karena kegagalan dalam proses pewarisan budaya itu sendiri. Jika kita mau
menganggap itu masih pantas untuk dipertahankan mari kita lestarikan dan usung kembali
sebagai sebuah identitas akan tetapi kalau sebaliknya mengapa pula susah payah harus
dipertahankan.
Contoh yan belum luntur
Ihyaul Ulum MD
Batik is typical cultural heritage of Indonesia. The history of its existence and growth cannot be
argued. Batik has existed since Majapahit empire era and then expanding right at the period of
Mataran empire, Solo, and Yogyakarta. Not only in Java, batik has also grown and expanded in
Sumatra Island. Moreover, the confession of UNESCO on October, 2nd 2009 that batik is
genuine and intangible cultural heritage of Indonesia has revoked Malaysia’s claim as batik
heir and owner. More than simply cultural heritage, batik has also transformed into industry
with high contribution to national economy. Furthermore, the number of labours in this group of
industry (TPT) is 1.62 million people indeed. The value of batik export even reached US$ 32.28
million in 2008, and US$ 10.86 million in the first three months of 2009.
Pendahuluan
Jum’at, 2 Oktober 2009, seorang teman menulis dalam statusnya di Facebook (FB),
“Baru mendarat di Juanda. Ada apa ya, koq semua orang pada pakai batik?!”. Teman lainnya
menulis status berbeda: “Terimakasih Malaysia. Karena klaimmu atas batik kami,
nasionalisme bangsa ini tersulut kembali”. Ada juga yang menulis: “Jangan lupa, hari ini
semua orang pakai batik. Please....setidaknya untuk hari ini saja”. Para presenter dan
pembaca berita di televisi juga mengenakan batik pada tanggal 2 Oktober 2009 lalu.
Kampanye mengenakan batik pun merambah ke kantor-kantor (swasta dan
pemerintahan), bahkan juga pelajar dan mahasiswa.
Begitulah, semangat bangsa Indonesia menyambut pengukuhan batik sebagai
Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Intangible Cultural Heritage of Humanity) asli khas
Indonesia dan sertifikat pengesahan batik sebagai representasi budaya Indonesia oleh
United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) -- organisasi yang
menangani pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) -- pada tanggal 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Heroisme tersebut
tidak lepas dari kebanggaan yang muncul sebagai bentuk ungkapan ‘kemenangan’ atas
klaim Malaysia terhadap batik beberapa waktu sebelumnya.
Harus diakui bahwa klaim Malaysia atas batik sangat meresahkan perajin batik
Indonesia. Klaim tersebut secara tidak langsung menjadi pemicu lahirnya Forum
Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Forum ini sadar bahwa generasi batik masa lampau
hanya melihat kompetisi antarperajin di dalam negeri. Kini, sudah saatnya perajin batik
bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia.
Meskipun Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (waktu itu, dalam Kabinet
Indonesia Bersatu I) Aburizal Bakrie menyatakan bahwa usulan nominasi batik ke Unesco
bukan reaksi terhadap Malaysia, melainkan untuk kepentingan pengembangan batik
Indonesia di pasar Internasional. Namun demikian, setidaknya klaim Malaysia tersebut
menjadi salah satu pemicunya. Wajarlah kemudian jika dalam salah satu status FB seorang
teman menulis: “Terima kasih Malaysia, telah membangkitkan rasa kebangsaan kami.
Karena klaim kalian atas batik kami, hari ini Unesco menetapkan bahwa batik itu memang
milik kami”.
Dewasa ini penggunaan batik makin beragam. Pasar ekspor batik mencapai 125 juta
dollar AS per tahun. Sekitar dua juta orang bergantung pada usaha batik, mulai pedagang
kecil dan menengah serta pemasok kebutuhan batik beserta keluarganya. Seluruh pihak
yang terkait dengan batik telah memahami dan sepakat untuk memperjuangkan agar batik
Indonesia dapat diakui oleh Unesco. Mereka berharap, dengan telah diakuinya batik oleh
Unesco, pasar (dan industri) batik akan menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Dalam konteks inilah – bahwa batik bukan sekedar budaya khas Indonesia, tetapi
kekayaan intelektual bangsa Indonesia dan nafas serta penggerak kehidupan sebagian
masyarakat Indonesia – artikel ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang: (1) sejarah
batik Indonesia, (2) batik sebagai budaya nasional, (3) mempatenkan batik, dan (4)
industri batik dan sumbangsihnya terhadap perekonomian nasional.
Mempatenkan Batik
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak
eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil penemuannya di bidang
teknologi. Paten diberikan untuk selama waktu tertentu karena melaksanakan sendiri
penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.
