Você está na página 1de 54

Agripet Jurnal Peternakan

Jurnal Agribisnis Peternakan Volume 1 x No.2 x Agustus 2005


Fakultas Pertanian ISSN: 1858-263x
Universitas Sumatera Utara

Penasehat:
Dekan Fakultas Pertanian USU • Jurnal ilmiah Peternakan
AGRIPET diterbitkan dalam
Penanggung Jawab: rangka penyebarluasan
Ketua Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU informasi berupa hasil-hasil
penelitian dan pemikiran,
Ketua Penyunting: terutama dari tenaga pengajar
Iskandar Sembiring, Ir., M.M. dan mahasiswa Departemen
Perternakan, Fakultas
Wakil Ketua Penyunting: Pertanian USU.
Tri Hesti Wahyuni, Ir., M.Sc.
• Jurnal AGRIPET terbit 3 kali
Mitra Bestari setahun: April, Agustus, dan
Simon Ginting, Ir., M.Sc., Dr. Desember. Setiap kali
(Ketua Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang) penerbitan menurut 6 – 7
tulisan. Pembaca yang
Setel Karo-Karo, Ir., M.Sc., Dr. menjadi sasaran adalah
(Staf Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang) mahasiswa, tenaga pengajar,
instansi pemerintah, para
Endang Romjali, Ir., M.Sc., Dr. pengusaha, segenap assosiasi
(Staf BPTP Gedong Johor Medan) dan pemerhati di bidang
peternakan serta para
Rachmat Herman, Drh., M.VSc., Dr., Prof. peternak.
(Dosen Fakultas Peternakan IPB)
• Tulisan yang dimuat dikirim ke
Wihandoyo, Ir., M.Sc., Dr., Prof. redaksi di alamat tersebut di
(Dosen Fakultas Peternakan UGM) atas dalam bentuk disket 3 ½
inci yang telah diformat lebih
Sayed Umar, Ir., M.S. dahulu dan diperikasa ulang
(Dosen Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU) pembacaannya, serta hasil
print out rangkap dua pada
kertas ukuran A4.
Hasnudi, Ir., M.S., Dr.
(Dosen Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU)
• Semua tulisan akan ditelaah
Penyunting: lebih dahulu oleh penyunting
Zulfikar Siregar, Ir., M.P., Dr. tentang redaksionalnya dan
Eniza Saleh, Ir., M.S. dewan mitra bestari tentang
Hamdan, S.Pt., M.Si. materi tulisan sesuai kaidah
ilmiah yang akan menentukan
layak tidaknya untuk dimuat.
Pelaksana Tata Usaha:
Usman Budi, S.Pt., M.Si.
Sudarno K. • Redaksi akan mengubah
susunan dan kalimatnya tanpa
Alamat Penyunting dan Tata Usaha mengubah isi sebenarnya.
Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Tulisan yang tidak dimuat
Tel. (061) 8215242 akan dikirimkan kembali jika
disertai ongkos kirim
secukupnya.
Izin Terbit
ISSN: 1858-263x
• Harga jurnal per eksemplar
Dicetak Oleh adalah Rp 10.000,-
USUpress
Pengantar dari Redaksi

Puji Syukur ke hadirat Allah S.W.T atas Ridho-Nya sehingga Jurnal


Agribisnis Peternakan AGRIPET volume kedua dapat terbit sesuai dengan rencana
waktu yang ditetapkan redaksi. Muatan tulisan seluruhnya masih berasal dari kalangan
pengajar dan mahasiswa Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU.

Jurnal AGRIPET Volume 1 mendapat sambutan hangat terutama dari


segenap para pengajar dan mahasiswa Departemen Peternakan Fakultas pertanian
Universitas Sumatera Utara, yang merupakan media untuk mempublikasikan hasil
penelitiannya di bidang Ilmu dan Agribisnis Peternakan yang merupakan cerminan dari
Tridharma Perguruan tinggi.

Peredaran AGRIPET mulai menyebar ke segenap para pengajar, mahasiswa


departemen peternakan dan instansi pemerintah yang membidangi peternakan di
Propinsi Sumatera Utara, walaupun belum menjangkau keseluruhan kabupaten –
kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, serta ke sebagian besar fakultas dan jurusan
peternakan se-Indonesia.

