Você está na página 1de 7

Evolution of International 

Society
INTERNATIONAL HISTORY 1900-1945: the globalization of world politics »

28 Feb

Hubungan Indonesia dengan Negara Asia


Tenggara (ASEAN)
Posted February 28, 2010 by Renny Candradewi in POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA,
RENNY CANDRADEWI. Leave a Comment

 
 
5 Votes

ASEAN DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL DENGAN NEGARA TETANGGA

HUBUNGAN INDONESIA DAN MALAYSIA[GER1]

Dalam suatu realitas suatu hubungan, baik hubungan personal maupun interpersonal, nasional
maupun internasional, memiliki beberapa keterkaitan dan ketergantungan satu sama lainnya.
Keterkaitan tersebut memberikan kontribusi yang sangat kuat bagi hubungan pihak-pihak
yang bersangkutan. Namun, ketika kita memahami suatu hubungan antar negara satu dengan
lainnya yang diartikan sebagi hubungan internasional ini, hal-hal yang mempengaruhi baik
dari segi positif maupun negatifnya masih cukup banyak. Entitas Globalisasi membuat
negara-negara menjadi satu dan bergabung membentuk wadah organisasi yang mana tujuan
kedepannya ialah agar dapat tercapainya suatu bentuk kerjasama regional maupun keamanan
bersama.

Masa Orde baru di Indonesia yang dipimpin oleh Presiden RI ke-2 Soeharto, memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap hubungan luar negeri Indonesia saat itu. Ketika kita
memahami Hubungan Indonesia dengan wilayah negara-negara di Asia Tenggara pada masa
orde baru, suatu bentukan organisasi yang dianggap mampu mendapat respon yang cukup
baik bagi politik luar negeri RI dan sebagai rekonstruksi pembangunan di sektor ekonomi
Indonesia, yang kemudian dikenal dengan ASEAN atau Association of South-East Asian
Nations. Dimana wadah organisasi ini dipelopori oleh 5 negara pendiri yakni: Indonesia,
Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.

Beberapa kontroversi terus menerpa hubungan Indonesia dengan Malaysia sebelum


pemerintahan orde baru muncul. Seperti yang kita ketahui, pada saat era presiden Soekarno,
politik “Ganyang Malaysia” yang dikeluarkan sebagai senjata untuk memberontak sekaligus
menentang pembentukan persemakmuran Inggris, federasi Malaysia. Malaysia dinilai sebagai
bentuk pengaruh imperialisme barat yang disebarkan oleh Inggris, dan kemudian,
memberikan suatu ide “Konfrontasi” yang bersifat radikal terhadap kebijakan luar negeri
Indonesia yang dikeluarkan presiden Soekarno pada masa Orde Lama[GER2] [1].
Hubungan Indonesia Malaysia yang pertama kali dikenal dalam konstelasi politik regional,
diawali dengan konfrontasi Indonesia vs Malaysia. Persamaan rumpun (melayu), sejarah,
letak geografis serta persamaan bahasa yang sama tidak menjadikan Indonesia dan Malaysia
menjalin hubungan yang sangat baik dan berlangsung secara harmonis, bahkan hubungan
Indonesia sangatlah buruk ketika itu[2]. Perbedaan sejarah kolonialisasi membuat Rezim
Soekarno atas ketidakpuasan terbentuknya negara Malaysia pada dekade tahun 1960an.
Penyebarluasan imperialisme barat yang dinilai Soekarno memberikan pengaruh negatif
terhadap kelangsungan negara-negara Asia Tenggara akhirnya membentuk suatu persepsi dan
hubungan yang kurang baik dengan Malaysia.

Pemulihan Hubungan Indonesia-Malaysia atas konfrontasi yang dibuat oleh Soekarno,


diakhiri pada tahun 1967 dan sekaligus menggantikan posisi pemerintahan Soekarno yang
jatuh karena pemberontakan G-30S PKI, kemudian berganti menjadi pemerintahan Soeharto
yang sekaligus merupakan awal mula dari pemerintahan Orde baru ini. Upaya
menggalakkan pemulihan hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia pada khususnya
dan Indonesia-PBB pada umumnya dicerminkan melalui kembalinya Indonesia dalam
keanggotaan PBB.

