Você está na página 1de 26

Transplantasi ginjal (Cangkok ginjal)

Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara "memanfaatkan" sebuah
ginjal sehat (yang diperoleh melalui proses pendonoran) melalui prosedur pembedahan.
Ginjal sehat dapat berasal dari individu yang masih hidup (donor hidup) atau yang baru saja
meninggal (donor kadaver). Ginjal ‘cangkokan’ ini selanjutnya akan mengambil alih fungsi
kedua ginjal yang sudah rusak.

Kedua ginjal lama, walaupun sudah tidak banyak berperan tetap berada pada posisinya
semula, tidak dibuang, kecuali jika ginjal lama ini menimbulkan komplikasi infeksi atau
tekanan darah tinggi.

CaraTransplantasi
Prosedur bedah transplantasi ginjal biasanya membutuhkan waktu antara 3 sampai 6 jam.
Ginjal baru ditempatkan pada rongga perut bagian bawah (dekat daerah panggul) agar
terlindung oleh tulang panggul. Pembuluh nadi (arteri) dan pembuluh darah balik (vena) dari
ginjal ‘baru’ ini dihubungkan ke arteri dan vena tubuh. Dengan demikian, darah dapat
dialirkan ke ginjal sehat ini untuk disaring. Ureter (saluran kemih) dari ginjal baru
dihubungkan ke kandung kemih agar urin dapat dialirkan keluar.

Pasca Transplantasi Ginjal


Transplantasi Ginjal dinyatakan berhasil jika ginjal tersebut dapat bekerja sebagai
‘penyaring darah’ sebagaimana layaknya ginjal sehat sehingga tidak lagi memerlukan
tindakan Dialisis (cuci darah).

Mencegah Reaksi Penolakan (Rejeksi) terhadap Ginjal 'Baru'


Karena ginjal ‘baru’ ini bukan merupakan ginjal yang berasal dari tubuh pasien sendiri,
maka ada kemungkinan terjadi reaksi tubuh untuk menolak ‘benda asing’ tersebut.
Untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan ini, pasien perlu
mengonsumsi obat-obat anti-rejeksi atau imunosupresan segera
sesudah menjalani transplantasi ginjal. Obat-obat imunosupresan
bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga
mengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap
ginjal cangkokan.

Efek Samping Imunosupresan


Obat imunosupresan dapat membuat sistem imun (daya tahan tubuh terhadap penyakit)
menjadi lemah sehingga mudah terkena infeksi. Efek samping lainnya dari imunosupresan:
wajah menjadi bulat, berjerawat, atau tumbuh bulu-bulu halus pada wajah, juga dapat
menyebabkan peningkatan berat badan. Beritahu dokter jika Anda mengalami efek-efek
samping seperti ini untuk segera ditangani secara tepat.
Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ
dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh
yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak
befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ
dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal.
Organ yang ditransplantasikan disebut Graft. Ada 5 macam Graft:
- Allograft. Terjadi pada 2 orang yang sama spesisnya
- Isograft. Terjadi pada kembar identik
- Autograft. Terjadi dengan bahan tubuh sendiri. Contohnya operasi plastik.
- Xenograft. Transplantasi organ yang berasal dari orang lain ataupun binatang spesies lain.
- Syhthetic graft. Transplantasi bahan buatan untuk menggantikan atau menambah fungsi
aslinya.
1. Apa yang menyebabkan penderita harus menerima transplantasi organ?
Seseorang harus menerima transplantasi organ jika organ orang tersebut mengalami
kerusakan atau tidak berfungsi lagi. Apabila hal tersebut terjadi, maka jalan terbaik adalah
dengan mentransplantasikan organ ke dalam tubuh penderita agar penderita dapat tetap
hidup.

2. Bagaimana cara Transplantasi organ tersebut?


Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara memanfaatkan sebuah
ginjal sehat (yang diperoleh melalui proses pendonoran) melalui prosedur pembedahan.
Ginjal sehat dapat berasal dari individu yang masih hidup (donor hidup) atau yang baru saja
meninggal (donor kadaver). Ginjal ‘cangkokan’ ini selanjutnya akan mengambil alih fungsi
kedua ginjal yang sudah rusak.
Ginjal baru dapat diperoleh dari donor yang baru saja meninggal dunia, atau dari donor
hidup. Donor hidup bisa keluarga, bisa juga bukan – biasanya pasangan atau teman. Jika
anda tidak memiliki donor hidup, anda akan dimasukkan ke dalam daftar tunggu untuk
memperoleh ginjal dari donor meninggal. Masa tunggu tersebut dapat berlangsung bertahun-
tahun.
Petugas transplantasi akan mempertimbangkan tiga faktor untuk menentukan kesesuaian
ginjal dengan penerima (resipien). Faktor tersebut akan menjadi tolak ukur untuk
memperkirakan apakah sistim imun tubuh penerima akan menerima atau menolak ginjal baru
tersebut.
- Golongan darah. Golongan darah penerima (A,B, AB, atau O) harus sesuai dengan
golongan darah donor. Faktor golongan darah merupakan faktor penentu kesesuaian yang
paling penting.
- Human leukocyte antigens (HLAs). Sel tubuh membawa 6 jenis HLAs utama, 3 dari ibu
dan 3 dari ayah. Sesama anggota keluarga biasanya mempunyai HLAs yang sesuai. Resipien
masih dapat menerima ginjal dari donor walaupun HLAs mereka tidak sepenuhnya sesuai,
asal golongan darah mereka cocok, dan tes lain tidak menunjukkan adanya gangguan
kesesuaian.
- Uji silang antigen. Tes terakhir sebelum dilakukan pencangkokan adalah uji silang organ.
Sejumlah kecil darah resipien dicampur dengan sejumlah kecil darah donor. Jika tidak terjadi
reaksi, maka hasil uji disebut uji silang negatif, dan transplantasi dapat dilakukan.
Kedua ginjal lama, walaupun sudah tidak banyak berperan tetap berada pada posisinya
semula, tidak dibuang, kecuali jika ginjal lama ini menimbulkan komplikasi infeksi atau
tekanan darah tinggi.
Prosedur bedah transplantasi ginjal biasanya membutuhkan waktu antara 3 sampai 6
jam. Ginjal baru ditempatkan pada rongga perut bagian bawah (dekat daerah panggul) agar
terlindung oleh tulang panggul. Pembuluh nadi (arteri) dan pembuluh darah balik (vena) dari
ginjal ‘baru’ ini dihubungkan ke arteri dan vena tubuh. Dengan demikian, darah dapat
dialirkan ke ginjal sehat ini untuk disaring. Ureter (saluran kemih) dari ginjal baru
dihubungkan ke kandung kemih agar urin dapat dialirkan keluar.
Karena ginjal ‘baru’ ini bukan merupakan ginjal yang berasal dari tubuh pasien sendiri,
maka ada kemungkinan terjadi reaksi tubuh untuk menolak ‘benda asing’ tersebut. Untuk
mencegah terjadinya reaksi penolakan ini, pasien perlu mengonsumsi obat-obat anti-rejeksi
atau imunosupresan segera sesudah menjalani transplantasi ginjal. Obat-obat imunosupresan
bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi risiko terjadinya
reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal cangkokan.