Diharapkan pada penerbitan kedua ini dan seterusnya, penyebaran AGRIPET


dapat lebih luas lagi, semoga kiranya tercapai hasrat Departemen Peternakan Fakultas
Pertanian USU untuk turut serta memberikan kontribusi bagi pengembangam
peternakan di tanah air, khususnya di Propinsi Sumatera Utara.

Akhir kata, redaksi mengucapkan terima kasih atas segala bantuan moril
maupun materil, kritik serta saran konstruktif dari semua pihak yang diberikan terhadap
peningkatan mutu jurnal AGRIPET ini.

Medan, Agustus 2005

Redaksi

ii
Daftar Isi ISSN: 1858-263x

Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik Beberapa Sifat Produksi


Puyuh Pada Seleksi Jangka Panjang
(Genetic Parameter and Variance Component Estimation of Production Traits
in Japanese Quail Following Long-Term Selection)
[36-47]
Hamdan

Perbandingan Antara Substitusi Keluih (Artocarpus Communis) dan Sukun


(Artocarpus Altilis) Terhadap Kualitas Abon Sapi
[Comparison Between Keluih (Artocarpus Communis) and Bread-
Fruit(Artocarpus Altilis) to Quality of Abon Cow]
Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani [48-52]

Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak


Pada Kambing Peranakan Etawah
(The Effects of Milking Intervals on Post-Partum Sexual Activity of Etawah
Cross-Bredgoats)
Usman Budi [53-61]

Pengaruh Pemberiaan Tepung Temulawak (Curcuma Xanthorrizha Roxb)


Dalam Ransum Terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler Umur 6 Minggu
[The Influence of Temulawak Flour (Curcuma xanthorrizha Roxb) in A Portion
to Quality of Carcass Broiler 6 Weeks Old]
Yunilas, Edhy Mirwandhono, dan Olivia Sinaga [62-66]

Pengaruh Berbagai Level Naungan dari Beberapa Pastura Campuran Terhadap


Produksi Hijauan
(The Effect of Various Levels of the Shades from Some Mixed Pasture towards
the Production of Suitables)
Nevy Diana Hanafi, Roeswandy, dan Hasan Fuad Nasution [67-72]

Pengaruh Temperatur dalam Pembuatan Yoghurt dari Berbagai Jenis Susu


Dengan Menggunakan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
Thermophilus
(The effect of Temperature in Making Yoghurt from Various Kind of Milk,
Using Lactobacillus Bulgaricus, and Streptococcus Thermophilus)
Nurzainah Ginting dan Elsegustri Pasaribu [73-77]

Pemberian Tiga Macam Konsentrat Terhadap Kualitas dan Persentase Karkas


Serta Income Over Feed Cost Domba Sungei Putih Selama Penggemukan
(The Usage Three Kind Of Concentrates on Quality and Carcass Percentage
and Also Income Over Feed Cost of Sungei Putih Sheep for Fatgrowth)
Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantioni [78-84]

Petunjuk untuk Penulis [85-86]

iii
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik


Beberapa Sifat Produksi Puyuh Pada Seleksi Jangka Panjang
(Genetic Parameter and Variance Component Estimation of
Production Traits in Japanese Quail Following Long-Term Selection)

