Você está na página 1de 39

TUGAS BAHASA INDONESIA

Nama : I Gede Nata Desrianta


No : 23
Kelas : X1

Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng


Tahun Ajaran 2010/2011
SMA N 1 SINGARAJA
Puisi : Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun
jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Menurut zamannya, puisi dibedakan
atas puisi lama dan puisi baru.

PUISI BARU
Ciri-ciri Puisi Baru:
a) Bentuknya rapi, simetris;
b) Mempunyai persajakan akhir (yang teratur);
c) Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain;
d) Sebagian besar puisi empat seuntai;
e) Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis).
f) Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.

i) Menurut isinya ;

Balada : puisi berisi kisah/cerita.

Puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “ Balada Matinya Aeorang
Pemberontak”

Himne : puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.


Bahkan batu-batu yang keras dan bisu
Mengagungkan nama-Mu dengan cara sendiri
Menggeliat derita pada lekuk dan liku
bawah sayatan khianat dan dusta.
Dengan hikmat selalu kupandang patung-Mu
menitikkan darah dari tangan dan kaki
dari mahkota duri dan membulan paku
Yang dikarati oleh dosa manusia.
Tanpa luka-luka yang lebar terbuka
dunia kehilangan sumber kasih
Besarlah mereka yang dalam nestapa
Mengenal-Mu tersalib di datam hati.
(Saini S.K)

Ode : puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.


Generasi Sekarang
Di atas puncak gunung fantasi
Berdiri aku, dan dari sana
Mandang ke bawah, ke tempat berjuang
Generasi sekarang di panjang masa

Menciptakan kemegahan baru


Pantoen keindahan Indonesia
Yang jadi kenang-kenangan
Pada zaman dalam dunia
(Asmara Hadi)
Epigram : puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.

Hari ini tak ada tempat berdiri


Sikap lamban berarti mati
Siapa yang bergerak, merekalah yang di depan
Yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas.
(Iqbal)

Romance : puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.

Indahnya cinta bila kita dicintai seperti apapun diri kita


Cinta tak bersyarat yg apa adanya
Cukup dengan menyatukan hatiku dan hatimu
Tak perlu yg lainnya
Berbagi

Elegy : puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.

Senja di Pelabuhan Kecil


Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang


menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
(Chairil Anwar)

Satire : puisi yang berisi sindiran/kritik.

Aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur jidad penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi
di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan,
termangu-mangu dl kaki dewi kesenian.
(Rendra)
ii) Menurut bentuknya ;

Distikon :

Berkali kita gagal


Ulangi lagi dan cari akal
Berkali-kali kita jatuh
Kembali berdiri jangan mengeluh
(Or. Mandank)

Terzina :

Dalam ribaan bahagia datang


Tersenyum bagai kencana
Mengharum bagai cendana
Dalam bah’gia cinta tiba melayang
Bersinar bagai matahari
Mewarna bagaikan sari
Dari ; Madah Kelana
Karya : Sanusi Pane

Quatrain :

Mendatang-datang jua
Kenangan masa lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau silau
Membayang rupa jua
Adi kanda lama lalu
Membuat hati jua
Layu lipu rindu-sendu
(A.M. Daeng Myala)

QUINT

Contoh :

Hanya Kepada Tuan


Satu-satu perasaan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan
Yang pernah merasakan
Satu-satu kegelisahan
Yang saya serahkan
Hanya dapat saya kisahkan
Kepada tuan
Yang pernah diresah gelisahkan
Satu-satu kenyataan
Yang bisa dirasakan
Hanya dapat saya nyatakan
Kepada tuan
Yang enggan menerima kenyataan
(Or. Mandank)

SEXTET

Contoh :
Merindu Bagia
Jika hari’lah tengah malam
Angin berhenti dari bernafas
Sukma jiwaku rasa tenggelam
Dalam laut tidak terwatas
Menangis hati diiris sedih
(Ipih)

SEPTIMA

Contoh :
Indonesia Tumpah Darahku
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya
Ditimpah air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
(Muhammad Yamin)

STANZA ( OCTAV )

Contoh :
Awan
Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa di diri
Bertambah halus akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teguh tenang
(Sanusi Pane)

SONETA

Contoh :
Gembala
Perasaan siapa ta ‘kan nyala ( a )
Melihat anak berelagu dendang ( b )
Seorang saja di tengah padang ( b )
Tiada berbaju buka kepala ( a )
Beginilah nasib anak gembala ( a )
Berteduh di bawah kayu nan rindang ( b )
Semenjak pagi meninggalkan kandang ( b )
Pulang ke rumah di senja kala ( a )
Jauh sedikit sesayup sampai ( a )
Terdengar olehku bunyi serunai ( a )
Melagukan alam nan molek permai ( a )
Wahai gembala di segara hijau ( c )
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau ( c )
Maulah aku menurutkan dikau ( c )
(Muhammad Yamin)
CONTOH LAIN :
Ibuku
Karya : Wahyudi

Betapa susah payahnya


Engkau Meahirkan, mendidik, dan membesarkanmku
Engkau adalah perisai hidupku
Engkau adalah cermin hidupku

Aku akan berbakti kepadamu


Aku akan menurut kepadamu
Aku akan melindungi dirimu
Surga ada di telapak kaki ibu

Pengemis Tua

Seorang lelaki tua


Pakaiannya compang-camping
Badannya kurus kering
Mukanya pucat pasi
Dialah pengemis tua

Dia sebatang kara


Setiap hari menyusuri jalan penuh debu
Tidak ada yang peduli
Oh, pengemis tua
Sungguh malang nasibmu

Pengemis tua
Kau tetap tegar
Kau tetap tabah
Menjalani hidupmu
Yang penuh duka nestapa

PUISI LAMA

Puisi lama mempunyai beberapa kaidah mutlak yang harus diikuti,yaitu:

1. Jumlah baris atau jumlah kalimat dalam setiap baitnya.

2. Jumlah suku kata dalam setiap kalimat.

3. Rima atau persamaan bunyi.

4. Irama.

Puisi lama terdiri dari beberapa bentuk yaitu:

Syair
Ciri-ciri syair
Ø Terdiri dari 4 baris
Ø Berirama aaaa
Ø Keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair

CONTOH :

Kepada dirinya ia aniaya


Orang itu jangan engkau percaya
Lidahsuka membenarkan dirinya
Daripada yang lain dapat kesalahannya
Bidal

Ada sama dimakan, tidak ada sama ditahan


Merasakan bahagia bersama-sama, mearsa susahpun bersama-sama

Asal ada, kecilpun pada


Kalau tidak ada rejeki yang banyak, sedikitpun mersa senang

Harap pada yang ada, cemas pada yang tiada


Orang tidak bisa sabar dalam menghadapi masalah

Ketika ada jangan dimakan, bila habis maka dimakan


Uang siampanan jangan dihambur-hamburkan, biar suatu saat tidak menyusahkan diri
sendiri

Mantra
Ciri-ciri:

Ø Berirama akhir abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde.


Ø Bersifat lisan, sakti atau magis
Ø Adanya perulangan
Ø Metafora merupakan unsur penting
Ø Bersifat esoferik (bahasa khusus antara pembicara dan lawan bicara) dan misterius
Ø Lebih bebas dibanding puisi rakyat lainnya dalam hal suku kata, baris dan persajakan.

Contoh:
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu

Pantun
Pantun adalah puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam setiap baitnya. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat isi.Bunyi
huruf terakhir pada kalimat pertama dan ketiga kata terakhir di sebut sajak a. Bunyi huruf
terakhir pada kalimat kedua dan kalimat keempat disebut sajak b. Jadi pantun bersajak
ab-ab.

Ciri – ciri :
Ø Setiap bait terdiri 4 baris
Ø Baris 1 dan 2 sebagai sampiran
Ø Baris 3 dan 4 merupakan isi
Ø Bersajak a – b – a – b
Ø Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
Ø Berasal dari Melayu (Indonesia)

CONTOH :

Planet Mars berwarna merah,


Sungguh indah walau diluar
Daripada kita marah-marah,
Lebih baik kita belajar

Berburu macan di hutan


Ada gajah berndam di sungai
Jangan suka bemalas-malasan
Sifat marah rugikan diri
Banyak jalan di negara Myanmar
Penduduknya senang bertamu
Rajin-rajinlah engakau belajar
Cara mudah mendapat ilmu

Burung camar terbang menari


Jatuh menukik masuk ke laut
Air laut asin sekali
Terkena rambut kusut sekali

Gurindam
Ciri-ciri gurindam
Ø Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian
Ø baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris
pertama tadi.

CONTOH :
Pikir dahulu sebelum berkata
Supaya terelak silang sengketa

Seloka

Seloka disebut juga pantun berbingkai. Bedanya dengan pantun adalah kalimat
ke-2 dan ke-4 pada bait pertama diulang kembali pengucapannya menjadi kalimat ke-1
dan ke-3 pada bait ke-2. Begitu seterusnya, kalimat ke-2 dan ke-4 pada bait kedua akan
diulang lagi pada bait ketiga.

