Você está na página 1de 7

Mampukah Jember Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (HDI)?

Oleh: Elida Novita

Upaya Pemerintah Kabupaten Jember untuk mengejar ketertinggalan indeks


pembangunan manusia (IPM) yang berada pada posisi ke-33 dari 38 kabupaten/kota di
Jatim merupakan hal yang perlu dihargai (Kompas, 15/8). IPM atau HDI (Human
Development Index) adalah salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengetahui
apakah pembangunan yang dilakukan suatu daerah telah mengikuti konsep Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development). Sehingga wajar jika muncul pertanyaan
apakah Pemerintah Kabupaten Jember telah menerapkan konsep Pembangunan
Berkelanjutan? Sudah sejauh mana upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Jember
untuk menjalankan pembangunan berdasarkan tiga pilar sosial, ekonomi dan ekologi
(lingkungan) secara seimbang? Tulisan ini mencoba untuk menguraikan bagaimana
konsep pembangunan yang seimbang antara ketiga pendekatan sosial, ekonomi dan
lingkungan dapat diterapkan di Kabupaten Jember, sehingga secara otomatis dapat
meningkatkan HDI.
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu kerangka berpikir yang telah disepakati
oleh 178 negara di dunia termasuk Indonesia pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun
1992. Konsep pembangunan ini lahir karena permasalahan sumber daya alam yang
semakin terbatas, rusaknya lingkungan dan kemiskinan akibat tidak meratanya hasil-hasil
pembangunan. Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya pelaksanaan pembangunan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di masa kini tanpa harus menghalangi
pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Program aksi dunia hasil Konferensi Rio
untuk Pembangunan Berkelanjutan ini dikenal sebagai Agenda 21.
Indonesia menekankan 4 area strategi pembangunan berkelanjutan yang meliputi
(1) pelayanan masyarakat; (2) pengelolaan limbah; (3) pengelolaan sumberdaya
tanah, dan (4) pengelolaan sumber daya alam (Mitchell dkk, 1997). Agenda 21
Indonesia ini kemudian diterapkan di masing-masing daerah berdasarkan karakteristik
daerahnya menjadi Agenda 21 Daerah. Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, pemerintah daerah mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab
dalam menyelenggarakan pembangunannya sendiri. Dengan demikian, pemerintah
daerah memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki.
Dilain pihak, pemda juga berkewajiban menjaga keberlanjutan pembangunan.
Kelestarian siklus sumberdaya alam yang terbarukan harus dijaga dan dipelihara,
sedangkan yang tak terbarukan harus dimanfaatkan searif mungkin.
Masyarakat Kabupaten Jember sekitar 80% berada di daerah perdesaan dengan
karakter penghidupan penduduk yang bersumber dari pertanian. Berdasarkan data profil
Kabupaten Jember tahun 2006, sekitar 50% masyarakat Jember. Bahkan pada tahun
2004, sektor pertanian menyumbang 47,94% PDRB. Pertumbuhan real dari sektor
pertanian terhadap PDRB sekitar 4.02% per tahun.
Tetapi yang perlu menjadi catatan disini, bahwa PDRB hanyalah indikator yang
memiliki keterbatasan. PDRB berusaha menyatakan jumlah dari semua barang dan jasa
yang dihasilkan suatu daerah dalam nilai uang. Tetapi nilai PDRB ini tidak dapat
menggambarkan proses ekonomi yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang
tentunya berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Nilai ini tetap digunakan
hanyalah untuk memudahkan melakukan perkiraan terhadap keadaan makmur-miskin
suatu daerah dan penduduknya. Sehingga perlu ditambah indikator lain terutama yang
berkaitan dengan indikator pembangunan berkelanjutan.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana
pembangunan yang dilakukan dapat meningkatkan hajat hidup masyarakat adalah
indikator kualitas hidup manusia. Manusia dikatakan berkualitas apabila telah terpenuhi
kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan.
