Você está na página 1de 11

Asal-mula Pohon Natal

oleh: Romo William P. Saunders *

Kisah Pohon Natal merupakan bagian dari


riwayat hidup St. Bonifasius, yang nama
aslinya adalah Winfrid. St. Bonifasius
dilahirkan sekitar tahun 680 di
Devonshire, Inggris. Pada usia lima
tahun, ia ingin menjadi seorang biarawan;
ia masuk sekolah biara dekat Exeter dua
tahun kemudian. Pada usia empatbelas
tahun, ia masuk biara di Nursling dalam
wilayah Keuskupan Winchester. St. Bonifasius seorang yang giat belajar,
murid abas biara yang berpengetahuan luas, Winbert. Kelak, Bonifasius
menjadi pimpinan sekolah tersebut.

Pada waktu itu, sebagian besar penduduk Eropa utara dan tengah
masih belum mendengar tentang Kabar Gembira. St. Bonifasius memutuskan
untuk menjadi seorang misionaris bagi mereka. Setelah satu perjuangan
singkat, ia mohon persetujuan resmi dari Paus St. Gregorius II. Bapa Suci
menugaskannya untuk mewartakan Injil kepada orang-orang Jerman. (Juga
pada waktu itu St. Bonifasius mengubah namanya dari Winfrid menjadi
Bonifasius). St. Bonifasius menjelajah Jerman melalui pegunungan Alpen
hingga ke Bavaria dan kemudian ke Hesse dan Thuringia. Pada tahun 722,
paus mentahbiskan St. Bonifasius sebagai uskup dengan wewenang meliputi
seluruh Jerman. Ia tahu bahwa tantangannya yang terbesar adalah
melenyapkan takhayul kafir yang menghambat diterimanya Injil dan
bertobatnya penduduk. Dikenal sebagai “Rasul Jerman”, St. Bonifasius terus
mewartakan Injil hingga ia wafat sebagai martir pada tahun 754. Marilah kita
memulai cerita kita tentang Pohon Natal.

Dengan rombongan pengikutnya yang setia, St. Bonifasius sedang


melintasi hutan dengan menyusuri suatu jalan setapak Romawi kuno pada
suatu Malam Natal. Salju menyelimuti permukaan tanah dan menghapus
jejak-jejak kaki mereka. Mereka dapat melihat napas mereka dalam udara
yang dingin menggigit. Meskipun beberapa di antara mereka mengusulkan
agar mereka segera berkemah malam itu, St. Bonifasius mendorong mereka
untuk terus maju dengan berkata, “Ayo, saudara-saudara, majulah sedikit
lagi. Sinar rembulan menerangi kita sekarang ini dan jalan setapak enak
dilalui. Aku tahu bahwa kalian capai; dan hatiku sendiri pun rindu akan
kampung halaman di Inggris, di mana orang-orang yang aku kasihi sedang
merayakan Malam Natal. Oh, andai saja aku dapat melarikan diri dari lautan
Jerman yang liar

dan berbadai ganas ini ke dalam pelukan tanah airku yang aman dan
damai! Tetapi, kita punya tugas yang harus kita lakukan sebelum kita
berpesta malam ini. Sebab sekarang inilah Malam Natal, dan orang-orang
kafir di hutan ini sedang berkumpul dekat pohon Oak Geismar untuk memuja
dewa mereka, Thor; hal-hal serta perbuatan-perbuatan aneh akan terjadi di
sana, yang menjadikan jiwa mereka hitam. Tetapi, kita diutus untuk
menerangi kegelapan mereka; kita akan mengajarkan kepada saudara-
saudara kita itu untuk merayakan Natal bersama kita karena mereka belum
mengenalnya. Ayo, maju terus, dalam nama Tuhan!”