Ciri-ciri seloka
Ø Ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair,
Ø Namun ada seloka yang ditulis lebih dari empat baris.
CONTOH :

Ada nasi dicurahkan


Awak pulang kebuluran
Awak lihir memunggah pasang
Awak sampai selesailh orang
Waktu mudik meningkat surut
Awak sampai laparlah perut

CERITA RAKYAT BALI

JAYAPRANA DAN LAYONSARI

Bulan Berkalang di Buleleng


Di suatu malam tepat pada bulan purnama di pantai Buleleng, banyak orang
terutama para remaja menikmati keindahan bulan purnama di tepi pantai. Tidak
terkecuali Jayaprana dan rekannya Sumitra.
Namun, saat itu kedua pemuda nan gagah melihat ada keanehan pada
penampakan bulan yang tidak seperti biasanya. Bulan purnama kali ini begitu indah
namun di sekelilingnya diselimuti awan, yang oleh banyak orang disebut dengan bulan
berkalang.
Ramalan dari para tetua bulan berkalang merupakan pertanda akan adanya
peristiwa besar yang melibatkan petinggi negara. Oleh Sumitra dikatakan bahwa bulan
berkalang di langit dapat membawa petaka seperti akan adanya pemberontakan atau
bahkan perang yang melibatkan para pengagung kerajaan di Buleleng.
Ketika mereka sedang memperbincangkan masalah bulan berkalang, muncul
teman sekampung mereka Sugriwa. Akhirnya mereka kembali membicarakan pertanda
aneh alam tersebut.
Di tempat lain di sebuah perkampungan di pinggir kota Buleleng, ketika banyak
orang sedang terlelap dalam tidur, dari sebuah rumah lamat-lamat terdengar keluhan
seseorang yang bernada khawatir. Sementara teman lainnya mencoba bertanya tentang
kekawatirannya. Mereka adalah Suarta dengan Budiasta. Mereka pun sedang
memperbincangkan kejadia alam yang sama yang oleh Suarta dijelaskan bahwa sesuai
primbon bulan berkalang sebagai pertanda akan adanya musibah di Buleleng.
Demi memantapkan makna ramalannya baik Suarta dan Budiasta bergegas
menghadap seorang pendeta, yaitu Ida Pedanda Lanang yang kebetulan ayah dari Suarta.
Dariu mulut sang pendeta didapatkan keterangan yang serupa bahwa kejadian bulan
berkalang bermakna buruk bagi negeri Buleleng dan sekitarnya.
Ida Pedanda Lanang lantas menyarankan agar seluruh penduduk negeri
melaksanakan doa bersama agar bencana yang mungkin terjadi tidak sedahsyat ramalan.
Keesokan harinya dari setiap Banjar (bagian terkecil dari lembaga adat di Bali)
mengumumkan akan adanya upacara persembahyangan baik di pura maupun di tepi
pantai Buleleng. Sebagian masyarakat berbondong-bondong ke pura dan sebagian lagi ke
pantai Buleleng. Mereka membawa sesajian dan bunga untuk berdoa kepada Hyang
Widhi agar diberikan keselamatan bagi seluruh masyarakat.
Upacara persembahyangan berlangsung sampai tengah hari, dan dengan dipimpin
oleh Ida Pedanda, setiap warga berdoa kepada Hyang Widhi memohon agar mereka
dijauhkan dari marabahaya .
Seusai upacara persembahyangan bersama tersebut, baik Jayaprana dan kawan-
kawannya masih menyisakan tanda tanya di hati mereka tentang apakah gerangan yang
akan terjadi kelak.

Ancaman dari Karangasem


Hari demi hari berlalu, dan masyarakat telah mulai lupa pada ramalan bulan
berkalang. Mereka kembali pada keseharian mereka, yang bertani menggarap sawah dan
ladang, para nelayan kembali melaut dan para pembuat perhiasan kembali pada
pekerjaannya semula.
Pada suatu hari muncul seorang yang berkuda sedang memacu kudanya menuju
ke arah istana. Di istana, orang tersebut langsung menghadap pada Baginda Raja.
Ternyata diketahui orang tersebut adalah utusan dari Baginda Raja Karangasem, Gusti
Raka. Utusan ini menyerahkan surat rajanya yang intinya berisi kehendak dari raja
Karangasem untuk menyatukan kerajaannya dengan kerajaan Buleleng agar menjadi
kerajaan yang kuat di Bali. Namun, dalam suratnya dinyatakan dengan tegas bahwa bila
Raja Karangasem menjadi raja maka Raja Buleleng menjadi patihnya, demikian juga
sebaliknya.
Oleh karena Baginda Raja Buleleng agak bingung memahami isi surat dari Raja
Karangasem, maka raja mengatakan kepada utusan tersebut bahwa diperlukan adanya
sidang kerajaan untuk memusyawarahkan keinginan dari Raja Karangasem.
Baginda Raja Buleleng yakni Baginda Anak Agung lantas segera mengumpulkan
para petinggi kerajaan, diantaranya I Gusti Wayan Merta yang merupakan Panglima
Kerajaan Buleleng, dan Ida Bagus Sawunggaling salah seorang patih penting di Kerajaan
Buleleng.
Dalam persidangan, setelah mereka mengetahui isi surat tersebut, baik I Gusti
Wayan Merta dan Ida Bagus Sawunggaling begitu marah. Muka mereka merah padam
memendam amarah. Mereka berpendapat bahwa ini adalah siasat dari kerajaan
Karangasem untuk menduduki kerajaan Buleleng. Baik Merta dan Sawunggaling
berpendapat agar raja menolak usul dari Raja Karangasem.
Baginda Raja Buleleng memahami penjelasan dari para petinggi mereka, dan
akhirnya menyetujui usulan penolakan tersebut. Selanjutnya Sri Baginda Raja membuat
balasan surat yang intinya berisi penolakan Raja Buleleng atas usulan dari raja
Karangasem.
Usai surat balasan dipersiapkan, surat tersebut lantas diberikan kepada utusan
Karangasem. Selanjutnya sang utusan pun bergegas kembali ke daerahnya.
Senja harinya, sesampainya di perbatasan antara Karangasem-Buleleng, sang
utusan melihat kaki langit yang berwarna darah. Kaki langit seperti dilukis oleh warna
merah yang berasal dari sisa pantulan matahari yang akan tenggelam. Secara samar-
samar, ia juga mendengar suara parau burung gagak hitam. Di dalam hati si utusan
merasakan suatu kengerian bahwa akan ada sesuatu yang mengerikan terjadi.
Akhirnya sampai pula sang utusan di daerahnya, Karangasem. Baginda Gusti
Bagus Raka menyambut kedatangannya dengan sukacita. Seusai membaca surat balasan,
wajahnya yang tadinya berseri-seri berubah menjadi suram. Tangan Sri Baginda tampak
tegang dan mengepal-ngepal seperti orang yang mau memukul. Beliau sangat murka
telah ditolak tawarannya oleh Baginda Raja Buleleng.
Lantas diutuslah utusan lainnya bernama Caraka untuk membawa surat
berikutnya. Utusan ini mengemban misi yang lebih berat karena beresiko kematian.
Dalam surat kali kedua, intinya berisi ancaman dari Raja Karangasem yang tetap pada
pendiriannya untuk menyatukan kerajaan. Raja Buleleng diberikan tempo satu minggu
untuk menjawab surat. Jikalau tidak ada jawaban maka kerajaan Buleleng akan diserang
dengan mengerahkan seluruh pasukan Karangasem.
Seperti pada surat pertama, kali inipun Baginda Raja Buleleng juga menolak surat
Baginda Raja Karangasem. Dan sepeninggal utusan dari Karangasem, Sri Baginda segera
memanggil semua petinggi kerajaan. Patih Sawunggaling, Panglima Gusti Wayan Merta
dan semua senapati merasakan penghinaan yang mendalam dari surat Baginda Raja
Karangasem.
Dengan ancaman tersebut, raja kemudian menitahkan semua pasukan disiapkan
guna melawan serangan musuh yang sewaktu-waktu datang. Sebagai pimpinan panglima
seluruh pasukan, I Gusti Wayan Merta diperintahkan raja untuk memilih pasukan terbaik
sedangkan Patih Sawunggaling diperintahkan untuk membentuk pasukan rakyat yang
mendukung pasukan utama.
Dari sekian banyak rakyat yang mau mengabdikan diri untuk membela negara
adalah Jayaprana. Dia adalah seorang pemuda desa yang tampan, gagah berani, patuh
pada pimpinan, dan memiliki ilmu kesaktian.

