Você está na página 1de 17

Anak Krakatau ngga mau kalah dengan Kelud

Oktober 29, 2007 at 12:36 am | In Bencana Alam, Dongeng Geologi, gunungapi |


Tags: gunung api, krakatau.

Setelah Gunung Kelud tidak menunjukkan tanda-tanda ‘kemajuan’, ternyata justru


gunung api di Selat Sunda justru ikut-ikutan menunjukkan ‘kebolehannya‘. Sejak hari
Sabtu 27 Oktober 2007 kemarin setelah pada tanggal 26 Oktober 2007, sampai dengan
pukul 06:00 terekam 32 kejadian gempa vulkanik dalam dan 11 kejadian gempa vulkanik
dangkal serta 68 kejadian gempa letusan. Akhirnya status G. Anak Krakatau dari
Waspada (Level II) ke Siaga ( Level III). Status ini dinaikkan mengingat akibat dari
letusan krakatau yang mengagetkan dunia ditahun 1883.

“Wah sesuai dugaan pakdhe dengan adanya kejadian bulan Perigee ya dhe ?”
“Aktifitasnya sendiri sudah dimulai tercatat meningkat sejak awal bulan thole. Namun
memang aktifitas itu tercatat meningkat sejalan dengan semakin dekatnya jarak bulan ke
bumi”

Lokasi letusan yang terjadi pada tanggal 23-25 Oktober 2007 lalu, dapat dilihat dibawah
ini. Sumber gambar : VSI (Vulcanological Survey Indonesia).
Gunung kakatau memang sering mengundang kontroversi karena letusannya ditahun
1883. Letusan ini merubah bentuk gunung yang sebelumnya berupa kerucut menjadi
anak-anak krakatau yang jauh lebih kecil.

Sedangkan pasca letusan 1883 Pulau


gunung ini hanya tersisa kurang dari
seperlima luasnya seperti terlihat dibawah
ini.
Sumber Gambar: VSI dan Wikipedia.

“Harus gimana nih Pakdhe ? Apa harus ngungsi juga ?”


“Wah ini kegiatan rutinnya anak krakatau Thole. jadi bukan terus ngungsi hanya
karena peningkatan aktifitas. Tetapi dengan mengikuti berita-berita seputar gunung api
moga-moga menjadikan kita lebih mengenalnya. Kalau memang akan meletus, gunung
api itu akan memberi tanda. Jadi tinggal kemampuan manusia saja untuk emmbaca
tanda-tanda itu. Alert is not panic“

Untuk menambah sedikit wawasan dibawah ini ada artikel bagus dari majalah bacaanku
sejak kecil di Jogja yaitu Majalah intisari tahun 1982. Yang arsipnya sendiri justru saya
temukan didalam diskusi IAGI beberapa tahun yang lalu.

Krakatau - Lebih Hebat dari Bom Atom !!


Taken from August 1982 edition of Intisari Magazine
http://www.intisari-online.com

Tanggal 27 Agustus nanti akan genap seratus sembilan belas tahun letusan dahsyat
Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27 Agustus 1883,
bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah
Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang. Bencana yang
merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa
manusia.

Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan
memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini
walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak sampai
menimbulkan korban jiwa.

Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi 55.000 m dan
gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa. Abunya
mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini
diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom hidrogen terkuat dalam percobaan.

Dikira Meriam Apel

Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang
mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul
setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa
kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah
barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di Anyer. Di
serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman


pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.
“Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada batalyon
ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan
utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung.
Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh
butiran-butiran es.”

“Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada
badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu
bukan badai halilintar biasa.”

“Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang sudah
sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat selama dua abad. Mereka
mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat
Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah.
Jawabnya tiba dengan cepat: ‘Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan
sendiri.’ Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”

“Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat. Letusan susul-
menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka,
Red.) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk
barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di
kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.”

“Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik
Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai isyarat upacara, disusul
dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh
genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang
seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan
isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada
biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan,
mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja
mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam
benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!”

Batavia Jadi Dingin

“Sementara itu ‘penembakan’ berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti


tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang
tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana.
Hampir tidak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman
rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan
memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang
aneh itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.”

“Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada
saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di
masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-
masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari
dukungan dari sesamanya.”

“Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai
puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas
lampu penerangan jalan jatuh dan bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah,
penerangan gas di banyak rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun
dari arah barat masih terdegar suara gemuruh.”

“Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam
saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya gemetar kedinginan di pos
jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin itu. Waktu saya melihat keluar ternyata
seluruh kota diliputi oleh kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak
dapat saya lihat lagi,meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih
menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa, melainkan hujan abu,
yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam - mula-mula jarang-jarang, tetapi makin
lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.”

“Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus dipadamkan, tetapi
matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya fajar seperti akan menyingsing,
tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya
memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu
turun dengan tiada putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi
oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang saya lihat
dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka salju kelabu yang bergerak
secara mekanis.”

“Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul
sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu
setebal 15 mm menutupi segala yang ada. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani
menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal
runtuh!”

“Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit
keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu
berbunyi: ‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk
cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak
terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti
pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini
sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.’”

“Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar
berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Sebuah gelombang pasang
telah membanjiri kota bagian bawah. Permukaan air dua meter di atas garis garis normal.
Kapal uap Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng
yang cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu
terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu tebal.
Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan membawa harta benda yang bisa
dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore
datang lagi gelombang pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama.”

“Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga matahari
mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit yang kelabu.”

“Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera menyiapkan
suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang terkena musibah di Sumatra
Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya
terjadi di sebelah barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda
malapetaka terputus.”

Serang Sunyi Mencekam

Kalau di Jakarta, air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar, tapi di daerah pantai
sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung yang sedang murka itu,
akibatnya sangat mengerikan. Di Tangerang, pantai utaranya digenangi sampai sejauh
satu hingga satu setengah km dengan meminta korban manusia cukup besar. Sembilan
buah desa pantai musnah. Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang penduduk asli dan
546 Cina dan Timur Asing lainnya.

Di Serang suara gemuruh mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari Minggu. Malamnya
terus-menerus tercium bau belerang dan guruh serta kilat terlihat dari arah Krakatau. Hari
Seninnya langit di sebelah barat berwarna kelabu, lalu hujan abu turun tanpa hentinya.
Pukul setengah sebelas hari mulai kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir tak
terlihat apa-apa. Lewatpukul sebelas datang kawat dari Serang bahwa telah terjadi hujan
kerikil batu apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan Jakarta terputus.
Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah yang melekat pada daun-
daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh karena beratnya. Sekitar
pukul 12 hujan lumpur ini berhenti, tetapi abu kering tetap turun.

Anehnya, selama itu di Serang tak terdengar letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi
mencekam, yang membuat banyak orang makin gugup dan tertekan. Hewan peliharaan
juga makin gelisah, mereka ingin sedekat mungkin dengan manusia di dalam rumah, di
dekat lampu. Dengan kekerasan sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah
pukul dua siang langit mulai terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam jantan
mulai berkokok. Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu turun terus-
menerus dan bau abu belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore lampu-lampu
masih dinyalakan.

Surat-surat kabar yang terbit di Batavia tertanggal 28, 31 Agustus, dan 4 September
penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang menimpa daerah Banten. Tetapi
jarang sekali ada kisah dari saksi mata, sebab tempat-tempat yang letaknya di tepi pantai
seperti Merak, Anyer, dan Caringin, hancur luluh dan hanya ada beberapa orang Belanda
yang melarikan diri dan tertolong pada saat yang tepat.

Ketika Siuman Semua Gelap

Di Merak seorang pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E. Pechler


merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. Ia sedang bertugas membawa
telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat Serang. Berita ini mungkin yang
terakhir dikirimkan dari Merak. Isinya laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan di
Betawi, yang menyebutkan bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan keesokan
harinya, sebagian Merak yang lebih rendah letaknya, Pecinan, jalan kereta api, tergenangi;
jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu untuk pelabuhan rusak; jembatan
dan derek-derek masih di tempat saat itu, tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut.

