Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PUISI BARU
Ciri-ciri Puisi Baru:
a) Bentuknya rapi, simetris;
b) Mempunyai persajakan akhir (yang teratur);
c) Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain;
d) Sebagian besar puisi empat seuntai;
e) Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis).
f) Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.
i) Menurut isinya ;
Puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “ Balada Matinya Aeorang
Pemberontak”
Aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur jidad penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi
di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan,
termangu-mangu dl kaki dewi kesenian.
(Rendra)
ii) Menurut bentuknya ;
Distikon :
Terzina :
Quatrain :
Mendatang-datang jua
Kenangan masa lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau silau
Membayang rupa jua
Adi kanda lama lalu
Membuat hati jua
Layu lipu rindu-sendu
(A.M. Daeng Myala)
QUINT
Contoh :
SEXTET
Contoh :
Merindu Bagia
Jika hari’lah tengah malam
Angin berhenti dari bernafas
Sukma jiwaku rasa tenggelam
Dalam laut tidak terwatas
Menangis hati diiris sedih
(Ipih)
SEPTIMA
Contoh :
Indonesia Tumpah Darahku
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya
Ditimpah air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
(Muhammad Yamin)
STANZA ( OCTAV )
Contoh :
Awan
Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa di diri
Bertambah halus akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teguh tenang
(Sanusi Pane)
SONETA
Contoh :
Gembala
Perasaan siapa ta ‘kan nyala ( a )
Melihat anak berelagu dendang ( b )
Seorang saja di tengah padang ( b )
Tiada berbaju buka kepala ( a )
Beginilah nasib anak gembala ( a )
Berteduh di bawah kayu nan rindang ( b )
Semenjak pagi meninggalkan kandang ( b )
Pulang ke rumah di senja kala ( a )
Jauh sedikit sesayup sampai ( a )
Terdengar olehku bunyi serunai ( a )
Melagukan alam nan molek permai ( a )
Wahai gembala di segara hijau ( c )
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau ( c )
Maulah aku menurutkan dikau ( c )
(Muhammad Yamin)
CONTOH LAIN :
Ibuku
Karya : Wahyudi
Pengemis Tua
Pengemis tua
Kau tetap tegar
Kau tetap tabah
Menjalani hidupmu
Yang penuh duka nestapa
PUISI LAMA
4. Irama.
Syair
Ciri-ciri syair
Ø Terdiri dari 4 baris
Ø Berirama aaaa
Ø Keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair
CONTOH :
Mantra
Ciri-ciri:
Contoh:
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
Pantun
Pantun adalah puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam setiap baitnya. Baris
pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat isi.Bunyi
huruf terakhir pada kalimat pertama dan ketiga kata terakhir di sebut sajak a. Bunyi huruf
terakhir pada kalimat kedua dan kalimat keempat disebut sajak b. Jadi pantun bersajak
ab-ab.
Ciri – ciri :
Ø Setiap bait terdiri 4 baris
Ø Baris 1 dan 2 sebagai sampiran
Ø Baris 3 dan 4 merupakan isi
Ø Bersajak a – b – a – b
Ø Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
Ø Berasal dari Melayu (Indonesia)
CONTOH :
Gurindam
Ciri-ciri gurindam
Ø Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian
Ø baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris
pertama tadi.
CONTOH :
Pikir dahulu sebelum berkata
Supaya terelak silang sengketa
Seloka
Seloka disebut juga pantun berbingkai. Bedanya dengan pantun adalah kalimat
ke-2 dan ke-4 pada bait pertama diulang kembali pengucapannya menjadi kalimat ke-1
dan ke-3 pada bait ke-2. Begitu seterusnya, kalimat ke-2 dan ke-4 pada bait kedua akan
diulang lagi pada bait ketiga.
Ciri-ciri seloka
Ø Ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair,
Ø Namun ada seloka yang ditulis lebih dari empat baris.
CONTOH :
Keesokan harinya dari setiap Banjar – bagian terkecil dari lembaga adat di Bali – mengumumkan
akan diadakan upacara sembahyang baik di pura dan di tepi pantai Buleleng. Sebagian orang
berbondong-bondong ke pura, sebagian lainnya ke pantai. Mereka membawa sesajen dan bunga
untuk berdoa kepada Sang Hyang Widhi agar diberikan keselamatan dan kesentosaan bagi seluruh
rakyat negeri (hlm.13).
Sikap pasrah juga ditunjukkan oleh Jayaprana ketika suatu saat Layonsari
menyatakan kecemasannya sebagai istri seorang panglima yang mendapat tugas
bertempur, seperti kutipan di bawah.