Peperangan antara Buleleng dengan Karangasem


Tepat di hari ketujuh, pasukan Buleleng yang dipimpin oleh Gusti Wayan Merta
dan Sawunggaling telah siap dimana mereka telah di tempatkan pada tempat-tempat
tersembunyi di pelosok desa utamanya di daerah perbatasan.
Semua pasukan rakyat telah bertekad mempertaruhkan nyawa demi membela
negara. Para pemuda menjaga lorong-lorong desa dengan semangat yang menyala,
sementara para wanita membantu menyediakan dapur umum agar para prajurit dan
tentara sukarela tidak kekurangan makanan.
Pada hari kedelapan, tentara besar dari Karangasem yang dipimpin oleh Cokorda
Rai memasuki wilayah Buleleng. Melihat desa dalam keadaan sepi tanpa dikawal prajurit
dan laskar rakyat, senapati Gede Ardana memerintahkan pasukan Karangasem untuk
membakar rumah-rumah warga.
Baru saja mereka memulai aksi pembakaran, lantas berhamburan pasukan
Buleleng keluar dari persembunyiannya. Kedua pasukan mulai bertempur dengan sengit.
Akibat serangan mendadak dari pasukan Buleleng, membuat pasukan yang dipimpin oleh
Gede Ardana mundur teratur.
Banyak korban mulai bergelimpangan dari kedua belah pihak. Darah mulai
membasahi bumi Buleleng. Darah mengalir dari penduduk tanpa dosa karena
keangkaramurkaan seorang raja yang haus akan kekuasaan.
Bala bantuan dari pasukan pimpinan Cokorda Rai mulai memberikan bantuan
pada pasukan dengan pimpinan Senapati Gede Ardana. Perlahan pasukan yang tadinya
mundur mulai menyerang lagi.
Keadaan menjadi berbalik, pasukan Buleleng mulai mundur menuju ke ibu kota
kerajaan. Mengetahui hal ini, Panglima Gusti Wayan Merta segera mengirim bala
bantuan.
Pertempuran menjadi semakin sengit. Sawunggaling kemudian mengerahkan
pasukan cadangan yang terdiri dari pasukan rakyat. Jayaprana, Wayan Gejir, Sumitra,
Sugriwa, dan rekan-rekan lainnya masuk ke medan perang.
Jayaprana dengan sigap menggunakan tombak menerjang musuh. Setiap tusukan
dan pukulan tombak Jayaprana berhasil merobohkan musuhnya. Hal ini sungguh tidak
disangka-sangka oleh Patih Sawunggaling dan Panglima Gusti Wayan Merta. Bashkan
ketika seorang prajurit musuh menyarangkan tombak di tubuh Jayaprana, pemuda gagah
perkasa ini tidak terluka sedikitpun.
Oleh karena semakin banyak prajurit yang tewas di tangan Jayaprana, Panglima
Karangasem Cokorda Rai mulai berang dan akhirnya memutuskan untuk melawan
Jayaprana sendiri. Semakin keras Cokorda Rai melawan Jayaprana, semakin tak karuan
serangannya dan semakin mudah bagi Jayaprana melumpuhkannya.
Akhirnya duel maut tersebut dimenangkan oleh Jayaprana. Namun, musuh yang
tidak berdaya tidak dibunuh oleh Jayaprana, tetapi diijinkan pulang meninggalkan medan
perang dengan syarat semua pasukan Karangasem disuruh mundur dan tidak menyerang
Buleleng lagi.

Jayaprana Diangkat Menjadi Panglima


Kemenangan Buleleng dalam melawan Karangasem menimbulkan kegembiraan
yang luar biasa di kalangan rakyat. Masyarakat menyambut kedatangan pasukan dengan
meriah.
Kemenangan itu sebanarnya adalah kemenangan Jayaprana yang menaklukkan
panglima musuh. Sepanjang jalan rakyat mengelu-elukan Jayaprana dengan sambutan
yang luar biasa. Seluruh lapisan masyarakat, tua muda, besar kecil serempak menyambut
Jayaprana . Semua orang berebut ingin melihat wajah Sang Pahlawan Buleleng.
Kemenangan Jayaprana tersebut telah sampai pula ke telinga Sri Baginda Raja
Buleleng, Ida Anak Agung. Baginda sangat gembira dan berbahagia karena tanpa
Jayaprana, Buleleng hampir saja dikalahkan oleh balatentara Karangasem. Oleh sebab itu
Sri Baginda mengundang persidangan agung di istana. Beliau memanggil Patih
Sawunggaling, Panglima Gusti Wayan Merta, dan para petinggi lainnya. Undangan
istimewa Sang Raja adalah Jayaprana dan beberapa kawan lainnya.
Ketika mengetahui bahwa Jayaprana menghadiri persidangan agung tersebut,
sang panglima I Gusti Wayan Merta sungguh tidak senang. Gusti Wayan Merta
berpendapat tidak sepantasnya seorang rakyat jelata dari kasta Sudra menghadiri
persidangan agung tersebut. Baginya, orang Sudra tidak berhak mendapat kehormatan
seperti para kaum Ksatria.
Demikian halnya yang dirasakan oleh Patih Sawunggaling. Mereka berdua
kecewa dengan keputusan Sri Baginda menghadapkan Jayaprana pada Sang Raja.
Dalam persidangan agung tersebut, Sri Baginda memutuskan untuk mengangkat
Jayaprana yang telah membela negara dengan gagah perkasa menjadi seorang Panglima
Muda Buleleng. Sementara kedua kawannya, Wayan Gejir dan Sugriwa diangkat menjadi
Senapati.
Keputusan raja tersebut sudah tentu mendapat tentangan dari Panglima Gusti
Wayan Merta dan Patih Sawunggaling. Sawunggaling berpendapat bahwa Jayaprana
yang berketurunan kasta Sudra tidak patut mendapat penghargaan tinggi negeri.
Namun demikian, Sri Baginda yang bijaksana tetap pada pendirian dan menolak
saran dari para petinggi. Beliau berpendapat bahwa pranata kasta bagi bangsa tidak sesuai
lagi pada situasi genting saat itu. Menurut beliau, pada hakikatnya setiap manusia sama di
mata Sang Hyang Widhi, apalagi sudah jelas bahwa raja sudah sepantasnya memberikan
anugrah penghargaan yang sesuai bagi para pembela negara.
Beberapa hari kemudian di alun-alun kerajaan Buleleng diadakan upacara
pengangkatan resmi Panglima Muda Jayaprana dan dua senapati yaitu Wayan Gejir dan
Sugriwa. Rakyat berbondong-bondong menyaksikan pengangkatan mereka. Pada malam
harinya diadakan pertunjukan kesenian berupa tari-tarian sebagai penghormatan kepada
ketiga petinggi negara yang baru. Tari-tarian tersebut dibawakan oleh penari-penari muda
nan cantik. Ketika tiba saatnya Tari Oleg dipertunjukkan, maka semua mata terpana oleh
kecantikan si penari, yang tiada lain adalah Layonsari. Mata Jayaprana tak berkedip
terpesona melihat gerak tubuh si penari yang begitu serasi dengan parasnya yang ayu. Dia
begitu kagum pada Layonsari.
Si penari yang ditatap sedemikian rupa, merasakan hatinya bergetar. Layonsari
merasa bahwa hal ini aneh karena setiap saat yang menari dihadapan orang banyak,
belum pernah dia merasakan hatinya yang bergejolak melihat penonton seperti Jayaprana.
Dia berpendapat ternyata Panglima Muda yang baru diangkat raja ternyata tampan juga.
Malam itu Jayaprana sangat gelisah karena hatinya telah terpaut dengan seorang
penari yang belum dikenalnya. Dia memikirkan satu cara bagaimana dia bisa menjumpai
pujaan hatinya.