Akan tetapi, perjalanan hubungan diplomatik antarnegara bertetangga memang tidak selalu
berjalan mulus dan lancar. Utamanya Indonesia belakangan ini gencar disinggung oleh klaim
budaya melalui propaganda pariwisata Malaysia. Kemudian, isu Terorisme[GER3] yang
gencar dibicarakan. Isu-isu perbatasan wilayah (Sipadan dan Ligitan, Ambalat, Sabah dan
Serawak), penampungan kayu-kayu dan illegal logging, penyelundupan BBM dan
sebagainya sehingga hubungan kedua negara tersebut sangat kurang harmonis[3]. Malaysia
dinilai sebagai bangsa yang sangat melecehkan Indonesia bahkan menginjak-injak harga diri
Indonesia. Dari hal inilah terlihat bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia-Malaysia
tidak berjalan secara harmonis dan tidak mencerminkan suatu hubungan timbal-balik dalam
lingkup geografis yang dapat menghasilkan kerjasama dari sektor perekenomian maupun
militer.

HUBUNGAN INDONESIA DAN SINGAPURA

Hubungan antara Indonesia [GER4] dengan Singapura pada era Soekarno tidak erat. Karena
Indonesia memandang bahwa Singapura adalah tempat bagi kekuatan-kekuatan asing dan
para pemberontak Indonesia sebgai batu loncatan untuk bersembunyi dan menyusun rencana.
Singapura juga dianggap sebagai tempat tinggal bagi para penyelundup-penyelundup asal
Indonesia dan sumber jalur peredaran narkoba. Dahulu memang Pulau Tumasik atau
sekarang disebut dengan Singapura merupakan markas bagi para perompak laut yang
merompak para pedagang yang berlayar di selat malaka. Selama konfrontasi antara Indonesia
dengan Malaysia, Singapura merupakan bagian integral dari Malaysia, di bawah serangan
langsung. Pasukan rahasia dikirim ke Singapura untuk melakukan kegiatan subversive.

Pada bulan Agustus 1965, Singapura lepas dari Malaysia dan merdeka. Kemudian menjalin
hubungan diplomatik dengan dengan Indonesia. Namun, pada tahun 1968 hubungan antara
kedua Negara tersebut memburuk karena tindakan dua marinir Indonesia yang dikirim pada
era Soekarno dalam konfrontasi dengan Singapura  meledakkan bom di Orchad Road. Kedua
anggota militer tersebut langsung dihukum mati oleh pengadilan Singapura. Pihak Indonesia
pada saat itu dipimpin oleh Soeharto dan Adam Malik berusaha mengusahakan keringanan
hukuman dengan meminta merubah hukuman menjadi hukuman seumur hidup. Namun,
permintaan tersebut ditolak. Akibatnya terjadi kerusuhan di Jakarta dan Surabaya dengan
merusak kedubes Singapura dan tindakan unjuk rasa anti-Cina karena para pengunjuk rasa
yakin bahwa etnis Cina Indonesia menaruh simpati terhadap etnis Cina Singapura yang
menjadi mayoritas penduduk negara tersebut.

Berbagai pendapat juga muncul di pemerintahan Soeharto, ada beberapa yang memandang
bahwa tindakan Singapura itu adil dan bersahabat. Ada pula yang menganggap bahwa
Indonesia perlu mengirim pasukan. Tapi, Soeharto yang mengutamakan perkembangan
ekonomi Indonesia menolak tindakan-tindakan agresif yang merusak hubungan antara dua
negara tersebut. Pada saat itu kondisi hubungan antar kedua belah Negara mencapai titik yang
terendah. Perlu lima tahun untuk memperbaikinya. Hubungan antara Indonesia dengan
Singapura membaik pada tahun 1973. pada saat itu Indonesia mengundang perdana menteri
Lee Kuan Yew untuk datang ke Indonesia dan akhirnya Singapura mengunjungi Indonesia
yang segera dibalas Indonesia dengan tindakan Soeharto yang mengunjungi Singapura.
Setelah kejadian tadi, hubungan antara kedua Negara membaik dengan ide dari Singapura
untuk mebnjalin kerjasama ekonomi bilateral dengan Indonesia. Namun, para pemimpin
militer Indonesia tidak begitu saja percaya terhadap tindakan Singapura ini. Karena dicurigai
bahwa Singapura bekerjasama dengan RRC.

