Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara "memanfaatkan" sebuah
ginjal sehat (yang diperoleh melalui proses pendonoran) melalui prosedur pembedahan.
Ginjal sehat dapat berasal dari individu yang masih hidup (donor hidup) atau yang baru saja
meninggal (donor kadaver). Ginjal ‘cangkokan’ ini selanjutnya akan mengambil alih fungsi
kedua ginjal yang sudah rusak.
Kedua ginjal lama, walaupun sudah tidak banyak berperan tetap berada pada posisinya
semula, tidak dibuang, kecuali jika ginjal lama ini menimbulkan komplikasi infeksi atau
tekanan darah tinggi.
CaraTransplantasi
Prosedur bedah transplantasi ginjal biasanya membutuhkan waktu antara 3 sampai 6 jam.
Ginjal baru ditempatkan pada rongga perut bagian bawah (dekat daerah panggul) agar
terlindung oleh tulang panggul. Pembuluh nadi (arteri) dan pembuluh darah balik (vena) dari
ginjal ‘baru’ ini dihubungkan ke arteri dan vena tubuh. Dengan demikian, darah dapat
dialirkan ke ginjal sehat ini untuk disaring. Ureter (saluran kemih) dari ginjal baru
dihubungkan ke kandung kemih agar urin dapat dialirkan keluar.
Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran berkembang dengan
pesat. Salah satunya adalah kemajuan dalam teknik transplantasi organ. Transplantasi organ
merupakan suatu teknologi medis untuk penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi
dengan organ dari individu yang lain. Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali
berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di
bidang transplantasi maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan
pengawetan organ, penemuan obat- obatan anti penolakan yang semakin baik sehingga
berbagai organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Dalam beberapa kepustakaan
disebutkan bahwa transplantasi organ sudah dilakukan sejak tahun 600 SM, dimana saat itu
Susruta dari India telah melakukan transplantasi kulit.
Sampai saat ini penelitian tentang transplantasi masih terus dilakukan. Permintaan
untuk transplantasi organ terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan organ donor
yang ada. Sebagai contoh di China, pada tahun 1999 tercatat hanya 24 transplantasi hati,
namun tahun 2000 jumlahnya mencapai 78. Sedangkan tahun 2003 angkanya bertambah
hingga 356. Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali transplantasi.
Tidak hanya hati, jumlah transplantasi keseluruhan organ di China memang meningkat sangat
drastis. Setidaknya telah terjadi tiga kali lipat melebihi Amerika Serikat. Ketidakseimbangan
antara jumlah pemberi organ dengan penerima organ hampir terjadi di seluruh dunia4.
1. Transplantasi Organ di Indonesia
Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang kesehatan banyak cara yang dapat
ditempuh untuk memperoleh kesembuhan. Pada kasus-kasus tertentu, transplantasi organ
merupakan jalan yang dapat ditempuh untuk memperoleh kesembuhan. Transplantasi adalah
perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari satu individu pada individu itu
sendiri atau pada individu lainnya baik yang sama maupun berbeda spesies.
Saat ini di Indonesia, transplantasi organ ataupun jaringan diatur dalam UU No. 23
tahun 1992 tentang Kesehatan. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis
serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Hal ini tentu saja menimbulkan suatu
pertanyaan tentang relevansi antara Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang dimana
Peraturan Pemerintah diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang 2.
Donor adalah orang yang menyumbangkan alat dan atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk tujuan kesehatan. Donor organ dapat merupakan organ hidup ataupun telah
meninggal. Sedangkan resipien adalah orang yang akan menerima jaringan atau organ dari
orang lain atau dari bagian lain dari tubuhnya sendiri. Transplantasi organ dapat
dikategorikan sebagai ‘life saving’ sedangkan transplantasi jaringan dikategorikan sebagai
‘life enhancing’
Jika ditinjau dari sudut penyumbang atau donor alat dan atau jaringan tubuh, maka
transplantasi dapat dibedakan menjadi :
a. Transplantasi dengan donor hidup
Transplantasi dengan donor hidup adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh seseorang ke
orang lain atau ke bagian lain dari tubuhnya sendiri tanpa mengancam kesehatan. Donor
hidup ini dilakukan pada jaringan atau organ yang bersifat regeneratif, misalnya kulit, darah
dan sumsum tulang, serta organ-organ yang berpasangan misalnya ginjal. Sebelum
memutuskan menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi
baik resiko di bidang medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut
sebagai kekurangan jaringan atau organ yang telah dipindahkan. Jika dilakukan pada orang
yang sama dimana donor dan resipien adalah orang yang sama, maka tindakan ini tidak
mempunyai implikasi hukum. Namun akan berbeda jika donor dan resipien adalah orang
yang berbeda, karena tindakan ini melibatkan orang lain yang juga memiliki hak, maka
dengan sendirinya akan memiliki implikasi hukum dan diperlukan undang-undang yang
mengatur.
b. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah
Transplantasi dengan donor mati atau jenazah adalah pemindahan organ atau jaringan dari
tubuh jenazah ke tubuh orang lain yang masih hidup. Jenis organ yang biasanya didonorkan
adalah organ yang tidak memiliki kemampuan untuk regenerasi misalnya jantung, kornea,
ginjal dan pankreas. Seperti halnya dengan transplantasi dengan donor hidup yang melibatkan
dua orang yang berbeda, tindakan ini juga berimplikasi hukum. Biasanya organ terbaik donor
jenazah berasal dari jenazah orang yang masih berusia muda dan tidak mengidap penyakit,
maka donor jenazah terbaik biasanya merupakan korban dari kecelakaan, bunuh diri, maupun
pembunuhan. Yang pada beberapa negara secara hukum berada pada kekuasaan dokter
forensik untuk penyidikan. Di negara tersebut mulai dikembangkan pengambilan organ atau
jaringan tubuh dari donor jenazah di ruang autopsi dilakukan oleh dokter forensik dengan
prosedur aseptik sehingga lebih praktis dan menghemat biaya. Untuk pengambilan organ atau
jaringan tubuh ini dokter forensik bisa dibantu atau diawasi oleh dokter dari bidang lain
sesuai dengan organ yang akan diambil. Sebelum pengambilan organ dilakukan informed
consent pada jenazah-jenazah tersebut, jika jenazah diketahui identitasnya maka informed
consent didapatkan dari keluarga atau ahli warisnya. Namun jika tidak diketahui identitasnya,
maka jenazah tersebut dianggap milik negara sehingga dokter forensik dapat mengambil
organ atau jaringan tubuh untuk kemudian diserahkan pada bank organ dan jaringan tubuh8.
Sedangkan ditinjau dari sudut penerima organ atau resipien, maka transplantasi dapat
dibedakan menjadi:
a. Autotransplantasi
Autotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh
orang itu sendiri2. Biasanya transplantasi ini dilakukan pada jaringan yang berlebih atau pada
jaringan yang dapat beregenerasi kembali. Sebagai contoh tindakan skin graft pada penderita
luka bakar, dimana kulit donor berasal dari kulit paha yang kemudian dipindahkan pada
bagian kulit yang rusak akibat mengalami luka bakar8.
b. Homotransplantasi
Homotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke
tubuh orang lain2. Misalnya pemindahan jantung dari seseorang yang telah dinyatakan
meninggal pada orang lain yang masih hidup.
c. Heterotransplantasi
Heterotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke
tubuh orang lain2. Contohnya pemindahan organ dari babi ke tubuh manusia untuk
mengganti organ manusia yang telah rusak atau tidak berfungsi baik.
Pasal 80 Ayat (3) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan
dengan tujuan komersil dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau
transfusi darah sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000,00(tiga ratus
ribu rupiah).
Jika ditinjau dari sudut orang yang akan melakukan transplantasi, maka berdasarkan
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tercantum hukuman bila melakukan transplantasi
tanpa keahlian ataupun dengan unsure kesengajaan seperti yang diatur dalam Pasal 81 Ayat
(1), yang berbunyi: Barang siapa yang tanpa keahlian dengan sengaja: a. melakukan
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).
Sedangkan pada Pasal 81 Ayat (2) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja mengambil organ
dari donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli
waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (2): dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).
Jika sampai terjadi kematian karena tindakan seperti yang diatur dalam pasal-
pasal tersebut diatas, maka UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengatur dalam
Pasal 83 yang berbunyi: Ancaman pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 80, 81.
1. Sebelum melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, seseorang yang memutuskan
menjadi donor harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi baik resiko di bidang
medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan
jaringan atau organ yang telah dipindahkan.