Hamdan*

*)Staf Pengajar Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,


Jl. Prof. Dr. A. Sofyan No. 3 Medan 20155

Abstract: Estimation of additive variances and parameter genetics were obtained from
38.578 records of two lines of quail over 21 generation selection from 1993 to 2001 in
Merbiz Research Station University of Martin Luther, Germany. The purposes of this
study were 1) to estimate variances component and genetic parameters 2) to examine
stability of genetic parameters from generation to generation following long-term
selection for production traits in Japanese quail. The first line of quail was selected
on high body weight and small egg weight while the second line was selected only on
hight egg weight. Variance component and genetic parameters were estimated using
Univariate and Multivariate Animal Model REML procedure using VCE program. The
averages of body weight at age of 42 days (BB42), body weight at age of 200 days
(BB200), egg weight at the first 11 weeks (BT11), and the last 12 weeks (BT12) in both
quail lines increased following 21st generation selection, however the number of eggs
laid between 42 days and 200 days of age (JT200) decreased. Additive variance of
selected traits still remained following 21st generation selection. Realized heritability
estimated for the traits of JT200 and low-egg weight were low i.e. 0,09 to 0,12 and
0,01 to 0,09 respectively , while the trait of low-body weight (line 2) was low to
moderate i.e. 0,04 to 0,37, heritability of high-egg weight was moderate i.e. 0,35 to
0,42. Whereas, heritability of high-body weight (line 1) was moderate to high i.e. 0,32
to 0,67.
Key words: Japanese quail, long-term selection, additive variance, genetic
parameters, heritability.

Abstrak: Pendugaan komponen ragam dan parameter genetik diperoleh dari 38.578
catatan dari dua galur puyuh hasil seleksi selama 21 generasi mulai 1993 sampai 2001 di
Stasiun Penelitian Martin Luther Universitas Merbiz, Jerman. Tujuan penelitian ini
adalah 1) untuk menduga komponen ragam dan parameter genetik 2) untuk menguji
stabilitas parameter genetik dari generasi ke generasi hasil seleksi jangka panjang
beberapa sifat produksi puyuh. galur puyuh pertama diseleksi atas bobot badan besar
dan bobot telur yang kecil, sementara galur kedua diseleksi hanya berdasarkan sifat
bobot telur yang besar. Komponen ragam dan parameter genetik diduga dengan
menggunakan Univariate dan Multivariate Animal Model REML menggunakan VCE
program. Rata-rata bobot badan umur 42 hari (BB42), bobot badan umur 200 hari
(BB200), bobot telur 11 minggu pertama produksi (BT11), dan 12 minggu terakhir
produksi (BT12) pada kedua galur puyuh meningkat sejalan dengan seleksi selama 21
generasi, sementara jumlah telur mulai dari umur 42 hari sampai 200 hari (JT200)
menurun. Keragaman aditif sifat yang diseleksi masih tetap bertahan sampai 21
generasi seleksi. Sifat JT200 dan bobot telur ringan, nilai heritabilitasnya rendah, yakni
berturut-turut antara 0,09 sampai 0,12 dan 0,01 sampai 0,09, sementara bobot badan
ringan (galur 2) heritabilitasnya rendah sampai sedang yakni 0,04 sampai 0,37, bobot
telur yang besar heritabilitasnya sedang yakni antara 0,35 sampai 0,42. Sementara,
heritabilitas sifat bobot badan yang tinggi (galur 1), sedang sampai tinggi yakni antara
0,32 sampai 0,67.
Kata kunci: puyuh, seleksi jangka panjang, ragam aditif, parameter genetik,
heritabilitas.