Pada tahun 1975 diadakan pemungutan suara terhadap tindakan Indonesia yang menginvasi
timor timur Singapura menyatakan abstain. Namun pada tahun 1977 Singapura beserta
negara ASEAN lain mendukung Indonesia dalam rangka menasionalisasikan timor timur. Hal
ini menjadi titik kerjasama yang lebih antara Indonesia dengan Singapura. Hal ini ditandai
dengan kerjasama perdagangan yang terpusat di selat melaka khusunya pulau batam. Dalam
kerjasama ekonomi ini, pulau batam dijadikan sebagai puast industri dan perdagangan oleh
Indonesia dan pusat investasi Singapura terhadap Indonesia. Pada tahun 1990 terjadi
kesepakatan pembangunan Pusat Industri Batam antara Indonesia dengan Singapura yang
bernilai 400 juta dollar. Selain itu pajak ganda perdagangan juga dihapuskan dan kedua
Negara juga mendorong kerjasam dalam bidang pariwisata.

Perkembangan kerjasama ekonomi membawa pada meningkatnya tuntutan akan keamanan.


Akhirnya pada tahun 1989 disepakati MoU antara Indonesia dengan Singapura yang memberi
izin bagi militer Singapura untuk berlatih ke Indonesia dan Indonesia berhak menerima
teknologi militer dari Singapura. Selain itu terjadi latihan militer gabungan yang diadakan
secara rutin. Mengenai kerjasama militer ini, terjadi gejolak internal dalam pemrintahan
Indonesia. Soeharto tidak berkeberatan apabila itu bukan pangkalan militer, para pemimpin
militer pun kritis dalam menganggapi hal ini. Pangkalan militer asing akan mengancam
kedaulatan Indonesia. Namun kebutuhan akan teknologi dan kemampuan militer Amerika
memaksa Indonesia untuk menyetujuinya.

Pada tahun 1994 Indonesia dan Singapura menandatangani persetujuan kerjasama pariwisata
dan persetujuan pelayaran udara yang memungkinkan kedua Negara mengmbil keuntungan
dari meledaknya industri pariwisata. Pada tahun 1995 Singapura tercatat sebagai penanam
modal komulatif nomor 6 di Indonesia dan menjadi mitra dagang terbesar ketiga Indonesia
setelah Jepang dan Amerika  Serikat.

Pada maret 2009 terjadi pertemuan antara Indonesia dengan Singapura. Dalam pertemuan
empat mata dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono kembali membahas perjanjian perbatasan maritim yang selama bertahun-tahun
tertunda. Presiden SBY mengatakan, Perjanjian Perbatasan Laut bagian barat antara
Indonesia dengan Singapura akan ditandatangani pada 10 Maret 2009. Menurut Kepala
Negara, dengan disepakati perjanjian perbatasan maritim itu, maka Indonesia memiliki
peluang untuk mengembangkan kawasan Pualau Nipah guna kepentingan nasional. Misalnya
untuk kepentingan pertahanan maupun perekonomian. Selain membahas mengenai perjanjian
perbatasan maritim tersebut, Presiden Yudhoyono dengan PM Singapura juga membahas
kerjasama untuk menghadapi krisis keuangan[4].

Selain kerjasama tentang ekonomi dan keamanan juga dijalin kerjasama di bidang lain yaitu
perjanjian ekstradisi antara dua negara tersebut. Indonesia dan Singapura telah
menandatangani perjanjian ekstradisi untuk menyeret penjahat keuangan ke pengadilan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lie Hsien Loong
menyaksikan penandatanganan perjanjian itu Jumat kemarin di Bali. Perjanjian itu, yang
dapat berlaku surut, akan membantu para pejabat Indonesia mengusut pelarian yang dituduh
melakukan berbagai kejahatan, dantaranya korupsi dan pelanggaran perbankan. Sebelumnya
tahun ini Indonesia melarang ekspor pasir ke Singapura yang tidak memiliki banyak sumber-
daya alam, langkah yang oleh sejumlah jurnalis diduga adalah untuk menekan Singapura agar
menandatangani perjanjian itu. Kedua negara juga menandatangani perjanjian yang terfokus
pada pendidikan militer kedua negara[5].