2. Bagi donor jenazah sebelum pengambilan organ dilakukan informed consent pada jenazah
tersebut, jika diketahui identitasnya maka informed consent didapatkan dari keluarga atau ahli
warisnya. Jika tidak diketahui identitasnya, maka jenazah tersebut dianggap milik negara
sehingga dokter forensik dapat mengambil organ atau jaringan tubuh untuk kemudian
diserahkan pada bank organ dan jaringan tubuh.
Berbagai hasil muktamar dan fatwa lembaga-lembaga Islam internasional yang
berkomperten membolehkan praktek transplantasi jenis ini diantaranya konperensi OKI
(Malaysia, April 1969 M ) dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh
diperjualbelikan, Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam (Mekkah, Januari 1985 M.),
Majlis Ulama Arab Saudi (SK. No.99 tgl. 6/11/1402 H.) dan Panitia Tetap Fawa Ulama dari
negara-negara Islam seperti Kerajaan Yordania dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan;
1. Harus dengan persetujuan orang tua mayit / walinya atau wasiat mayit
Disamping itu banyak fatwa ulama bertaraf internasional yang membolehkan praktek
tersebut diantaranya: Abdurrahman bin Sa’di ( 1307-1367H.), Ibrahim Alyakubi ( dalam
bukunya Syifa Alqobarih ), Jadal Haq (Mufti Mesir dalam majalah Al-Azhar vol. 7 edisi
Romadhon 1403), DR. Yusuf Qordhowi (Fatawa Mu’ashiroh II/530 ), DR. Ahmad
Syarofuddin ( hal. 128 ), DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu
8/2/1989 ), DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.), DR.
Mahmud As-Sarthowi (Zar’ul A’dho, Yordania), DR. Hasyim Jamil (majalah Risalah
Islamiyah, edisi 212 hal. 69).
Masalah penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang , maka dapat
kita lihat dua kasus yaitu;
Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak (sapi, kerbau,
kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan termasuk dalam
kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit.
Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai binatang dikarenakan
mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali
dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat. dan tidak ada pilihan lain. Dalam sebuah
riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat
dengan barang haram.” Dalam kaedah fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat”
(darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal”
(Bahaya harus dihilangkan) yang mengacu surat Al Maidah: 3. “Adh Dharurat Tuqaddar
Biqadarihaa” (Peertimbangan kondisi darurat harus dibatasi sekedarnya) Al Baqarah: 173
(Majma’ Annahr : II/535, An-Nawawi dalam Al-Majmu’ : III/138 ).
Adapun dari segi Donor juga harus diperhatikan berbagai pertimbangan skala prioritas yaitu ;
2. Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena
dapat tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya.
3. Mengambil dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam
kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal.
4. Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan di atas.
5. Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping
orang tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) harus berdasarkan kesadaran,
pengertian, suka rela dan tanpa paksaan.
Disamping itu donor harus sehat mental dan jasmani yang tidak mengidap penyakit menular
serta tidak boleh dijadikan komoditas.
MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM
Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh
dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang
kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, menurut pendapat saya, orang kafir
yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang
murtad yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan
Islam, orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak
dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan satunya
lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah:71)
Bahkan seorang muslim yang saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk
diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah.
Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah
membantunya melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama
makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang mempergunakan nikmat-
nikmat Allah hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang
lain.
Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang
lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi,
sebagaimana firman Allah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang tertentu,
sebagaimana ia juga boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang
khusus menangani masalah ini (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat
dan memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri, sehingga sewaktu-waktu dapat
dipergunakan apabila diperlukan.
TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH
Perlu saya ingatkan disini bahwa pendapat yang
memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti
memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu
--sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah tukar-menukar
harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan
harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan
sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan
jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di
beberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip
dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh
orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk konsumsi
orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan
"mafia baru" yang bersaing dengan mafia dalam masalah
minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi
sejumlah uang kepada donor --tanpa persyaratan dan tidak
ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan
pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh),
bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama
dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan
pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak
dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan
terpuji, bahkan Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika
beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang
lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu
ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR
Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah)
BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?
Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian
organ tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak
menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah dia
berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu
setelah dia meninggal dunia nanti?
Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan
mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal
ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan --meskipun
kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia
mewasiatkannya setelah meninggal dunia nanti. Sebab yang
demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang
lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan)
sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang
yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah
beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk
mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri
dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala
sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu
pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal
segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang
sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini
dalil tersebut tidak dijumpai.
Umar r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai
beberapa masalah, "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi
saudaramu dan tidak memberikan mudarat kepada dirimu,
mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang
dapat dikatakan kepada orang yang melarang masalah
mewasiatkan organ tubuh ini.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan
mayit yang sangat dipelihara oleh syariat Islam, yang
Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan
tulang orang yang hidup."1
Saya tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari
tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara'
yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan
menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya,
sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan)
itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan
penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak
kehormatan tubuhnya.
Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah
mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak
mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah
larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan
mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah
dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka
masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang
diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.
Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama
salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu
ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar,
andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya,
lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali
perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah
dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada
zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah
sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi,
sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun
demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus
dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan
seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga
meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti
tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya,
menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan
sebagainya.
Mendonorkan sebagian organ tubuh sama sekali tidak
menghilangkan semua itu secara meyakinkan.
Dalam terminologi arab jual beli merupakan berasal dari kaidah “ tamlikul maalin bi maalin “
yang artinya menukar harta dengan harta dalam syariat Islam kaidah tersebut berarti menukar
harta dengan harta atas dasar suka sama suka “ tamlikul maalin bimaalin ma’at tarodji “.
Dalam al-Qur’an di nyatakan bahwa allah SWT. telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Ayat tersebut mengindikasiakn bahwa dalam jual beli ada batasan-
batasan yang tidak boleh dilampaui oleh manusia, yang salah satunya adalah jual beli yang
mengandung unsur riba serta jual beli yang dalam pandangan syariat masuk dalam golongan
jual beli barang yang masih samar atau hashot.
Berangkat dari pra wacana di atas, ada suatu hal yang harus kita perhatikan dalam jual beli
yaitu adanya sikap saling merelakan atau ridlo. Imam Syafi’I berpendapat bahwa dalam jual
beli aspek yang paling penting yang harus ada adalah sikap salaing meridlohi. Dengan adanya
sikap saling meridlohi tersebut dapat di ketahui apakah jual beli tersebut sah ataukah tidak.
Pada zaman sekarang ini banyak kita temukan bahwa masyarakat sekarang cenderung untuk
meninggalkan nilai-nilai agama dalam aktivitas sehari-harinya. Fenomena tersebut semakin
hari semakin menjadi jadi. Dalam benak masing-masing orang yang ada adalah bagaima kita
menghasilkan uang atau materi yang banyak dengan jalan yang sangat mudah atau tanpa
memperdulikan rambu-rambu yang telah di tetapkan oleh agama Islam. Salah satu bentuk
kongkrit dari fenomena ini adalah demi mendapatkan uang orang bisa menjual darah atau
ginjalnya.
Oleh sebab itu, dalam pembahasan yang sangat singkat ini akan di kupas pandangan Islam
tentang hukum menjual organ tubuh seperti darah dan ginjal.
B. Pandangan Islam terhadap jual beli organ tubuh manusia.
Islam sebagai agama yang paling terakhir mengariskan seluruh aturan kehidupan yang
tertuang dalam al-Qur’an dan Al-Hadist. Akan tetapi aturan-aturan yang digariskan dalam al-
Qur’an dan Al-Hadist dalam bentuk yang sangat parsial dan sangat gelobal. Tidak terlepas
pada urusan jual beli Islam juga mengaturnya akan tetapi aturan-aturan yang terdapat dalam
Al-Qur’an tersebut lagi-lagi sangatlah gelobal untuk menjawab permasalahan umat yang dari
hari kehari semakin kompleks.
Salah satu bentuk permasalahan jual beli yang tidak di syariatkan oleh Islam adalah jual beli
tentang organ tubuh manusia. Al-Quran hanya menjelaskan bahwa Allah SWT. telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dalam kaidah bahasa arab ketika lafadz itu
berbentuk mufrot dan di masuiki “Al” maka kata tersebut merupakan kata yang “am “. Oleh
sebab itu lafadz Al-Bai’ tersebut merupakan lafadz yang masih umum artinya tidak semua
jual beli dihalalkan oleh Allah SWT. namun ada yang di haramkan seperti jual beli yang
mengandung unsur riba , jual beli barang yang tidak halal , jual beli barang yang najis dan
lain-lain.
