Você está na página 1de 13

Contoh-contoh identitas Negara yang sudah luntur

Budaya bangsa Indonesia secara lambat laun terus luntur, sekaligus mengalami degradasi.
Padahal disamping merupakan identitas suatu bangsa, budaya juga merupakan aset yang harus
dipertahankan dan terus dikembangkan.

Bahkan kekayaan budaya yang kita miliki merupakan aset bangsa dalam menunjang dunia
kepariwisataan, seperti halnya Negara-negara Asia lainnya. Namun sangat disayangkan justru
sebaliknya generasi di kita malah semakin melupakan , dan hal hal ini pada akhirnya
menimbulkan degradasi budaya ujar mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika
(Sumber PR 15/2-2005).

Alangkah lebih baiknya jika kita terlebih dahulu berbicara mengenai apa itu konsep kebudayaan?
Sebelum melangkah lebih jauh berbicara mengenai kebudayaan kita yang mengalami degradasi.
Menurut salah satu pakar sosiologi Koentjaraningrat dia mengatakan : “banyak orang
mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas ialah pikiran, karya dan hasil karya manusia
yang memenuhi hasratnya akan keindahan”. Dengan singkat kata kebudayaan adalah kesenian.
Dalam arti seperti itu konsep itu memang terlalu sempit.

Sebaliknya banyak orang terutama para ahli ilmu sosial, mengartikan konsep kebudayaan itu
dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang
tidak berakar kepada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia melalui
suatu proses belajar. Konsep ini terlalu luas karena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia
dalam kehidupannya. Maka dari itu Koentjaraningrat menjabarkan unsur-unsur kebudayaan
sebagai berikut :(1)sistem religi,(2)sistem organisasi kemasyarakatan (3)sistem pengetahuan,
(4)bahasa,(5)sistem mata pen-caharian hidup,dan(7)sistem teknologi dan peralatan.

Kembali pada permasalahan kita mengenai lunturnya kebudayaan. Jika kita mau jujur dan
melihat realitas yang berkembang saat ini maka apa yang diungkapkan oleh Mantan Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata itu merupakan suatu hal yang sudah tidak bisa terbantahkan lagi
kebenaran pernyataan tersebut. Kebudayaan yang merupakan hasil manifestasi dari cara berfikir
dan kebudayaan yang menurut Sidi Gazalba merupakan perangkat untuk mengatur tingkah laku
perbuatan waganya terhadap lingkungan, interaksi sosial dan dunia gaib. Hal itu berpangkal dari
cara berfikir dan cara merasa kebudayaan. Kemudian timbul pertanyaan mengapa kebudayaan
yang pernah di junjung tinggi oleh nenek moyang kita itu harus luntur? Dan mengapa generasi
yang ada saat ini sudah melupakan kebudayaannya sendiri?

Musnahnya kebudayaan bangsa ini yang terdiri dari berbagai suku, ras dan etnis bisa disebabkan
oleh beberapa hal. Diantaranya menurut Sidi Gazalba itu adalah Pertama, apabila ditemukan
unsur baru. Saat ini arus globalisasi adalah suatu hal yang sudah tidak bisa terelakkan lagi.
Betapa tidak kemajuan dibidang teknologi dan informasi yang ada lebih banyak merupakan buah
pemikiran orang-orang asing yang tentu saja membawa budaya asing pula. Dalam rangka
mensejajarkan dan mengadopsi kemajuan itu otomatis kita harus beradaptasi dengan mereka.
Hanya saja yang patut kita sayangkan adalah ketiadaaan batas-batas yang mesti kita sesuaikan
dengan mereka yang pada akhirnya kita lupa diri dan kebablasan sehingga kita kehilangan
identitas dan jati diri kita yang sebenarnya sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan.
Kedua, apabila unsur baru dipinjam dari kebudayaan lain. Dan ini masih berkaitan erat dengan
poin satu.

Ketiga, apabila unsur-unsur kebudayaan tidak lagi cocok dengan lingkungan, ditinggalkan atau
diganti dengan yang lebih baik. Jika kita merasa sekarang ini betapa banyak lunturnya
kebudayaan kita yang semestinya tetap ada dan terlestarikan. Kemungkinan besar hal ini terjadi
karena masyarakat hari ini menilainya sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman saat ini.
Dan hal ini pun tergantung dari cara berfikir atau paradigma yang dianut serta ketajaman orang
itu dalam melihat suatu kebudayaan yang pantas atau tidaknya untuk dipertahankan.