Indikator yang sering digunakan untuk menilai pengembangan kualitas hidup manusia
adalah HDI (Human Development Index) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
HDI atau IPM berusaha mengartikan definisi kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar
PDB atau PDRB. HDI memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi tentang
pembangunan manusia yang meliputi panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur
dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang
dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi) dan memiliki
standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/PPP, penghasilan). HDI
memberikan sudut pandang yang lebih luas untuk menilai kemajuan manusia serta
meninjau hubungan yang rumit antara penghasilan dan kesejahteraan.
Pemerintah Kabupaten Jember telah menetapkan 4 sasaran RPJMD meliputi sektor
pertanian, pendidikan, kesehatan dan peningkatan infrastruktur perdesaan. Empat sasaran
RPJMD ini hendaknya mendukung 4 area Agenda 21.
Pertama, agenda pelayanan masyarakat yang mewujudkan prinsip sosial-ekonomi
pembangunan berkelanjutan hendaknya menjadi acuan sasaran di sektor pendidikan dan
kesehatan karena 3 dari 6 sub agenda pertama yaitu pengentasan kemiskinan, pengolahan
dan peningkatan kesehatan dan dinamika kependudukan merupakan upaya peningkatan
taraf hidup masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Pendidikan merupakan bagian dari agenda pemberdayaan masyarakat secara
keseluruhan, karena upaya-upaya pelibatan masyarakat dalam berbagai pilihan
pengelolaan lingkungan tidak akan efektif tanpa meningkatkan pendidikan dasar
masyarakat Jember. Upaya pemerintah Jember seperti program pemberantasan buta
aksara perlu dipertahankan hingga masyarakat Jember benar-benar bebas dari buta
aksara. Peningkatan dapat dilakukan dengan menanamkan pendidikan lingkungan untuk
masyarakat.
Upaya-upaya pengelolaan lingkungan juga akan kurang efektif apabila sebagian
besar masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan. Sebagai contoh apabila kita
ingin melakukan pelarangan pengambilan kayu kepada masyarakat miskin di sekitar
hutan demi memenuhi kebutuhan dasar mereka, akan sulit terwujud apabila masyarakat
tidak memahami bahwa hasil-hasil hutan memiliki nilai ekonomis tinggi apabila hutan
tetap dijaga kelestariannya. Mereka harus diberi pemahaman dan pendidikan bagaimana
memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu dengan tetap menjaga
keberlangsungan ekosistem hutan. Dengan demikian, kebutuhan hidup mereka dapat
terpenuhi dan hutan tetap terjaga.
Faktor kesehatan dan pendidikan merupakan salah satu indikator dalam penilaian
HDI. Kesehatan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kualitas setiap
individu. Indikator yang sering digunakan adalah penggunaan air bersih, frekuensi dan
korban penyakit menular serta rasio penduduk terhadap jumlah dokter. Berdasarkan data
tahun 2005, perbandingan antara tenaga medis (dokter, bidan dan perawat) dengan
jumlah penduduk di Kabupaten Jember adalah 1:2481 (Jember dalam Angka, 2005).
Jumlah tenaga medis masih jauh dibandingkan dengan jumlah penduduk yang terutama
tersebar di daerah perdesaan. Selain itu masih tingginya tingkat rawat inap pasien
berpenyakit diare dan pencernaan di RSU sekitar 40-70% menunjukkan masih rendahnya
pemahaman masyarakat untuk menjaga kesehatan dan lingkungannya. Upaya pelayanan
kesehatan gratis di Puskesmas pun perlu dievaluasi apakah telah menjangkau keseluruhan
masyarakat hingga pelosok desa, mengingat masih terbatas dan tidak meratanya fasilitas
kesehatan dan tenaga medis di Kabupaten Jember.