Berangkat dari hal ini ada sebuah pertanyaan apakah organ tubuh manusia seperti ginjal dan
darah termasuk dalam bagian barang yang halal ataukah haram untuk di perjual
belikan.dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh Jabir Bin Abdillah menyatakan bahwa
Rosulullah SAW. melarang menjual kelebihan air dan menjualm Mani ( seperma ) unta. Dari
hadist tersebut dapat kita pahami bahwa seperma merupakan bagian dari organ tubuh hewan
yang haram untuk di perjual belikan . hal ini di sebabkan seperma merupakan bukanlah
barang yang halal untuk di perjual belikan.
Walaupun yang di bahas dalam hadist tersebut merupakan larangan menjual seperma
binatang, namun ada sebuah kesamaan yang dapat kita jadikan sebagai acuan untuk
menetapkan hukum dari menjual organ tubuh manusia. Yaitu barang yang di jual tersebut
sama-sama haram untuk di perjual belikan. Dengan menggunakan metode Qiyas yang di
dasarkan atas kesamaan Ilat yang di miliki antara kedua masalah tersebut. Maka dapat kita
simpulkan bahwa organ tubuh baik manusia maupun hewan adalah benda yang haram untuk
di perjual belikan.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah ketika seseorang tersebut
memberikan salah satu organ tubuh yang di milikinya atas dasar kerelaan atau bukan atas
dasar materi / menjual seperti donor darah yang mendapatkan imbalan jasa, apakah hal
tersebut termasuk dalam menjual organ tubuh yang hukumnya adalah haram.
Persoalan tersebut sama halnya dengan ketika kita pinjam uang pada orang lain dan sewaktu
kita mengembalikan uang tersebut kita beri kelebihan atau imbalan sebagai rasa terima kasih
kita. Dalam pandangan syariat hal terserbut di perbolehkan dsan bahkan di anjurakan.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadist Rosulallah SAW. yang di riwayatkan oleh Abu
Huroirah yang mengatakan bahwa Rosulullah bersabda “ penukaran emas dengan emas dan
penukaran perak dengan perak haruslah setimbang , janganlah di krangi dan janganlah di
tambah.” Hadist tersebut mengindikasikan bahwa yang termasuk dalam kategori riba adalah
ketika tambahan tersebut di muat dalam akad tersebut. Dengan demikian apabila tambahan
tersebut tidak di syratkan dalam akadnya maka hal tersebut tidak termasuk dalam riba, akan
tetapi dalam kategori ucapan terima kasih saja.
Dengan demikian pada persoalan di atas di mana seseorang yang memberikan darahnya
kepada orang lain atas dasar suka rela dan tidak mengharapkan imbalan apapun maka hal
tersebut di pelbolehkan atau halal hukumnya. Walaupun setelah itu ia mendapatkan balas jasa
dari orang lain, akan tetapi balas jasa tersebut sebagai ucapan terima kasih.
Dalam sayriat Isalam yang di larang adalah jika sewaktu memberikan darah tersebut atas
dasar menjual belikan maka hal tersebut termasuk dalam menjual barang-barang yang haram,
sehingga hukumnya pun menjadi haram dalam sebuah hadist di jelaskan barang siapa yang
memakan harta yang di dapat dari cara yang haram maka baginya adalah siksa neraka.
C. Kesimpulan
Dari ulasan singkat tersebut dapat kita simpulkan bahwa jual beli organ tubuh manusia
seperti darah dan ginjal adalah perbuatan yang di larang oleh agama. Dengan kata lain jual
beli organ tubuh manusia adalah haram. Hal ini di dasarkan pada hadist Rosulullah yang
mnyatakan bahwa Rosulullah melarang menjual seperma binatang.
Akan tetapi memberikan organ tubuh pada orang lain itu menjadi boleh dan halal bila di
dasarkan atas niat yang ikhlas tidak mengharapkan imbalan apapun juga. Maka hal tersebut di
perbolehkan oleh syariat Islam. Sebagaimana yang terjadi pada saat kiat mengembalikan
uang hutang yang lebih namun hal tersebu atas dasar ucapan terima kasih.
5.bagaimana sikap moral kalian terhadap jual beli ginjal seperti kasus diatas?
1. Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara "memanfaatkan" sebuah ginjal
sehat (yang diperoleh melalui proses pendonoran) melalui prosedur yang sesuai.
2. Biasanya terjadi penolakan imun sistem dalam tubuh, karena transplantasi ginjal tersebut
dianggap sebagai "benda asing" oleh tubuh resipien.
3. Tidak pengaruh apa-apa. Ibarat sampai kita berumur 80 tahun, cuma satu ginjal yang
berfungsi. Jadi tak masalah hidup dengan satu ginjal dan tidak berarti kerja ginjal menjadi
dua kali lebih berat. Asal kita semua membarengi dengan pola hidup sehat.
4. Orang itu harus bertubuh sehat dan mempunyai ginjal yang sehat pula (tidak kelainan).
Saat ini dunia makin materialistis, sehingga apapun bisa diperdagangkan, tidak terkecuali
organ tubuh manusia. Di Indonesia, diperkirakan ada 70.000 penderita gagal ginjal kronis
yang membutuhkan cangkok ginjal. Jumlah pasien itu tidak sebanding dengan jumlah donor
yang merelakan organnya dipakai orang lain setelah sang donor meninggal. Timpangnya
jumlah permintaan organ tubuh dibandingkan
dengan jumlah pasien inilah yang kemudian menyuburkan praktek illegal jual-beli organ
tubuh manusia. Di dalam KUHP, tidak ada satu pasal pun yang dapat menjadi payung hukum
yang menjelaskan secara detail mengenai tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia
sehingga menyebabkan kesulitan dalam menindak kasus-kasus perdagangan organ tubuh
manusia yang terjadi. Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah
perspektif penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan organ tubuh
manusia
Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan secara yuridis
normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan
pustaka yang berupa literatur dan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang
akan dibahas. Sumber data yang terdapat di dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder
yang diperoleh melalui studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, penegakan hukum terhadap tindak
pidana perdagangan organ tubuh belum sesuai dengan yang diharapkan karena baik di dalam
KUHP, UU. No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan maupun di dalam RKUHP tahun 2004,
tidak ada satu pasal pun yang formulasi isi pasalnya memberikan karakteristik mengenai
tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai praktek jual-beli organ tubuh manusia. Di
KUHP sendiri yang tidak mengatur mengenai tindak pidana perdagangan organ tubuh
manusia, pelaku dapat dikenakan Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP, dan Pasal 362
KUHP. Di dalam UU. No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pelaku tindak pidana
perdagangan organ tubuh dapat dikenai Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 80 ayat (3). RKUHP
tahun 2004 yang belum disahkan sampai sekarang pelaku tindak pidana perdagangan organ
tubuh dapat dikenai Pasal 394 RKUHP tentang transplantasi organ tubuh.
Saran yang dapat diberikan penulis adalah faktor-faktor yang menjadi kendala didalam
hukum pidana yaitu rumusan pasal-pasal yang bisa diterapkan terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan organ tubuh manusia jangan terlalu universal, perlu adanya pengaturan secara
khusus dalam undang-undang khususnya untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) harus ada batasan pengertian, hakikat, dan ruang lingkup tindak pidana
perdagangan organ tubuh manusia sehingga tidak menjadi bias di dalam penerapannya.
Terhadap kebijakan transplantasi organ tubuh manusia ke depannya dapat lebih diperjelas
lagi yaitu dengan adanya suatu undang-undang khusus mengenai transplantasi organ yang
formulasi pasalnya telah mengikuti standar internasional sehingga dapat menjaring semua
perbuatan yang dikategorikan dalam tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia
Transplantasi Organ dalam Pandangan Islam
Di antara banyak pertanyaan etis terkait dengan pencangkokan organ seperti yang
sedang hangat – hangat saat ini, ada penekanan yang berbeda di antara komunitas yang
berbeda-beda dari sisi sosial-ekonomi maupun keagamaan. Di AS, misalnya, isu-isu utama
yang dibahas terutama berkisar pada kelompok pertanyaan kedua, mengenai perolehan dan
distribusi organ. Di negara berkembang, sementara penggunaan teknologi ini jauh di
belakang negara maju, banyak isu muncul terkait dengan organ trafficking , sementara
distribusi organ tak menjadi isu.