Jayaprana Melamar Layonsari


Pesta pengangkatan panglima muda dan senapati baru telah usai, namun bagi
Jayaprana pesta tari-tarian seperti masih ada di depannya. Kiranya benih asmara mulai
bersemi di dalam dadanya.
Rupanya Wayan Gejir yang telah menjadi senapati paham dengan kegundahan
hati sahabatnya. Wayan Gejir ternyata kenal dengan orangtuanya bahwa si penari tersebut
bernama Layonsari yang tinggal di desa Banjarsari. Lantas Gejir menyarankan pada
Jayaprana untuk berjalan-jalan sambil mengawasi keamanan ke desa tersebut dan
mencari tahu keberadaan si penari.
Gejir juga menyarankan agar Jayaprana melamar saja gadis pujaan hatinya
tersebut jikalau dia memang sudah sreg dengan pilihan hatinya. Ternyata Jayaprana
memang berniat serius dengan pilihannya dan setuju atas usul Gejir.
Sementara di sebuah rumah di desa Banjarsari, seorang gadis cantik sedang duduk
di undak-undak depan rumahnya. Dialah gadis yang bernama Layonsari, penari terkenal
di Banjarsari. Ternyata si penari sedang diganggu oleh lamunannya tentang si panglima
muda. Hatinya bergetar nan hebat semakin dia hanyut dalam khayalnya. Dia heran
dengan dirinya, dia tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya walaupun telah
bertemu dan ditonton oleh banyak orang. Dalam benaknya, Layonsari mengakui
panglima muda yang menatapnya benar-benar masih muda dan tampan rupawan.
Ketika Layonsari mulai merasakan kerinduan ingin bertemu dengan sang pujaan
hati, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara temannya Darti yang menepuk pundaknya. Darti
kemudian mengajak temannya pergi ke sungai mencuci pakaian, namun Layonsari tidak
ingin pergi saat itu, tetapi dia mengingatkan Darti untuk mengajaknya ke pasar pada hari
pasaran desa esok lusa.
Pada hari itu juga Jayaprana ingin mengajak sahabatnya Wayan Gejir berkunjung
ke Banjasari, namun Gejir berpendapat lebih baik kesana pada hari pasaran desa sehingga
mereka bisa saja bertemu dengan si gadis pujaan Jayaprana.
Tibalah waktunya hari pasaran yang ditunggu-tunggu oleh para pendudukan Desa
Banjarsari. Pada hari pasaran ini Panglima Muda Jayaprana yang diiringi oleh Senapati
Wayan Gejir menyempatkan diri berkunjung. Tujuan mereka ke sana sebenarnya adalah
untuk mencari-cari jikalau Layonsari ada di pasar. Namun, yang dicari dari ujung ke
ujung ke segenap penjuru pasar tidak kunjung kelihatan. Akhirnya mereka memutuskan
langsung pergi ke rumahnya saja.
Sebenarnya yang ditunggu baru saja keluar dari pasar. Layonsari sedang
menunggu temannya yang belum selesai berbelanja. Dan kini mereka hendak bersiap-
siap pulang. Di sebalahnya sudah berdiri Darti. Selanjutnya datang Warsih. Lantas
mereka bergegas pulang ke rumah. Perjalanan dari pasar ke rumah mereka berjarak kira-
kirea 10 km. Cukup jauh mereka harus berjalan menyusuri jalan setapak yang diteduhi
oleh pepohonan yang rindang.
Beberapa saat kemudian ketiga gadis tersebut tercekat kaget karena mereka
dicegat oleh dua laki-laki bertampang tidak ramah. Mereka adalah Made Bandem dan
Ketut Raka. Kedua pemuda ini adalah pemuda bergajulan yang sering membuat onar di
desa. Namun, kali ini dia ingin mengganggu ketiga gadis tersebut. Sudah lama Made
Bandem menaruh hati kepada Layonsari. Namun, lamarannya selalu ditolak oleh
Layonsari. Itu sebabnya pada hari itu Bandem mencoba merayu Layonsari, memaksa
memeluknya, karena dia ingin menikahinya.
Layonsari tidak ingin diperlakukan tidak senonoh oleh seorang pria begundal,
maka dia meronta-ronta dan bahkan tangannya sempat mencakar wajah Made Bandem.
Yang dicakar bahkan tidak melepas pelukannya malahan mempereratnya. Layonsari
semakin berteriak-teriak kalang kabut.
Pada saat itu, jeritannya yang meronta-ronta terdengar oleh Jayaprana dan Wayan
Gejir. Lalu mereka segera menghampiri ke arah datangnya suara itu. Denggan secepat
kilat Jayaprana menyarangkan tendangan dan pukulannya kepada pemuda yang telah
berani menggangu seorang wanita.
Setelah menyadari bahwa yang menghajarnya adalah panglima dan senapati,
maka keduanya Bandem dan Brata segera meminta maaf dan berjanji tidak akan
mengulangi perbuatan mereka.
Layonsari lantas menyatakan rasa terimakasihnya kepada Jayaprana yang telah
menjauhkan dirinya dari usaha pemerkosaan Bandem. Lalu Jayaprana mengusulkan
untuk mengantar ketiga gadis itu pulang ke rumahnya masing-masing. Layonsari merasa
tidak pantas diantarkan oleh seorang panglima karena dia hanya seorang warga dari kelas
rendah. Namun, Jayaprana bersikeras karena bagi beliau jabatannya itu hanya bersifat
sementara, lagipula dia sendiri juga berasal dari kasta yang sama.
Pembicaraan yang singkat namun penuh makna itu menyebabkan Jayaprana
semakin jatuh hati pada Layonsari yang cantik dan juga cerdas.
Akhirnya mereka tiba di rumah Layonsari. Sesampainya di halaman rumahnya
yang sederhana, Jayaprana berkata kepada Layonsari agar dia diperkenalkan dengan
orangtuanya.
Awalnya Nyoman Sujana, ayahanda Layonsari ketakutan mengetahui bahwa ada
dua pejabat tinggi kerajaan mengunjunginya. Dia mengira-ngira kesalahan apa yang
telkah diperbuatnya sehingga mereka mendatangi rumahnya.
Gejirlah yang kemudian menceritakan duduk persoalan yang baru saja dialami
anaknya di pasar, sehingga mereka harus mengantarkan anaknya pulang. Sujana sangat
berterimakasih kepada tamunya kerena telah membela kehormatan anaknya.
Sebagai imbalan atas apa yang dilakukan Jayaprana kepada anaknya, lantas
Sujana menyerahkan Layonsari sebagai pelayan panglima. Tentu usul tersebut ditolak
oleh Jayaprana karena sesungguhnya dia bukan berniat menjadikan Layonsari pelayan,
bahkan lebih dari itu menjadikannya istri.
Ayah Layonsari merasakan karunia yang begitu besar dari Hyang Widhi bahwa
mereka yang berasal dari kasta rendah justru mendapat penghargaan tinggi dimana
Layonsari ingin dipersunting oleh perwira tinggi kerajaan.
Sebelum berpamitan kembali ke kota kerajaan, Jayaprana menjelaskan bahwa
pinangan resmi akan segera dilakukan dalam sepekan.