Kedua, Agenda 21 berikutnya adalah pengelolaan limbah yang dirumuskan untuk
memperbaiki kondisi dan kualitas lingkungan hidup manusia dengan 5 sasaran utama,
yakni: (1)perlindungan atmosfir, (2) pengelolaan bahan kimia beracun, (3) pengelolaan
limbah B3, (4) pengelolaan limbah radioaktif dan (5) pengelolaan limbah padat dan cair.
Persoalan pengelolaan limbah di Indonesia secara umum belum sepenuhnya dapat
ditangani terkait dengan masih kurangnya kapabilitas kelembagaan yang menangani,
instrumen peraturan dalam mendukung pelaksanaan dan pengelolaan limbah.
Permasalahan pengelolaan limbah yang utama di Kabupaten Jember adalah
pengelolaan limbah padat dan cair serta perlindungan atmosfir. Masalah perlindungan
atmosfir terkait dengan polusi udara terutama di daerah kota yang dihasilkan dari asap
kendaraan bermotor. Apabila dikaitkan dengan isu pemanasan global saat ini, maka CO2
sebagai salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bbm merupakan
sumber pencemar dominan bagi pemanasan global. Meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor yang tidak diiringi dengan peningkatan jumlah tumbuhan atau hutan yang
mampu mengabsorpsinya menyebabkan terjadinya peningkatan suhu bumi. Oleh karena
itu perlu ditingkatkan usaha-usaha penjagaan hutan di Jember (sekitar 36%) sebagai
penyerap CO2. Usaha lain misalnya dengan perluasan taman kota. Pemilihan tanaman
untuk taman kota hendaknya yang memiliki kemampuan tinggi untuk menyerap emisi
gas buang kendaraan bermotor.
Masalah penanganan sampah terutama di kota merupakan bagian dari usaha
pengelolaan limbah padat. Sistem controlled landfill dan open dumping yang dijalankan
saat ini di TPA Pakusari perlu dievaluasi sejauh mana kontaminasi terhadap air tanah
karena proses dekomposisi sampah organik. Volume sampah yang masuk ke TPA ini
perharinya mencapai 450m3-500m3 yang sebagian besar adalah sampah organik.
Pertumbuhan penduduk setiap tahunnya tentu akan meningkatkan volume sampah yang
masuk ke TPA, sehingga perlu dipikirkan upaya lain untuk menggantikan teknologi
penanganan sampah saat ini sebelum permasalahan sampah menjadi hal yang kritis
seperti yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Bandung dan
Jakarta.
Perlu diupayakan tindakan pemanfaatan kembali sampah kota secara berkelanjutan
sebagai sumber energi melalui daur ulang sampah yang menghasilkan kompos dan
biogas. Tetapi apabila dimanfaatkan untuk kompos, tingginya kandungan logam berat
(Hg, Pb dan Cd) pada sampah yang melebihi ambang batas perlu dipertimbangkan
hanyalah untuk tanaman non pangan (Pujiati dkk, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan
pemisahan antara sampah organik dan anorganik sebelum masuk ke TPA. Perubahan
pola membuang sampah dengan memilah terlebih dahulu sampah organik dan anorganik
merupakan upaya pendidikan lingkungan terhadap masyarakat. Bahkan masyarakat
terutama di perkotaan dapat mulai menerapkan konsep zero waste (sampah nol) di rumah
tangganya masing-masing, melalui pengkomposan sampah daun-daun di lingkungannya.
Peran PKK menjadi hal yang ditunggu.
Proses pendidikan masyarakat menjadi hal yang penting. Merubah kebiasaan
membuang sampah di sungai perlu dimulai dari sekarang. Mengingat stigma bahwa
sungai adalah tempat buangan masih terasa di dalam masyarakat kita. Sungai Bedadung
yang membelah kota Jember perlu dijaga fungsinya mengingat PDAM saat ini telah
memanfaatkan airnya sebagai salah satu sumber air minum yang disalurkan ke rumah-
rumah. Pencemaran sungai akan meningkatkan biaya pengolahan air dan selanjutnya
tidak menutup kemungkinan bebannya ditanggung oleh masyarakat dengan naiknya
rekening air PDAM.