Secara garis besar hubungan antara Indonesia Singapura berjalan progresi sesuai dengan isu
yang diusung oleh masing-masing dan periode pemimpin negara. Pada awalnya hubungan
antara Indonesia Singapura memang kurang baik karena pada masa Soekarno, Singapura
masih bagian dari Malaysia yang sedang terlibat konfrontasi dengan Indonesia. Kemudian
pada masa Soeharto politik luar negeri Indonesia ke Singapura cenderung konstruktif dengan
memperbaiki hubungan yang kurang baik pada pemerintahan sebelumnya dan menjalin
kerjasama khususnya di bidang ekonomi dan keamanan yang menjadi kepentingan yang ingin
dicapai Indonesia pada saat itu.Setelah reformasi khususnya pada masa SBY yang sedang
memperbaiki citra Indonesia di mata dunia melanjutkan program kerjasama ekonomi dan
keamanan  dan mencoba melakukan hubungan kerjasama di bidang lain antara lain HAM,
hukum, kelautan, dll yang intinya adalah bahwa Indonesia merupakan negara yang cinta
damai dan aman. Uraian di atas telah menjelaskan bahwa kepentingan dan isu yang dibawa
oleh politik luar negeri Indonesia berbeda, sesuai dengan periode pemimpin pemerintahan.

HUBUNGAN INDONESIA DAN VIETNAM

Hubungan dan ikatan diplomatik Indonesia sudah terjalin selama lima puluh tahun. Keduanya
memiliki konsesus bersama untuk sepakat meningkatkan hubungan dan kerja sama di segala
bidang, termasuk kerja sama keamanan dan penanggulangan bajak laut di perairan Selat
Malaka[6] serta mengungkapkan saling dukung sebagai dewan keamanan tidak tetap PBB.

Hubungan indonesia dan Vietnam utamanya dilandaskan pada aspek kultural dan sosial.
Landasan utama hubungan diplomatik kultural Indonesia-dan Vietnam diimplementasikan ke
dalam fram sejarah kebudayaan misalnya dengan mlakukan penelitian arkeologi bersama
bertajuk ”Kebudayaan Dong Son dan Persebarannya” di masing-masing negara, penelitian
reguler bertajuk Consultative Workshop Archeology and Environmental Study on Dong Son
Culture” yang mempertemukan peneliti arkeologi dari Vietnam dan Indonesia dengan
dihadiri oleh penijau dari negara lain[7].

Namun jika ditilik dari kacamata sejarah dan pergolakan pasca perang dunia II dan perang
dingin, maka hubungan diplomatik Indonesia dan Vietnam memiliki akar kuat ketika masing-
masing negara dipimpin oleh Soekarno dan Ho Chi Minh yang mana pada saat itu isu-isu
seputar komunisme dan pembentukan politik poros-porosan menjadi kajian utama menjalin
kerja sama dan membangun ikatan dekat. Indonesia sebagai salah satu aktor penting di
ASEAN pada masa pergolakan Vietnam dan Kamboja, menggagasi solusi perdamaian bagi
keduanya utamanya menyangkut saran kepada Vietnam untuk tidak mencampuri urusan
dalam negeri Kamboja dalam bentuk apapun khususnya bantuan politik maupun militer pada
salah satu kubu yang sedang berseteru. Indonesia menggagasi supaya rakyat  Kamboja
diberikan kebebasan penuh dan kesempatan untuk memilih pemimpin untuk mengarahkan
revolusi Kamboja ke arah yang dikehendaki.