Sebagai contoh masyarakat yang tinggal di tanah Pasundan, merasa telah kehilangan identitasnya
sebagai orang Sunda dengan segala tata krama dan adat istiadatnya. Untuk itu, Bupati Bandung
terhitung sejak Senin 11 Oktober 2004 menginstruksikan kepada seluruh pegawai Pemkab
Bandung, termasuk ditingkat kecamatan hingga tingkat kelurahan dan desa, setiap hari senin
dalam kepemerintahan harus menggunakan bahasa Sunda.

Hal ini berarti masyarakat Pasundan masih memandang kebudayaan Sunda dan adat istiadatnya
masih sangat relevan dengan berbagai argumentasi yang beraneka ragam. Beberapa diantaranya
karena bahasa Sunda mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi dan mengandung nilai estetika
yang tinggi pula. Sehingga dalam usahanya melestarikan kebudayaannya ini dibuatlah Perda
nomor 6 dan 7 tahun 1996 yang mengatur tentang pelestarian budaya, aksara, sastra dan bahasa
Sunda.

Jadi, bukan berarti lunturnya kebudayaan itu memang masyarakat hari ini menganggapnya sudah
tidak cocok lagi jika masih digunakan, karena bisa jadi poin keempat merupakan permasalahan
yang sebenarnya yakni (poin keempat)apabila ada yang hilang karena gagal dalam pewarisan
dari satu angkatan ke angkatan berikutnya.

Sekarang yang mesti kita lakukan adalah membuat analisis mengenai lunturnya kebudayaan.
Apakah memang punahnya kebudayaan itu disebabkan masyarakat hari ini menganggapnya tidak
relevan lagi atau karena kegagalan dalam proses pewarisan budaya itu sendiri. Jika kita mau
menganggap itu masih pantas untuk dipertahankan mari kita lestarikan dan usung kembali
sebagai sebuah identitas akan tetapi kalau sebaliknya mengapa pula susah payah harus
dipertahankan.
Contoh yan belum luntur

BATIK DAN KONTRIBUSINYA


TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL

Ihyaul Ulum MD

Batik is typical cultural heritage of Indonesia. The history of its existence and growth cannot be
argued. Batik has existed since Majapahit empire era and then expanding right at the period of
Mataran empire, Solo, and Yogyakarta. Not only in Java, batik has also grown and expanded in
Sumatra Island. Moreover, the confession of UNESCO on October, 2nd 2009 that batik is
genuine and intangible cultural heritage of Indonesia has revoked Malaysia’s claim as batik
heir and owner. More than simply cultural heritage, batik has also transformed into industry
with high contribution to national economy. Furthermore, the number of labours in this group of
industry (TPT) is 1.62 million people indeed. The value of batik export even reached US$ 32.28
million in 2008, and US$ 10.86 million in the first three months of 2009.

Pendahuluan
Jum’at, 2 Oktober 2009, seorang teman menulis dalam statusnya di Facebook (FB),
“Baru mendarat di Juanda. Ada apa ya, koq semua orang pada pakai batik?!”. Teman lainnya
menulis status berbeda: “Terimakasih Malaysia. Karena klaimmu atas batik kami,
nasionalisme bangsa ini tersulut kembali”. Ada juga yang menulis: “Jangan lupa, hari ini
semua orang pakai batik. Please....setidaknya untuk hari ini saja”. Para presenter dan
pembaca berita di televisi juga mengenakan batik pada tanggal 2 Oktober 2009 lalu.
Kampanye mengenakan batik pun merambah ke kantor-kantor (swasta dan
pemerintahan), bahkan juga pelajar dan mahasiswa.
Begitulah, semangat bangsa Indonesia menyambut pengukuhan batik sebagai
Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Intangible Cultural Heritage of Humanity) asli khas
Indonesia dan sertifikat pengesahan batik sebagai representasi budaya Indonesia oleh
United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) -- organisasi yang
menangani pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) -- pada tanggal 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Heroisme tersebut
tidak lepas dari kebanggaan yang muncul sebagai bentuk ungkapan ‘kemenangan’ atas
klaim Malaysia terhadap batik beberapa waktu sebelumnya.