3. Berapa biaya yang dibutuhkan?


Biaya yang dibutuhkan sangat besar mengingat diperlukannya tenaga ahli dan peralatan yang
cukup rumit. Di Indonesia, biaya untuk mentransplantasikan ginjal tersebut berkisar antara
80 juta sampai dengan 250 juta rupiah.

4. Bagaimana cara menanggulangi kegagalan transplantasi organ?


Cara menanggulangi kegagalan transplantasi organ dapat dilakukan dengan beberapa cara:
- mencari donor yang memiliki golongan darah dan HLAs yg sesuai dengan resipien.
- setelah pembedahan, pasien perlu mengonsumsi obat-obat anti-rejeksi atau imunosupresan
segera sesudah menjalani transplantasi ginjal. Obat-obat imunosupresan bekerja dengan jalan
menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh
terhadap ginjal cangkokan.
Penolakan umumnya terjadi pada setiap proses transplantasi organ. Penolakan biasanya bisa
diatasi dengan menambah dosis atau jumlah obat immunosupresan. jika penolakan tidak
dapat diatasi, berarti pencangkokkan telah gagal.
ginjal yang ditolak bisa dibiarkan di dalam tubuh resipien, kecuali jika:
- demam terus menerus
- air kemih mengandung darah
- tekanan darah tetap tinggi.
jika pencangkokkan gagal, maka harus segera kembali dilakukan dialisa.
upaya pencangkokkan berikutnya bisa dilakukan setelah penderita benar-benar pulih dari
pencangkokkan yang pertama.

Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran berkembang dengan
pesat. Salah satunya adalah kemajuan dalam teknik transplantasi organ. Transplantasi organ
merupakan suatu teknologi medis untuk penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi
dengan organ dari individu yang lain. Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali
berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di
bidang transplantasi maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan
pengawetan organ, penemuan obat- obatan anti penolakan yang semakin baik sehingga
berbagai organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Dalam beberapa kepustakaan
disebutkan bahwa transplantasi organ sudah dilakukan sejak tahun 600 SM, dimana saat itu
Susruta dari India telah melakukan transplantasi kulit.

Ilmu transplantasi modern semakin berkembang dengan ditemukannya metode-


metode pencangkokan, misalnya:
a. Pencangkokan jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernard,
walaupun kemudian resipiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari,
b. Pencangkokan ginjal,
c. Pencangkokan hati,
d. Pencangkokan sumsum tulang,

Sampai saat ini penelitian tentang transplantasi masih terus dilakukan. Permintaan
untuk transplantasi organ terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan organ donor
yang ada. Sebagai contoh di China, pada tahun 1999 tercatat hanya 24 transplantasi hati,
namun tahun 2000 jumlahnya mencapai 78. Sedangkan tahun 2003 angkanya bertambah
hingga 356. Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali transplantasi.
Tidak hanya hati, jumlah transplantasi keseluruhan organ di China memang meningkat sangat
drastis. Setidaknya telah terjadi tiga kali lipat melebihi Amerika Serikat. Ketidakseimbangan
antara jumlah pemberi organ dengan penerima organ hampir terjadi di seluruh dunia4.
1. Transplantasi Organ di Indonesia

Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang kesehatan banyak cara yang dapat
ditempuh untuk memperoleh kesembuhan. Pada kasus-kasus tertentu, transplantasi organ
merupakan jalan yang dapat ditempuh untuk memperoleh kesembuhan. Transplantasi adalah
perpindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari satu individu pada individu itu
sendiri atau pada individu lainnya baik yang sama maupun berbeda spesies.

Saat ini di Indonesia, transplantasi organ ataupun jaringan diatur dalam UU No. 23
tahun 1992 tentang Kesehatan. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis
serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Hal ini tentu saja menimbulkan suatu
pertanyaan tentang relevansi antara Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang dimana
Peraturan Pemerintah diterbitkan jauh sebelum Undang-Undang 2.

Donor adalah orang yang menyumbangkan alat dan atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk tujuan kesehatan. Donor organ dapat merupakan organ hidup ataupun telah
meninggal. Sedangkan resipien adalah orang yang akan menerima jaringan atau organ dari
orang lain atau dari bagian lain dari tubuhnya sendiri. Transplantasi organ dapat
dikategorikan sebagai ‘life saving’ sedangkan transplantasi jaringan dikategorikan sebagai
‘life enhancing’