PEMECAHAN MASALAH KAMBOJA

Setiap negara dalam perjalanan setiap pemerintahannya tentu saja tidak lepas dengan
serangkaian pergolakan, baik bersifat intern maupun eksternal. Pergolakan intern kamboja,
tercatat pada peristiwa ancaman komunisme kamboja di tahun 1975 di mana banyak yang
mengklaim bahwa pergolakan tersebut tidak lepas dari pengaruh negara tetangganya yakni
Vietnam dan China. Sedangkan salah satu contoh pergolakan eksternal Kamboja yakni
perselisihan dengan Thailand berkaitan dengan candi purba Preah Vihear di perbatasan kedua
negara tersebut[8]. Sepertihalnya Indonesia yang identik dengan negara sumber terorisme,
Kamboja juga dikenal berkaitan dengan berbagai permasalahan keamanan dan perbatasan
dengan negara tetangganya. Oleh karena itu, ruang lingkup pembahasan permasalahan
Kamboja masih sangat luas. Fokus pembahasan memiliki kecenderungan menjadi bias dan
terlalu terdispersi.

Persengketaan maupun pergolakan di suatu negara yang berdaulat hakekatnya masih


merupakan wewenang internal bebas intervensi asing sampai pada tingkat level tertentu
negara bersangkutan secara kognitif menyampaikan inkapabilitasnya. Keberadaan forum
kawasan, ASEAN dalam hal ini idealnya adalah berpartisipasi aktif dalam menjaga situasi
keamanan.

Sebagai contoh studi kasus untuk mendapatkan pendekatan perspektif permasalahan, yakni
sengketa Candi Preah Vihear di perbatasan Kamboja-Thailand. Permasalahan bilateral antara
Kamboja-Thailand telah dibawa dalam pertemuan ASEAN guna mengijinkan ASEAN
menjadi jembatan supaya tercapai win-win solution. Melalui Menteri Luar Negeri Singapura
George Yeo dan sebagai tanggapan atas surat yang dikirimkan pemerintah Kamboja, yang
meminta ASEAN juga ikut campur untuk mendinginkan ketegangan yang meningkat atara
kedua negara bertetangga tersebut. Akan tetapi beberapa perundingan  yang disponsori
ASEAN melalui pembicaraan makan siang antarmenteri luar negerinya, mengalami
kebuntuan. Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan menyatakan ASEAN tidak bisa mengontrol
situasinya[9]. Bukankah ini secara implisit mengungkapkan inkapabilitas ASEAN
menghadapi permasalahan yang ada, sekaligus seolah mengilustrasikan ASEAN hanya
sekedar forum talk shop.

Singkat kata, perundingan bilateral pun lebih digalakkan supaya tercapai saling pengertian
sekaligus saling menahan diri dari benturan-benturan agresivitas militer. Kebuntuan ini bukan
tanpa sebab, tetapi karena tidak ada dari salah satu pihak Kamboja maupun Thailand bersedia
untuk berkompromi. Bahkan keputusan pengadilan internasional terhadap kepemilikan kuil
tersebut jatuh ke tangan Kamboja ditolak oleh Thailand karena status tanahnya belum
jelas[10]. Oleh karena itu, pemerintah Pnom Penh pun kemudian berinisiatif mengirimkan
permohonan agar DK PBB campur tangan dalam menjembatani konflik bilateral Kamboja-
Thailand[11].
Konflik kedua negara ini merupakan cermin dari inkapabilitas ASEAN yang tidak kompeten
dan tidak efektif sebagai fasilitator mediasi supaya terjadinya negosiasi. Hubungan
internasional antarkedua negara dan antarnegara di bawah payung ASEAN seolah-olah tidak
mencerminkan esensi dari keberadaan ASEAN sebagai forum bersama menciptakan
keharmonisan hubungan antaranggotanya. Upaya penyelesaian konflik pun lebih banyak
berasal dari inisiatif negara yang sedang bertikai dengan memfokuskan diplomasi bilateral
dan multilateral melalui PBB.