Harus diakui bahwa klaim Malaysia atas batik sangat meresahkan perajin batik
Indonesia. Klaim tersebut secara tidak langsung menjadi pemicu lahirnya Forum
Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Forum ini sadar bahwa generasi batik masa lampau
hanya melihat kompetisi antarperajin di dalam negeri. Kini, sudah saatnya perajin batik
bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia.
Meskipun Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (waktu itu, dalam Kabinet
Indonesia Bersatu I) Aburizal Bakrie menyatakan bahwa usulan nominasi batik ke Unesco
bukan reaksi terhadap Malaysia, melainkan untuk kepentingan pengembangan batik
Indonesia di pasar Internasional. Namun demikian, setidaknya klaim Malaysia tersebut
menjadi salah satu pemicunya. Wajarlah kemudian jika dalam salah satu status FB seorang
teman menulis: “Terima kasih Malaysia, telah membangkitkan rasa kebangsaan kami.
Karena klaim kalian atas batik kami, hari ini Unesco menetapkan bahwa batik itu memang
milik kami”.
Dewasa ini penggunaan batik makin beragam. Pasar ekspor batik mencapai 125 juta
dollar AS per tahun. Sekitar dua juta orang bergantung pada usaha batik, mulai pedagang
kecil dan menengah serta pemasok kebutuhan batik beserta keluarganya. Seluruh pihak
yang terkait dengan batik telah memahami dan sepakat untuk memperjuangkan agar batik
Indonesia dapat diakui oleh Unesco. Mereka berharap, dengan telah diakuinya batik oleh
Unesco, pasar (dan industri) batik akan menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Dalam konteks inilah – bahwa batik bukan sekedar budaya khas Indonesia, tetapi
kekayaan intelektual bangsa Indonesia dan nafas serta penggerak kehidupan sebagian
masyarakat Indonesia – artikel ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang: (1) sejarah
batik Indonesia, (2) batik sebagai budaya nasional, (3) mempatenkan batik, dan (4)
industri batik dan sumbangsihnya terhadap perekonomian nasional.

Sejarah Batik Indonesia


Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan
Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan,
pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian
pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta. Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal
sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja
berikutnya. Meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia (khususnya suku
Jawa) mulai akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi
salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan
hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para
pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka
kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempatnya
masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas
menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang.
Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi
pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.
Zaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah
Mojokerto dan Tulunggung. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari
rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo. Pada saat
bekembangnya kerajaan Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati
Kalang yang tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati
Kalang tewas dalam pertempuran di sekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret.
Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluarga kerajaan Majapahit yang menetap
dan tinggal di wilayah Bonorowo (sekarang Tulungagung) antara lain juga membawa
kesenian membuat batik asli. Ciri khas batik Kalangbret hampir sama dengan batik-batik
keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua.
Saat berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan
pangeran Diponegoro, sebagian dari pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke arah timur
(sekarang bernama Majan). Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan
ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang
kiyai yang statusnya tirun-temurun. Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri
(peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Zaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo. Seni batik di
daerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-
kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan
Majapahit yang namanya Raden Katong (adik dari Raden Patah). Batoro Katong inilah yang
membawa agama Islam ke Ponorogo yang salah satu petilasannya adalah masjid di daerah
Patihan Wetan.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan keraton. Oleh karena putri
keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh
pengiring-pengiringnya. Di samping itu banyak pula keluarga keraton Solo belajar di
pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari keraton menuju ke
Ponorogo.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia I yang dibawa
oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20
terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-
pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada
pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo.
Pembatikan di Jakarta
Pembatikan di Jakarta dikenal dan berkembang bersamaan dengan daerah-daerah
pembatikan lainnya, yaitu kira-kira akhir abad ke-19. Pembatikan ini dibawa oleh
pendatang-pendatang dari Jawa Tengah yang bertempat tinggal di daerah-daerah
pembatikan. Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar di dekat Tanah Abang,
yaitu: Karet, Bendungan Ilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan
serta Tebet.
Sejak zaman sebelum Perang Dunia I (PD I), Jakarta telah menjadi pusat
perdagangan antar daerah di Indonesia. Setelah PD I (saat proses pembatikan cap mulai
dikenal), produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah
pemasaran baru. Daerah pemasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah:
Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya,
Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta
lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang. Dari sini baru dikirim ke daerah-daerah di
luar Jawa.
Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta, khususnya Tanah
Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan di tempat yang sama, maka
timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di
Jakarta. Tempat yang dipilih berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik
yang muncul sesudah PD I, terdiri dari bangsa Cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan
dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, dan Solo.
Selain dari buruh batik luar Jakarta itu, diambil pula tenaga-tenaga setempat di
sekitar daerah pembatikan sebagai pembantunya. Melihat perkembangan pembatikan ini
membawa lapangan kerja baru, maka penduduk asli daerah tersebut juga membuka
perusahaan-perusahaan batik. Motif dan proses batik Jakarta sesuai dengan asal buruhnya
didatangkan yaitu: Pekalongan, Yogya, Solo, dan Banyumas.
Pembatikan di Luar Jawa
Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, batik kemudian
berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa.
Sumatera Barat (khususnya daerah Padang) adalah daerah yang jauh dari pusat
pembatikan di kota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang di daerah ini.
Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum PD I,
terutama batik-batik produksi Pekalongan, Solo, dan Yogya. Di Sumatera Barat yang
berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal tenun Silungkang
dan tenun Plekat. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang.
Sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang,
persediaan batik yang ada pada pedagang batik sudah habis. Ditambah lagi setelah
kemerdekaan Indonesia, hubungan antara kedua pulau bertambah sulit. Semua ini akibat
blokade-blokade Belanda. Maka pedagang-pedagang batik yang biasa berhubungan dengan
pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.
Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang
dibuat di Jawa, ditirulah pembuatan pola-polanya dan diterapkan pada kayu sebagai alat
cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan
seperti mengkudu, kunyit, gambir, dammar, dan sebagainya. Bahan kain putihnya
diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama
muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain; Bagindo
Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948
Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab.
Setelah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949,
banyak pedagang batik membuka perusahaan/bengkel batik dengan bahannya diperoleh
dari Singapura melalui pelabuhan Padang dan Pakanbaru. Tetapi, setelah hubungan dengan
pulau Jawa mulai terbuka kembali, mereka kembali berdagang dan perusahaannya
kemudian mati.