Apabila kita berjalan-jalan di sekitar alun-alun Jember, kita mungkin dapat
menghitung berapa tempat sampah yang ada sudah berfungsi sebagaimana mestinya.
Mungkin kita lebih mudah mendapatkan sampah berserakan di luar tempat sampah
daripada berada di tempatnya? Ataukah masyarakat sendiri belum memahami mana
sampah basah atau organic atau sampah kering seperti tulisan yang ada di tempat
sampah? Pertanyaan lain adalah MAUKAH ANDA MENYIMPAN TERLEBIH
DAHULU PLASTIK BUNGKUS MAKANAN ANDA DI TAS ATAU DI KANTUNG
SEBELUM ANDA MENEMUKAN TEMPAT SAMPAH?
Pemahaman bahwa suatu hal kecil yang kita lakukan terhadap lingkungan akan
memiliki dampak global, perlu ditekankan sebagai bagian dari pendidikan lingkungan.
Kesadaran bahwa apa yang kita lakukan hari ini adalah bagian dari investasi untuk
generasi anak cucu kita, merupakan konsep pembangunan berkelanjutan. Ingatlah slogan
yang berbunyi: “Berfikir Global dan Bertindak Lokal”, yang artinya upaya-upaya kecil
setempat di tingkat lokal harus dilakukan dalam kerangka berfikir besar yang merujuk
pada kepentingan dunia pada umumnya.
Usaha pengelolaan sumberdaya tanah sebagai agenda ketiga dirumuskan dalam; (1)
penatagunaan sumberdaya tanah, (2) pengelolaan hutan, (3) pengembangan pertanian dan
perdesaan dan (4) pengelolaan sumber daya air. Hal ini berarti bahwa usaha pengelolaan
sumberdaya tanah merupakan usaha terpadu antara keempat unsur tersebut, tidak boleh
dilakukan parsial karena keterkaitan yang erat diantaranya. Keterkaitan berbagai instansi
yang ada di Jember untuk menangani keempat komponen tersebut haruslah diupayakan.
Sebagai contoh adalah upaya manajemen daerah aliran sungai (DAS) Bedadung yang
meliputi keempat unsur tersebut mulai hulu hingga hilir. Ketidakmampuan daerah hulu
menjaga daya dukung lingkungan akan mempengaruhi kondisi daerah hilir. Bencana
longsor dan banjir bandang yang terjadi di Jember awal tahun 2006 adalah salah satu
contoh yang menunjukkan bahwa pengelolaan hutan, penatagunaan sumberdaya tanah di
hulu yang parsial (kawasan Gunung Argopuro) menimbulkan dampak terhadap daerah
hilir.
Sistem penanaman kopi yang monokultur di kawasan perkebunan milik PDP
ternyata kurang melindungi tanah yang rentan longsor (lerengnya curam > 40 derajat)
terhadap curah hujan yang tinggi intensitasnya (yaitu 178 mm/hari dari curah hujan
normal 32 mm/hari). Sehingga memicu terjadinya longsor ke Sungai Dinoyo dan Kali
Putih di Jember. Hal ini didasarkan pada hasil audit BPK terhadap pengelolaan dan
pengendalian lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) Bedadung, Jember, Badan
Pengelola DAS Sampean, serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II dan
sejumlah instansi terkait di Surabaya, Malang, Bondowoso dan Jember, Jawa Timur
(Opini Indonesia, 2006)
Permasalahan di atas terkait dengan agenda keempat yaitu pengelolaan sumberdaya
alam yang meliputi (1) konservasi keanekaragaman hayati, (2) pengembangan
bioteknologi, dan (3) pengelolaan terpadu pesisir dan lautan. Usaha pemerintah di sector
pertanian dan peningkatan infrastruktur perdesaan hendaknya berusaha mewujudkan
agenda ketiga dan keempat pembangunan berkelanjutan tersebut. Pertanian yang
didukung perkebunan dan kehutanan secara berkelanjutan akan meningkatkan PAD
Kabupaten Jember secara sinambung tanpa menimbulkan bencana terhadap lingkungan.