36
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

Pendahuluan
tetapi dalam praktiknya jarang dijumpai
Sejak abad ke-11, puyuh (Coturnix nilai-nilai ekstrim tersebut (Warwick dan
coturnix japonica) dikenal sebagai penghasil Legates, 1979). Kategori besar kecilnya nilai
daging dan telur, tetapi ia tidak pernah heritabilitas, dikemukakan oleh Cole (1966)
sepopuler ayam karena ukuran tubuhnya yaitu: h2 <0,20 rendah; 0,20 – 0,40 sedang
yang kecil. Walaupun demikian karena dan >0,40 tinggi. Sedangkan menurut
ukuran tubuhnya yang kecil, mudah Preston dan Willis (1974), heritabilitas
dipelihara pada kandang pembibitan, rendah <0,25; 0,25 – 0,50 sedang dan >0,50
prolifik, interval generasi singkat, tinggi.
keragaman genetik dan produktivitas tinggi, Heritabilitas dapat menduga
serta kemiripan antara puyuh dengan peningkatan kemajuan genetik yang
beberapa spesies unggas lainnya untuk mungkin diperoleh bila dilakukan seleksi
beberapa parameter genetik menjadikan sifat tertentu. Jika heritabilitas suatu sifat
puyuh sebagai model hewan percobaan memiliki nilai tinggi, berarti performans
dalam penelitian seleksi unggas, khususnya atau penampilan individu lebih banyak
untuk penelitian seleksi jangka panjang dipengaruhi oleh faktor genetik dibanding
(Maeda et.al., 1997). dengan faktor lingkungan dan seleksi
Seleksi jangka panjang telah berdasarkan individu efektif. Heritabilitas
dilakukan untuk menduga parameter genetik yang tinggi juga menandakan aksigen aditif
bobot badan 4 minggu pada puyuh dengan penting untuk sifat tersebut dan sebaliknya
pemberian pakan yang berbeda untuk jika heritabilitas rendah, maka mungkin
melihat batas seleksi. Walaupun keragaman aksigen seperti lewat dominant (over
genetik masih bertahan sampai 97 generasi dominance), dominan dan epistasis lebih
seleksi, namun hasil dugaan menunjukkan penting (Lasley, 1978).
adanya kehilangan keragaman genetik aditif Nilai heritabilitas suatu sifat akan
sejalan dengan seleksi (Mark, 1996). bervariasi antarpopulasi. Perbedaan variasi
Menurut Nestor et.al. (1996), tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan
dengan dilakukan seleksi selama lebih dari faktor genetik (ragam genetik), perbedaan
30 generasi pada dua galur puyuh yang lingkungan (ragam lingkungan), metode, dan
berbeda, respon bobot badan dan bobot jumlah cuplikan data yang digunakan
telur meningkat pada galur yang memiliki (Falconer dan Mackay, 1989). Selain itu juga
bobot badan besar ataupun pada galur yang dipengaruhi oleh waktu generasi seleksi
memiliki bobot badan kecil. Aggrey et.al. (Marks, 1985). Marks (1996), melaporkan
(2003), juga telah melakukan penelitian bahwa nilai heritabilitas bobot badan puyuh
seleksi jangka panjang bobot badan 4 hasil seleksi jangka panjang dan jangka
minggu pada dua galur puyuh yang berbeda pendek menunjukkan nilai yang berbeda,
menghasilkan respon yang tidak simetris selain itu perbedaan nilai heritabilitas juga
pada galur (line) yang memiliki bobot badan dipengaruhi oleh galur yang berbeda (galur
besar dan kecil. Hasil seleksi jangka panjang bobot badan berat dan ringan) dan
untuk peningkatan bobot badan 4 minggu lingkungan (pakan).
pada puyuh dipengaruhi oleh perbedaan Warwick et.al. (1983), menyatakan
jenis kelamin heritabilitas akan menentukan perubahan
Komponen ragam merupakan faktor pada sifat yang diseleksi (respon seleksi),
penting dalam pendugaan parameter korelasi genetik akan mempengaruhi
genetik diantaranya heritabilitas, korelasi perubahan genetik sifat lain yang tidak
genetik (Van der Werf dan Boer, 1990). Juga diseleksi (respon terkorelasi). Makin tinggi
digunakan untuk perancanaan program korelasi genetik, makin besar perubahan
pemuliaan serta interpretasi mekanisme yang terjadi pada sifat yang berkorelasi.
genetik sifat-sifat kuantitatif (Henderson, Korelasi genetik dapat berubah dalam
1986). Heritabilitas dan ragam aditif dapat populasi yang sama selama beberapa
berubah setiap waktu karena beberapa generasi apabila ada seleksi yang intensif.
alasan, salah satunya adalah seleksi. Melalui Nilai pendugaan korelasi genetik hanya
seleksi secara langsung, heritabilitas dan berlaku pada populasi di mana nilai tersebut
ragam aditif suatu sifat akan menurun diestimasi dan pada kurun waktu tertentu
(Bulmer, 1971). pula.
Secara teori, nilai heritabilitas Pendugaan korelasi genetik
berkisar antara nol sampai dengan satu, beberapa sifat produksi pada unggas telah