Jika ditinjau dari sudut penyumbang atau donor alat dan atau jaringan tubuh, maka
transplantasi dapat dibedakan menjadi :
a. Transplantasi dengan donor hidup
Transplantasi dengan donor hidup adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh seseorang ke
orang lain atau ke bagian lain dari tubuhnya sendiri tanpa mengancam kesehatan. Donor
hidup ini dilakukan pada jaringan atau organ yang bersifat regeneratif, misalnya kulit, darah
dan sumsum tulang, serta organ-organ yang berpasangan misalnya ginjal. Sebelum
memutuskan menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi
baik resiko di bidang medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut
sebagai kekurangan jaringan atau organ yang telah dipindahkan. Jika dilakukan pada orang
yang sama dimana donor dan resipien adalah orang yang sama, maka tindakan ini tidak
mempunyai implikasi hukum. Namun akan berbeda jika donor dan resipien adalah orang
yang berbeda, karena tindakan ini melibatkan orang lain yang juga memiliki hak, maka
dengan sendirinya akan memiliki implikasi hukum dan diperlukan undang-undang yang
mengatur.
b. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah
Transplantasi dengan donor mati atau jenazah adalah pemindahan organ atau jaringan dari
tubuh jenazah ke tubuh orang lain yang masih hidup. Jenis organ yang biasanya didonorkan
adalah organ yang tidak memiliki kemampuan untuk regenerasi misalnya jantung, kornea,
ginjal dan pankreas. Seperti halnya dengan transplantasi dengan donor hidup yang melibatkan
dua orang yang berbeda, tindakan ini juga berimplikasi hukum. Biasanya organ terbaik donor
jenazah berasal dari jenazah orang yang masih berusia muda dan tidak mengidap penyakit,
maka donor jenazah terbaik biasanya merupakan korban dari kecelakaan, bunuh diri, maupun
pembunuhan. Yang pada beberapa negara secara hukum berada pada kekuasaan dokter
forensik untuk penyidikan. Di negara tersebut mulai dikembangkan pengambilan organ atau
jaringan tubuh dari donor jenazah di ruang autopsi dilakukan oleh dokter forensik dengan
prosedur aseptik sehingga lebih praktis dan menghemat biaya. Untuk pengambilan organ atau
jaringan tubuh ini dokter forensik bisa dibantu atau diawasi oleh dokter dari bidang lain
sesuai dengan organ yang akan diambil. Sebelum pengambilan organ dilakukan informed
consent pada jenazah-jenazah tersebut, jika jenazah diketahui identitasnya maka informed
consent didapatkan dari keluarga atau ahli warisnya. Namun jika tidak diketahui identitasnya,
maka jenazah tersebut dianggap milik negara sehingga dokter forensik dapat mengambil
organ atau jaringan tubuh untuk kemudian diserahkan pada bank organ dan jaringan tubuh8.
Sedangkan ditinjau dari sudut penerima organ atau resipien, maka transplantasi dapat
dibedakan menjadi:
a. Autotransplantasi
Autotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh
orang itu sendiri2. Biasanya transplantasi ini dilakukan pada jaringan yang berlebih atau pada
jaringan yang dapat beregenerasi kembali. Sebagai contoh tindakan skin graft pada penderita
luka bakar, dimana kulit donor berasal dari kulit paha yang kemudian dipindahkan pada
bagian kulit yang rusak akibat mengalami luka bakar8.
b. Homotransplantasi
Homotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke
tubuh orang lain2. Misalnya pemindahan jantung dari seseorang yang telah dinyatakan
meninggal pada orang lain yang masih hidup.
c. Heterotransplantasi
Heterotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke
tubuh orang lain2. Contohnya pemindahan organ dari babi ke tubuh manusia untuk
mengganti organ manusia yang telah rusak atau tidak berfungsi baik.

Ada beberapa pasal :


Pasal 32 ayat (3) berbunyi: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan
ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan11.
Pasal 34 Ayat (1): Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
sarana kesehatan tertentu.
hukum perdata di Indonesia, seseorang dikatakan sudah cukup umur jika sudah
berumur 21 tahun atau sudah menikah.
Namun Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tidak mengatur organ apa saja yang
boleh disumbangkan. Di beberapa negara transplantasi organ di batasi pada ginjal saja
dengan pertimbangan ginjal meupakan organ vital yang dapat menyelamatkan nyawa dan
orang bisa hidup dengan satu ginjal saja. Sementara untuk organ lain yang tidak berfungsi
menyelamatkan nyawa tidak dibenarkan diambil sebagai donor hidup meskipun individu
tersebut bersedia.
Sedangkan untuk komersialisasi organ dan atau jaringan tubuh manusia lainnya diatur
dalam Pasal 16 dan 17.
Pasal 16 berbunyi: Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu
kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi2.
Pasal 17 berbunyi: Dilarang memperjualbelikan alat dan atau jaringan tubuh manusia2.
Sedangkan pada Pasal 18 diatur tentang pengiriman organ dan atau jaringan tubuh manusia
dari dan ke luar negeri.

Sangsi Yang Berkaitan Dengan Transplantasi Organ


Adanya ketimpangan yang cukup besar antara ketersediaan dengan kebutuhan organ
memungkinkan timbulnya berbagai pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Masalah
komersialisasi organ, kurangnya informed consent, serta pelaksana yang tidak berkompeten
dan membahayakan kesehatan donor.

Pasal 80 Ayat (3) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan
dengan tujuan komersil dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau
transfusi darah sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000,00(tiga ratus
ribu rupiah).

Jika ditinjau dari sudut orang yang akan melakukan transplantasi, maka berdasarkan
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tercantum hukuman bila melakukan transplantasi
tanpa keahlian ataupun dengan unsure kesengajaan seperti yang diatur dalam Pasal 81 Ayat
(1), yang berbunyi: Barang siapa yang tanpa keahlian dengan sengaja: a. melakukan
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).

Sedangkan pada Pasal 81 Ayat (2) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja mengambil organ
dari donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli
waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (2): dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).

Jika sampai terjadi kematian karena tindakan seperti yang diatur dalam pasal-
pasal tersebut diatas, maka UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengatur dalam
Pasal 83 yang berbunyi: Ancaman pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 80, 81.

1. Sebelum melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, seseorang yang memutuskan
menjadi donor harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi baik resiko di bidang
medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan
jaringan atau organ yang telah dipindahkan.