Pada bagian ini akan dibahas satu contoh respon terhadap pencangkokan organ dari
para pemikir Muslim. Terkait dengan karakter agama Islam maupun konteks sosial Muslim,
tak mengherankan jika tak semua pertanyaan di atas tidak mendapatkan penekanan yang
sama. Secara umum, kelompok-kelompok kegamaan, khususnya Islam, memberikan soratan
cukup mendasar pada persoalan boleh tidaknya—dari sudut pandang nilai-nilai keagamaan—
melakukan pencangkokan organ.
Literatur Islam mengenai isu ini didominasi oleh pendekatan fikih (hukum/
jurisprudensi). Dan persoalan utama yang mendominasi fikih biasanya terbatas pada masalah
halal-haram , meskipun tidak selalu demikian. Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai
apakah pencangkokan organ diperbolehkan oleh agama dijawab dengan merujuk pada
sumber tekstual utama (Qur’an dan hadis) maupun kitab-kitab hukum fikih.
Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus lain, karena karakter fikih dalam Islam, pendapat
yang muncul tak hanya satu, tapi beragam, dan satu dengan lainnya bahkan terkadang saling
bertolak belakang, meski menggunakan sumber-sumber yang identik. Di sini akan
disampaikan beberapa pandangan yang cukup populer mengenai isu ini.
Pandangan yang menentang pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan:
1. Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang,
karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan
ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk
menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi
mayat: “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya
dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup.”
2. Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah
bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena
itu manusia tak memiliki hak mendonorkannya pada orang lain.
3. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata: pencangkokan dilakukan
dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain; di
sini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa
dipindah-pindah tanpa mengurangi ke-tubuh-an seseorang.
2. Altruisme : ada kewajiban yang amat kuat bagi Muslim untuk membantu manusia lain,
khususnya sesama Muslim; pendonoran organ secara sukarela merupakan bentuk
altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tak menerima
uang untuk tindakannya), dan karenanya dianjurkan. Sekali lagi, untuk ini pun ada
beberapa syarat:
Ada satu implikasi yang menarik dari sini. Jika syarat ini dikombinasikan dengan
kebolehan (dan dalam kasus tertentu kewajiban) melakukan pencangkokan organ, maka
mendonorkan organ bagi Muslim hukumnya adalah wajib-sosial ( fardh kifayah ), yaitu,
dalam suatu komunitas Muslim, adalah kewajiban bagi salah seorang Muslim untuk
mendonorkan organnya jika ada orang lain yang membutuhkan! (Sekali lagi, tentu dengan
memenuhi pembatasan-pembatasan di atas.)
Kasus pencangkokan organ ini termasuk kasus yang agak langka, dimana ada
konsensus yang cukup luas. Meski demikian, ada dua catatan lain yang perlu diberikan.
Pertama , di samping konsensus umum itu, ada beberapa variasi mengenai beberapa hal yang
lebih terinci dan mengenai tingkat keterdesakan (yang paling tinggi menyatakan bahwa
prosedur ini boleh dilakukan hanya dalam kondisi dimana nyawa seseorang benar-benar
terancam dan tak ada jalan lain sama sekali kalau ia masih mau dipertahankan tetap hidup).
Satu contoh dari hal yang spesifik itu adalah adanya fatwa yang menyatakan bahwa
pencangkokan organ hanya boleh diambil dari donor hidup, dan tak boleh membahayakan
nyawa donor—artinya, donor ginjal diperbolehkan, sementara jantung tidak.
Kedua, perlu dicatat bahwa tetap saja ada fatwa-fatwa yang berbeda, meski tak sepopuler
fatwa-fatwa di atas.Yang cukup terkenal di antara penentang pencangkokan organ adalah
mazhab Deoband di Pakistan (dengan ulamanya yang terkenal cukup konservatif, Mufti
Muhammad Syafi’).
Dalam pandangan yang lebih moderat/liberal, keberatan ulama konservatif itu tak
terlalu sulit dijawab. Keberatan utama mereka terkait dengan status tubuh manusia: bahwa
tubuh adalah suci dan tak boleh dihinakan; dan bahwa tubuh bukanlah milik manusia (lihat
tiga alasan yang dibahas di atas). Mengenai yang pertama, argumen yang diambil dari hadis
mengenai larangan mematahkan tulang dapat segera ditolak setelah kita melihat konteks
ucapan Nabi Muhammad itu. Konteksnya adalah peristiwa di mana seorang penggali kubur
yang kasar mematahkan tulang mayat karena kuburan yang sudah digali ternyata terlalu
sempit. Ini jelas perbuatan yang tak menghormati mayat. Sementara dalam pencangkokan
organ, ada tujuan yang jelas, dan tujuan itu amat mulia. Demikian pula, mengambil organ
dengan alasan mulia yang jelas bukanlah tindakan yang melanggar amanah, tapi justru upaya
memenuhi perintah lain Tuhan untuk menyelamatkan hidup sesama manusia.