“Ya, aku paham, Dinda. Tapi semua itu adalah takdir Gusti Yang Maha Adil. Hidup mati manusia
ada dalam genggaman Dia. Tidak setiap orang gugur dalam peperangan, banyak pula prajurit yang
mati di tempat tidurnya malahan dalam pengawasan istrinya. Sudahlah jangan merasa takut.
Semuanya kita pasrahkan kepada Gusti Yang Maha Kuasa.” (hlm.86)
Musyawarah
Ketika Sri Baginda Raja Buleleng mendapatkan surat dari Raja Karangasem, yang
intinya berisi keinginan dari raja Karangasem untuk mempersatukan kerajaannya dengan
kerajaan Buleleng, Sri Baginda Raja Buleleng Anak Agung tidak serta merta menyetujui
atau menolak usul tersebut. Berliau bahkan mengundang semua petinggi kerajaan untuk
memusyawarahkannya dalam sidang kerajaan untuk memberikan jawaban yang terbaik
sebagai balasan suratnya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan berikut.
“Wahai utusan dari Karangasem, karena hal ini menyangkut secara keseluruhan, maka kami akan
mengadakan sidang terlebih dahulu.” (hlm.18)
“Wahai para petinggi Kerajaan Buleleng, aku panggil kalian untuk membicarakan surat dari
Karangasem ini. Coba perhatikan isi surat ini dengan seksama. Dan selanjutnya apa kira-kira
pendapat kalian?” (hlm. 18).
Setelah ada kata sepakat dengan seluruh pembesar negeri, Sri Baginda menulis surat balasan
kepada Raja Karangasem. Semua sepakat dengan jawaban Baginda Raja Buleleng. Barulah
kemudian utusan dari Karangasem yang menginap di tempat khusus dipanggil ke istana. (hlm.20).
Dari kutipan di atas, tampak bahwa Baginda Raja Buleleng sangat berhati-hati
dalam memberikan jawaban surat dari Raja Karangasem. Apalagi usul tersebut
mengandung penguasaan terhadap suatu negeri. Di sini raja menunjukkan
kebijaksanaannya dalam menentukan suatu keputusan yang akan berpengaruh bagi
seluruh negeri. Untuk itulah beliau mengundang satu sidang khusus untuk membicarakan
hal tersebut secara musyawarah untuk mencapai suatu kata mufakat. Sebelum rapat
memutuskan akan meolak usul Raja Karangasem, semua petinggi kerajaan diminta saran
dan pendapatnya. Setelah kesepakatan bersama itulah, Baginda Raja Buleleng baru
menentukan sikap kemana kerajaan tersebut akan dibawa.
Kebijaksanaan
Walaupun Raja Buleleng kelihatannya diremehkan kemampuannya oleh Raja
Karangasem melalui surat yang kedua, tetapi di depan Caraka yang menjadi utusan
kedua, sang raja Buleleng tidak menunjukkan kemarahannya. Beliau justru menunjukkan
sikap penghargaannya kepada Caraka tersebut dan bahkan dengan tanpa menyinggung
utusan tersebut, raja Buleleng memohon maaf bila beliau menolak dengan tegas usul dari
Raja Karangasem. Hal ini tercermin pada kutipan di bawah ini:
“Wahai utusan dari Karangasem, kami mohon maaf bila menolak usul Baginda Raja
Karangasem.” Sampaikan salamku pada beliau, Raja Karangasem, bahwa kami Kerajaan Buleleng
menolak ancaman yang ditujukan kepada kami.” (hlm.24).
Disamping kebijaksanaan Sri Baginda Raja Buleleng dalam menghadapi pihak
lawan dengan tetap berlaku baik, sebagai pemimpin suatu negara Sri Baginda juga
menunjukkan kebijaksanaannya dengan tidak membeda-bedakan manusia dilihat dari
kastanya. Ketika beliau ditentang oleh para petinggi kerajaan seperti Panglima Gusti
Wayan Merta dan Patih Sawunggaling saat pengangkatan Jayaprana menjadi Panglima
Muda dan teman-temannya Wayan Gejir dan Sugriwa menjadi senapati, Baginda Raja
tetap pada pendirian bahwa manusia tetap sama di mata Hyang Widhi dan bahwa ketika
negara dalam keadaan genting semua hal yang menyangkut soal kasta dan keturunan
perlu dikesampingkan. Ini bisa diketahui dari kutipan di bawah ini:
“Aku telah mendapatkan apa yang tersirat di balik ucapan kalian ini. Mengapa pada saat-saat
genting kita masih bicara soal kasta dan keturunan? Pranata kasta bagi bangsa kita sungguh tidak
sesuai, karena sebenarnya setiap manusia adalah sama di mata Sang Hyang Widhi. Dan yang
berbeda adalah kepatuhannya kepada perintah-perintahNya. Kupikir pandangan kalian berdua
sungguh picik dan sempit. Aku sebagai raja mempunyai pemikiran sendiri akan sesuatu masalah.”
