Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Pengantar
Berbicara tentang pengkaderan PMII, sebenarnya telah membicarakan tentang satu sistem pola
pengajaran dan pananaman ideologi yang sudah dirumuskan, didiskusikan dan diaplikasikan
selama 50 tahun semenjak berdirinya PMII. Satu perjalanan yang tidak sebentar. Ibarat perahu
di lautan, ia sudah kenyang asam dan garam serta terpaan badai, maka saatnya perahu
tersebut berlabuh dengan kualitas dan kuantitas yang sangat memadai.
Banyak problem-problem yang bersemayam dalam tubuh PMII dalam menerapkan dan mencari
bentuk proses pengkaderan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan kader dan juga mampu
menjawab setiap problem realitas yang dihadapi oleh kader. Tidak heran juga dalam perjalanan
PMII, materi yang diterapkan dalam proses pengkaderan selalu berubah-ubah.
Salah satu persoalan yang sering dihadapi adalah membentuk satu bentuk sistem pengkaderan
yang berbasis lokal adalah masih belum menemukan satu titik terang yang mampu menjawab
setiap realitas yang dihadapi oleh kader.
Basis pengembangan PMII di kampus agama dan humaniora ternyata mempunyai efek domino
dalam membentuk sistem pengkaderan. Pola pengembangan pengkaderan pada kampus yang
bersifat eksakta ternyata masih perlu mendapatkan perhatian secara khusus.
Perlunya menyusun kembali tatanan kaderisasi di PMII dibutuhkan sebagai kesadaran untuk
melakukan revitalisasi agar kaderisasi tidak hanya sekedar menjadi semacam prasyarat
eksistensi PMII di semua tingkatan. Kaderisasi bukan hanya sekedar tradisi turun-temurun dan
Tidak signifikasikannya kaderisasi bisa dirasakan dalam konteks PMII hari ini yakni dengan
semakin memudarnya kader yang memiliki karakteristik yang diidealkan. Rasanya, kita semua
terlalu larut dan berkontribusi menjadikan PMII sebagai institusi kader yang jauh dari kesan
disiplin. Dengan kata lain, jika kita masih meyakini common good yang kita punya, kita harus
bersepakat dan berjuang untuk membenahi proses kaderisasi yang ada.
Sejatinya, kaderisasi adalah proses pembentukan individu menjadi kader. Kader yang memiliki
kedisplinan dan keteladanan. Penting untuk diingat bahwa organisasi kader selalu identik
dengan dua hal: adanya kedisiplinan terhadap nilai dan kedisiplinan terhadap institusi
kepemimpinan. Kedisiplinan akan tercipta dengan sendirinya secara otomatis jika proses
kaderisasinya berjalan pada sistem yang istiqomah. Sementara itu, aturan (rule of the game)
institusi hanya diletakkan sebagai perangkat struktur-administratif dalam menentukan arah dan
menjalankan institusi.
Salah satu problem mengapa sistem pengkaderan selalu dirasakan ada kelemahannya adalah,
karena pola pembacaan perkembangan kader tidak bisa di up date setiap saat. Ketika
kebutuhan informasi tentang perkembangan dan potensi kader pada suatu daerah, selalu
kesulitan menjawab dengan akurat. Database yang sebenarnya telah terbentuk atau yang
sudah ada masih belum bisa dioptimalkan sebagai bentuk kelanjutan dalam pembacaan,
sehingga pembacaan tersebut dirasakan mengalami stagnasi dalam setiap kali merumuskan
satu sistem pengkaderan yang berkesinambungan.
Pada rumusan pengkaderan yang bersifat informal maupun non formal masih menjadi satu
kendala dalam mematrialkan dari rumusan modul yang telah ada, sehingga sistem pada
pengkaderan yang bersifat informal maupun non formal masih belum menjadi sebuah sistem
yang stabil, sehingga proses transformasi nilai guna mewujudkan kader ideolog terkesan tidak
bisa ditentukan standart bakunya. Dengan kata lain hanya tingkatan struktur yang mau aktif
menjalankan follow up kaderisasi formal, dikarenakan minimnya modul kaderisasi non formal.
Apalagi jika dihadapkan dengan perkembangan PMII di kampus umum. Materi-materi yang bisa
menjawab kebutuhan kader di perguruan tinggi umum masih belum teraplikasi dengan tuntas.
Oleh karena itu, kesempatan ini merupakan bagian dari upaya kita untuk bisa menutupi,
menyempurnakan pembacaa-pembacaan yang telah dirintis oleh para pendahulu (the founding
fathers). Sehingga sistem kaderisasi yang berbasis nilai dan karakter ulul albab dapat terwujud
dengan baik. Akhirnya secara otomatis sistem kerja institusi semakin tertata dangan baik, dapat
menunjukkan wajahnya sebagai organisasi “kader” yang selalu responsif terhadap dinamika
sosial lokal maupun global, aplikatif, memiliki standard yang jelas pada setiap situasi dan
kondisi “shoolihun fi kulli zamaanin wa makaanin”.
Dari skema tersebut sistem kaderisasi bisa dipetakan berdasarkan tujuan kompetensi yang
ingin ditanamkan pada kader, sehingga metode dan stategi yang digunakan dalam kurikulum
juga terarah secara sistematis.
Berangkat dari bacaan tersebut, serta evaluasi atas pola pengkaderan yang berjalan selama ini,
dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan karakteristik individu calon kader dan
personality kader yang selama ini sudah berproses, maka dipandang perlu melakukan refresh
(penyegaran kembali), dengan tetap memegang prinsip al-muhafadzo (menjaga sistem lama).
Baik terkait pola rekruitment, kurikulum kaderisasi formal, instruktur, follow up dan pedampingan
anggota baru, kurikulum kaderisasi non formal dan informal, penilaian dan evaluasi pada setiap
proses pengembangan diri yang dilalui kader, yang diukur dengan standar baku “ketuntasan”
proses kader. Usulan reformulasi itu secara global dapat dijelaskan melalui tabel di bawah ini:
Modul Formal - Hand Book Pergerakan - Buku saku ini merupakan ikatan antara
- Multimedia Pergerakan kader dengan institusi. Kader perlu
memiliki dan memahami sejarah,
produk hukum (AD/ART dan PO),
paradigma (PKT), dan nilai PMII (NDP
dan Aswaja).
- Membuat visualisasi materi agar dapat
menyentuh ranah afektif dan
psikomotorik.
Notes:
1. Sebagian isi rencana draft ini adalah hasil lokakarya Aswaja, Workshop Kaderisasi dan pra-
Muspimnas, serta berbagai diskusi dan kegiatan PKC PMII DKI.
2. Untuk membuat kerangka operasional perlu follow up setelah Temu Pimpinan Nasional pada
masing-masing region dalam bentuk workshop atau lokakarya.