Batik Sebagai Budaya Nasional


Menilik dari sejarahnya, batik telah mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia.
Batik tidak hanya tumbuh dan berkembang di pulai Jawa, tetapi juga di luar pulai Jawa
seperti Padang di pulau Sumatera.
Corak dan motif batik yang sangat beragam, menunjukkan kekhasan masing-masing
daerah. Motif-motif tersebut tidak hanya menjadi ciri khas daerah, tetapi juga menjadi
simbol budaya daerah tersebut. Di Jawa Timur saja, misalnya, motif dan warna dasar batik
Surabaya, berbeda dengan batik Malang atau Mojokerto. Motif-motif batik Surabaya
mewakili budaya Surabaya sebagai daerah pesisir, sementara batik Malang tentu saja
menggambarkan budaya masyarakat Malang yang sejuk.
Batik telah mendarah daging dalam perjalanan bangsa Indonesia. Maka wajar jika
kemudian kita marah, bahkan sangat geram, terhadap klaim Malaysia atas batik kita (dan
juga klaim Malaysia atas kebudayaan kita yang lain, misalnya tari pendet, angklung, reog,
lagu rasasayange, dan sebagainya).

Mempatenkan Batik
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak
eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil penemuannya di bidang
teknologi. Paten diberikan untuk selama waktu tertentu karena melaksanakan sendiri
penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.
Kita sambut gembira masuknya batik Indonesia dalam 76 warisan budaya
nonbenda dunia. Hal ini memiliki makna bahwa kita telah mempatenkan batik sebagai
warisan budaya Indonesia. Meskipun dari 76 seni dan budaya warisan dunia yang diakui
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Indonesia
hanya menyumbangkan satu, sementara China 21 dan Jepang 13 warisan. Jumlah ini jangan
menyurutkan rasa gembira dan rasa syukur kita.
Semangat untuk mempatenkan motif batik di daerah-daerah harus terus didorong.
Teringatlah kita kepada Malaysia. Demi memiliki identitas, negara itu gencar mengklaim
batik, reog, tari pendet, beberapa judul lagu, dan angklung sebagai milik sendiri. Kita desak
Malaysia meminta maaf. Dengan bermacam dalih, mereka meminta maaf walaupun pada
saat bersamaan terus mencari celah kelalaian kita. Jajak pendapat Kompas (31/8/2009)
menunjukkan reaksi keras atas dipakainya simbol-simbol kebudayaan lokal Indonesia
dalam iklan pariwisata Malaysia. Kita bangga atas kekayaan budaya kita, sebaliknya kita
tidak mengenali dan memanfaatkannya.
Kata kuncinya kelalaian. Kita lalai tidak mengenal budaya sendiri, alih-alih
mengurus hak kekayaan intelektual dan hak cipta. Sementara Malaysia, yang bangga atas
kemajuan ekonomi, bermasalah ketika tidak memiliki identitas budaya. Padahal sebuah
bangsa menjadi besar jika memiliki identitas yang kuat. Untuk menghindarkan klaim
negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di
lembaga internasional. Kalau lalai, negara lain seperti Malaysia akan mengklaimnya sebagai
produk budaya mereka.
Contoh-contoh di atas menunjukkan urgensi dan perlu proaktifnya pendataan dan
perlindungan hak cipta atas karya pribadi dan hak paten atas karya komunal. Kalau lalai,
tidak saja kekayaan budaya hilang, bahkan berakibat buruk hilangnya identitas budaya
kita.
Prosedur yang ditempuh untuk pengakuan itu dilakukan sesuai Konvensi Unesco
tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak Benda. Konvensi Unesco tersebut telah
diratifikasi oleh pemerintah melalui PP Nomor 78 Tahun 2007 dan, terhitung 15 Januari
2008, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak Konvensi. Dengan demikian, Indonesia
berhak menominasikan mata budayanya untuk dicantumkan dalam daftar representatif
Unesco.
UU. Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjamin perlindungan hak kekayaan
intelektual komunal ataupun personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar
mendapat perlindungan sebagai kekayaan budaya bangsa. Upaya itu sudah dilakukan
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemprov Bali. DIY
menyangkut batik gaya Yogyakarta, sedangkan Bali terkati dengan tarian dan tetabuhan
musik. Dalam UU ini, hak cipta didefinisikan sebagai, "Hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 ayat 1).