Sekitar pukul sembilan pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar Merak. Tiba-tiba
ia ditimpa hujan lumpur dan badai. Ia melihat gelombang air mendekat, sehingga ia lari
tunggang-langgang ke atas sebuah bukit, tapi sebelum ia mencapai puncaknya, ia sudah
terkejar air pasang. Apa yang terjadi setelah itu ia tak tahu lagi…

Keesokan harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah kering, tetapi ia tak
dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap.

Pada hari Selasa ia baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah jalan ia melihat
sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat berhentinya. Di Merak ia
tidak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun tak dijumpainya� semuanya telah
dihanyutkan ke laut. Di antara petugas pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang
insinyur bernama Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang berpergian ke Batavia.
Waktu insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit setinggi 14
m hanya tinggal lantainya saja.

Hujan Deras Batu Apung di Teluk Betung

Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul sepuluh pagi.
Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu, sehingga yang tinggal
hanyalah benteng, penjara, kediaman Patih dan Wedana. Dataran sekitar Anyer, yang di
belakang tempat itu lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat
pantai bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat.

Caringin yang berpenduduk padat juga hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya
sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit 50m, tempat sejumlah kecil penduduknya
menyelamatkan diri.

Bukan hanya di darat, tetapi di laut lepas Krakatau juga meneror kapal-kapal yang
kebetulan berlayar di dekatnya. Penumpang kapal yang
melayari Selat Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan
mereka selama hidupnya.
Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal
Nederland Indische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM) berlayar dari Batavia ke
Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui, dan Bengkulu. Kapal itu
berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi hari dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu
mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

“Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan
kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini. Kapal
kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang
dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami
singgahi dua bulan yang lalu.”

“Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua abad
beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour pariwisata bagi
penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa berlayar ke Pulau
Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki
kawahnya yang mengeluarkan uap putih.”

“Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung
dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal…”

“Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menjadi gelap,
sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin deras. Kapal Loudon
memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi penumpang yang akan mendarat,
tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu kapten memerintahkan agar sekoci kapal
diturunkan, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga
sekoci itu harus kembali lagi.”

“Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar
biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat tanda
bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu-talu. Penerangan kota
dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang
deras…”

Menara Suar Patah Seperti Batang Korek Api

“Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan ombak-
ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar menyingsing kami
melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup parah oleh gelombang pasang.
Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari jangkarnya dan dihempaskan ke darat.
Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan lain rusak. Tetapi tak tampak tanda-anda
kehidupan di kota kecil itu…”

“Pukul tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah kapal kami. Loudon
sempat melakukan manouvre untuk menghindar, sehingga gelombang itu mengenai
sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang
itu telah lewat dan Loudon selamat. Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati,
lalu melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung…”

“Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur, yang di
hadapan mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di pantai. Kami melihat
bagaimana menara suar patah seperti batang korek api dan rumah-rumah lenyap digilas
gelombang. Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan ke darat melewati puncak-
puncak pohon nyiur. Yang tadinya Teluk Betung kini hanya air belaka…”

“Di kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan kotanya sendiri
seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi dengan cepat dan mendadak,
sehingga melintas sebelum kita sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Seakan-
akan dengan satu gerakan maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara telah
digantikan…”

“Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia


beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer dengan tujuan
untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung. Tak lama kemudian kapal
sudah berlayar di laut lepas. Walaupun hari masih pagi, cuaca makin menggelap, dan
menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam. Kegelapan itu bertahan selama
delapan belas jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai
hampir setengah meter.”

“Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan yang
paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah arahnya. Udara dicemari
oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit bernapas dan beberapa penumpang
menderita telinga berdesing. Barometer menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi.
Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai. Kapal diombang-
ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam
akan terbalik oleh luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat
dilemparkan ke laut…”

Api Santo Elmo

“Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan
yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti
bergantungan di atas kapal yang diterangi cahaya mengerikan. Alat pemadam kebakaran
disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon bisa terbakar.”

“Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain, yakni apa yang disebut
sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil
berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan ‘api’ itu, tetapi
sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat berpindah ke
tempat lain. Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang
menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.”
“Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja
semuanya menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti kaca. Tetapi sepi yang tak wajar
ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami alami.
Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di
geladak depan, yang yakin bahwa ajal
mereka segera akan sampai.”

“Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit
dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap. Ketika itu sekitar
pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega.”

“Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa
melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra.
Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya
tersisa tunggul bekas batangnya yang patah. Laut penuh dengan kayu dan batu apung,
yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan
masuk ke Teluk Lampung.”

“Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal yang tenggelam
sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami melayari Selat Sunda dan
pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali. Sekarang kami baru mengerti apa yang
sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar
hilang. Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa
yang mengeluarkan asap dan uap.”

“Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur
pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong arang
timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi uap putih dari
laut.”

“Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak
terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh di
Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi.
Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang
kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercusuar.
Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian…”

“Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan


lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak
tanda-tanda kehidupan…”

“Pulau-pulau di Selat Sunda juga tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah
dihuni dua ribu orang, kini hanya tinggal seonggok bukit abu, sampai puncaknya yang
hampir lima ratus meter tingginya itu, dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak
terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan
Pulau Sangiang.”
Hujan Lumpur

“Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke utara, makin kurang
kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang dan beberapa tempat lainnya
kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh
Krakatau. Yang aneh ialah bahwa kami yang berada di tempat yang paling dekat dengan
Krakatau, tidak mendengar dentuman-dentuman itu.”

Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari jarak jauh. Dari
kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat. Menurut dia gelombang pasang
yang pertama tiba tanggal 27 Agustus pagi sekitar pukul setengah tujuh, yang
merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu bara, gudang di dermaga, dan melemparkan
kapal Barouw dari sisi timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke
Kampung Cina. Gudang Garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa
kampung di pantai lainnya dihanyutkan. Kapal pengangkut garam Marie terguling di
teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal Loudon berlabuh,
kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh.

Langit berwarna kuning kemerah-merahan seperti tembaga, dari arah Krakatau terlihat
kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi sekitar pukul delapan
keadaannya tenang. Sementara orang-orang yang sempat mengungsi ke tempat yang
tinggi waktu itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan
apa saja yang masih bisa diambil, atau
untuk melihat keadaan.

Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat orang
terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau. Segera setelah letusan
itu hari mulai remang-remang. Kerikil batu apung mulai bertaburan. Menjelang pukul
sebelas hari gelap seperti malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur. Selanjutnya
apa yang tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di
rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang
disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting, menumbangkan kayu-kayuan,
dan melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela. Para pelarian itu tidak sadar bahwa
gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di
kaki bukit.

Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar kehancuran yang terjadi. Seluruh
dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang masih tegak. Yang ada
hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek, dan mayat manusia maupun hewan bertebaran
di mana-mana. Kapal Barouw sudah tak terlihat lagi. Baru kemudian kapal yang naas itu
ditemukan di lembah Sungai Kuripan, di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m
dari tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pecinan, tempatnya dicampakkan gelombang
pertama pukul setengah tujuh itu. Sejumlah perahu kandas di tepi lembah, sebuah rambu
laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw,
mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya.
Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau paling parah, terutama adalah
yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk
Semangka.

Terjepit Dua Rumah

Seorang Belanda yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan berhasil
mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang ditempatkan di Beneawang,
ibukota afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk Semangka, Lampung. PLC. Le Sueur,
pejabat Belanda itu, melaporkan kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31
Agustus 1883 sebagai berikut:

“Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di
serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman yang
menyerupai letusan meriam. Saya mengira bahwa residen yang menurut rencana akan
tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah telah mempercepat jadwal kunjungannya.
Saya segera mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi kami
tidak melihat ada kapal di laut. Saya segera kembali ke rumah.”

“Baru saja saya sampai di rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut mulai naik
dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang. Saya segera berangkat lagi untuk
menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai panik dan memanggil-manggil nama
Allah. Saya menyuruh mereka membawa wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang
letaknya lebih tinggi. Kemudian air surut
lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.”

“Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan
bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa khawatir…”

“Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut jauh lebih rendah
dari biasanya. Sementara batu karang yang biasanya tak nampak, kini menjadi kering.
Selanjutnya saya mendengar guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir
masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang akan menimpa kami…”

“Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk menulis
rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam sudah menunjukkan pukul
tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap sehingga lampu-lampu masih menyala. Sejurus
kemudian kata Van Zuylen: ‘Maaf tuan, untuk sementara saya berhenti menulis saja.
Saya merasa gelisah.’”