Kita sambut gembira masuknya batik Indonesia dalam 76 warisan budaya
nonbenda dunia. Hal ini memiliki makna bahwa kita telah mempatenkan batik sebagai
warisan budaya Indonesia. Meskipun dari 76 seni dan budaya warisan dunia yang diakui
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Indonesia
hanya menyumbangkan satu, sementara China 21 dan Jepang 13 warisan. Jumlah ini jangan
menyurutkan rasa gembira dan rasa syukur kita.
Semangat untuk mempatenkan motif batik di daerah-daerah harus terus didorong.
Teringatlah kita kepada Malaysia. Demi memiliki identitas, negara itu gencar mengklaim
batik, reog, tari pendet, beberapa judul lagu, dan angklung sebagai milik sendiri. Kita desak
Malaysia meminta maaf. Dengan bermacam dalih, mereka meminta maaf walaupun pada
saat bersamaan terus mencari celah kelalaian kita. Jajak pendapat Kompas (31/8/2009)
menunjukkan reaksi keras atas dipakainya simbol-simbol kebudayaan lokal Indonesia
dalam iklan pariwisata Malaysia. Kita bangga atas kekayaan budaya kita, sebaliknya kita
tidak mengenali dan memanfaatkannya.
Kata kuncinya kelalaian. Kita lalai tidak mengenal budaya sendiri, alih-alih
mengurus hak kekayaan intelektual dan hak cipta. Sementara Malaysia, yang bangga atas
kemajuan ekonomi, bermasalah ketika tidak memiliki identitas budaya. Padahal sebuah
bangsa menjadi besar jika memiliki identitas yang kuat. Untuk menghindarkan klaim
negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di
lembaga internasional. Kalau lalai, negara lain seperti Malaysia akan mengklaimnya sebagai
produk budaya mereka.
Contoh-contoh di atas menunjukkan urgensi dan perlu proaktifnya pendataan dan
perlindungan hak cipta atas karya pribadi dan hak paten atas karya komunal. Kalau lalai,
tidak saja kekayaan budaya hilang, bahkan berakibat buruk hilangnya identitas budaya
kita.
Prosedur yang ditempuh untuk pengakuan itu dilakukan sesuai Konvensi Unesco
tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak Benda. Konvensi Unesco tersebut telah
diratifikasi oleh pemerintah melalui PP Nomor 78 Tahun 2007 dan, terhitung 15 Januari
2008, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak Konvensi. Dengan demikian, Indonesia
berhak menominasikan mata budayanya untuk dicantumkan dalam daftar representatif
Unesco.
UU. Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjamin perlindungan hak kekayaan
intelektual komunal ataupun personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar
mendapat perlindungan sebagai kekayaan budaya bangsa. Upaya itu sudah dilakukan
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemprov Bali. DIY
menyangkut batik gaya Yogyakarta, sedangkan Bali terkati dengan tarian dan tetabuhan
musik. Dalam UU ini, hak cipta didefinisikan sebagai, "Hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 ayat 1).
Realisasi ekspor hingga semester 1 tahun 2009 baru mencapai US$ 10,86 juta.
Artinya, baru mencapai 33,64% dibandingkan dengan kinerja ekspor pada 2008. Banyak
yang berharap, euforia batik bakal mampu mengerek kinerja ekspor batik nasional.
Sehingga pada gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyerap
tenaga kerja.
Pemerintah menargetkan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) – termasuk di
dalamnya batik – mencapai sekitar US$11,8 miliar pada 2009. Itu sedikit meningkat
dibanding proyeksi ekspor tahun 2008 sebesar US$11 miliar. Industri TPT masih menjadi
salah satu industri prioritas yang akan dikembangkan karena mampu memberi kontribusi
yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Industri TPT 2006 lalu menyerap 1,2 juta tenaga kerja, tidak termasuk industri kecil
dan rumah tangga. Selain itu menyumbang devisa sebesar US$9,45 miliar pada 2006 dan
US$10,03 miliar pada 2007. Secara konsisten industri TPT memberi surplus (net ekspor) di
atas US$5 miliar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Oleh karena itu, pemerintah
menargetkan 2009 ekspor TPT mencapai US$11,8 miliar dengan penyerapan 1,62 juta
tenaga kerja.