2. Bagi donor jenazah sebelum pengambilan organ dilakukan informed consent pada jenazah
tersebut, jika diketahui identitasnya maka informed consent didapatkan dari keluarga atau ahli
warisnya. Jika tidak diketahui identitasnya, maka jenazah tersebut dianggap milik negara
sehingga dokter forensik dapat mengambil organ atau jaringan tubuh untuk kemudian
diserahkan pada bank organ dan jaringan tubuh.
Berbagai hasil muktamar dan fatwa lembaga-lembaga Islam internasional yang
berkomperten membolehkan praktek transplantasi jenis ini diantaranya konperensi OKI
(Malaysia, April 1969 M ) dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh
diperjualbelikan, Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam (Mekkah, Januari 1985 M.),
Majlis Ulama Arab Saudi (SK. No.99 tgl. 6/11/1402 H.) dan Panitia Tetap Fawa Ulama dari
negara-negara Islam seperti Kerajaan Yordania dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan;

1. Harus dengan persetujuan orang tua mayit / walinya atau wasiat mayit

2. Hanya bila dirasa benar-benar memerlukan dan darurat.

Disamping itu banyak fatwa ulama bertaraf internasional yang membolehkan praktek
tersebut diantaranya: Abdurrahman bin Sa’di ( 1307-1367H.), Ibrahim Alyakubi ( dalam
bukunya Syifa Alqobarih ), Jadal Haq (Mufti Mesir dalam majalah Al-Azhar vol. 7 edisi
Romadhon 1403), DR. Yusuf Qordhowi (Fatawa Mu’ashiroh II/530 ), DR. Ahmad
Syarofuddin ( hal. 128 ), DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu
8/2/1989 ), DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.), DR.
Mahmud As-Sarthowi (Zar’ul A’dho, Yordania), DR. Hasyim Jamil (majalah Risalah
Islamiyah, edisi 212 hal. 69).

Alasan mereka membolehkannya berdasarkan pada; a. ayat al-Qur’an yang


membolehkan mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-benar darurat. (QS.
Al-Baqarah:173, Al-Maidah:3, Al-An’am:119,145, b. anjuran al-Qur’an untuk merawat dan
meningkatkan kehidupan (QS. Al-Maidah: 32.c. ayat-ayat tentang keringanan dan
kemudahan dalam Islam (QS.2:185, 4:28, 5:6, 22:78), d. hal itu sebagai amal jariyah bagi
donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan. e. Allah sangat menghargai
dan memuji orang-orang yang berlaku ‘itsaar’ tanpa pamrih dan dengan tidak sengaja
membahayakan dirinya atau membinasakannya.(QS. 95:9) f. Kaedah-kaedah umum hukum
Islam yang mengharuskan dihilangkannya segala bahaya.

Masalah penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang , maka dapat
kita lihat dua kasus yaitu;
Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak (sapi, kerbau,
kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan termasuk dalam
kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit.

Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai binatang dikarenakan
mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali
dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat. dan tidak ada pilihan lain. Dalam sebuah
riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat
dengan barang haram.” Dalam kaedah fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat”
(darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal”
(Bahaya harus dihilangkan) yang mengacu surat Al Maidah: 3. “Adh Dharurat Tuqaddar
Biqadarihaa” (Peertimbangan kondisi darurat harus dibatasi sekedarnya) Al Baqarah: 173
(Majma’ Annahr : II/535, An-Nawawi dalam Al-Majmu’ : III/138 ).

Adapun dari segi Donor juga harus diperhatikan berbagai pertimbangan skala prioritas yaitu ;

1. menanam jaringan/organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis.

2. Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena
dapat tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya.

3. Mengambil dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam
kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal.

4. Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan di atas.

5. Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping
orang tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) harus berdasarkan kesadaran,
pengertian, suka rela dan tanpa paksaan.

Disamping itu donor harus sehat mental dan jasmani yang tidak mengidap penyakit menular
serta tidak boleh dijadikan komoditas.

 
MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM
 
Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh
dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang
kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, menurut pendapat saya, orang kafir
yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang
murtad yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan
Islam, orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak
dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan satunya
lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
 
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah:71)
 
Bahkan seorang muslim yang saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk
diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah.
Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah
membantunya melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama
makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang mempergunakan nikmat-
nikmat Allah hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang
lain.
 
Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang
lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi,
sebagaimana firman Allah:
 
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)
 
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang tertentu,
sebagaimana ia juga boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang
khusus menangani masalah ini (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat
dan memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri, sehingga sewaktu-waktu dapat
dipergunakan apabila diperlukan.
 
TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH
 
Perlu saya ingatkan disini bahwa pendapat yang
memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti
memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu
--sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah tukar-menukar
harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan
harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan
sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan
jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di
beberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip
dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh
orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk konsumsi
orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan
"mafia baru" yang bersaing dengan mafia dalam masalah
minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.
 
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi
sejumlah uang kepada donor --tanpa persyaratan dan tidak
ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan
pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh),
bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama
dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan
pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak
dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan
terpuji, bahkan Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika
beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang
lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:
 
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu
ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR
Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah)
 
BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?
 
Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian
organ tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak
menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah dia
berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu
setelah dia meninggal dunia nanti?
 
Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan
mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal
ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan --meskipun
kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia
mewasiatkannya setelah meninggal dunia nanti. Sebab yang
demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang
lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan)
sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang
yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah
beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk
mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri
dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala
sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu
pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal
segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang
sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini
dalil tersebut tidak dijumpai.
 
Umar r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai
beberapa masalah, "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi
saudaramu dan tidak memberikan mudarat kepada dirimu,
mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang
dapat dikatakan kepada orang yang melarang masalah
mewasiatkan organ tubuh ini.
 
Ada yang mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan
mayit yang sangat dipelihara oleh syariat Islam, yang
Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
 
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan
tulang orang yang hidup."1
 
Saya tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari
tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara'
yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan
menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya,
sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan)
itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan
penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak
kehormatan tubuhnya.
 
Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah
mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak
mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah
larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan
mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah
dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka
masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang
diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.
 
Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama
salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu
ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar,
andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya,
lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali
perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah
dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada
zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah
sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi,
sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun
demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus
dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan
seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga
meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti
tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya,
menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan
sebagainya.
 
Mendonorkan sebagian organ tubuh sama sekali tidak
menghilangkan semua itu secara meyakinkan.

