Você está na página 1de 12

AYAT-AYAT MUTASHABIHAT:

Metode Penafsiran dan Hikmahnya


Oleh: Sokhi Huda

A. PENDAHULUAN
Allah telah menurunkan al-Qur’an kepada hambanya, agar dia menjadi bashir dan
nadhir bagi seluruh alam. Untuk itu, Allah mendeskripsikan akidah yang benar dan
pokok-pokok ajaran yang lurus dalam ayat-ayat yang jelas dan tegas, dan ini merupakan
karunia Allah yang besar atas manusia.
Pokok-pokok ajaran agama (usul al-din) itu kadangkala disebutkan dalam al-
Qur’an dalam lafaz dan ungkapan yang berbeda, meskipun makna yang dikandungnya
sama, tanpa ada perselisihan sedikitpun. Tetapi selain itu yang merupakan cabang/ rincian
agama (furu‘ al-din) dibahas dalam ayat-ayat yang umum dan mengandung banyak
kesamaran. Hal ini dapat memberikan keleluasaan kepada para mujtahid/ mufassir yang
ilmunya mendalam untuk dapat mereferensikan ayat-ayat itu kepada muhkamnya dengan
mendasarkan furu‘ kepada usul. Dengan kesempurnaan yang terdapat dalam usul dan
keumuman yang terdapat pada furu‘nya Islam merupakan agama yang abadi dan dapat
memberikan kebaikan hidup bagi manusia, di dunia dan akhirat.
Makalah ini berusaha untuk mengungkap metode penafsiran dan hikmah ayat-ayat
mutashabihat, dalam pembahasan yang ringkas dan padat. Sebelum ke fokus utama
pembahasan, terlebih dulu dipaparkan sekitar konsep dasarnya yang meliputi pengertian,
dasar-dasar, dan macam-macam mutashabihat.

B. PENGERTIAN MUTASHABIHAT
Lafaz mutashabihat adalah bentuk kata sifat mu’annath yang digunakan untuk
menyifati isim mu’annath pula, seperti “ayat mutashabihat”. Sedangkan bentuk
mudhakkarnya adalah mutashabihLafaz ini mempunyai banyak arti, baik menurut bahasa
(etimologi) maupun istilah (terminologi).
Kata mutashabih berasal dari tashabuh. Para ahli bahasa menngunakannya untuk
arti keserupaan dan kesamaan yang membawa kepada kesamaran antara dua hal1,
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, dalam menyifati rejeki surga:
“Dan mereka diberi buah-buahan yang serupa”2.
Tashabah dan ishtabah, keduanya berarti dua hal yang saling menyerupai yang
satu dengan yang lain, sehingga sukar dibedakan3. Dalam kisah tentang Bani Israil, al-
Qur’an menyebutkan: 4
“Sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami.”
Secara terminologis, para ulama memiliki definisi yang bervariasi tentang
mutashabih, sebagaimana perbedaan mereka tentang muhkam, antonimnyaAl-Suyuti
misalnya, telah mengemukakan 18 makna mutashabih yang diberikan oleh ulama5.
Sedangkan al-Zarqani mengemukaan 11 definisi, yang sebagiannya dikutip oleh a-Suyuti6.
Di antara beberapa definisi mutashabih yang dikemukakan oleh al-Zarqani adalah
sebagai berikut:
1. Mutashabih adalah ayat yang tersembunyi maknanya, tidak diketahui maksudnya,
baik secara aqli maupun naqli, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah,
seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat.
Pendapat ini dinisbatkan oleh al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2. Mutashabih adalah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti
datangnya hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal
suratPendapat ini dinisbatkan kepada ahl sunnah sebagai pendapat terpilih di kalangan
mereka.
3. Mutashabih adalah ayat yang tidak jelas maknanya dan mengandung ishkal
(kepelikan)Muhkam, sebagai lawan dari mutashabih, terdiri atas lafaz nas dan lafaz