Pembahasan terakhir membawa kita ke persoalan yang lebih jauh mengenai apa yang disebut
oleh Moosa (2002) sebagai “kosmologi tubuh”. Moosa menganalisis bahwa perbedaan-
perbedaan fatwa tersebut bersumber dari pandangan mengenai tubuh yang berbeda.
Kosmologi tubuh konservatif nyaris menutup hak manusia untuk memperlakukan tubuhnya
sendiri untuk tujuan apapun. Ujung-ujungnya adalah pandangan mengenai takdir yang
deterministik. Dalam konteks lain, kosmologi tubuh ini juga mempengaruhi, misalnya,
pandangan negatif terhadap perempuan, karena, di antaranya, darah menstruasi dipandang
sebagai sesuatu yang najis. Padahal, darah menstruasi dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai
peristiwa biologis/alamiah sepenuhnya, tanpa perlu diberi signifikansi spiritual. Dalam kasus
yang kedua ini lebih tampak jelas adanya inkoherensi antara pandangan konservatif atas
tubuh dengan pandangan mengenai tubuh yang disampaikan sains. Inilah yang dikeluhkan
oleh Moosa: tak adanya koherensi epistemik antara fikih dengan sains di masa ini, sementara
di masa yang lebih awal, pemahaman fikih selalu dilandasi oleh pemahaman ilmiah yang up
to date .
Ditarik lebih jauh, jika kosmologi tubuh modern diterima, maka mungkin tak perlu ada
pembedaan sama sekali antara organ yang diperoleh dari manusia hidup, manusia mati, atau
bahkan dari binatang, kecuali pembedaan yang sifatnya biologis semata. Demikian pula,
pembedaan antara tubuh Muslim dengan non-muslim juga menjadi sesuatu yang tak relevan.
Sebagai catatan terakhir, bisa kita lihat bahwa di antara tiga kelompok persoalan etis
menyangkut pencangkokan organ (yang dibahas pada bagian I di atas), fikih Islam terlalu
condong pada kelompok pertama, mengenai kebolehan prosedur ini dari sudut pandang
pemahaman keagamaan yang kurang luas. Kelompok masalah etis kedua (perolehan dan
distribusi organ) hanya sedikit tersentuh, itu pun sejauh ada hubungannya dengan kelompok
masalah pertama. Benar bahwa, seperti diungkapkan di atas, kelompok masalah kedua
memang terasa jauh lebih urgen di tempat-tempat dimana pencangkokan organ menjadi
prosedur yang amat sering dilakukan, seperti di AS. Meski demikian, jenis-jenis
pencangkokan organ tertentu, khususnya ginjal, sudah cukup lazim pula dilakukan dalam
komunitas Muslim; namun persoalan etika perolehan dan distribusi organ belum cukup
mendapat perhatian.
Situasi ini terjadi kemungkinan besar karena secara umum tradisi etika dalam Islam
kontemporer tak cukup berkembang, terdominasi oleh wacana fikih yang mau tak mau lebih
berkutat pada persoalan-persoalan legal mengenai halal-haram secara intrinsik. Di sisi lain,
jika dalam kasus pelarangan jual beli organ yang muncul terutama adalah alasan teologis, ini
karena pembuat fatwa pada masa kini pun terlalu terpaku pada wacana di masa yang lebih
awal dan kurang memberikan perhatian pada konteks sosial-ekonomi saat ini. Upaya-upaya
me(re-) konstruksi suatu sistem etika Islam telah dilakukan, namun kita belum melihat
munculnya ragam mazhab-mazhab etika yang cukup kuat untuk mendukung perdebatan etis
mengenai masalah-masalah kontemporer. Ini adalah suatu kelemahan yang banyak
dikeluhkan pemikir Muslim, dan sedang diperbaiki, namun kiranya masih membutuhkan
waktu yang cukup lama.