JUAL BELI ORGAN TUBUH DALAM PRESPEKTIF ISLAM

Dalam terminologi arab jual beli merupakan berasal dari kaidah “ tamlikul maalin bi maalin “
yang artinya menukar harta dengan harta dalam syariat Islam kaidah tersebut berarti menukar
harta dengan harta atas dasar suka sama suka “ tamlikul maalin bimaalin ma’at tarodji “.
Dalam al-Qur’an di nyatakan bahwa allah SWT. telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Ayat tersebut mengindikasiakn bahwa dalam jual beli ada batasan-
batasan yang tidak boleh dilampaui oleh manusia, yang salah satunya adalah jual beli yang
mengandung unsur riba serta jual beli yang dalam pandangan syariat masuk dalam golongan
jual beli barang yang masih samar atau hashot.
Berangkat dari pra wacana di atas, ada suatu hal yang harus kita perhatikan dalam jual beli
yaitu adanya sikap saling merelakan atau ridlo. Imam Syafi’I berpendapat bahwa dalam jual
beli aspek yang paling penting yang harus ada adalah sikap salaing meridlohi. Dengan adanya
sikap saling meridlohi tersebut dapat di ketahui apakah jual beli tersebut sah ataukah tidak.
Pada zaman sekarang ini banyak kita temukan bahwa masyarakat sekarang cenderung untuk
meninggalkan nilai-nilai agama dalam aktivitas sehari-harinya. Fenomena tersebut semakin
hari semakin menjadi jadi. Dalam benak masing-masing orang yang ada adalah bagaima kita
menghasilkan uang atau materi yang banyak dengan jalan yang sangat mudah atau tanpa
memperdulikan rambu-rambu yang telah di tetapkan oleh agama Islam. Salah satu bentuk
kongkrit dari fenomena ini adalah demi mendapatkan uang orang bisa menjual darah atau
ginjalnya.
Oleh sebab itu, dalam pembahasan yang sangat singkat ini akan di kupas pandangan Islam
tentang hukum menjual organ tubuh seperti darah dan ginjal.
B. Pandangan Islam terhadap jual beli organ tubuh manusia.
Islam sebagai agama yang paling terakhir mengariskan seluruh aturan kehidupan yang
tertuang dalam al-Qur’an dan Al-Hadist. Akan tetapi aturan-aturan yang digariskan dalam al-
Qur’an dan Al-Hadist dalam bentuk yang sangat parsial dan sangat gelobal. Tidak terlepas
pada urusan jual beli Islam juga mengaturnya akan tetapi aturan-aturan yang terdapat dalam
Al-Qur’an tersebut lagi-lagi sangatlah gelobal untuk menjawab permasalahan umat yang dari
hari kehari semakin kompleks.
Salah satu bentuk permasalahan jual beli yang tidak di syariatkan oleh Islam adalah jual beli
tentang organ tubuh manusia. Al-Quran hanya menjelaskan bahwa Allah SWT. telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dalam kaidah bahasa arab ketika lafadz itu
berbentuk mufrot dan di masuiki “Al” maka kata tersebut merupakan kata yang “am “. Oleh
sebab itu lafadz Al-Bai’ tersebut merupakan lafadz yang masih umum artinya tidak semua
jual beli dihalalkan oleh Allah SWT. namun ada yang di haramkan seperti jual beli yang
mengandung unsur riba , jual beli barang yang tidak halal , jual beli barang yang najis dan
lain-lain.
Berangkat dari hal ini ada sebuah pertanyaan apakah organ tubuh manusia seperti ginjal dan
darah termasuk dalam bagian barang yang halal ataukah haram untuk di perjual
belikan.dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh Jabir Bin Abdillah menyatakan bahwa
Rosulullah SAW. melarang menjual kelebihan air dan menjualm Mani ( seperma ) unta. Dari
hadist tersebut dapat kita pahami bahwa seperma merupakan bagian dari organ tubuh hewan
yang haram untuk di perjual belikan . hal ini di sebabkan seperma merupakan bukanlah
barang yang halal untuk di perjual belikan.
Walaupun yang di bahas dalam hadist tersebut merupakan larangan menjual seperma
binatang, namun ada sebuah kesamaan yang dapat kita jadikan sebagai acuan untuk
menetapkan hukum dari menjual organ tubuh manusia. Yaitu barang yang di jual tersebut
sama-sama haram untuk di perjual belikan. Dengan menggunakan metode Qiyas yang di
dasarkan atas kesamaan Ilat yang di miliki antara kedua masalah tersebut. Maka dapat kita
simpulkan bahwa organ tubuh baik manusia maupun hewan adalah benda yang haram untuk
di perjual belikan.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah ketika seseorang tersebut
memberikan salah satu organ tubuh yang di milikinya atas dasar kerelaan atau bukan atas
dasar materi / menjual seperti donor darah yang mendapatkan imbalan jasa, apakah hal
tersebut termasuk dalam menjual organ tubuh yang hukumnya adalah haram.
Persoalan tersebut sama halnya dengan ketika kita pinjam uang pada orang lain dan sewaktu
kita mengembalikan uang tersebut kita beri kelebihan atau imbalan sebagai rasa terima kasih
kita. Dalam pandangan syariat hal terserbut di perbolehkan dsan bahkan di anjurakan.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadist Rosulallah SAW. yang di riwayatkan oleh Abu
Huroirah yang mengatakan bahwa Rosulullah bersabda “ penukaran emas dengan emas dan
penukaran perak dengan perak haruslah setimbang , janganlah di krangi dan janganlah di
tambah.” Hadist tersebut mengindikasikan bahwa yang termasuk dalam kategori riba adalah
ketika tambahan tersebut di muat dalam akad tersebut. Dengan demikian apabila tambahan
tersebut tidak di syratkan dalam akadnya maka hal tersebut tidak termasuk dalam riba, akan
tetapi dalam kategori ucapan terima kasih saja.
Dengan demikian pada persoalan di atas di mana seseorang yang memberikan darahnya
kepada orang lain atas dasar suka rela dan tidak mengharapkan imbalan apapun maka hal
tersebut di pelbolehkan atau halal hukumnya. Walaupun setelah itu ia mendapatkan balas jasa
dari orang lain, akan tetapi balas jasa tersebut sebagai ucapan terima kasih.
Dalam sayriat Isalam yang di larang adalah jika sewaktu memberikan darah tersebut atas
dasar menjual belikan maka hal tersebut termasuk dalam menjual barang-barang yang haram,
sehingga hukumnya pun menjadi haram dalam sebuah hadist di jelaskan barang siapa yang
memakan harta yang di dapat dari cara yang haram maka baginya adalah siksa neraka.