(hlm.44-45)
Nilai kebijaksanaan dan keadilan juga ditunjukkan pada cerita ketika Raja
Buleleng mangkat. Seluruh rakyat berdukacita mendalam dengan kepergiannya. Berikut
adalah petikannya.
Dalam suasana aman dan damai itu, secara mengejutkan Baginda Anak Agung meninggal dunia.
Seluruh rakyat Buleleng berdukacita, karena ditinggalkan oleh raja yang adil dan bijaksana. Beliau
tidak pernah membeda-bedakan derajat dan pangkat apalagi kasta. (hlm. 80)
Bela Negara
Sudah selayaknya semua rakyat membela negaranya bila negara dalam keadaan
terancam dari pihak luar. Baik Jayaprana, teman-temannya para pemuda dan semua
lapisan masyarakat di Kerajaan Buleleng menunjukkan sikap tersebut. Kutipan berikut
membuktikan bagaimana sikap bela negara ditunjukkan dalam cerita.
Kini mereka telah siap membela bangsa dan negara mereka dari ancaman Karangasem. (hlm.26)
Semua pasukan rakyat telah bertekad mempertaruhkan nyawanya untuk membela negara, sampai
titik darah penghabisan. Dari hari ke hari mereka melihat para pemuda menjaga lorong-lorong
desanya masing-masing dengan semangat menyala-nyala. Para wanita juga tak kalaj gesitnya,
mereka mulai membuat dapur umum dimana mana untuk menjaga agar para prajurit dan tentara
sukarela tidak kekurangan makanan, dan selalu sehat dan kuat. (hlm.27)
“Maaf, Tuang Panglima. Kami disini tidak ingin perang, tapi kalau kami diserang, maka kami
akan mempertahankan negeri kami sampai titik darah penghabisan.” (hlm.38)
Kerjasama/Tolong Menolong
Kerjasama atau tolong menolong adalah nilai budaya yang patut dimiliki oleh
setiap manusia. Dengan kerjasama kita mampu melaksanakan sesuatu dengan lebih baik.
Dalam cerita ini Semua rakyat Buleleng bekerja bahu membahu dalam membela negara
dari penjajahan Kerajaan Karangasem. Melalui kerjasama yang baik antara pihak
kerajaan bersama rakyat, maka pasukan berhasil mengalahkan para penyerang dari
kerajaan tersebut. Pada petikan berikut dapat dilihat bagaimana Sri Baginda Raja
Buleleng mengakui bahwa kerjasama yang baik antara prajurit dengan rakyat yang
membawa kemenangan bagi negeri.
“Kami semua bersyukur atas kemenangan yang telak melawan pasukan Karangasem. Ini semua
adalah karena kerjasama yang baik antara pihak kerajaan dan dukungan rakyat Buleleng.”
(hlm.43)
Nilai kerjasama atau tolong menolong juga diperlihatkan ketika Jayaprana dan
temannya Wayan Gejir sedang berjalan-jalan menuju ke pasar Banjarsari dan tiba-tiba
mendengar jeritan Layonsari di pasar, yang dihadang oleh gerombolan pemuda
bergajulan yang ingin menggagunya. Layonsari begitu ketakutan saat ingin dipeluk dan
didekap oleh Made Bandem, namun kehormatannya diselamatkan oleh Jayaprana. Di
bawah ini adalah kutipan yang menunjukkan hal itu.
“Ah paman, mengapa terlalu dipikirkan. Bukankah kewajiban kita saling tolong menolong.
Paman, sudah selayaknya yang kuat menolong yang lemah.” (hlm.64)
Setelah melalui pemikiran yang matang, sudah selayaknya Jayaprana diangkat menjadi Panglima
Muda Buleleng, mendampingi Wayan Merta. Dua orang kawannya, yakni Wayan Gejir dan
Sugriwa akan diangkat sebagai senapati. (hlm.43)
Dahulu ada pemuda sakti, Sangkuriang dengan kekasihnya Nyi Dayang Sumbi, mereka
berencana untuk menikah.