1
Lihat Muhammad bin Ya`qub al-Fayruz Abadi, al-Qamus al-Muhit, Vol4 (Beirut: Dar al-Kutub
al-`Ilmiyah, 1995), 266; al-Zarqani, Manahil al-`Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Jilid 2 (Mesir: Dar al-
Kutub al-'Arabiyah, t.t.), 270.
2
Al-Qur'an, surat al-Baqarah: 25.
3
Al-Zarqani, Manahil..., 270.
4
al-Qur'an, surat al-Baqarah: 70.
5
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi `Ulum al-Qur'an, Jilid 2, 2-3.
6
Al-Zarqani, Manahil…, Jil.2, 271.
zahir. Sedangkan mutashabih terdiri atas asma‘ mubhamah (kata-kata benda yang
samar)Ini adalah pendapat al-Tibi.
4. Mutashabih adalah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafaz mujmal
(global), mu’awwal (lafaz yang perlu ditakwil agar dapat dipahami) dan mushkil
(pelik). Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam al-Razi, dan dipilih oleh banyak
peneliti.
Setelah mengemukakan beberapa definisi di atas, al-Zarqani kemudian
berkomentar bahwa definisi-definisi tersebut tidak bertentangan, bahkan di antaranya
terdapat persamaan dan kedekatan makna. Tetapi, menurut dia, pendapat Imam al-Razi
lebih jelas, karena sebenarnya masalah ihkam dan tashabuh kembali kepada persoalan
jelas atau tidaknya makna yang dimaksud oleh Allah dari kalam yang diturunkanNya. Dari
perspektif ini, definisi yang dikemukakan oleh Imam al-Razi merupakan definisi yang
jami‘ (mencakup seluruh personnya) dan mani‘ (menolak segala yang di luar person-
personnya). Dengan definisi ini, ayat lafaz atau ayat yang maknanya tersembunyi tidak
akan masuk kepada muhkam, dan ayat atau lafaz yang maknanya jelas tidak akan masuk
kepada mutashabih.7
Memang, definisi yang diseleksi oleh al-Zarqani tersebut tampak lebih tandas dan
mumpuni dibanding dengan definisi-definisi lainnya. Di samping alasan yang
dikemukakan oleh al-Zarqani di atas, dapat ditambahkan bahwa kata ‘kuat’ yang
diterjemahkan dari kata rajihah dalam definisi muhkam, dan kata ‘tidak kuat’ yang
diterjemahkan dari kata ghayr rajihah dalam definisi mutashabih, penggunaannya akurat
dalam definisi yang dikemukakan oleh Imam al-Razi. Sebab, asal arti rajih sendiri adalah
‘berat’. Sesuatu yang dipandang berat dalam timbangan berarti lebih berat/ berbobot
daripada yang lainnya. Dengan demikian, penggunaan kata rajihah dalam definisi tersebut
akurat daripada kata wadih (jelas) dalam definisi al-Tibi. Suatu ayat atau lafaz dapat
mempunyai beberapa makna yang wadih, akan tetapi maknanya yang rajih dalam konteks
tertentu hanya tunggal.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pembicaraan mengenai mutashabih
menimbulkan masalah yang perlu dibahas lebih lanjut. Sebaliknya, dalam pembicaraan
tentang muhkam, tidak memerlukan diskusi panjang, oleh karena ia adalah ayat yang jelas
dan rajih maknanya.

C. DASAR-DASAR MUTASHABIH
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang merupakan dasar mutashabih, di
antaranya adalah:
Pertama, firman Allah:
8
‫ﻲ‬ ‫ﻣﺜﹶﺎِﻧ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎِﺑﻬ‬‫ﺘﺸ‬‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎﺑ‬‫ِﻛﺘ‬
Artinya:
“(yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutashabih) lagi berulang-ulang”.
Kedua, firman Allah:

‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﺏ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ‬ ‫ﻦ ﹸﺃ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺎ‬‫ﺤ ﹶﻜﻤ‬
 ‫ﻣ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺎ‬‫ﻪ َﺁﻳ‬ ‫ﻨ‬‫ﺏ ِﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻚ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ‬  ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺰ ﹶﻝ‬ ‫ﻧ‬‫ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃ‬ ‫ﻫ‬
‫ﻨ ِﺔ‬‫ﺘ‬‫ﺎ َﺀ ﺍﹾﻟ ِﻔ‬‫ﺑِﺘﻐ‬‫ﻪ ﺍ‬ ‫ﻨ‬‫ﻪ ِﻣ‬ ‫ﺑ‬‫ﺎ‬‫ﺗﺸ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﻣ‬‫ﺘﺒِﻌ‬‫ﻴ‬‫ﻳ ﹲﻎ ﹶﻓ‬‫ﺯ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﻓِﻲ ﹸﻗﻠﹸﻮِﺑ ِﻬ‬ ‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﺕ ﹶﻓﹶﺄﻣ‬  ‫ﺎ‬‫ﺎِﺑﻬ‬‫ﺘﺸ‬‫ﻣ‬
‫ﺎ ِﺑ ِﻪ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﻳﻘﹸﻮﻟﹸﻮ ﹶﻥ َﺁ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ِﻌ ﹾﻠ ِﻢ‬‫ﺮﺍ ِﺳﺨ‬ ‫ﺍﻟ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻪ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺗ ﹾﺄﻭِﻳﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺗ ﹾﺄﻭِﻳِﻠ ِﻪ‬ ‫ﺎ َﺀ‬‫ﺑِﺘﻐ‬‫ﺍ‬‫ﻭ‬
9
‫ﺏ‬
ِ ‫ﺎ‬‫ﺮ ِﺇﻟﱠﺎ ﺃﹸﻭﻟﹸﻮ ﺍﹾﻟﹶﺄﹾﻟﺒ‬ ‫ﻳ ﱠﺬ ﱠﻛ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺑﻨ‬‫ﺭ‬ ‫ﻨ ِﺪ‬‫ﻦ ِﻋ‬ ‫ﹸﻛ ﱞﻞ ِﻣ‬
Artinya:
“Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)-nya terdapat ayat
yang muhkamat, itulah pokok isi al-Qur’an, dan yang lain ialah (ayat-ayat) mutashabihat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya terdapat kecondongan kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti ayat-ayat yang mutashabihat, untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mwncari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Orang-
orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘kami beriman kepada ayat-ayat mutashabihat;
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali
orang-orang yang berakal.”

Sepintas, ayat di atas dapat menimbulkan pemahaman yang kontradiktif. Oleh


karenanya, Ibn Habib al-Naysaburi menyebutkan tiga pendapat tentang masalah ini.
Pertama, bahwa al-Qur’an seluruhnya adalah muhkamPendapat ini didasarka pada firman

7
Al-Zarqani, Manahil..., 275.
8
Al-Qur'an, surat al-Zumar (39): 23.
9
Al-Qur'an, surat Ali Imran (3): 7.
Allah ُ ُ ََ ْ
َ ِ
ْ ‫( ِآَبٌ ُأ‬Sebuah kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya).10
Kedua, bahwa al-Qur’an seluruhya mutashabih berdasarkan ayat pertamadi atas. Ketiga,
bahwa sebagian ayat al-Qur’an adalah muhkam dan sebagian lainnya adalah mutashabih,
berdasarkan ayat kedua di atas, dan inilah pendapat yang lebih sahih menurut kebanyakan
ulama. Sedangkan yang dimaksud muhkamnya al-Qur’an adalah kesempurnaannya dan
tidak adanya pertentangan antar ayat-ayatnyamaksud mutashabih dalam ayat pertama
adalah menjelaskan segi-segi kesamaan ayat-ayat al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan,
dan kemukjizatannya dalam kaitan ini, para ulama memandang tentang tidak adanya
pertentangan antara kedua ayat tersebut di atas dan ayat 1 surat Hud. Lebih dari itu,
mereka menegaskan bahwa yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah ayat
yang kedua, dan bukan ayat yang pertama dan ketiga.

D. MACAM-MACAM MUTASHABIH
Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa sumber mutashabih adalah
ketersembunyian maksud Allah dari kalamnya. Ketersembunyian itu dapat merujuk pada
lafaz, pada makna, atau pada lafaz dan makna sekaligus.
Menurut al-Zarqani, ayat-ayat mutashabihat dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak mampu mencapai maksudnya, seperti
pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifatNya, pengetahuan tentang waktu
kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman:

11
‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ ِﺇﻟﱠﺎ‬‫ﻤﻬ‬ ‫ﻌﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺐ ﻟﹶﺎ‬
ِ ‫ﻴ‬‫ﻐ‬ ‫ﺢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣﻔﹶﺎِﺗ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻭ ِﻋﻨ‬
Artinya:

“Dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri”