C. Kesimpulan
Dari ulasan singkat tersebut dapat kita simpulkan bahwa jual beli organ tubuh manusia
seperti darah dan ginjal adalah perbuatan yang di larang oleh agama. Dengan kata lain jual
beli organ tubuh manusia adalah haram. Hal ini di dasarkan pada hadist Rosulullah yang
mnyatakan bahwa Rosulullah melarang menjual seperma binatang.
Akan tetapi memberikan organ tubuh pada orang lain itu menjadi boleh dan halal bila di
dasarkan atas niat yang ikhlas tidak mengharapkan imbalan apapun juga. Maka hal tersebut di
perbolehkan oleh syariat Islam. Sebagaimana yang terjadi pada saat kiat mengembalikan
uang hutang yang lebih namun hal tersebu atas dasar ucapan terima kasih.

1.apa yg dimaksud transplantasi ginjal?

2.adakah dampak bagi kesehatan orang yg melakukan transplantasi ginjal?


3.adakah pengaruh bagi kesehatan orang lain yg hidup dengan 1 ginjal?

4.syarat apa yg harus dipenuhi bagi pendonor ginjal

5.bagaimana sikap moral kalian terhadap jual beli ginjal seperti kasus diatas?

Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Penanya

1. Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara "memanfaatkan" sebuah ginjal
sehat (yang diperoleh melalui proses pendonoran) melalui prosedur yang sesuai.

2. Biasanya terjadi penolakan imun sistem dalam tubuh, karena transplantasi ginjal tersebut
dianggap sebagai "benda asing" oleh tubuh resipien.

3. Tidak pengaruh apa-apa. Ibarat sampai kita berumur 80 tahun, cuma satu ginjal yang
berfungsi. Jadi tak masalah hidup dengan satu ginjal dan tidak berarti kerja ginjal menjadi
dua kali lebih berat. Asal kita semua membarengi dengan pola hidup sehat.

4. Orang itu harus bertubuh sehat dan mempunyai ginjal yang sehat pula (tidak kelainan).

5. Transplantasi jaringan tubuh hanya boleh dilakukan tenaga-tenaga kesehatan yang


memang berkompeten dan juga memiliki syarat persetujuan dari donor maupun ahli waris.
Jadi menurut saya, selama jual beli ginjal tersebut tergolong tidak ilegal dan dilakukan oleh
para ahli medis, sah-sah saja koq.

Saat ini dunia makin materialistis, sehingga apapun bisa diperdagangkan, tidak terkecuali
organ tubuh manusia. Di Indonesia, diperkirakan ada 70.000 penderita gagal ginjal kronis
yang membutuhkan cangkok ginjal. Jumlah pasien itu tidak sebanding dengan jumlah donor
yang merelakan organnya dipakai orang lain setelah sang donor meninggal. Timpangnya
jumlah permintaan organ tubuh dibandingkan
dengan jumlah pasien inilah yang kemudian menyuburkan praktek illegal jual-beli organ
tubuh manusia. Di dalam KUHP, tidak ada satu pasal pun yang dapat menjadi payung hukum
yang menjelaskan secara detail mengenai tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia
sehingga menyebabkan kesulitan dalam menindak kasus-kasus perdagangan organ tubuh
manusia yang terjadi. Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah
perspektif penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan organ tubuh
manusia
Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan secara yuridis
normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan
pustaka yang berupa literatur dan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang
akan dibahas. Sumber data yang terdapat di dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder
yang diperoleh melalui studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, penegakan hukum terhadap tindak
pidana perdagangan organ tubuh belum sesuai dengan yang diharapkan karena baik di dalam
KUHP, UU. No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan maupun di dalam RKUHP tahun 2004,
tidak ada satu pasal pun yang formulasi isi pasalnya memberikan karakteristik mengenai
tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai praktek jual-beli organ tubuh manusia. Di
KUHP sendiri yang tidak mengatur mengenai tindak pidana perdagangan organ tubuh
manusia, pelaku dapat dikenakan Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP, dan Pasal 362
KUHP. Di dalam UU. No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pelaku tindak pidana
perdagangan organ tubuh dapat dikenai Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 80 ayat (3). RKUHP
tahun 2004 yang belum disahkan sampai sekarang pelaku tindak pidana perdagangan organ
tubuh dapat dikenai Pasal 394 RKUHP tentang transplantasi organ tubuh.
Saran yang dapat diberikan penulis adalah faktor-faktor yang menjadi kendala didalam
hukum pidana yaitu rumusan pasal-pasal yang bisa diterapkan terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan organ tubuh manusia jangan terlalu universal, perlu adanya pengaturan secara
khusus dalam undang-undang khususnya untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) harus ada batasan pengertian, hakikat, dan ruang lingkup tindak pidana
perdagangan organ tubuh manusia sehingga tidak menjadi bias di dalam penerapannya.
Terhadap kebijakan transplantasi organ tubuh manusia ke depannya dapat lebih diperjelas
lagi yaitu dengan adanya suatu undang-undang khusus mengenai transplantasi organ yang
formulasi pasalnya telah mengikuti standar internasional sehingga dapat menjaring semua
perbuatan yang dikategorikan dalam tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia
Transplantasi Organ dalam Pandangan Islam

Posted on Desember 27, 2008 by kuliahbidan

Di antara banyak pertanyaan etis terkait dengan pencangkokan organ seperti yang
sedang hangat – hangat saat ini, ada penekanan yang berbeda di antara komunitas yang
berbeda-beda dari sisi sosial-ekonomi maupun keagamaan. Di AS, misalnya, isu-isu utama
yang dibahas terutama berkisar pada kelompok pertanyaan kedua, mengenai perolehan dan
distribusi organ. Di negara berkembang, sementara penggunaan teknologi ini jauh di
belakang negara maju, banyak isu muncul terkait dengan organ trafficking , sementara
distribusi organ tak menjadi isu.

Pada bagian ini akan dibahas satu contoh respon terhadap pencangkokan organ dari
para pemikir Muslim. Terkait dengan karakter agama Islam maupun konteks sosial Muslim,
tak mengherankan jika tak semua pertanyaan di atas tidak mendapatkan penekanan yang
sama. Secara umum, kelompok-kelompok kegamaan, khususnya Islam, memberikan soratan
cukup mendasar pada persoalan boleh tidaknya—dari sudut pandang nilai-nilai keagamaan—
melakukan pencangkokan organ.