Mereka pun terus melangkah maju dengan dikobarkan


kata-kata semangat St. Bonifasius. Sejenak kemudian,
jalan mengarah ke daerah terbuka. Mereka melihat
rumah-rumah, namun tampak gelap dan kosong. Tak
seorang pun kelihatan. Hanya suara gonggongan anjing
dan ringkikan kuda sesekali memecah keheningan.
Mereka berjalan terus dan tiba di suatu tanah lapang di
tengah hutan, dan di sana tampaklah pohon Oak Kilat
Geismar yang keramat. “Di sini,” St. Bonifasius berseru
sembari mengacungkan tongkat uskup berlambang salib di atasnya, “di
sinilah pohon oak Kilat; dan di sinilah salib Kistus akan mematahkan palu
sang dewa kafir Thor.”

Di depan pohon oak itu ada api unggun yang sangat besar. Percikan-
percikan apinya menari-nari di udara. Warga desa mengelilingi api unggun
menghadap ke pohon keramat. St. Bonifasius menyela pertemuan mereka,
“Salam, wahai putera-putera hutan! Seorang asing mohon kehangatan api
unggunmu di malam yang dingin.” Sementara St. Bonifasius dan para
pengikutnya mendekati api unggun, mata orang-orang desa menatap orang-
orang asing ini. St. Bonifasius melanjutkan, “Aku saudaramu, saudara
bangsa German, berasal dari Wessex, di seberang laut. Aku datang untuk
menyampaikan salam dari negeriku, dan menyampaikan pesan dari Bapa-
Semua, yang aku layani.”

Hunrad, pendeta tua dewa Thor, menyambut St. Bonifasius beserta


para pengikutnya. Hunrad kemudian berkata kepada mereka, “Berdirilah di
sini, saudara-saudara, dan lihatlah apa yang membuat dewa-dewa
mengumpulkan kita di sini! Malam ini adalah malam kematian dewa
matahari, Baldur yang Menawan, yang dikasihi para dewa dan manusia.
Malam ini adalah malam kegelapan dan kekuasaan musim dingin, malam
kurban dan kengerian besar. Malam ini Thor yang agung, dewa kilat dan
perang, kepada siapa pohon oak ini dikeramatkan, sedang berduka karena
kematian Baldur, dan ia marah kepada orang-orang ini sebab mereka telah
melalaikan pemujaan kepadanya. Telah lama berlalu sejak sesaji
dipersembahkan di atas

altarnya, telah lama sejak akar-akar pohonnya yang keramat disiram


dengan darah. Sebab itu daun-daunnya layu sebelum waktunya dan dahan-
dahannya meranggas hingga hampir mati. Sebab itu, bangsa-bangsa Slav
dan Saxon telah mengalahkan kita dalam pertempuran. Sebab itu, panenan
telah gagal, dan gerombolan serigala memporak-porandakan kawanan
ternak, kekuatan telah menjauhi busur panah, gagang-gagang tombak
menjadi patah, dan babi hutan membinasakan pemburu. Sebab itu, wabah
telah menyebar di rumah-rumah tinggal kalian, dan jumlah mereka yang
tewas jauh lebih banyak daripada mereka yang hidup di seluruh dusun-
dusunmu. Jawablah aku, hai kalian, tidakkah apa yang kukatakan ini benar?”
Orang banyak menggumamkan persetujuan mereka dan mereka mulai
memanjatkan puji-pujian kepada Thor.

Ketika suara-suara itu telah reda, Hunrad mengumumkan, “Tak satu


pun dari hal-hal ini yang menyenangkan dewa. Semakin berharga
persembahan yang akan menghapuskan dosa-dosa kalian, semakin berharga
embun merah yang akan memberi hidup baru bagi pohon darah yang
keramat ini. Thor menghendaki persembahan kalian yang paling berharga
dan mulia.”

Dengan itu, Hunrad menghampiri anak-anak, yang dikelompokkan tersendiri


di sekeliling api unggun. Ia memilih seorang anak laki-laki yang paling elok,
Asulf, putera Duke Alvold dan isterinya, Thekla, lalu memaklumkan bahwa
anak itu akan dikurbankan untuk pergi ke Valhalla guna menyampaikan
pesan rakyat kepada Thor. Orang tua Asulf terguncang hebat. Tetapi, tak
seorang pun berani berbicara.