Kebahagiaan dan Duri Penghalang


Tiba saatnya resmi dilaksanakan dan disusul dengan pernikahan Jayaprana dan
Layonsari di istana. Atas usul Baginda, pernikahan diadakan secara bsar-besaran sebagai
penghargaan raja terhadap panglima muda yang telah banyak berjasa bagi negeri
Buleleng.
Awalnya Baginda agak menyayangkan keputusan Jayaprana menikahi gadis dari
lingkungan di luar kerajaan, namun setelah melihat kecantikan Layonsari dipelaminan,
Baginda baru menyadari bahwa kecantikannya tidak kalah dengan gadis-gadis keraton.
Salah seorang yang sangat kagum dengan kecantikan Layonsari adalah putra
mahkota yang bernama Gusti Agung Ngurah. Anak Agung Ngurah bahkan menyesalkan
mengapa putri secantik itu didapatkan oleh Jayaprana. Dia merasa dirinyalah yang paling
berhak atas Layonsari.
Keadaan ini menyulut kedua petinggi kerajaan yakni Wayan Merta dan
Sawunggaling yang sejak awal penobatan Jayaprana sebagai panglima muda tidak senang
padanya, merencanakan siasat busuknya untuk menghancurkan Jayaprana.
Tidak lama setelah pernikahan, Layonsari mengandung. Dan pada waktunya, dia
melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Jayadarma. Dibesarkan di
lingkungan kerajaan membuat Jayadarma mewarisi ilmu orangtuanya dan mendapatkan
dasar-dasar keprajuritan dan pemerintahan.
Kehidupan pasangan Layonsari dan Jayaprana berjalan dengan penuh
keharmonisan dan kemesraan dengan kehadiran Jayadarma, namun keadaan ini membuat
putra mahkota Anak Agung Ngurah semakin membencinya.
Suatu petang Anak Agung Ngurah didatangi oleh Panglima Wayan Merta dan
Patih Sawunggaling. Tujuannya adalah untuk merencanakan bagimana caranya
menyingkirkan Jayaprana.
Beberapa hari kemudian, Jayaprana dipanggil oleh Raja Buleleng untuk
menghadap ke istana. Tidak seperti biasanya Wayan Merta dan Sawunggaling sudah
lebih awal hadir di istana. Raja lantas menitahkan Jayaprana untuk menumpas kawanan
bajak laut yang sedang beraksi di pantai Barat.
Jayaprana segera meninggalkan istana walaupun dengan perasaan agak heran.
Tugas penumpasan bajak laut tidak berasal dari panglima, melainkan langsung dari sang
raja.
Namun, Jayaprana tetap melaksanakan perintah raja dengan baik. Dia langsung
menyiapkan pasukannya bersama Senapati Wayan Gejir dan Senapati Sugriwa.
Beberapa saat kemudian pertempuran antara pasukan kerajaan dan gerombolan
perompak berlangsung sengit. Gerombolan penyerang tersebut mengenakan penutup
kepala sehingga tidak bisa dikenali. Jayaprana akhirnya dapat merobohkan pimpinannya
yang setelah jatuh tersungkur dibuka kain penutupnya. Disitu Jayaprana terperanjat
ternya gerombolan penyerang tersebut dipimpin oleh orang yang sangat dikenalnya yakni
Oka Atmaja yang tidak lain adalah orang kepercayaan Panglima Wayan Merta.
Oka Atmaja lantas menuturkan kepada Jayaprana bahwa dia diperintah oleh sang
panglima Wayan Merta untuk menyingkirkannya karena dia tidak patut menjadi seorang
panglima muda.
Dengan kemenangan itu, Jayaprana dan pasukannya kembali ke kota kerajaan.
Mengetahui Jayaprana diperdaya oleh Wayan Merta membuat Sang Raja Buleleng murka
dan akhirnya memberikan hukuman kerja paksa seumur hidup padanya. Selanjutnya,
Jayaprana diangkat raja menjadi panglima menggantikan Wayan Merta.
Selama hampir lima tahunan suasana terlihat aman-aman saja. Namun
sesungguhnya terdapat gerakan tersembunyi yang dipimpin oleh Patih Sawunggaling.
Selain menggembleng pasukannya, Jayaprana juga melatih putra semata
wayangnya Jayadarma yang kini berusia 17 tahun menjadi prajurit yang pilih tanding.
Namun, secara mengejutkan tiba-tiba tersiar berita bahwa Baginda Raja Anak
Agung mangkat. Seluruh Buleleng berdukacita, karena mereka kehilangan seorang raja
yang adil dan bijaksana.
Setelah upacara pembakaran mayat Ngaben dilaksanakan, para pembesar kerajaan
berkumpul untuk menentukan pemangku kerajaan selanjutnya. Semua sepakat
mengangkat Gusti Anak Agung Ngurah menjadi raja berikutnya.
Tindakan politik pertama yang dilakukan raja baru adalah membebaskan Wayan
Merta dari hukuman kerja paksa, bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat kerajaan.
Hal ini tentu sangat menyakitkan hati Jayaprana dan pembesar istana lainnya karena
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Suatu hari panglima Jayaprana mendapat laporan dari senapati Wayan Gejir dan
Sugriwa bahwa terdapat pasukan pengacau yang melancarkan serangan di perbatasan
Karangasem. Laporan tersebut kemudian dilbawa ke istana. Di istana telah berkumpul
Raja, penasihat raja Wayan Merta dan Patih Sawunggaling.
Betapa terkejutnya Jayaprana ketika raja mengatakan bahwa para pengacau itu
dicurigai adalah kelompok yang dipimpin oleh Jayaprana. Dia telah difitnah oleh orang
yang tidak bertanggung jawab. Lantas Jayaprana bersumpah atas nama Hyang Widhi
bahwa para perusuh itu bukan atas suruhannya.
Raja lantas menitahkan Jayaprana untuk mengadakan perlawanan terhadap
perusuh di perbatasan. Namun, sebelum Jayaprana melaksanakan tugas tersebut, beliau
meminta kepada raja agar Patih Sawunggaling dan penasihat Wayan Merta menjadi saksi
dalam melaksanakan perintah raja. Ini dilakukan Jayaprana agar dia tidak menjadi bahan
fitnahan.
Agar rekayasa kejahatan tidak bocor, maka raja dengan terpaksa mengijinkan
kedua petinggi tersebut ikut serta dalam pasukan Jayaprana sebagai saksi.
Gugurnya Jayaprana
Di suatu pagi Jayaprana berjalan-jalan di halaman istana dengan istrinya
Layonsari. Mereka berdua bersyukur atas kenikmatan kesehatan, keharmonisan, dan
seorang putra yang telah tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Saat itu pula Layonsari
tidak lupa mengutarakan mimpi buruknya kepada suaminya. Dalam mimpinya istana
dilanda banjir yang dahsyat, semua dibawa arus termasuk di dalamnya suaminya
Jayaprana yang dihanyutkan oleh air yang sangat deras. Layonsari begitu cemas dengan
mimpinya tersebut. Dia mengatakan kerisauannya pada suaminya bahwa dia tidak
mampu jikalau dia harus terpisah dengan suaminya tercinta.
Hari berikutnya Jayaprana kembali bertugas menumpas para perusuh di
perbatasan Karangasem sesuai dengan perintah sang raja. Dia lantas bergegas ke alun-
alun untuk mempersiapkan pasukannya.
Pemberangkatan semua pasukan dilakukan langsung oleh Sri Baginda. Pasukan
pertama dipimpin oleh Panglima Wayan Gejir, pasukan berikutnya oleh Jayaprana, yang
diikuti oleh pasukan kecil lainnya di belakangnya untuk mengawal Patih Sawunggaling
dan Penasihat Wayan Merta.
Di dalam hutan mereka mendirikan tenda-tenda tempat menginap. Pada suatu
malam nan gelap dan sunyi, Jayaprana melaksanakan tugas melaksanakan pengamanan di
sekitar tenda. Namun begitu terperanjatnya dia ketika menyaksikan Panglima Wayan
Merta dibelit oleh seekor ular raksasa. Saat itu pula dengan sigap Jayaprana memberikan
pertolongan sehingga Wayan Merta selamat dari maut. Sementara di luar sana di dekat
api unggun Patih Sawunggaling sedang berjuang dengan maut yang menghampirinya.
Dia dihadang oleh seekor harimau yang siap merobek-robek tubuhnya. Seketika itu pula
Jayaprana menolongnya mengusir harimau tersebut.
Keesokan harinya pasukan kerajaan melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di
perbatasan, mereka menyebar ke segenap sisi perbatasan. Perangpun akhirnya tak
terelakkan. Pertarungan prajurit antara kedua belah pihak berlangsung dengan dahsyat.
Korban pun banyak yang berjatuhan.
Saat berikutnya tiba-tiba muncul lima orang berwajah seram dan mengepung
posisi Jayaprana. Mereka ternyata jagoan dari Blambangan. Mereka begitu yakin akan
memenangkan pertempuran itu dengan Jayaprana. Bahkan salah seorang dari mereka
mengatakan bahwa mereka mendapat amanat dari tiga orang yang sangat membencinya
untuk memenggal leher Jayaprana. Mereka adalah Sri Baginda Raja Buleleng, Panglima
Wayan Merta dan Patih Sawunggaling. Begitu terkejutnya Jayaprana mengetahui kalau
salah seorang yang sangat membencinya adalah Sri Baginda Raja Buleleng.
Walaupun kekuatan tidak seimbang, Jayaprana meladeni serangan-serangan
kelima jagoan tersebut. Pertarungan hebat tidak terelakkan dan tiga dari jagoan tersebut
dapat dikalahkan oleh Jayaprana, namun di saat dia kehilangan banyak tenaga maka dua
jagoan yang tersisa menghujaninya dengan pukulan telak yang menyebabkannya jatuh
tersungkur. Jayaprana terluka hebat, Wayan Gejir menghampirinya. Di pangkuan
temannya itu, Jayaprana menghembuskan nafas terakhirnya. Dia gugur sebagai seorang
pahlawan. Setelah diadakan upacara pemakaman sederhana, jenazah Jayaprana
dimasukkan ke liang lahat, demikian pula dengan prajurit lainnya yang tewas.
Baru saja upacara pemakaman selesai, hujan turun dengan derasnya diikuti oleh
kilat dan petir yang sambung menyambung. Semua orang merasa sedih dan ketakutan.
Sementara Wayan Merta dan Patih Sawunggaling tidak kelihatan batang hidungnya.
Esok harinya semua pasukan yang tersisa kembali ke kota kerajaan. Sebelum
meninggalkan tempat, mereka memberikan penghormatan terakhir kepada panglima yang
gagah nan perkasa, Jayaprana. Dalam perjalanan mereka melihat sesosok mayat. Setelah
diteliti dengan seksama mereka mengetahui bahwa mayat tersebut adalah Wayan Merta.
Ternyata dia meninggal akibat disambar petir. Tubuhnya hangus terbakar. Tidak jauh dari
situ, kembali lagi sesosok mayat lainnya ditemukan. Ternyata mayat itu adalah Patih
Sawunggaling. Tubuhnya dalam kondisi mengenaskan karena tercabik-cabik harimau.
Mereka telah mati karena iri dengkinya. Walaupun mereka telah dengan jahatnya
memperdaya Jayaprana, semua prajurit tetap menghormatinya sehingga melaksanakan
upacara pemakaman untuk mereka.