Literatur Islam mengenai isu ini didominasi oleh pendekatan fikih (hukum/
jurisprudensi). Dan persoalan utama yang mendominasi fikih biasanya terbatas pada masalah
halal-haram , meskipun tidak selalu demikian. Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai
apakah pencangkokan organ diperbolehkan oleh agama dijawab dengan merujuk pada
sumber tekstual utama (Qur’an dan hadis) maupun kitab-kitab hukum fikih.

Dari segi metodologi, untuk menjawab masalah-masalah kontemporer ulama mencari


kasus-kasus yang dibahas dalam kitab-kitab lama itu, atau kasus-kasus yang analog
dengannya. Pengambilan keputusan seperti ini dibimbing oleh seperangkat prinsip umum,
yang disebut usul fikih (prinsip-prinsip fikih). Di antaranya, ada prinsip pertimbangan
manfaat dan mudarat (keburukan) dari suatu keputusan; prinsip mendahulukan menghindari
keburukan; prinsip bahwa manfaat yang amat besar dapat mengatasi keburukan-keburukan
inheren yang lebih kecil; prinsip darurat (sesuatu yang dalam keadaan normal tak
diperbolehkan, tapi dalam keadaan darurat diperbolehkan); prinsip maslahah atau
kesejahteraan publik; dan sebagainya.
Dalam hal pencangkokan organ, keputusan-keputusan legal-etis bisa dicari dengan
melihat bagaimana kitab-kitab klasik itu memandang penggunaan bagian-bagian tubuh
manusia untuk tujuan penyembuhan. Kadang-kadang, seperti akan ditunjukkan contohnya di
bawah, upaya ini dilakukan dengan tak memperhatikan konteksnya dengan baik, tapi hanya
melihat kasus dimana organ tubuh manusia diperlakukan meski dalam konteks yang amat
jauh berbeda dengan konteks pencangkokan. Meskipun pendekatan ahistoris semacam ini
telah sering dikritik, tapi masih juga kerap digunakan.

Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus lain, karena karakter fikih dalam Islam, pendapat
yang muncul tak hanya satu, tapi beragam, dan satu dengan lainnya bahkan terkadang saling
bertolak belakang, meski menggunakan sumber-sumber yang identik. Di sini akan
disampaikan beberapa pandangan yang cukup populer mengenai isu ini.

Pandangan yang menentang pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan:

1. Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang,
karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan
ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk
menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi
mayat: “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya
dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup.”

2. Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah
bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena
itu manusia tak memiliki hak mendonorkannya pada orang lain.

3. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata: pencangkokan dilakukan
dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain; di
sini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa
dipindah-pindah tanpa mengurangi ke-tubuh-an seseorang.

Sedangkan pandangan yang mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa dasar,


sebagai berikut

1. Kesejahteraan publik (maslahah) : pada dasarnya manipulasi organ memang tak


diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang bisa
mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia, yang
mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini pun, ada beberapa
kualifikasi yang mesti diperhatikan: Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada
alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa; derajat keberhasilannya cukup tinggi ada
persetujuan dari pemilik organ asli (atau ahli warisnya); penerima organ sudah tahu
persis segala implikasi pencangkokan ( informed consent )

2. Altruisme : ada kewajiban yang amat kuat bagi Muslim untuk membantu manusia lain,
khususnya sesama Muslim; pendonoran organ secara sukarela merupakan bentuk
altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tak menerima
uang untuk tindakannya), dan karenanya dianjurkan. Sekali lagi, untuk ini pun ada
beberapa syarat:

¨ Ada persetujuan dari donor;

¨ Nyawa donor tak terancam dengan pengambilan organ dari tubuhnya;

¨ Pencangkokan yang akan dilakukan berpeluang berhasil amat tinggi.

¨ organ tak diperoleh melalui transaksi jual-beli,

Ada satu implikasi yang menarik dari sini. Jika syarat ini dikombinasikan dengan
kebolehan (dan dalam kasus tertentu kewajiban) melakukan pencangkokan organ, maka
mendonorkan organ bagi Muslim hukumnya adalah wajib-sosial ( fardh kifayah ), yaitu,
dalam suatu komunitas Muslim, adalah kewajiban bagi salah seorang Muslim untuk
mendonorkan organnya jika ada orang lain yang membutuhkan! (Sekali lagi, tentu dengan
memenuhi pembatasan-pembatasan di atas.)

Belakangan ini, di antara lembaga-lembaga pemberi fatwa di dunia Muslim,


pandangan yang dominan adalah pandangan yang mendukung bolehnya pencangkokan organ.
Di antara lembaga semacam itu yang mendukung pencangkokan organ adalah Akademi Fikih
Islam (lembaga di bawah Liga Muslim Se-Dunia, yang berpusat di Arab Saudi) pada fatwa-
fatwanya pada tahun 1985 dan 1988; Akademi Fikih Islam India (1989); dan Dar al-Ifta’
(lembaga otonom semcam MUI, di bawah Departemen Agama, Mesir, yang biasanya
diketuai oleh ulama dari Universitas al-Azhar). Pencangkokan yang diperbolehkan mencakup
autotransplantasi, allotransplantasi, dan juga heterotransplantasi—dalam urutan keterdesakan
(situasi darurat) yang lebih tinggi. Meski demikian, diperbolehkannya pencangkokan organ
ini selalu diikuti syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.

Kasus pencangkokan organ ini termasuk kasus yang agak langka, dimana ada
konsensus yang cukup luas. Meski demikian, ada dua catatan lain yang perlu diberikan.
Pertama , di samping konsensus umum itu, ada beberapa variasi mengenai beberapa hal yang
lebih terinci dan mengenai tingkat keterdesakan (yang paling tinggi menyatakan bahwa
prosedur ini boleh dilakukan hanya dalam kondisi dimana nyawa seseorang benar-benar
terancam dan tak ada jalan lain sama sekali kalau ia masih mau dipertahankan tetap hidup).
Satu contoh dari hal yang spesifik itu adalah adanya fatwa yang menyatakan bahwa
pencangkokan organ hanya boleh diambil dari donor hidup, dan tak boleh membahayakan
nyawa donor—artinya, donor ginjal diperbolehkan, sementara jantung tidak.