10
Al-Qur'an, surat Hud (11): 1.
11
Al-Qur'an, surat al-An`am (6): 59.
‫ﺪﺭِﻱ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺎ ِﻡ‬‫ﺭﺣ‬ ‫ﺎ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻌﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﺚ‬
‫ﻴ ﹶ‬‫ﻐ‬ ‫ﺰ ﹸﻝ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﻋ ِﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﺍﻟﺴ‬ ‫ﻩ ِﻋ ﹾﻠ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻨ‬‫ﻪ ِﻋ‬ ‫ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﱠﻠ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻋﻠِﻴ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺕ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﻮ‬‫ﺗﻤ‬ ‫ﺽ‬ٍ ‫ﺭ‬ ‫ﻱ ﹶﺃ‬
 ‫ﺲ ِﺑﹶﺄ‬  ‫ﻧ ﹾﻔ‬ ‫ﺪﺭِﻱ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺍ‬‫ﺐ ﹶﻏﺪ‬  ‫ﺴ‬ ِ ‫ﺗ ﹾﻜ‬ ‫ﺎﺫﹶﺍ‬‫ﺲ ﻣ‬  ‫ﻧ ﹾﻔ‬
12
‫ﲑ‬ ‫ﺧِﺒ‬
Artinya:
“Sesungguhnya Allah, hanya di sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat.
Dialah yang menurunkan hujan, mengetahui apa yang ada dalam rahimTidak ada
seorang pun yang dapat mengetahui --dengan pasti apa yang diusahakannya besok.
Tidak ada seorang pun mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Waspada.”

2. Ayat-ayat yang setiap orang dapat mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian, seperti ayat-ayat mutashabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutan atau semisalnya. Allah berfirman:

13
‫ﺎ ِﺀ‬‫ﻨﺴ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﺏ ﹶﻟ ﹸﻜ‬
 ‫ﺎ ﻃﹶﺎ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻧ ِﻜﺤ‬‫ﻰ ﻓﹶﺎ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺴﻄﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﻴ‬
ِ ‫ﺗ ﹾﻘ‬ ‫ﻢ ﹶﺃﻟﱠﺎ‬ ‫ﺘ‬‫ﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ‬
Artinya:

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim, maka nikahilah wanita-wanita....”

Maksud ayat ini tidak jelas, dan ketidakjelasannya timbul karena lafaz yang
ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:

‫ﻦ‬ ‫ﻢ ِﻣ‬ ‫ﺏ ﹶﻟ ﹸﻜ‬


 ‫ﺎ ﻃﹶﺎ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻧ ِﻜﺤ‬‫ﻦ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬‫ﻨ ِﻜﺤ‬‫ﺗ‬ ‫ﻰ ﹶﺍ ﹾﻥ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻴﺘ‬‫ﺴﻄﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ‬
ِ ‫ﺗ ﹾﻘ‬ ‫ﻢ ﹶﺃﻟﱠﺎ‬ ‫ﺘ‬‫ﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ‬

‫ﺎ ِﺀ‬‫ﻨﺴ‬‫ﺍﻟ‬

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap perempuan yang yatim sekiranya
kamu kawini mereka, maka nikahilah wanita-wanita selain mereka.”

12
Al-Qur'an, surat Luqman (31): 34.
13
Al-Qur'an, surat al-Nisa' (4): 3.
3. Ayat-ayat mutashabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan
bukan semua ulamaMaksudnya adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati
orang-orang yang jernih jiwanya dan para mujtahid.
Dalam kitab al-Mufradat, al-Raghib al-Asfahani memberikan penjelasan yang
hampir sama. Menurut dia14, mutashabih terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1) jenis yang
tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah (binatang)
dan sejenisnya, (2) jenis yang dapat diketahui oleh manusia, seperti lafaz-lafaz yang ganjil
(gharib) dan hukum yang tertutup, dan (3) jenis yang hanya diketahui oleh ulama tertentu
yang mendalam ilmunya. Jenis terakhir inilah yang diisyaratkan dalam doanya bagi Ibn
Abbas:

“Ya Tuhanku, jadiklanlah dia seorang yang paham dalam agama, ajarkanlah
kepadanya takwil.”

Pendapat al-Raghib tersebut merupakan pendapat yang paling moderat, karena


memang Zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah.
Demikian juga halnya hal-hal gaib, yang merupakan “dominasi mutlak” Tuhan. Hal ini
sesuai dengan firman Allah di atas yang artinya: “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci
semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri”15.