37
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

dilakukan. Nestor et.al. (2000) melaporkan Sifat yang dianalisis dikelompokkan


bahwa bobot badan umur 16 minggu pada ke dalam dua kelompok: 1) sifat yang diukur
kalkun berkorelasi negatif terhadap jumlah dari betina saja, dan 2) sifat bobot badan
telur. Francesh et.al. (1997) memperoleh yang diamati pada jantan dan betina.
nilai korelasi genetik antara jumlah telur Pengamatan dilakukan pada sifat bobot
dengan bobot telur pada dua galur ayam badan umur 42 hari pada betina (BB42B) dan
layer masing-masing sebesar –0,22 dan – jantan (BB42J), jumlah telur yang
0,21. Pada puyuh, korelasi genetik bobot diproduksi dari umur 42 hari sampai 200 hari
badan pada umur empat minggu dengan (JT200), rataan bobot telur pada 11 minggu
bobot badan umur enam minggu pada pertama (BT11) dan rataan bobot telur pada
jantan diperoleh 0,62 dan betina sebesar 12 minggu terakhir selama periode bertelur
0,60 (Kuswahyuni, 1989). Sementara Saatci (BT12), bobot badan betina (BB200B) dan
et.al.(2003) mendapatkan nilai korelasi jantan (BB200J) pada umur 200 hari.
genetik bobot badan pada umur empat Galur pertama diseleksi
minggu dengan bobot badan umur enam berdasarkan bobot badan yang tinggi dan
minggu pada puyuh sebesar 0.76. bobot telur yang kecil, sementara galur
Penelitian ini bertujuan untuk kedua diseleksi hanya berdasarkan pada
menduga nilai komponen ragam dan bobot telur yang besar. Pada galur pertama
parameter genetik serta mempelajari seleksi didasarkan pada indeks sifat dari
stabilitas parameter genetik beberapa sifat JT200, BT11 dan BT12, dengan persamaan
produksi puyuh dari generasi ke generasi indeks:
hasil seleksi jangka panjang
I = Bobot Badan – (11 x Bobot Telur)
Materi dan Metode Penelitian
Pada galur kedua kriteria seleksi
Waktu dan Tempat hanya didasarkan pada BT11 dan BT12.
Penelitian ini dilakukan selama 5 Setiap generasi diseleksi dengan intensitas
bulan dilakukan di Laboratorium Pemuliaan seleksi sebesar 50%. Ternak yang terseleksi
dan genetika Ternak Fakultas Peternakan dikawinkan dengan perbandingan 1: 1 serta
Institut Pertanian Bogor, mulai bulan menghindarkan perkawinan saudara kandung
Desember 2003 sampai April 2004. dan saudara tiri.

Materi Analisis Data


Materi penelitian berasal dari 1. Data deskriptif sifat produksi meliputi
catatan produksi puyuh dua galur hasil nilai rataan, standar deviasi, dan
seleksi selama 21 generasi mulai dari tahun koefesien variasi menggunakan program
1993 sampai 2001. Dari generasi 1 sampai 2, paket SAS 6.12
puyuh dipelihara di kandang penelitian di 2. Analisis Efek Tetap
Leipzig, kemudian dari generasi 3 sampai 21 Efek tetap diuji perbedaannya
ditempatkan di Stasiun Percobaan Merbiz, menggunakan general linear model
Universitas Martin Luther, Jerman. dengan SAS 6.12. Model analisis
ragamnya sebagai berikut:
Metode
Puyuh dipelihara pada kandang Yijk = μ + Gi + K j + Sk + Eijk
beterai tiga lantai dalam satu kandang.
Untuk sifat pada jantan dan betina.
Pakan yang digunakan selama penelitian ada
tiga jenis yakni 1) deuka- Putenstarter-P1,
kandungan protein kasar 29.80% diberikan Yij = μ + Gi + K j + Eij
pada umur 1-4 minggu; 2) deuka- Untuk sifat pada betina saja
Landkornendmast, kandungan protein kasar
21.50% diberikan pada umur 5-6 minggu; Yijk = Sifat yang diakibatkan pengaruh
dan 3) deuka-all-mash-LC, kandungan generasi ke – i, kandang ke-j, jenis
protein kasar 17.00% diberikan pada umur 7 kelamin ke-k dan galat
minggu sampai selesai. Dari generasi 1 Yij = Sifat yang diakibatkan pengaruh
sampai 10 puyuh terdiri atas 110 pasang generasi ke – i, kandang ke-j dan sisaan
tetua dan pada generasi 11 sampai 21 μ = Rataan
jumlah pasangan tetua dikurangi menjadi 80 Gi = Pengaruh generasi ke-i
pasang. Kj = Pengaruh kandang ke-j
Sk = Jenis kelamin ke-k