Kedua, perlu dicatat bahwa tetap saja ada fatwa-fatwa yang berbeda, meski tak sepopuler
fatwa-fatwa di atas.Yang cukup terkenal di antara penentang pencangkokan organ adalah
mazhab Deoband di Pakistan (dengan ulamanya yang terkenal cukup konservatif, Mufti
Muhammad Syafi’).

Dalam pandangan yang lebih moderat/liberal, keberatan ulama konservatif itu tak
terlalu sulit dijawab. Keberatan utama mereka terkait dengan status tubuh manusia: bahwa
tubuh adalah suci dan tak boleh dihinakan; dan bahwa tubuh bukanlah milik manusia (lihat
tiga alasan yang dibahas di atas). Mengenai yang pertama, argumen yang diambil dari hadis
mengenai larangan mematahkan tulang dapat segera ditolak setelah kita melihat konteks
ucapan Nabi Muhammad itu. Konteksnya adalah peristiwa di mana seorang penggali kubur
yang kasar mematahkan tulang mayat karena kuburan yang sudah digali ternyata terlalu
sempit. Ini jelas perbuatan yang tak menghormati mayat. Sementara dalam pencangkokan
organ, ada tujuan yang jelas, dan tujuan itu amat mulia. Demikian pula, mengambil organ
dengan alasan mulia yang jelas bukanlah tindakan yang melanggar amanah, tapi justru upaya
memenuhi perintah lain Tuhan untuk menyelamatkan hidup sesama manusia.

Tiga catatan kritis atas wacana fikih yang dominan:

Pembahasan terakhir membawa kita ke persoalan yang lebih jauh mengenai apa yang disebut
oleh Moosa (2002) sebagai “kosmologi tubuh”. Moosa menganalisis bahwa perbedaan-
perbedaan fatwa tersebut bersumber dari pandangan mengenai tubuh yang berbeda.
Kosmologi tubuh konservatif nyaris menutup hak manusia untuk memperlakukan tubuhnya
sendiri untuk tujuan apapun. Ujung-ujungnya adalah pandangan mengenai takdir yang
deterministik. Dalam konteks lain, kosmologi tubuh ini juga mempengaruhi, misalnya,
pandangan negatif terhadap perempuan, karena, di antaranya, darah menstruasi dipandang
sebagai sesuatu yang najis. Padahal, darah menstruasi dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai
peristiwa biologis/alamiah sepenuhnya, tanpa perlu diberi signifikansi spiritual. Dalam kasus
yang kedua ini lebih tampak jelas adanya inkoherensi antara pandangan konservatif atas
tubuh dengan pandangan mengenai tubuh yang disampaikan sains. Inilah yang dikeluhkan
oleh Moosa: tak adanya koherensi epistemik antara fikih dengan sains di masa ini, sementara
di masa yang lebih awal, pemahaman fikih selalu dilandasi oleh pemahaman ilmiah yang up
to date .

Ditarik lebih jauh, jika kosmologi tubuh modern diterima, maka mungkin tak perlu ada
pembedaan sama sekali antara organ yang diperoleh dari manusia hidup, manusia mati, atau
bahkan dari binatang, kecuali pembedaan yang sifatnya biologis semata. Demikian pula,
pembedaan antara tubuh Muslim dengan non-muslim juga menjadi sesuatu yang tak relevan.

Sebagai catatan terakhir, bisa kita lihat bahwa di antara tiga kelompok persoalan etis
menyangkut pencangkokan organ (yang dibahas pada bagian I di atas), fikih Islam terlalu
condong pada kelompok pertama, mengenai kebolehan prosedur ini dari sudut pandang
pemahaman keagamaan yang kurang luas. Kelompok masalah etis kedua (perolehan dan
distribusi organ) hanya sedikit tersentuh, itu pun sejauh ada hubungannya dengan kelompok
masalah pertama. Benar bahwa, seperti diungkapkan di atas, kelompok masalah kedua
memang terasa jauh lebih urgen di tempat-tempat dimana pencangkokan organ menjadi
prosedur yang amat sering dilakukan, seperti di AS. Meski demikian, jenis-jenis
pencangkokan organ tertentu, khususnya ginjal, sudah cukup lazim pula dilakukan dalam
komunitas Muslim; namun persoalan etika perolehan dan distribusi organ belum cukup
mendapat perhatian.

Demikian pula, ketakbolehan memperjualbelikan organ diajukan semata-mata dengan


alasan bahwa tubuh seseorang bukan miliknya sendiri. Di luar alasan teologis itu, sebenarnya
ada alasan sosial-ekonomis yang pada saat ini terasa jauh lebih mendesak menyangkut
terjadinya organ trafficking yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga. Yang nyaris absen
dari literatur Islam adalah pembahasan mengenai isu keadilan distributif. Memandang bahwa
keadilan adalah salah satu nilai etis terpenting Islam, nyaris tak adanya pembahasan ini tentu
patut disesalkan. Perhatian yang lebih serius pada aspek keadilan sosial-ekonomi kiranya
akan mengubah wacana pemfatwaan masalah pencangkokan organ.

Situasi ini terjadi kemungkinan besar karena secara umum tradisi etika dalam Islam
kontemporer tak cukup berkembang, terdominasi oleh wacana fikih yang mau tak mau lebih
berkutat pada persoalan-persoalan legal mengenai halal-haram secara intrinsik. Di sisi lain,
jika dalam kasus pelarangan jual beli organ yang muncul terutama adalah alasan teologis, ini
karena pembuat fatwa pada masa kini pun terlalu terpaku pada wacana di masa yang lebih
awal dan kurang memberikan perhatian pada konteks sosial-ekonomi saat ini. Upaya-upaya
me(re-) konstruksi suatu sistem etika Islam telah dilakukan, namun kita belum melihat
munculnya ragam mazhab-mazhab etika yang cukup kuat untuk mendukung perdebatan etis
mengenai masalah-masalah kontemporer. Ini adalah suatu kelemahan yang banyak
dikeluhkan pemikir Muslim, dan sedang diperbaiki, namun kiranya masih membutuhkan
waktu yang cukup lama.

Você também pode gostar