’Îû tÏ%©!$# $¨Βr'sù ( ×M≈yγÎ7≈t±tFãΒ ãyzé&uρ É=≈tGÅ3ø9$# ‘Πé& £èδ ìM≈yϑs3øt’Χ ×M≈tƒ#u çµ÷ΖÏΒ |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã tΑt“Ρr& ü“Ï%©!$# uθèδ

tβθã‚Å™≡§9$#uρ 3 ª!$# āωÎ) ÿ…ã&s#ƒÍρù's? ãΝn=÷ètƒ $tΒuρ 3 Ï&Î#ƒÍρù's? u!$tóÏGö/$#uρ ÏπuΖ÷GÏø9$# u!$tóÏGö/$# çµ÷ΖÏΒ tµt7≈t±s? $tΒ tβθãèÎ6®KuŠsù Ô÷ƒy— óΟÎγÎ/θè=è%

∩∠∪ É=≈t6ø9F{$# (#θä9'ρé& HωÎ) ㍩.¤‹tƒ $tΒuρ 3 $uΖÎn/u‘ ωΖÏã ôÏiΒ @≅ä. ϵÎ/ $¨ΖtΒ#u tβθä9θà)tƒ ÉΟù=Ïèø9$# ’Îû

E. METODE PENAFSIRAN MUTASHABIH


Sebagaimana perbedaan pendapat di antara para ulama dalam merumuskan
mutashabih, mereka juga berbeda pendapat tentang metode penafsiran dan kemungkinan
mengetahui maksudnya, dalam dua mazhab. Hal ini dimodali oleh perbedaan tentang waqf

14
Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), 261.
15
Al-Qur'an, surat al-An`am (6): 59.
pada lafaz 3 ª!$# ãāωÎ) &s#ƒÍρù's? Νn=÷ètƒ $tΒuρ dalam surat Ali Imran: 7, dan perbedaan tentang

kedudukan wawu (uρ) pada kalimat berikutnya (ÉΟù=Ïèø9$#’Îû tβθã‚Å™≡§9$#uρ); apakah ia untuk isti’naf

atau ‘atf.
Pertama, mazhab salaf, mayoritas ulamanya mengatakan bahwa tidak ada yang
mengetahui takwil mutashabih kecuali Allah SWT. Oleh karenanya, meraka mewajibkan
waqf pada ism jalalah ( ). Mereka enggan untuk mentakilkannya dan meninggalkan segala
upaya untuk menggali artinya sesungguhnya.
Dalam hal itu mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya qira’ah Ibn
Abbas yang berbunyi:

ϵÎ/ $¨ΖtΒ#u tβθä9θà)tƒ ÉΟù=Ïèø9$# ’Îû tβθã‚Å™≡§9$#uρ 3 ª!$# āωÎ) ÿ…ã&s#ƒÍρù's? ãΝn=÷ètƒ $tΒuρ

“Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: kami beriman dengannya.”

Apa yang diisyaratkan oleh ayat tersebut tentang dhamm (pencelaan) terhadap pencari-cari
mutashabih dengan menyifasinya sebagai orang yang hatinya condong kepada kesesatan
dan menimbulkan fitnah, justru sebaliknya, pada ayat yang sama memuji orang-orang
yang menyerahkan pengetahuan tentang itu kepada Allah. Dalam sebuah hadith, ‘Aishah
RA berkata:
16

“Dari `Aishah RA berkata: Rasulullah membaca ayat ini, lalu bersabda: Jika engkau
dapati mereka yang mencari-cari mutashabih, merekalah golongan yang dinamakan
sebagai ‘pencari fitnah’ oleh Allah, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka.”

Kedua, mazhab khalaf, sebagian ulamanya dimotori oleh mujtahid, mengatakan


bahwa mereka yang mendalam ilmunya dapat mengetahui takwil mutashabihPendapat
inilah yang dipilih oleh al-Nawawi. Oleh karenanya, mereka menetapkan waqf pada ayat
di atas pada kalimat :

16
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari wa Irshad al-Shari`, Juz 10, 103, hadith 4547.
ϵÎ/ $¨ΖtΒ#u tβθä9θà)tƒ ÉΟù=Ïèø9$# ’Îû tβθã‚Å™≡§9$#uρ 3 ª!$# āωÎ) ÿ…ã&s#ƒÍρù's? ãΝn=÷ètƒ $tΒuρ
dan mengatakan bahwa huruf wawu menunjukkan ‘atf.17
Abu Ishaq al-Shayrazi dalam dukunganya terhadap pendapat mazhab khalaf
mengatakan: “tidak ada sesuatu (dalam al-Qur’an) yang dirahasiakan oleh Allah dari para
ulama, karena Allah menyebut mereka (dalam ayat di atas) sebagai pujian atas mereka,
dan jika mereka tidak mengetahui takwil mutashabih, niscaya keadaan mereka sama
dengan `ammah (golongan manusia biasa/ umum)”.18
Untuk memperkuat pendapatnya, mereka mengambil beberapa athar sahabat, di
antaranya:
19