“Baru saja ia mengatakan itu, tiba-tiba kami mendengar ribut-ribut. Laki-laki, perempuan,
dan anak-anak berlarian sambil berteriak: ‘Banjir!
Banjir!’. Van Zuylen dan saya segera keluar dan menawari orang-orang itu agar
berlindung di rumah saya saja, karena rumah saya terletak di tempat yang agak tinggi dan
dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian air pasang kembali ke laut sehingga
semuanya tenang kembali…”
“Ketenangan itu tak berlangsung lama: Sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan
debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada sekitar tiga ratus
orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka untuk agak menenangkan
mereka. Tiba-tiba saya mendengar serambi depan runtuh dan air segera menerjang ke
dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke serambi belakang. Baru saja
saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan kami semuanya
terseret oleh arus air.”

“Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat papan dan
mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya
tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan. Setelah itu saya berhasil
menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan erat-erat sampai air kembali ke laut
dan kaki saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas saya untuk melindungi kepala
dari hujan lumpur.”

“Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan, dan anak-
anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri karena lemas, takut, dan
terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab gelap. Saya mendengar air datang lagi
dengan kuatnya. Saya hanya bisa berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami
semua sambil menyiapkan diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan oleh air,
diputarkan, lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat. Saya terjepit di antara dua rumah
yang mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal saya
sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Kemudian
Saya mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi…”

“Dengan batang pisang itu saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya saya
tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja,
barangkali sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita
dan hujan lumpur berlangsung terus.”

Kontrolir Berteriak Minta Tolong

“Akhirnya Saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil,
bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup lumpur sambil meraba-
raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain flanel, telah tercabikkan dari
badan saya. Saya berjalan dalam keadaan kedinginan di bawah hujan lumpur, tetapi tidak
berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar suaranya itu.”

“Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan, sedang
saya lebih banyak jatuh bangun daripada berjalan. Akhirnya saya mendengar ada orang
berkata dalam bahasa Lampung: ‘Kita tak jauh dari sungai besar.’ Saya mempercepat
jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah
suara tadi. Saya bertemu seorang Jawa, seorang Palembang, dan beberapa wanita Jawa.”

“Tak lama kemudian kami melihat cahaya obor dari jauh. Tanpa berhenti saya berteriak:
‘Tolong! Tolong! Saya kontrolir!’ Tetapi agaknya pembawa obor itu tak mendengar
suara saya. Beberapa kali kami melihat cahaya itu, tapi kemudian menghilang di dalam
kegelapan. Ketika itu semestinya sudah pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih
gelap gulita…”

“Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya
katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan semak berduri
dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan ke Penanggungan.
Hari sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana. Di kampung ini saya baru
beristirahat sejam ketika kami mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih
belum aman. Kami melarikan diri lagi ke arah pegunungan. Setelah dua jam berjalan
kami mencapai desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini
ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak pantas.”

“Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya,
sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari Selasa saya
menyuruh orang untuk menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari tempat-tempat di
pantai. Hasilnya amat menyedihkan. Hampir seluruh Beneawang musnah. Saya
perkirakan korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap.
Di banyak desa terjadi kelaparan.”

“Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga
sepatu dan selop.”

Hujan Batu Apung Membara dan Abu Panas

Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir
semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan Residen.
Termasuk Van Zulyen, klerk griffier pembantu Le Sueur, satu-satunya orang Belanda
yang tewas. Kampung-kampung di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami
penghancuran total atau sebagian; di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di
dekatnya, 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan, 244 orang.

Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih
mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam
malapetaka itu.

“Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu
apung yang membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh itu
begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan,
dan kaki. Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang
mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang
yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara anak saya juga ikut meninggal.
Kami terpaksa memakamkannya dalam abu.”

Antar pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi rumah kontrolir. Ini
merupakan dorongan kuat bagi Beyerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas
istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil memgungsi ke Kampung Umbul Balak di
lereng Gunung Rajabasa. Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari
Minggunya sampai pukul sebelas hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh
jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala. Ledakan-ledakan sudah
terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang.
Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan
total. Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri saat
mengenai kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai
uap belerang yang menyesakkan napas.

Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh seperti lem, tetapi lebih
mending daripada abu panas yang mengakibatkan luka-luka bakar. Lumpur dan abu silih
berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.

Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh
yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu.
Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati.
Anak terkecil keluarga Beyerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan
yang menyedihkan itu.

Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kedirie yang pada Sabtu pagi, tanggal 31
Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal beserta beberapa anak
buahnya melakukan peninjauan ke darat. Mereka mendengar bahwa kontrolir dan
keluarganya mengungsi di Umbul Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan
bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga
Kedirie bertolak ke Jakarta.

Tersangkut Di Pohon

Kapal bargas Kedirie menyelamatkan sejumlah korban, di antaranya seorang kakek yang
berumur sekitar enam puluh tahun, bernama Kimas Gemilang, yang kemudian dirawat di
rumah sakit umum di Jakarta. Dalam sebuah wawancara dengan harian berbahasa
Belanda ia mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

“Pada hari Senin pagi, sekitar pukul enam, saya menuju ke pantai, tak jauh dari rumah
saya di Ketimbang. Saya melihat permukaan air laut sangat tinggi, jauh lebih tinggi
daripada sehari-hari, tetapi saya tidak melihat gelombang atau hal lain yang
mencurigakan. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya melihat air menggulung dari
kejauhan, warnanya hitam dan tingginya menyerupai gunung. Saya hendak melarikan diri,
tetapi sudah tak keburu sebab air telah mencapai saya, sehingga saya terseret.

Mujurnya, saya tersangkut pada batang pohon besar. Saya memanjat pohon itu sampai ke
puncaknya. Tak lama sesudah itu air menghilang sama cepatnya seperti tibanya tadi.
Setelah lewat lima menit gelombang pasang itu datang kembali. Saya tetap bertengger di
pohon, tak berani turun. Sesudah lewat sekitar satu jam air pasang tak kembali lagi,
barulah saya perlahan-lahan merosot ke bawah. Tetapi saya tak mampu berjalan karena
cedera akibat hempasan gelombang tadi. Jadi saya duduk dan rebah di bawah pohon
penyelamat itu beberapa hari dan beberapa malam dalam keadaan antara sadar dan tidak,
seperti terbius, tanpa mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya.

Tentu saja selama beberapa hari itu saya tidak makan dan minum sampai suatu pagi, saya
sudah tak tahu lagi hari apa, ada seorang Cina menghampiri saya, lalu mengangkat saya
ke perahunya. Di tengah laut kami ditolong oleh sebuah kapal api yang membawa saya
kemari.”

Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka
Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh,
menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau
didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.

Bulan dan Matahari Berwarna-Warni

Yang meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air pasang yang
melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara Pulau Jawa. Hanya
sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu panas, sedang awan panas dan gas beracun
tak tercatat. Dari laporan-laporan ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali,
yang pertama pada hari Minggu pukul 18.000, pada hari Senin sekitar pukul 06.30, dan
pukul 10.30. Gelombang yang terakhir adalah yang terbesar, yang menyebabkan
kerusakan paling banyak. Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan
oleh gelombang yang terakhir itu.

Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu
akhirnya semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap seperti ditelan bumi;
hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang. Yang tinggal hanya bebatuan sepanjang
813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk
kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km.

Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia
dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu, dalam bulan Oktober 1883
suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi. Hanya dua hari setelah letusan
abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari
bumi, mengkibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit
demi sedikit. Pada tanggal 30 Nopember kabut itu mencapai Eslandia. Kabut itu
menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang-gemilang,
matahari dan bulan berwarna, dan munculnya corona. Di banyak tempat di dunia terlihat
matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan
Krakatau, penduduk Missouri di Amerika Serikat melihat matahari kuning dengan latar
belakang langit hijau.

Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang letusan Krakatau
“Lebih hebat dari bom atom.” Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan
letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los
Alamos pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton,
sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 megaton!

Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom. Sedangkan korban jiwa yang
direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat
sampai hari ini. Ini belum terhitung korban tidak langsung yang meninggal oleh penyakit
dan kelaparan yang terjadi kemudian.***

Você também pode gostar