Ketika Dayang Sumbi mencari kutu Sangkuriang, ia melihat luka di kepala kekasihnya. Saat
Sangkuriang menceritakan tentang bekas luka itu,Dayang Sumbi sangat terkejut.
“Kalau begitu kau adalah Sangkuriang anakku, anakku sendiri!!”,pekik Nyi Dayang Sumbi.
“Tidak mungkin!! Jangan mencari-cari alasan!!”, kata Sangkuriang.
Dayang Sumbi berusaha meyakinkan Sangkuriang dengan menceritakan kejadian luar biasa
di masa kecil Sangkuriang. Nyi Dayang Sumbi adalah keturunan bidadari,ia tak pernah tua,wajahnya
tetap cantik dan muda. Sangkuriang telah dipukul kepalanya dengan entong,sehingga luka dan
langsung diusir. Kemarahan Dayang Sumbi dikarenakan Sangkuriang membunuh si Tumang,
anjing yang menemaninya saat Sangkuriang berburu di hutan. Anjing itu adalah jelmaan
Dewa,suami Nyi Dayang Sumbi dan ayahnya Sangkuriang.
Sedangkan Nyi Dayang Sumbi adalah anak Prabu Galuga di kerajaan Parahiayang (Priangan)
Jawa Barat,ibunya seekor babi jelmaan bidadari. Ayahnya mengasingkannya di tepi hutan,karena
Dayang Sumbi tidak mau menikah,dan hanya ditemani seekor anjing,si Tumang,jelmaan Dewa.
Yang akhirnya menjadi suami Nyi Dayang Sumbi dan Sangkuriang adalah anaknya.
“Kau bukan ibuku. Dan aku bukan anakmu, sementara kita terlanjur jauh cinta”, desak
Sangkuriang.
Nyi Dayang Sumbi berusaha menggagalkan rencana pernikahan mereka dengan suatu
muslihat, Sangkuriang diharuskan mampu membuat sebuah telaga di puncak gunung dan sebuah
perahu besar dalam tempo semalam saja.
“Sebelum ayam berkokok, semua harus sudah selesai”, pinta Dayang Sumbi.
Nyi Dayang Sumbi sangat terkejut, karena Sangkuriang ternyata menyanggupinya.
Sedangkan bagi Sangkuriang, hal tersebut tidak ada masalah karena ia adalah seorang pemuda yang
sakti.
Sangkuriang segera memanggil jin yang pernah ditaklukkannya. Jin itulah beserta anak
buahnya yang bertugas membuat telaga, sementara Sangkuriang yang membuat perahu besarnya.
Nyi Dayang Sumbi risau hatinya karena menjelang tengah malam,pekerjaan Sangkuriang
hampir selesai. Ia berdoa memohon pertolongan Dewa.Nyi Dayang Sumbi diberi ilham agar
memukul lesung penumbuk padi. Begitu lesung dipukul,seketika itu juga ayam jantan langsung
berkokok bersahut-sahutan. Akhirnya penduduk ikut terbangun dan segera menumbuk padi. Para jin
yang membantu Sangkuriang mengira hari sudah hampir pagi. Karena takut tubuh mereka akan
terbakar oleh sinar matahari, merekapun segera menghilang.
Sangkuriang sangat marah mengetahui hal itu dengan wajah yang beringas,ia berteriak,“ Kau
curang! Pasti kau menggunakan kekuatan para Dewa untuk menggagalkan pekerjaanku! “.
Pemuda sakti itu langsung menendang perahu yang sedang dibuatnya,ketika telungkup ke
bumi, perahu itu berubah menjadi sebuah gunung,yang sekarang dinamakan GUNUNG
TANGKUPAN PRAHU.
“ Aku tidak peduli, kau harus jadi istriku…..!”, desak Sangkuriang
“ Sangkuriang sadarlah, kau adalah anakku sendiri…”, pekik Nyi Dayang Sumbi sembari
berlari.
Saat Sangkuriang mencoba memeluk Dayang Sumbi,tiba-tiba terdengar ledakan
dahsyat,tubuh Dayang Sumbipun lenyap tanpa bekas. Sangkuriangpun berteriak-teriak seperti orang
gila. Konon Dayang Sumbi diselamatkan para Dewa,karena tidak mengijinkan seorang anak
menikahi ibunya sendiri. Dayang Sumbi dijadikan ratu makhluk halus di laut selatan dan masyrakat
mengenalnya sebagai NYI LORO KIDUL. Demikiankah kisah asal mula Legenda GUNUNG
TANGKUBAN PRAHU.