Gugurnya Layonsari dan Runtuhnya Raja Angkara


Suasana pagi di kota kerajaan Buleleng terasa dingin oleh hujan lebat yang terjadi
malam sebelumnya. Iring-iringan prajurit yang dipimpin Panglima Muda Wayan Gejir
mulai memasuki kota.
Beberapa penduduk merasa heran karena iring-iringan tidal langsung menuju ke
alun-alun pusat kota melainkan ke sebuah istana di pinggir kota yang merupakan
kediaman Panglima Jayaprana.
Mengetahui Panglima Muda Wayan Gejir memasuki areal rumahnya tanpa
suaminya, segera Layonsari menanyakan dimana keberadaan suaminya. Wayan Gejir
akhirnya menceritakan duduk persoalannya.
Berita tersebut membuat Layonsari jatuh pingsan, dan langsung saja tubuh ibunya
ditahan oleh Jayadarma. Begitu murkanya Layonsari ketika mengetahui bahwa suaminya
gugur karena diperdaya oleh tiga orang penguasa kerajaan.
Setelah berbicara dengan Panglima Muda Wayan Gejir, dan senapati Sugriwa,
Jayadarma maupun Layonsari sepakat menuntut bela atas kematian Jayaprana yang telah
dibunuh oleh raja yang lalim.
Akhirnya istana dikepung dari segala penjuru oleh pasukan yang dipimpin oleh
Wayan Gejir. Kemudian Wayan Gejir meminta pertanggungjawaban raja yang telah
memfitnah dan berlaku tidak adil pada Jayaprana serta merekayasa perang di perbatasan.
Namun, raja menolak sehingga perang antara pasukan utama kerajaan dengan
pasukan pimpinan Wayan Gejir tidak teralakkan. Walaupun dari segi jumlah, pasukan
Wayan Gejir lebih sedikit, namun karena bertempur dengan semangat juang yang tinggi,
pasukan Gejir mampu merobohkan pintu gerbang istana.
Pasukan istana akhirnya menyerah kalah ketika mengetahui senapati Manggala
yang memimpinnya dilumpuhkan oleh senapati Wayan Gejir.
Sementara itu, Wayan Gejir, Layonsari, dan Jayadarma sedang mencari-cari
dalang malapetaka ke berbagai ruangan istana. Mereka tidak menemukan raja yang tidak
bertanggung jawab itu.
Ketika Gejir menemukannya di sebuah lorong sempit, dia mengingatkan agar raja
menyerah saja. Namun, baginda menolak, sehingga pertempuran dengan raja yang lalim
pun kembali berlangsung. Layonsari meminta kepada Gejir untuk menghadapi Baginda.
Keris Baginda dan Layonsari pun saling beradu. Awalnya raja meremehkan kemampuan
Layonsari memainkan keris karena dia seorang perempuan. Di saat raja lengah,
Layonsari memanfaatkan kesempatan untuk menyarangkan kerisnya di tubuh Sang Raja.
Tak pelak lagi darah mengucur dari tubuh sang raja, namun raja juga sempat meyabetkan
kerisnya di tubuh Layonsari sehingga dari tubuh wanita ini juga keluar darah mengucur.
Keduanya roboh bersimbah darah.
Jayadarma segara menolong ibunya yang tergolek lemah. Layonsari puas ketika
mengetahui dari anaknya bahwa raja yang angkara murka akhirnya tewas di tangannya.
Beberapa saat kemudian Layonsari pun menemui ajalnya. Jayadarma sangat sedih
melihat kenyataan bahwa dia telah ditinggal oleh kedua orangtuanya. Namun, Panglima
Muda Wayan Gejir menasehatinya agar kuat hatinya karena ayah-ibunya berani
mengorbankan jiwa raga untuk membela kebenaran dan keadilan.

Tema dan Amanat


Peristiwa yang dikisahkan dalam cerita “Jayaprana dan Layonsari” adalah seorang
anak manusia dari kasta rendah di Bali yaitu kasta Sudra, yang bernama Jayaprana
mendapat kedudukan tinggi di kerajaan Buleleng karena jasanya membela negeri.
Pertemuannya dengan Layonsari, yang juga dari kasta rendah namun pandai, berhati
mulia dan sangat setia serta selalu membela kebenaran, memberikannya kebahagiaan
hidup. Namun, sang putra mahkota raja Buleleng yang memang dasar mata keranjang
sangat tergila-gila pada Layonsari. Setelah putra mahkota mengambil alih tampuk
pemerintahan menjadi raja, sifat dan tabiat buruknya yang ingin mempersunting istri
orang lain, dan selalu mementingkan diri sendiri membawa kerajaan Buleleng pada
keruntuhan. Baik Jayaprana dan Layonsari akhirnya meninggal sebagai pahlawan
pembela kebenaran.
Tema dari cerita ini adalah bahwa kerajaan yang dipimpin oleh raja yang hanya
mementingkan dirinya sendiri dan tidak berlaku bijaksana bagi rakyatnya akan membawa
kehancuran bagi negerinya.
Amanat yang terkandung dalam cerita ini adalah hendaknya seorang raja haruslah
menjadi raja yang bijaksana, tidak mementingkan diri sendiri, tidak melirik istri orang
lain, selalu mengayomi rakyat, dan selalu berlaku adil demi kebenaran. Sudah selayaknya
seorang penguasa suatu kerajaan atau negara melihat orang tidak berdasarkan pada kasta,
yang cenderung mendiskriminasi manusia, tetapi lebih berdasarkan kemampuan dan
pengabdian. Dengan demikian kerajaan atau negara menjadi tenteram sehingga dapat
mensejahterakan rakyatnya.
Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam cerita “Jayaprana dan Layonsari” adalah
sebagai berikut:

Berserah Diri kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)


Berserah diri kepada Sang Pemilik kehidupan adalah satu sikap yang membuat
manusia merasakan ketentraman dan kedamaian dalam hidup. Ketika manusia tidak tahu
apa yang mesti diperbuat dalam memecahkan satu masalah, maka satu-satunya cara
adalah hanya berpasrah diri menyerahkan semuanya pada Tuhan Yang Maha
Merencanakan.
Ketika diramalkan oleh Ida Pedanda (pendeta) bahwa kerajaan Buleleng akan
menghadapi suatu malapetaka melalui pertanda alam yang terjadi yaitu bulan berkalang,
semua penduduk segera mempersiapkan upacara doa bersama agar negeri dapat
dihindarkan dari marabahaya. Hal ini dapatdilihat pada kutipan di bawah:
Peristiwa ini harus segera diumumkan kepada umat yang ada di negeri ini. Dan kita akan
mengadakan doa bersama, agar bencana yang mungkin akan terjadi itu tidak sedahsyat seperti
ramalan tersebut (hlm.11).

Keesokan harinya dari setiap Banjar – bagian terkecil dari lembaga adat di Bali – mengumumkan
akan diadakan upacara sembahyang baik di pura dan di tepi pantai Buleleng. Sebagian orang
berbondong-bondong ke pura, sebagian lainnya ke pantai. Mereka membawa sesajen dan bunga
untuk berdoa kepada Sang Hyang Widhi agar diberikan keselamatan dan kesentosaan bagi seluruh
rakyat negeri (hlm.13).

Sikap pasrah juga ditunjukkan oleh Jayaprana ketika suatu saat Layonsari
menyatakan kecemasannya sebagai istri seorang panglima yang mendapat tugas
bertempur, seperti kutipan di bawah.
“Ya, aku paham, Dinda. Tapi semua itu adalah takdir Gusti Yang Maha Adil. Hidup mati manusia
ada dalam genggaman Dia. Tidak setiap orang gugur dalam peperangan, banyak pula prajurit yang
mati di tempat tidurnya malahan dalam pengawasan istrinya. Sudahlah jangan merasa takut.
Semuanya kita pasrahkan kepada Gusti Yang Maha Kuasa.” (hlm.86)
Musyawarah
Ketika Sri Baginda Raja Buleleng mendapatkan surat dari Raja Karangasem, yang
intinya berisi keinginan dari raja Karangasem untuk mempersatukan kerajaannya dengan
kerajaan Buleleng, Sri Baginda Raja Buleleng Anak Agung tidak serta merta menyetujui
atau menolak usul tersebut. Berliau bahkan mengundang semua petinggi kerajaan untuk
memusyawarahkannya dalam sidang kerajaan untuk memberikan jawaban yang terbaik
sebagai balasan suratnya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan berikut.
“Wahai utusan dari Karangasem, karena hal ini menyangkut secara keseluruhan, maka kami akan
mengadakan sidang terlebih dahulu.” (hlm.18)

“Wahai para petinggi Kerajaan Buleleng, aku panggil kalian untuk membicarakan surat dari
Karangasem ini. Coba perhatikan isi surat ini dengan seksama. Dan selanjutnya apa kira-kira
pendapat kalian?” (hlm. 18).

Setelah ada kata sepakat dengan seluruh pembesar negeri, Sri Baginda menulis surat balasan
kepada Raja Karangasem. Semua sepakat dengan jawaban Baginda Raja Buleleng. Barulah
kemudian utusan dari Karangasem yang menginap di tempat khusus dipanggil ke istana. (hlm.20).
Dari kutipan di atas, tampak bahwa Baginda Raja Buleleng sangat berhati-hati
dalam memberikan jawaban surat dari Raja Karangasem. Apalagi usul tersebut
mengandung penguasaan terhadap suatu negeri. Di sini raja menunjukkan
kebijaksanaannya dalam menentukan suatu keputusan yang akan berpengaruh bagi
seluruh negeri. Untuk itulah beliau mengundang satu sidang khusus untuk membicarakan
hal tersebut secara musyawarah untuk mencapai suatu kata mufakat. Sebelum rapat
memutuskan akan meolak usul Raja Karangasem, semua petinggi kerajaan diminta saran
dan pendapatnya. Setelah kesepakatan bersama itulah, Baginda Raja Buleleng baru
menentukan sikap kemana kerajaan tersebut akan dibawa.