Hunrad menggiring anak itu ke sebuah altar batu yang besar antara
pohon oak dan api unggun. Ia mengenakan penutup mata pada anak itu dan
menyuruhnya berlutut dan meletakkan kepalanya di atas altar batu. Orang-
orang bergerak mendekat, dan St. Bonifasius menempatkan dirinya dekat
sang pendeta. Hunrad kemudian mengangkat tinggi-tinggi palu dewa Thor
keramat miliknya yang terbuat dari batu hitam, siap meremukkan batok
kepala Asulf yang kecil dengannya. Sementara palu dihujamkan, St.
Bonifasius menangkis palu itu dengan tongkat uskupnya sehingga palu
terlepas dari tangan Hunrad dan patah menjadi dua saat menghantam altar
batu. Suara decak kagum dan sukacita membahana di udara. Thekla lari
menjemput puteranya yang telah diselamatkan dari kurban berdarah itu lalu
memeluknya erat-erat.

St. Bonifasius, dengan wajahnya bersinar, berbicara kepada orang


banyak, “Dengarlah, wahai putera-putera hutan! Tidak akan ada darah
mengalir malam ini. Sebab, malam ini adalah malam kelahiran Kristus,
Putera Bapa Semua, Juruselamat umat manusia. Ia lebih elok dari

Baldur yang Menawan, lebih agung dari Odin yang Bijaksana, lebih
berbelas kasihan dari Freya yang Baik. Sebab Ia datang, kurban disudahi.
Thor, si Gelap, yang kepadanya kalian berseru dengan sia-sia, sudah mati.
Jauh dalam bayang-bayang Niffelheim ia telah hilang untuk selama-lamanya.
Dan sekarang, pada malam Kristus ini, kalian akan memulai hidup baru.
Pohon darah ini tidak akan menghantui tanah kalian lagi. Dalam nama
Tuhan, aku akan memusnahkannya.” St. Bonifasius kemudian mengeluarkan
kapaknya yang lebar dan mulai menebas pohon. Tiba-tiba terasa suatu
hembusan angin yang dahsyat dan pohon itu tumbang dengan akar-akarnya
tercabut dari tanah dan terbelah menjadi empat bagian.

Di balik pohon oak raksasa itu, berdirilah sebatang pohon cemara


muda, bagaikan puncak menara gereja yang menunjuk ke surga. St.
Bonifasius kembali berbicara kepada warga desa, “Pohon kecil ini, pohon
muda hutan, akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini. Pohon ini
adalah pohon damai, sebab rumah-rumah kalian dibangun dari kayu cemara.
Pohon ini adalah lambang kehidupan abadi, sebab daun-daunnya senantiasa
hijau. Lihatlah, bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga.
Biarlah pohon ini dinamakan pohon kanak-kanak Yesus; berkumpullah di
sekelilingnya, bukan di tengah hutan yang liar, melainkan dalam rumah
kalian sendiri; di sana ia akan dibanjiri, bukan oleh persembahan darah yang
tercurah, melainkan persembahan-persembahan cinta dan kasih.”
Maka, mereka mengambil pohon
cemara itu dan membawanya ke desa.
Duke Alvold menempatkan pohon di
tengah-tengah rumahnya yang besar.
Mereka memasang lilin-lilin di dahan-
dahannya, dan pohon itu tampak
bagaikan dipenuhi bintang-bintang.
Lalu, St. Bonifasius, dengan Hundrad
duduk di bawah kakinya, menceritakan
kisah Betlehem, Bayi Yesus di
palungan, para gembala, dan para malaikat. Semuanya mendengarkan
dengan takjub. Si kecil Asulf, duduk di pangkuan ibunya, berkata, “Mama,
dengarlah, aku mendengar para malaikat itu bernyanyi dari balik pohon.”
Sebagian orang percaya apa yang dikatakannya benar; sebagian lainnya
mengatakan bahwa itulah suara nyanyian yang dimadahkan oleh para
pengikut St. Bonifasius, “Kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi, dan
damai di bumi; rahmat dan berkat mengalir dari surga kepada manusia
mulai dari sekarang sampai selama-lamanya.”