“Dari Ibn Abbas tentang firman Allah: ‘Dan tidak mengetahui takwilnya
kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya’, berkata Ibn Abbas:
Saya adalah di antara orang-orang yang mengetahui takwilnya.

Dalam mentakwilkan ayat-ayat mutashabih al-sifat --sebagai contoh-kelompok


kedua ini mentakwilkan lafaz yang makna lahirnya mustahil merujuk kepada makna yang
layak dengan Zat Allah. Mereka memaknakan istiwa‘ dengan ketinggian yang abstrak,
berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan allah
diartikan dengan kedatangan perintahNya. Allah berada di atas hambaNya, dalam keadaan
Maha Tinggi, bukan di atas suatu tempat “sisi” Allah diartikan hak Allah, “wajah”
diartikan zat, “mata” diartikan pengawasan, “tangan” diartikan kekuasaan, dan “diri”
diartikan siksa. Demikianlah cara yang ditempuh oleh ulama khalaf. Sedangkan semua
lafaz yang mengandung makna “cinta”, “murka”, dan “malu” bagi Allah, ditakwil dengan
majaz yang terdekat.20 Mereka berkata:

17
Al-Zarkashi, al-Burhan fi `Ulum al-Qur'an, Jil.2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 83; al-Qattan,
Mabahith fi `Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994), 282; Wahbah al-Zuhayli, Usul
al-Fiqh al-Islami, Vol.1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 343.
18
Al-Zarkashi, al-Burhan.., jil.2, 83.
19
Sahihal-Bukhari, "Fada'il al-Sahabah", 6.
20
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi `Ulum al-Qur'an, Vol.2, 3-4
“Setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditafsirkan (ditakwil)
dengan kelazimannya.”