Tantangan yang dihadapi industri batik itu antara lain mengenai Sumber Daya
Manusia (SDM). Misalnya, generasi pembatik umumnya sudah berusia relatif lanjut,
sehingga perlu upaya khusus untuk menggugah minat kalangan muda untuk terjun ke
usaha batik. Masalah lain yang harus diatasi adalah masalah pendanaan, ketenagakerjaan,
dan penanganan penyelundupan. Saat ini industri TPT diakui juga menghadapi masalah
daya saing terkait usia mesin industri tersebut yang sebagian besar (sekitar 75%) berusia
sekitar 20 tahun sehingga membutuhkan peremajaan mesin baru untuk bersaing di pasar
internasional dan domestik yang semakin ketat.
Dari sisi teknologi, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan
perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutunya bisa sama untuk
setiap lembar kain batik. Itu belum termasuk pemakaian zat warna alam yang masih belum
mendapat hasil stabil satu sama lain. Dilihat dari sisi ketersediaan bahan baku sutera,
jumlahnya masih kurang dari permintaan pasar. Selain itu, serat dan benang sutera
umumnya masih impor. Dari sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang
semakin meluas antara lain dari Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Afrika Selatan dan
Polandia. Segi pemasaran batik Indonesia juga belum fokus untuk mengangkat batik
Indonesia sebagai high fashion dunia.
Terkait masalah Kak Kekayaan Intelektual (HKI), ditengarai bahwa motif-motif
batik tradisional, belakangan ini banyak ditiru oleh para perajin dari negara-negara lain.
Kondisi tersebut terjadi karena usaha perlindungan HKI di negara ini belum maksimal.
Dalam kaitan tersebut, sesungguhnya kegiatan dokumentasi motif batik sudah banyak
dilakukan oleh masyarakat, bahkan Departemen Perindustrian telah mendokumentasi
sebanyak 2.788 motif batik dan tenun tradisional dalam bentuk CD (Compact Disc).
Solusi Alternatif
Bagaimana kiat untuk mendongkrak batik secara ekonomis? Pertama, pemerintah
sebagai komandan pertumbuhan perekonomian nasional selayaknya segera ”menabuh
gong” pemberdayaan batik nasional. Caranya? Semua pegawai negeri yang berjumlah
sekitar 4 juta orang wajib memakai batik setiap Jumat. Ini termasuk semua pejabat
tertinggi negara dan tinggi negara. Sejak tahun 1980-an, karyawan bank pelat merah
memakai batik setiap akhir pekan.
Kedua, pemerintah juga perlu mewajibkan semua pelajar untuk mengenakan batik
setiap Senin. Kewajiban ini sudah dijalankan oleh beberapa sekolah namun belum merata.
Pemberdayaan model ini sesungguhnya merupakan edukasi pragmatis bagi generasi
mendatang dalam mengembangkan produk dalam negeri.
Ketiga, peserta seminar, workshop dan pelatihan wajib mengenakan pakaian batik
pada pembukaan acara tersebut, termasuk dalam sidang wakil rakyat. Acara ini patut
dianggap sebagai momen penting untuk mengembangkan produk dalam negeri.
Pemberdayaan tersebut mampu membawa implikasi ekonomis bagi pengembangan
batik, bahkan bagi ekonomi sekaligus industri kreatif. Pemerintah telah mencanangkan
2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Industri kreatif mampu menyumbang 6,3% dari
produk domestik bruto (PDB), menyerap 5,4% tenaga kerja dan berkontribusi 9% dari
total nilai ekspor nasional (Kompas, 25 Juni 2009). Suatu kontribusi yang tidak kecil.
Penutup
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pengembangan batik
memerlukan strategi besar (grand strategy) dan terpadu sebagai warisan budaya bangsa
yang perlu dilestarikan dan memberi dampak ekonomi pada masyarakat. Ketua Yayasan
Kadin Indonesia, Iman Sucipto Umar, yang memprakarsai berdirinya Museum Batik
Indonesia, di Jakarta, Rabu, mengatakan batik memiliki potensi untuk dikembangkan,
bahkan bersaing di kancah internasional. Namun, tidak cukup sampai di situ. Harus ada
strategi besar yang perlu ditetapkan agar ke depan batik dapat menjadi industri kreatif
yang mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi secara signifikan dan
menjadi Indonesia Heritage yang diakui dunia internasional.
Prospek batik sangat bagus. Apalagi jika melihat ekspor tekstil dan produk tekstil
(TPT) – termasuk batik -- terus meningkat dalam empat tahun terakhir dengan rata-rata
pertumbuhan 8,4 % per tahun. Meskipun saat ini, kontribusi ekspor batik yang tercatat
hanya US$10-15 juta. Namun, jumlah tersebut belum termasuk ekspor yang dilakukan oleh
turis asing yang membawanya lewat koper.