Dalam konteks ini, aspek penataan ruang juga menjadi penting untuk memfasilitasi
proses-proses pemanfaatan dan pelestarian fungsi-fungsi lingkungan. Pengembangan
sistem pendataan dan informasi sumberdaya alam menjadi syarat mutlak berbagai upaya
pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Jember perlu
menghitung keberadaan sumberdaya alam secara ekonomis, tidak hanya nilai ekonomi
langsung yang dihasilkan dari suatu obyek misal hutan, tetapi juga nilai ekonomi dari
manfaat yang dihasilkan oleh hutan tersebut terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga
apabila hutan tersebut dikonversi ke lahan pertanian ataupun ditebang, maka pengguna
hendaknya membayar tidak hanya nilai ekonomi dari pohon yang ditebang tetapi juga
nilai ekonomis dari manfaat yang selama ini diberikan oleh hutan untuk lingkungan.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap pemerintah daerah harus secara
inovatif merumuskan bentuk-bentuk pilihan pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan
kondisi dan persoalan di daerahnya. UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 Tahun
1997 memberikan kewenangan pengelolaan lingkungan kepada daerah agar mampu
mengembangkan model-model pengelolaan lingkungan yang paling efektif. Upaya-upaya
terpadu pengelolaan lingkungan hanya dapat dilakukan apabila difasilitasi oleh rencana-
rencana ruang yang jelas. Hal ini dijelaskan di dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
Pembangunan daerah Jember yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetapi juga melakukan perimbangan antara aspek
ekonomi, sosial budaya, dan ekologis dengan memperhatikan kondisi ruang dan Sumber
Daya Alam (SDA) yang tersedia akan membantu usaha peningkatan HDI secara
signifikan. Pada saat yang sama, pengamanan dan penegakan hukum juga hendaknya
dioptimalkan.
Tentu kita tidak menginginkan bencana longsor dan banjir bandang yang pernah
terjadi terulang lagi, sehingga Pemerintah bersama-sama masyarakat Jember perlu
melakukan usaha perbaikan kembali, konservasi terhadap lahan-lahan kritis,
mengembalikan status hutan lindung, merubah pola eksploitasi terhadap hutan secara
berkelanjutan, merubah pola perkebunan yang monokultur menjadi polikultur sehingga
hutan di Kabupaten Jember dapat menjamin keberlangsungan siklus hidrologi yang
terkendali di saat musim hujan dan terjamin ketersediaan air di saat musim kemarau.
Masyarakat Jember yang memiliki ciri khas perpaduan dari berbagai suku
(mayoritas Jawa dan Madura) dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian (60%)
melahirkan karakteristik masyarakat yang dinamis, kreatif, sopan dan ramah tamah.
Kesuburan alam Jember yang dibentuk oleh serangkaian erupsi beberapa gunung berapi
yang berada di sekitar Jember dan proses sedimentasi berbagai sungai yang mengalir
mendukung keberhasilan sistem pertanian dan perkebunan masyarakat Jember sejak
dahulu. Penerapan pertanian di masa orde baru melalui Panca Usaha Tani telah terbukti
memiliki sisi buruk atau eksternalitas negatif, misalnya erosi tanah, punahnya
keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil-hasil
pertanian dan lain-lain. Oleh karena itu merupakan suatu kelemahan apabila konsep
pertanian yang digunakan saat ini masih mengacu pada pola pertanian yang tidak ramah
lingkungan. Selain itu kebijakan pemberian subsidi harga pupuk dan obat-obatan pada
masa orde baru ternyata membuat petani menjadi tergantung terhadap keberadaan pupuk
dan obat-obatan. Padahal secara jangka panjang, akibat penggunaan pupuk dan obat-
obatan buatan tersebut terhadap tanah adalah kemampuan tanah menjadi jenuh dan tidak
mampu lagi mendukung pertanian sehingga produktivitas menurun dan petani dirugikan.