Penetapan 25 Desember sebagai Natal

Natal atau Christmas berasal dari kata Christ’s Mass yang


berarti Misa Kristus. Natal pertama kali dirayakan di Roma
tahun 336 AD. Setelah Kaisar Roma yang bernama Konstantin
menyatakan diri menjadi pemeluk agama Nasrani, sudah menjadi
tradisi setiap tanggal 25 Desember, penduduk kota Roma akan
merayakan pesta besar yang disebut ROMAN SATURNALIA
(suatu perayaan untuk menghormati Saturn, dewa pertanian dan
pembaharuan kuasa matahari), untuk menyambut kembalinya
matahari di belahan bumi utara setelah mencapai garis balik
selatan. Ketika siang hari menjadi lebih panjang, dewa matahari
dianggap telah lahir kembali dan mereka bergembira sambil tukar
menukar hadiah. Kemudian tanggal 25 Desember tsb diperingati
sebagai Natal, karena Yesus dianggap “Matahari” yang
menerangi dunia.

Ketetapan untuk menjadikan 25 Desember menjadi hari raya


natal dilakukan oleh Paus Julius I, pada pertengahan abad ke-4 di
kota Roma. Ketetapan tsb tak dapat diterima oleh gereja-gereja di
Yerusalem yang menolaknya sampai abad keenam. Walaupun
demikian, 25 Desember sudah menjdi budaya bagi umat Kristiani
untuk merayakan hari kelahiran Yesus, sampai sekarang.

Namun demikian, walaupun ada


perbedaan tsb, jangan sampai arti
Natal menjadi pudar. Karena pada
kenyataannya, Kristus sudah lahir,
baik secara sejarah maupun
pengalaman bagi yang percaya
padaNya. Mari kita bersikap arif dan
terbuka terhadap perbedaan tsb
tanpa harus saling menghakimi.

Permohonan Gadis kecil


Gadis Cilik yang Berani Memohon
Ketika Amy Hagadorn berjalan
melewati sebuah sudut di lorong dekat
kelasnya, ia berpapasan dengan
seorang anak laki-laki jangkung siswa
kelas lima yang berlari dari arah
berlawanan. "Pakai matamu, Bodoh," maki anak laki-laki
itu, setelah berhasil berkelit dari murid kelas tiga
bertubuh kecil yang hampir ditabraknya. Kemudian,
dengan mimik mengejek, anak laki-laki itu memegang
kaki kanannya dan berjalan menirukan cara berjalan Amy
yang pincang. Amy memejamkan matanya beberapa
saat. Abaikan saja dia, katanya dalam hati sambil
berjalan lagi menuju ke kelasnya. Akan tetapi, sampai
jam pelajaran terakhir hari itu Amy masih memikirkan
ejekan anak laki-laki jangkung itu. Dan, ia bukan satu-
satunya orang yang mengganggunya.
Sejak Amy mulai duduk di kelas tiga, ada saja anak yang
mengganggunya setiap hari, mengejek cara bicaranya
atau cara berjalannya. Kadang-kadang, walaupun di
dalam kelas yang penuh dengan anak-anak, ejekan-
ejekan itu membuatnya merasa sendirian. Di meja makan
malam itu, Amy tidak bicara. Karena tahu ada yang tidak
beres di sekolah, Patti Hagadorn dengan senang hati
berbagi kabar menggembirakan dengan putrinya. "Di
sebuah stasion radio ada lomba membuat permohonan
Natal," kata sang ibu. "Coba tulis surat kepada Santa
Klaus, siapa tahu kau memenangkan hadiahnya. Kupikir
setiap anak yang mempunyai rambut pirang
bergelombang di meja ini harus ikut."Amy tertawa, lalu ia
mengambil pensil dan kertas. "Dear Santa Klaus,"
tulisnya sebagai pembuka. Ketika Amy sedang asyik
membuat suratnya yang paling baik, semua anggota
keluarga mencoba menebak permohonannya kepada
Santa Klaus. Adik Amy, Jamie, dan ibunya sama-sama
menebak bahwa yang paling mungkin diminta oleh Amy
adalah boneka Barbie setinggi satu meter. Ayah Amy
menebak bahwa putrinya meminta sebuah buku
bergambar. Akan tetapi, Amy tidak bersedia
mengungkapkan permohonan Natal-nya yang rahasia.