F. HIKMAH KEBERADAAN MUTASHABIH


Ayat-ayat al-Qur’an, baik yang muhkam maupun yang mutashabih, semuanya
datang dari Allah. Apabila yang muhkam memiliki makna yang jelas dan mudah dipahami,
sedangkan yang mutashabih mempunyai makna yang samar dan tidak semua orang dapat
menangkapnya, maka muncul peroslan: mengapa tidak sekaligus diturunkan seluruhya
berupa muhkam, sehingga semua orang secara mudah memahami kandungan al-Qur’an?.
Para ulama telah mencoba untuk mengungkap hikmah dan rahasia keberadaan ayat
mutashabihat al-Suyuti misalnya, menyebutkan empat hikmah keberadaan ayat
mutashabihat:
1. Ayat-ayat mutashabihat mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap
maksudnya, sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
2. Sekiranya al-Qur’an, seluruhnya adalah muhkam, maka tentu hanya ada satu mazhab
saja. Sebab, kejelasannya akan mambatalkan semua mazhab di luarnya. Sedangkan
yang demikian ini tidak dapat diterima oleh semua mazhab dan tidak memberinya
manfaat. Tetapi, jika al-Qur’an mengandung muhkam dan mutashabih, maka masing-
masing penganut mazhab berupaya untuk menguatkan pendapatnya. Kemudian, semua
penganut mazhab memperhatikan dan merenungkannya. Apabila mereka terus
menggalinya, maka ayat-ayat muhkamat menjadi penafsirnya.
3. Jika al-Qur’an mengandung ayat-ayat mutashabihat, maka untuk memahaminya
diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya. Hal ini
memerlukan dukungan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika, ma‘ani, ilmu
bayan, usul fiqh, dan sebagainya. Apabila tidak semikian, tentu ilmu-ilmu itu tidak
muncul.
4. Al-Qur’an berisi da’wah kepada orang-orang tertentu dan umum. Orang awam biasanya
tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstraks. Jika mereka mendengar pertama kalinya
tentang suatu wujud, akan tetapi tidak berwujud fisik dan tidak berbentuk, maka
mereka menyangka bahwa hal itu tidak benar, dan akhirnya mereka terperosok ke
dalam ta’til (peniadaan sifat-sifat Allah). Oleh karena itu, sebaiknya disampaikan
kepada mereka lafaz-lafaz yang menunjukkan pengertian yang sesuai dengan imajinasi
dan daya khayal mereka; ketika itu bercampur antara kebenaran empirik dan hakikat.
Bagian pertama adalah ayat-ayat mutashabihat yang dengannya mereka diajak bicara
pada tahap permulaan. Sedangkan bagian lainnya berupa ayat-ayat muhkamat untuk
menyingkap hakikat sebenarnya.21
Al-Zarqani menyebutkan delapan hikmah. Empat di antaranya merupakan hkmah
yang disebutkan oleh al-Suyuti di atas. Sedangkan empat hikmah lainnya adalah:
1. Ayat-ayat mutashabihat merupakan rahmat bagi manusia yang lemah yang tidak
mampu ntuk mengetahui segala sesuatu. Ketika Tuhan menampakkan diri kepada bukit,
mukit itu hancur-luluh dan Nabi Musa jatuh-pingsan. Bagaimana sekiranya Tuhan
menampakkan zat dan hakikat sifat-sifatNya kepada manusia?. Oleh karena itu, Tuhan
menyembunyikan pengetahuan tentang hari kiamat bagi manusia agar mereka tidak
bermalas-malasan dalam membuat persiapan untuk menghadapinya.
2. Keberadaan ayat-ayat mutashabihat juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia,
apakah mereka percaya atau tidak tentang hal-hal gaib berdasarkan berita yang
disampaikan oleh orang yang benar. Orang-orang yang mendapat hidayah niscaya
meyakininya, meskipun mereka tidak mengetahui secara detil. Sedangkan orang-orang
yang sesat mengingkarinya.
3. Ayat-ayat mutashabihat menjadi dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia.
Bagaimanapun besar kesiapan dan seberapapun ilmunya, akan tetapi Tuhan sendirilah
yang mengetahui segala-galanya.
4. Ayat-ayat mutashabihat dalam al-Qur’an menguatkan kemukjizatannya. Sebab, setiap
ayat di dalamnya mengandung pengertian yang tersembunyi, yang membawa kepada
tashabuh memiliki andil yang besar dalam kebalaghahannya dan pencapaian ke tingkat
yang paling tinggi dalam bayan.22
Inilah sebagian hikmah keberadaan ayat mutashabihat yang dikemukakan oleh
para ulama.

21
Al-Suyuti, al-Itqan..., jil.2, 13.
22
Al-Zarqani, Manahil..., 282-285.
G. SIMPULAN
Pertama, mutashabih dalam al-Qur’an lebih bernuansa menitikberatkan pada
rangsangan untuk tumbuhnya ilmu-ilmu lain yang merupakan kebutuhan bagi upaya
ijtihadiah dalam menggali kandungan al-Qur’an, di samping merupakan strategi dalam
aktifitas dakwah sesuai dengan masyarakat sasarannya.
Kedua, sikap ulama salaf terhadap ayat mutashabihat lebih pasrah dan menjaga
diri dengan asumsi bahwa hanya Allah yang megetahui makna dan maksudnyaSedangkan
sikap ulama khalaf terhadap ayat tersebut lebih agresif dengan penekanan pada karakter
ilmuwan (al-rasikhun fi al-‘ilm) yang senantiasa kreatif dibandingkan dengan orang
awam.

BIBLIOGRAFI

Abadi, Muhammad bin Ya‘qub al-Fayruz. al-Qamus al-Muhit, Vol4. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1995.

Asfahani. al-Raghib. al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Bukhari. Sahih al-Bukhari wa Irshad al-Shari‘, Juz 10. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.

Qattan, Manna‘ Khalil. Mabahith fi `Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.

Salih, Subhi. Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977.

Suyuti, Jalal al-Din. al-’Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.

Zarkashi, Muhammad bin ‘Abd Allah. al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jil.2. Beirut: Dar al-
Fikr, 1988.

Zarqani, Muhammad ‘Abd al-’Aziz. Manahil al-`Irfan fi `Ulum al-Qur’an, Jilid I dan II.
Mesir: Dar Ihy al-Kutub al-’Arabiyah, 1988.

Zuhayli, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami, Vol.1. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.

Você também pode gostar