Kegagalan pertanian modern (masa orde baru) memaksa para pakar pertanian untuk
menggali kembali konsep pengelolaan pertanian yang lestari, pertanian organik yang
ramah lingkungan yang sebenarnya telah diterapkan oleh nenek moyang kita. Sistem
pertanian ini dikenal dengan konsep pertanian berkelanjutan yang berusaha
mempertimbangkan tiga aspek yaitu ; (1) kesadaran lingkungan; (2) bernilai ekonomis
dan (3) berwatak sosial atau kemasyarakatan. Menurut Zamora (1995), terdapat 5 kriteria
untuk mengelola suatu sistem pertanian menjadi berkelanjutan, yaitu (1) kelayakan
ekonomis, pertanian harus mampu menjamin kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi
petani dan keluarganya; (2) bernuansa dan bersahabat dengan ekologi, ada integrasi
antara pertanian dengan sistem ekologi secara luas dan memusatkan perhatian pada upaya
perawatan dan perbaikan sumber daya pertanian; (3) diterima secara sosial, sistem
pertanian yang menjunjung tinggi hak-hak individu petani, baik sebagai pelaku utama
maupun sebagai bagian dari masyarakat; (4) kepantasan secara budaya, sistem pertanian
mampu memberikan pertimbangan dengan nilai-nilai budaya termasuk keyakinan agama
dan tradisi; dan (5) pendekatan sistem dan holistic, sistem pertanian dengan pendekatan
multidisiplin memasukkan semua aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya dan politik,
serta mempertimbangkan interaksi dinamis antara kegiatan pertanian dan kegiatan di luar
pertanian.
Kendala pertanian berkelanjutan saat ini terutama berkaitan dengan kendala sumber
daya manusia (tingkat pendidikan, kesehatan, produktivitas kerja dan kurangnya motivasi
untuk maju), kendala sumber daya alam yang saat ini semakin turun kualitasnya, dan
kendala aplikasi teknologi praktek usaha tani yang mengancam kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu peran pemerintah Kabupaten Jember dalam rangka menjalankan program
peningkatan sektor pertanian diperlukan. Terutama untuk mengurangi kendala aktivitas
pertanian berkelanjutan yang berkaitan erat dengan aspek pendidikan, kesehatan dan
lingkungan. Peran penyuluhan pertanian perlu dibangkitkan kembali. Pemerintah
Jember dapat memilih model sistem pertanian berkelanjutan yang akan dilaksanakan, di
antaranya adalah sistem pertanian organik, sistem pertanian terpadu, sistem pertanian
masukan luar rendah (LEISA) dan sistem pengendalian hama terpadu. Saat ini
sebenarnya telah banyak masyarakat di Jember yang menerapkan salah satu model sistem
tersebut, hanya dalam pelaksanaannya masih sendiri-sendiri sehingga hasilnya belumlah
memadai. Oleh karena itu diperlukan keinginan politik dari Pemerintah Jember untuk
memulai menerapkan sistem pertanian berkelanjutan sebagai bagian dari usaha
peningkatan kualitas hidup masyarakat Jember secara konsisten, yang akhirnya mampu
meningkatkan nilai HDI Jember. Peran masyarakat juga diharapkan terutama dalam
memilih produk yang dihasilkan dari kegiatan usaha bersifat ramah lingkungan. Usaha
ini diharapkan mampu mendukung salah satu prioritas pembangunan tahun 2008 yang
berorientasi pada revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan pembangunan
perdesaan.

ELIDA NOVITA
Mahasiswa Pasca Sarjana
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan –IPB dan staf
pengajar di Universitas Jember

Você também pode gostar