Kebijaksanaan
Walaupun Raja Buleleng kelihatannya diremehkan kemampuannya oleh Raja
Karangasem melalui surat yang kedua, tetapi di depan Caraka yang menjadi utusan
kedua, sang raja Buleleng tidak menunjukkan kemarahannya. Beliau justru menunjukkan
sikap penghargaannya kepada Caraka tersebut dan bahkan dengan tanpa menyinggung
utusan tersebut, raja Buleleng memohon maaf bila beliau menolak dengan tegas usul dari
Raja Karangasem. Hal ini tercermin pada kutipan di bawah ini:
“Wahai utusan dari Karangasem, kami mohon maaf bila menolak usul Baginda Raja
Karangasem.” Sampaikan salamku pada beliau, Raja Karangasem, bahwa kami Kerajaan Buleleng
menolak ancaman yang ditujukan kepada kami.” (hlm.24).
Disamping kebijaksanaan Sri Baginda Raja Buleleng dalam menghadapi pihak
lawan dengan tetap berlaku baik, sebagai pemimpin suatu negara Sri Baginda juga
menunjukkan kebijaksanaannya dengan tidak membeda-bedakan manusia dilihat dari
kastanya. Ketika beliau ditentang oleh para petinggi kerajaan seperti Panglima Gusti
Wayan Merta dan Patih Sawunggaling saat pengangkatan Jayaprana menjadi Panglima
Muda dan teman-temannya Wayan Gejir dan Sugriwa menjadi senapati, Baginda Raja
tetap pada pendirian bahwa manusia tetap sama di mata Hyang Widhi dan bahwa ketika
negara dalam keadaan genting semua hal yang menyangkut soal kasta dan keturunan
perlu dikesampingkan. Ini bisa diketahui dari kutipan di bawah ini:
“Aku telah mendapatkan apa yang tersirat di balik ucapan kalian ini. Mengapa pada saat-saat
genting kita masih bicara soal kasta dan keturunan? Pranata kasta bagi bangsa kita sungguh tidak
sesuai, karena sebenarnya setiap manusia adalah sama di mata Sang Hyang Widhi. Dan yang
berbeda adalah kepatuhannya kepada perintah-perintahNya. Kupikir pandangan kalian berdua
sungguh picik dan sempit. Aku sebagai raja mempunyai pemikiran sendiri akan sesuatu masalah.”
(hlm.44-45)
Nilai kebijaksanaan dan keadilan juga ditunjukkan pada cerita ketika Raja
Buleleng mangkat. Seluruh rakyat berdukacita mendalam dengan kepergiannya. Berikut
adalah petikannya.
Dalam suasana aman dan damai itu, secara mengejutkan Baginda Anak Agung meninggal dunia.
Seluruh rakyat Buleleng berdukacita, karena ditinggalkan oleh raja yang adil dan bijaksana. Beliau
tidak pernah membeda-bedakan derajat dan pangkat apalagi kasta. (hlm. 80)

Kepatuhan kepada Raja (Atasan)


Jayaprana adalah seorang pemuda desa dari kasta terendah di Bali, kasta Sudra.
Kasta yang lebih rendah sudah selayaknya hormat kepada kasta yang lebih tinggi, apalagi
kepada sang raja yang menjadi penguasa negeri. Ketika dia harus berjuang membela
negara menjadi pasukan rakyat, Jayaprana dan rekan-rekannya menunjukkan pengabdian
yang besar kepada raja dengan ikut ambil bagian sebagai prajurit. Mereka siap membela
negara sampai titik darah penghabisan. Di bawah ini adalah beberapa kutipan yang
menunjukkan kepatuhan Jayaprana dan rekan-rekannya dalam membela negara dan
kebenaran.
Jayaprana di kampungnya terkenal sebagai seorang pemuda yang tampan dan juga seorang yang
gagah berani, patuh pada pimpinan dan orang yang juga punya ilmu kesaktian.” (hlm. 26).
Kepatuhan Jayaprana sebagai Panglima kerajaan Buleleng yang dipimpin oleh
raja baru yaitu putra mahkota tidak pernah luntur. Walaupun saat itu ada rencana dari raja
baru yaitu Baginda Raja Anak Agung Ngurah untuk menyingkirkannya dengan tipu
muslihat adanya bajak laut di pantai Barat Buleleng, namun Jayaprana tetap melakukan
perintah itu. Di bawah ini adalah kutipan tentang hal itu.
“Baiklah, kalau Baginda mengijinkan bolehlah hamba berangkat menumpas bajak laut tersebut.
Tugas akan hamba laksanakan sebaik-baiknya.” (hlm. 74)

Bela Negara
Sudah selayaknya semua rakyat membela negaranya bila negara dalam keadaan
terancam dari pihak luar. Baik Jayaprana, teman-temannya para pemuda dan semua
lapisan masyarakat di Kerajaan Buleleng menunjukkan sikap tersebut. Kutipan berikut
membuktikan bagaimana sikap bela negara ditunjukkan dalam cerita.
Kini mereka telah siap membela bangsa dan negara mereka dari ancaman Karangasem. (hlm.26)

Semua pasukan rakyat telah bertekad mempertaruhkan nyawanya untuk membela negara, sampai
titik darah penghabisan. Dari hari ke hari mereka melihat para pemuda menjaga lorong-lorong
desanya masing-masing dengan semangat menyala-nyala. Para wanita juga tak kalaj gesitnya,
mereka mulai membuat dapur umum dimana mana untuk menjaga agar para prajurit dan tentara
sukarela tidak kekurangan makanan, dan selalu sehat dan kuat. (hlm.27)
“Maaf, Tuang Panglima. Kami disini tidak ingin perang, tapi kalau kami diserang, maka kami
akan mempertahankan negeri kami sampai titik darah penghabisan.” (hlm.38)

Kerjasama/Tolong Menolong
Kerjasama atau tolong menolong adalah nilai budaya yang patut dimiliki oleh
setiap manusia. Dengan kerjasama kita mampu melaksanakan sesuatu dengan lebih baik.
Dalam cerita ini Semua rakyat Buleleng bekerja bahu membahu dalam membela negara
dari penjajahan Kerajaan Karangasem. Melalui kerjasama yang baik antara pihak
kerajaan bersama rakyat, maka pasukan berhasil mengalahkan para penyerang dari
kerajaan tersebut. Pada petikan berikut dapat dilihat bagaimana Sri Baginda Raja
Buleleng mengakui bahwa kerjasama yang baik antara prajurit dengan rakyat yang
membawa kemenangan bagi negeri.
“Kami semua bersyukur atas kemenangan yang telak melawan pasukan Karangasem. Ini semua
adalah karena kerjasama yang baik antara pihak kerajaan dan dukungan rakyat Buleleng.”
(hlm.43)
Nilai kerjasama atau tolong menolong juga diperlihatkan ketika Jayaprana dan
temannya Wayan Gejir sedang berjalan-jalan menuju ke pasar Banjarsari dan tiba-tiba
mendengar jeritan Layonsari di pasar, yang dihadang oleh gerombolan pemuda
bergajulan yang ingin menggagunya. Layonsari begitu ketakutan saat ingin dipeluk dan
didekap oleh Made Bandem, namun kehormatannya diselamatkan oleh Jayaprana. Di
bawah ini adalah kutipan yang menunjukkan hal itu.
“Ah paman, mengapa terlalu dipikirkan. Bukankah kewajiban kita saling tolong menolong.
Paman, sudah selayaknya yang kuat menolong yang lemah.” (hlm.64)

Penghargaan terhadap Jasa Orang Lain


Menghargai jasa orang lain adalah suatu sikap yang patut dimiliki oleh setiap
orang. Dalam hal ini Sri Baginda Raja Buleleng menunjukkan kebijaksnaannya sebagai
penguasa di negerinya dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada Jayaprana
dan kawan-kawannya yang telah dengan gagah berani membela negara dan menyebabkan
kemenangan di pihak Kerajaan Buleleng. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan berikut.
“Kami semua bangga dan terharu, karena ada seorang anak negeri berani tampil di saat negara
dalam keadaan bahaya. Oleh karena itu, jasanya kami anggap luar biasa. Sudah selayaknya kami
memberikan anugerah yang pantas buatnya.” (hlm.43)

Setelah melalui pemikiran yang matang, sudah selayaknya Jayaprana diangkat menjadi Panglima
Muda Buleleng, mendampingi Wayan Merta. Dua orang kawannya, yakni Wayan Gejir dan
Sugriwa akan diangkat sebagai senapati. (hlm.43)