Industri Batik dan Sumbangsihnya terhadap Perekonomian Nasional


Seolah jendela dunia bisnis terbuka lebar ketika pada 2 Oktober 2009 lalu, UNESCO
mendeklarasikan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Sejatinya, inilah
tantangan bagi kita untuk mengangkat batik sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat.
Deklarasi itu ternyata mampu membangkitkan spirit “berbatik ria” di masyarakat
Indonesia. Kabarnya, penjualan batik di sejumlah gerai batik laku keras alias laris manis.
Inilah euforia batik. Dengan bahasa lebih bening, euforia batik bakal lebih mendatangkan
aura positif bagi pertumbuhan dan pengembangan perekonomian nasional.
Bagaimana kinerja ekspor batik nasional? Mari kita lihat realisasi ekspor batik
Indonesia selama lima tahun terakhir.
Tabel 1: Nilai Ekspor Batik Nasional 2004-2009
Tahun Nilai Ekspor Batik Nasional
2004 US$ 34,41 juta
2005 US$ 12,46 juta
2006 US$ 14,27 juta
2007 US$ 20,89 juta
2008 USS 32,28 juta
Triwulan I 2009 US$ 10,86 juta
Sumber: Suara Pembaruan, 3 Oktober 2009.

Realisasi ekspor hingga semester 1 tahun 2009 baru mencapai US$ 10,86 juta.
Artinya, baru mencapai 33,64% dibandingkan dengan kinerja ekspor pada 2008. Banyak
yang berharap, euforia batik bakal mampu mengerek kinerja ekspor batik nasional.
Sehingga pada gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyerap
tenaga kerja.
Pemerintah menargetkan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) – termasuk di
dalamnya batik – mencapai sekitar US$11,8 miliar pada 2009. Itu sedikit meningkat
dibanding proyeksi ekspor tahun 2008 sebesar US$11 miliar. Industri TPT masih menjadi
salah satu industri prioritas yang akan dikembangkan karena mampu memberi kontribusi
yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Industri TPT 2006 lalu menyerap 1,2 juta tenaga kerja, tidak termasuk industri kecil
dan rumah tangga. Selain itu menyumbang devisa sebesar US$9,45 miliar pada 2006 dan
US$10,03 miliar pada 2007. Secara konsisten industri TPT memberi surplus (net ekspor) di
atas US$5 miliar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Oleh karena itu, pemerintah
menargetkan 2009 ekspor TPT mencapai US$11,8 miliar dengan penyerapan 1,62 juta
tenaga kerja.
Tantangan yang dihadapi industri batik itu antara lain mengenai Sumber Daya
Manusia (SDM). Misalnya, generasi pembatik umumnya sudah berusia relatif lanjut,
sehingga perlu upaya khusus untuk menggugah minat kalangan muda untuk terjun ke
usaha batik. Masalah lain yang harus diatasi adalah masalah pendanaan, ketenagakerjaan,
dan penanganan penyelundupan. Saat ini industri TPT diakui juga menghadapi masalah
daya saing terkait usia mesin industri tersebut yang sebagian besar (sekitar 75%) berusia
sekitar 20 tahun sehingga membutuhkan peremajaan mesin baru untuk bersaing di pasar
internasional dan domestik yang semakin ketat.
Dari sisi teknologi, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan
perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutunya bisa sama untuk
setiap lembar kain batik. Itu belum termasuk pemakaian zat warna alam yang masih belum
mendapat hasil stabil satu sama lain. Dilihat dari sisi ketersediaan bahan baku sutera,
jumlahnya masih kurang dari permintaan pasar. Selain itu, serat dan benang sutera
umumnya masih impor. Dari sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang
semakin meluas antara lain dari Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Afrika Selatan dan
Polandia. Segi pemasaran batik Indonesia juga belum fokus untuk mengangkat batik
Indonesia sebagai high fashion dunia.
Terkait masalah Kak Kekayaan Intelektual (HKI), ditengarai bahwa motif-motif
batik tradisional, belakangan ini banyak ditiru oleh para perajin dari negara-negara lain.
Kondisi tersebut terjadi karena usaha perlindungan HKI di negara ini belum maksimal.
Dalam kaitan tersebut, sesungguhnya kegiatan dokumentasi motif batik sudah banyak
dilakukan oleh masyarakat, bahkan Departemen Perindustrian telah mendokumentasi
sebanyak 2.788 motif batik dan tenun tradisional dalam bentuk CD (Compact Disc).