Di stasiun radio WJLT di Fort Wayne, Indiana, suat-surat


yang datang untuk mengikuti lomba Permohonan Natal
tumpah seperti air bah. Para karyawan stasiun radio
dengan senang hati membaca bermacam-macam hadiah
yang diinginkan oleh anak-anak laki-laki dan perempuan
dari seluruh kota untuk perayaan Natal. Ketika surat Amy
tiba di stasium radio itu, manajer Lee Tobin membacanya
dengan cermat. "Santa Klaus yang Baik, Nama saya Amy.
Saya berusia sembilan tahun. Saya mempunyai masalah
di sekolah. Dapatkah Anda menolong saya, Santa? Anak-
anak menertawakan saya karena cara berjalan saya, cara
berlari saya, dan cara bicara saya. Saya menderita
cerebral palsy. Saya hanya
meminta satu hari saja yang dapat saya lewati tanpa ada
orang menertawai atau mengejek saya. Sayang selalu,
Amy.
Hati Lee terasa nyeri ketika membaca surat itu: Ia tahu
cerebral palsy adalah kelainan otot yang tampak aneh
bagi teman-teman sekolah Amy. Menurutnya ada baiknya
bila semua orang di Fort Wayne mendengar tentang
gadis cilik dengan permohonan Natalnya yang tidak
lazim. Pak Tobin menelepon sebuat koran setempat.
Keesokan harinya, foto Amy dan suratnya kepada Santa
mengisi halaman depan The News
Sentinel. Kisah itu menyebar dengan
cepat. Surat kabar, stasiun radio, dan
televisi di seluruh negeri memberitakan
kisah gadis cilik di Fort Wayne, Indiana,
yang hanya mengajukan sebuah
permohonan sederhana, namun baginya merupakan
hadiah Natal paling istimewa-satu hari tanpa ejekan.
Tiba-tiba, tukang pos menjadi langganan di rumah
keluarga Hagadorn. Amplop berbagai ukuran yang
dialamatkan kepada Amy datang setiap hari dari anak-
anak dan orang dewasa dari seluruh negeri, berisi kartu-
kartu ucapan selamat berlibur dan kata-kata
penghiburan.
Selama masa Natal yang sibuk itu, lebih dari dua ribu
orang dari seluruh dunia mengirimkan surat
persahabatan dan dukungan kepada Amy. Sebagian
penulis surat itu cacat; sebagian pernah menjadi sasaran
ejekan ketika kanak-kanak, tetapi tiap penulis
mempunyai sebuah pesan khusus bagi Amy. Lewat kartu-
kartu dan surat-surat dari orang-orang asing itu, Amy
merasakan sebuah dunia penuh dengan orang-orang
yang betul-betul saling peduli. Ia sadar tidak ada ejekan
dalam bentuk apa pun yang akan pernah membuatnya
merasa kesepian. Banyak orang berterima kasih kepada
Amy atas keberaniannya mengungkapkan isi hati. Yang
lain mendorongnya bertahan terhadap ejekan-ejekan dan
tetap tampil dengan tengadah.
Lynn, seorang siswi kelas enam dari Texas, mengirim
pesan sebagai berikut: Aku senang menjadi temanmu,
dan bila kau mau mengunjungi aku, kita dapat
bersenang-senang. Tidak seorang pun akan mengejek
kita, karena kalau mereka demikian, kita tidak usah
mendengarkan. Permohonan Amy untuk menikmati satu
hari khusus tanpa ada yang mengganggu terpenuhi di
sekolahnya, South Wayne Elementary School. Selain itu,
setiap orang di sekolah memberikan sebuah bonus
tambahan. Guru dan murid berdiskusi tentang bagaimana
perasaan orang yang diejek. Tahun itu, walikota Fort
Wayne secara resmi menyatakan 21 Desember sebagai
Hari Amy Jo Hagadorn untuk seluruh kota. Walikota
menerangkan bahwa dengan keberanian mengajukan
permohonan seperti itu, Amy mengajarkan sebuah
pelajaran universal. "Siapa pun," kata walikota, "ingin dan
berhak diperlakukan dengan hormat, bermartabat, dan
hangat."