Persamaan Kedudukan Manusia di Mata Tuhan


Manusia di mata Tuhan adalah sama. Tidak ada satupun manusia yang memiliki
kedudukan lebih antara yang satu dengan yang lain di mata Tuhan, kecuali
ketakwaannya. Maka dari itu, sudah selayaknya kita tidak membeda-bedakan manusia
berdasarkan kasta, pangkat atau golongan tertentu. Dalam cerita ini, Sri Baginda Raja
Buleleng menunjukkan nilai manusia ini melalui kutipan berikut.
“Aku telah mendapatkan apa yang tersirat di balik ucapan kalian ini. Mengapa pada saat-saat
genting kita masih bicara soal kasta dan keturunan? Pranata kasta bagi bangsa kita sungguh tidak
sesuai, karena sebenarnya setiap manusia adalah sama di mata Sang Hyang Widhi. Dan yang
berbeda adalah kepatuhannya kepada perintah-perintahNya. Kupikir pandangan kalian berdua
sungguh picik dan sempit. Aku sebagai raja mempunyai pemikiran sendiri akan sesuatu masalah.”
(hlm.44-45)
Disamping Raja Buleleng yang memperlihatkan bagaimana beliau menghargai
persamaan manusia di mata Tuhan, Jayaprana selaku pemuda desa yang akhirnya
diangkat raja menjadi Panglima Muda juga menunjukkan hal serupa. Hal ini dapat dilihat
seperti pada kutipan di bawah.
“Paman Nyoman, tak perlu berlebihan. Ketahuilah kami dulunya juga seorang kaum Sudra seperti
paman sendiri. Jadi untuk apa merasa rendah diri, bukankah kedudukan kita ini sebenarnya sama?
Dan lagi apa sih yang membedakan manusia dengan manusia lain? Apakah pangkat, kedudukan,
keturunan, atau yang lain?” Di mata Sang Hyang Widhi penguasa jagat raya, tidak ada satu pun
yang dapat membedakannya, kecuali ketakwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa sendiri.”
(hlm.66)
Begitupun halnya dengan Layonsari, sebagai istri seorang panglima muda
kerajaan Buleleng, beliau mendidik anaknya Jayadarma dengan pendidikan budi pekerti
yang luhur agar tidak membeda-bedakan kasta atau golongan ketika bergaul dengan
masyarakat, yang dapat dilihat pada kutipan berikut.
Dari ibunya Layonsari, ia mendapatkan pendidikan budi pekerti yang luhur, serta cara bergaul
dengan masyarakat tanpa membeda-bedakan kasta atau golongan. (hlm71)

Hukum Karmaphala (Buah dari Satu Perbuatan)


Dalam ajaran Hindu dikenal adanya kepercayaan hukum karmaphala. Jika
seseorang dalam hidupnya selalu berbuat baik, maka baik pula pahala yang diterima.
Namun jikalau dalam hidupnya orang selalu berbuat kejahatan, maka dalam hidupnya
akan menemui masalah, kesengsaraan, bahkan malapetaka.
Setiap manusia hendaknya selalu mengusahakan untuk berbuat sesuai dengan
ajaran agama, dan menghindari semua perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Seperti pada
cerita ini baik Panglima Wayan Merta dan Patih Sawunggaling yang memiliki sifat iri
dengki dan selalu tidak puas dengan keberadaan Jayaprana di istana, akhirnya mati
mengenaskan karena disambar petir dan dicakar harimau setelah berhasil menipudaya
Jayaprana, padahal sebelumnya mereka telah diselamatkan dari maut oleh Jayaprana.
Walaupun, Jayaprana tidak bisa menuntut balas atas kematiannya, namun Tuhan Yang
Maha Adil telah menghukumnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Setelah diteliti dengan seksama, tahulah mereka bahwa itu mayat Wayan Merta, bekas Panglima
Buleleng yang kemudian menjadi penasihat raja Anak Agung Ngurah. Mereka meneliti sebab-
sebab kematiannya ternyata diakibatkan oleh petir yang menyambarnya. Tubuhnya terbakar
hangus dan agak sulit dikenali. Tak jauh dari situ mereka menemukan mayat Patih Sawunggaling
yang kiranya telah habis dicakar dan direncah harimau. Dia telah tewas dengan sangat
mengerikan. (hlm.102)
Begitu pun halnya dengan raja baru Anak Agung Ngurah yang telah bekerjasama
dengan Wayan Merta dan Sawunggaling memperdaya Jayaprana untuk dapat menyunting
istri Jayaprana, Layonsari. Sang Raja pun akhirnya menghembuskan nafasnya setelah
ditikam keris Layonsari dan dengan kepemimpinannya ini kerajaan Buleleng mengalami
kehancuran. Berikut adalah petikan dari perkataan Layonsari bahwa dia bersyukur Tuhan
mengabulkan doanya karena si durjana telah mendapatkan balasan dari perbuatan
kejinya.
“Syukurlah, Sang Hyang Widhi telah mengabulkan doa kita semua, Nak.”
LEGENDA SANGKURIANG
(Asal Mula Tangkuban Prahu)

Dahulu ada pemuda sakti, Sangkuriang dengan kekasihnya Nyi Dayang Sumbi, mereka
berencana untuk menikah.
Ketika Dayang Sumbi mencari kutu Sangkuriang, ia melihat luka di kepala kekasihnya. Saat
Sangkuriang menceritakan tentang bekas luka itu,Dayang Sumbi sangat terkejut.
“Kalau begitu kau adalah Sangkuriang anakku, anakku sendiri!!”,pekik Nyi Dayang Sumbi.
“Tidak mungkin!! Jangan mencari-cari alasan!!”, kata Sangkuriang.
Dayang Sumbi berusaha meyakinkan Sangkuriang dengan menceritakan kejadian luar biasa
di masa kecil Sangkuriang. Nyi Dayang Sumbi adalah keturunan bidadari,ia tak pernah tua,wajahnya
tetap cantik dan muda. Sangkuriang telah dipukul kepalanya dengan entong,sehingga luka dan
langsung diusir. Kemarahan Dayang Sumbi dikarenakan Sangkuriang membunuh si Tumang,
anjing yang menemaninya saat Sangkuriang berburu di hutan. Anjing itu adalah jelmaan
Dewa,suami Nyi Dayang Sumbi dan ayahnya Sangkuriang.
Sedangkan Nyi Dayang Sumbi adalah anak Prabu Galuga di kerajaan Parahiayang (Priangan)
Jawa Barat,ibunya seekor babi jelmaan bidadari. Ayahnya mengasingkannya di tepi hutan,karena
Dayang Sumbi tidak mau menikah,dan hanya ditemani seekor anjing,si Tumang,jelmaan Dewa.
Yang akhirnya menjadi suami Nyi Dayang Sumbi dan Sangkuriang adalah anaknya.
“Kau bukan ibuku. Dan aku bukan anakmu, sementara kita terlanjur jauh cinta”, desak
Sangkuriang.
Nyi Dayang Sumbi berusaha menggagalkan rencana pernikahan mereka dengan suatu
muslihat, Sangkuriang diharuskan mampu membuat sebuah telaga di puncak gunung dan sebuah
perahu besar dalam tempo semalam saja.
“Sebelum ayam berkokok, semua harus sudah selesai”, pinta Dayang Sumbi.
Nyi Dayang Sumbi sangat terkejut, karena Sangkuriang ternyata menyanggupinya.
Sedangkan bagi Sangkuriang, hal tersebut tidak ada masalah karena ia adalah seorang pemuda yang
sakti.
Sangkuriang segera memanggil jin yang pernah ditaklukkannya. Jin itulah beserta anak
buahnya yang bertugas membuat telaga, sementara Sangkuriang yang membuat perahu besarnya.
Nyi Dayang Sumbi risau hatinya karena menjelang tengah malam,pekerjaan Sangkuriang
hampir selesai. Ia berdoa memohon pertolongan Dewa.Nyi Dayang Sumbi diberi ilham agar
memukul lesung penumbuk padi. Begitu lesung dipukul,seketika itu juga ayam jantan langsung
berkokok bersahut-sahutan. Akhirnya penduduk ikut terbangun dan segera menumbuk padi. Para jin
yang membantu Sangkuriang mengira hari sudah hampir pagi. Karena takut tubuh mereka akan
terbakar oleh sinar matahari, merekapun segera menghilang.
Sangkuriang sangat marah mengetahui hal itu dengan wajah yang beringas,ia berteriak,“ Kau
curang! Pasti kau menggunakan kekuatan para Dewa untuk menggagalkan pekerjaanku! “.
Pemuda sakti itu langsung menendang perahu yang sedang dibuatnya,ketika telungkup ke
bumi, perahu itu berubah menjadi sebuah gunung,yang sekarang dinamakan GUNUNG
TANGKUPAN PRAHU.
“ Aku tidak peduli, kau harus jadi istriku…..!”, desak Sangkuriang
“ Sangkuriang sadarlah, kau adalah anakku sendiri…”, pekik Nyi Dayang Sumbi sembari
berlari.
Saat Sangkuriang mencoba memeluk Dayang Sumbi,tiba-tiba terdengar ledakan
dahsyat,tubuh Dayang Sumbipun lenyap tanpa bekas. Sangkuriangpun berteriak-teriak seperti orang
gila. Konon Dayang Sumbi diselamatkan para Dewa,karena tidak mengijinkan seorang anak
menikahi ibunya sendiri. Dayang Sumbi dijadikan ratu makhluk halus di laut selatan dan masyrakat
mengenalnya sebagai NYI LORO KIDUL. Demikiankah kisah asal mula Legenda GUNUNG
TANGKUBAN PRAHU.

Você também pode gostar