Solusi Alternatif
Bagaimana kiat untuk mendongkrak batik secara ekonomis? Pertama, pemerintah
sebagai komandan pertumbuhan perekonomian nasional selayaknya segera ”menabuh
gong” pemberdayaan batik nasional. Caranya? Semua pegawai negeri yang berjumlah
sekitar 4 juta orang wajib memakai batik setiap Jumat. Ini termasuk semua pejabat
tertinggi negara dan tinggi negara. Sejak tahun 1980-an, karyawan bank pelat merah
memakai batik setiap akhir pekan.
Kedua, pemerintah juga perlu mewajibkan semua pelajar untuk mengenakan batik
setiap Senin. Kewajiban ini sudah dijalankan oleh beberapa sekolah namun belum merata.
Pemberdayaan model ini sesungguhnya merupakan edukasi pragmatis bagi generasi
mendatang dalam mengembangkan produk dalam negeri.
Ketiga, peserta seminar, workshop dan pelatihan wajib mengenakan pakaian batik
pada pembukaan acara tersebut, termasuk dalam sidang wakil rakyat. Acara ini patut
dianggap sebagai momen penting untuk mengembangkan produk dalam negeri.
Pemberdayaan tersebut mampu membawa implikasi ekonomis bagi pengembangan
batik, bahkan bagi ekonomi sekaligus industri kreatif. Pemerintah telah mencanangkan
2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Industri kreatif mampu menyumbang 6,3% dari
produk domestik bruto (PDB), menyerap 5,4% tenaga kerja dan berkontribusi 9% dari
total nilai ekspor nasional (Kompas, 25 Juni 2009). Suatu kontribusi yang tidak kecil.

Penutup
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pengembangan batik
memerlukan strategi besar (grand strategy) dan terpadu sebagai warisan budaya bangsa
yang perlu dilestarikan dan memberi dampak ekonomi pada masyarakat. Ketua Yayasan
Kadin Indonesia, Iman Sucipto Umar, yang memprakarsai berdirinya Museum Batik
Indonesia, di Jakarta, Rabu, mengatakan batik memiliki potensi untuk dikembangkan,
bahkan bersaing di kancah internasional. Namun, tidak cukup sampai di situ. Harus ada
strategi besar yang perlu ditetapkan agar ke depan batik dapat menjadi industri kreatif
yang mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi secara signifikan dan
menjadi Indonesia Heritage yang diakui dunia internasional.
Prospek batik sangat bagus. Apalagi jika melihat ekspor tekstil dan produk tekstil
(TPT) – termasuk batik -- terus meningkat dalam empat tahun terakhir dengan rata-rata
pertumbuhan 8,4 % per tahun. Meskipun saat ini, kontribusi ekspor batik yang tercatat
hanya US$10-15 juta. Namun, jumlah tersebut belum termasuk ekspor yang dilakukan oleh
turis asing yang membawanya lewat koper.

Você também pode gostar