ANALISIS

Hubungan diplomatik antarnegara tetangga selalu dipenuhi konflik. Utamanya konflik yang
berkaitan dengan pergolakan domestik erat dengan determinasi siapa yang mendapatkan
dukungan politik baik dari dalam negeri maupun luar negeri, tetapi umumnya dari luar
negeri; dan permasalahan perbatasan. Misalnya kasus Malaysia dan Indonesia, Malaysia
memperoleh dukungan politik dan kekuatan baik dari Inggris dan Amerika melalui dewan
keamanan PBB. Sedangkan Indonesia kemudian memutuskan untuk mengumpulkan
sebanyak-banyaknya dukungan internasional dari negara-negara Asia Afrika. Dalam konteks
jalinan hubungan Indonesia dan Singapura, lebih dititikberatkan pada usaha mengatasi
penyelundupan dan perjanjian ekstradisi, yakni kerjasama mana kala ada koruptor Indonesia
yang lari dan berobat di Singapura. Hubungan Indonesia dan Vietnam secara politis
terinisialisasi ketika Indonesia memiliki persamaan pemahaman politik bagaimana mereka
memandang komunisme dan kolonialisme sehingga hubungan diplomatiknya saat itu
terangkum dalam politik poros-porosan. Dalam menjalin hubungan dengan negara
tetangganya utamanya negara yang sekawasan, Indonesia cukup aktif berperan serta dan
menggunakan pengaruhnya di ASEAN, dulu. Sayangnya sekarang ASEAN tidak lagi
menggigit dan permasalahan apapun yang diajukan ke ASEAN seolah-olah tidak benar-benar
dihadapi dengan keseriusan, sehingga seringkali negara yang sedang bertikai kemudian
mengajukan permasalahan tersebut ke badan suprainternasional yang lebih tinggi posisinya,
yakni PBB, ambil contoh penyelesaian permasalahan Kamboja-thailand mengenai perbatasan
mereka. hal ini membuktikan inkapabilitas ASEAN yang tidak lebih dari forum bersama
yang penuh dengan shop talk.

SUMBER

>>Hubungan Indonesia dan Malaysia

http://www.indonesiaontime.com/editorial/12-editorial/2881–membangun-hubungan-
indonesia-malaysia-yang-lebih-bermartabat-.html (diakses tanggal 10 november 2009 pada
22.36 WIB

>>Hubungan Indonesia dan Singapura

http://www.voanews.com/indonesian/archive/2007-04/2007-04-27-voa8.cfm?moddate=2007-
04-27 diakses pada 10 Nov 2009 pukul 10.56 WIB

Suryadinata, Leo, 1998. Hubungan Indonesia dengan Negara-Negara ASEAN: Stabilitas


Regional dan Peran Kepemimpinan”, dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah
Soeharto, [trans,] Jakarta, LP3ES, hlm. 83-114.

>>Hubungan Indonesia dan Singapura


Utomo, Bambang Budi. Kerani rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional. p.1-5.

>>Pemecahan Permasalahan Kamboja

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=205142 diakses pada 10 November 2009


pada 21.51 WIB.

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9095 diakses pada 10


November 2009 pada 21.53 WIB.

http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/21/21214170/negosiasi.thailand-
kamboja.temui.jalan.buntu. diakses pada 10 November 2009 pada 21.58 WIB.

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/15/15502760/kontak.senjata.meletus.di.perbatasa
n.thailand-kamboja. diakses pada 10 November 2009 pada 22.00 WIB.

Suryadinata, Leo, 1998. “Hubungan Indonesia dengan Negara-Negara ASEAN: Stabilitas


Regional dan Peran Kepemimpinan”, dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah
Soeharto, [trans,] Jakarta, LP3ES, hlm. 83-114

Smith, Anthony L, 2000. “Themes dalam Indonesia’s Relations with ASEAN”, dalam
Strategic Centrality: Indonesia’s Changing Role in ASEAN, Singapore, ISEAS, hlm. 41-63

Djiwandono, J. Soedjati, 1981, “Hubungan Indonesia dengan Negara-negara Asia Tenggara


Lainnya” dalam Hadi Susastro and AR.Sutopo [ed], Strategi Hubungan Internasional,
Indonesia di Kawasan Asia-Pasifik”, Jakarta, CSIS, hlm. 541-559

Sutopo, AR, 1994, “Hubungan Indonesia, Malaysia, dan Singapura: Dari Konfrontasi,
Kolaborasi ke Realiansi”, dalam Bantarto Bandoro [ed], Hubungan Luar Negeri Indonesia
Selama Orde Baru, Jakarta, CSIS, hlm. 151-186

Suryadinata, Leo, 1998. “Hubungan Indonesia-Vietnam dan Isu Kamboja: Faktor


Keamanan”, dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Suharto, [terj.], Jakarta, LP3ES,
hlm. 155-174.

Você também pode gostar