A letter from Jesus

As you well know, we are getting closer to my birthday. Every year


there is a celebration in my honor and I think that this year the
celebration will be repeated.

During this time there are many people shopping for gifts, there are
many radio announcements, TV commercials, and in every part of the
world everyone is talking that my birthday is getting closer and
closer. It is really very nice to know, that at least once a year,
some people think of me. As you know, the celebration of my birthday
began many years ago. At first people seemed to understand and be
thankful of all that I did for them, but in these times, no one seems
to know the reason for the celebration. Family and friends get
together and have a lot of fun, but they don't know the meaning of
the celebration. I remember that last year there was a great feast in
my honor. The dinner table was full of delicious foods, pastries,
fruits, assorted nuts and chocolates. The decorations were exquisite
and there were many, many beautifully wrapped gifts.

But, do you want to know something? I


wasn't invited.

I was the guest of honor and they didn't


remember to send me an
invitation. The party was for me, but when
that great day came, I was
left outside, they closed the door in my
face .. and I wanted to be
with them and share their table. In truth, that didn't surprise me
because in the last few years all close their doors to me. Since I
wasn't invited, I decided to enter the party without making any
noise. I went in and stood in a corner. They were all drinking; there
were some who were drunk and telling jokes and laughing at
everything. They were having a grand time.

To top it all, this big fat man all dressed in red wearing a long
white beard entered the room yelling Ho-Ho-Ho! He seemed drunk. He
sat on the sofa and all the children ran to him, saying: "Santa
Claus, Santa Claus"as if the party were in his honor!

At midnight all the people began to hug each other; I extended my


arms waiting for someone to hug me and do you know no-one hugged me.

Suddenly they all began to share gifts. They opened them one by one
with great expectation. When all had been opened, I looked to see if,
maybe, there was one for me. What would you feel if on your birthday
everybody shared gifts and you did not get one?

I then understood that I was unwanted at that party and quietly left.
Every year it gets worse. People only remember the gifts, the
parties, to eat and drink, and nobody remembers me. I would like this
Christmas that you allow me to enter into your life. I would like
that you recognize the fact that almost two thousand years ago I came
to this world to give my life for you, on the cross, to save you.

Today, I only want that you believe this with all your heart. I want
to share something with you. As many didn't invite me to their party,
I will have my own celebration, a grandiose party that no one has
ever imagined, a spectacular party. I'm still making the final
arrangements..

Today I am sending out many invitations and there is an invitation


for you. I want to know if you wish to attend and I will make a
reservation for you and write your name with golden letters in my
great guest book. Only those on the guest list will be invited to the
party. Those who don't answer the invite, will be left outside. Be
prepared because when all is ready you will be part of my great party.

See you soon. I Love you!

Jesus
MERRY
CHRISTM
AST 2010
&
HAPPY
NEW
YEAR
2011

Você também pode gostar