38
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

3. Pendugaan Komponen Ragam, Nilai V(y) = ragam fenotip


Heritabilitas, dan Korelasi Genetik V(a) = ragam aditif
Dihitung Dengan Menggunakan V(e) = ragam lingkungan
Univariate dan Multivariate Animal A = matrik yang berhubungan dengan
Model Restricted Maximum Likelihood ragam aditif ternak
(REML) dengan program paket yang I = matrik identitas
digunakan adalah Variance Component Z = desain matrik yang berhubungan
Estimation (VCE) 4.2 (Groeneveld, dengan efek random
1998).
Maka, nilai heritabilitas dapat dihitung
Model matematik yang digunakan dengan persamaan:
sebagai berikut:
V(a) Aσ a2
⎡ y1 ⎤ ⎡ X 0 0 ⎤ ⎡b ⎤ h2 = =
⎢y ⎥ = ⎢ 0 V(y) ZAσ a2 Z′ + Iσ e2
⎢ 2⎥ ⎢ X2 0 ⎥⎥ . ⎢⎢b2 ⎥⎥ +
(Quass, 1988).
⎢⎣ yn ⎥⎦ ⎢⎣ 0 0 X n ⎥⎦ ⎢⎣bn ⎥⎦
Hasil dan Pembahasan
⎡Z 0 0 ⎤ ⎡ u1 ⎤ ⎡ e1 ⎤
⎢0 Z 0 ⎥⎥ . ⎢⎢u2 ⎥⎥ + ⎢⎢e2 ⎥⎥ Keragaan Sifat Produksi
⎢ 2
Keragaman sifat produksi pada
⎢⎣ 0 0 Z n ⎥⎦ ⎢⎣un ⎥⎦ ⎢⎣en ⎥⎦ puyuh selama 21 generasi seleksi sangat
di mana: bervariasi. Keragaman tertinggi terdapat
y = vektor untuk pengamatan (n x 1) pada sifat JT200 dengan nilai koefisien
b = vektor untuk efek tetap (p x 1) keragaman (KK) fenotip untuk galur 1 dan 2
a = vektor untuk efek random (q x 1) masing-masing sebesar 17,80% dan 21,26%,
X = desain matrik yang berhubungan dengan sedangkan keragaman paling rendah adalah
efek tetap (n x p) pada BT11 dan BT12 untuk masing-masing
Z = desain matrik yang berhubungan dengan galur 1 dan 2 adalah 7,89% dan 8,47%; 8,13%
efek random (n x q) dan 9,24%. Seperti disajikan pada Tabel 1.
Model ragam-peragamnya adalah:
⎡ y ⎤ ⎡ Vadd ZAσ a2 Iσ e2 ⎤
⎢ ⎥
V ⎢⎢ a ⎥⎥ = ⎢AZ' σ a2 Aσ a2 0 ⎥
⎢⎣ e ⎥⎦ ⎢ Iσ e2 0 Iσ e2 ⎥
⎣ ⎦
di mana:

Tabel 1.
Nilai rataan, standar deviasi, dan KK sifat produksi puyuh hasil seleksi selama 21
generasi.

Kel. Sifat Jumlah Rataan Simpangan Koefisien


Sifat Galur catatan Baku Keragaman (%)

1 JT200 1 1715 126,670 22,550 17,80


(butir)
2 1671 120,299 25,575 21,26
BT11 (g) 1 1710 10,280 0,811 7,89
2 1724 11,459 0,931 8,13
BT12 (g) 1 1678 11,253 0,953 8,47
2 1654 12,571 1,161 9,24
BB200B (g) 1 1641 187,771 22,578 12,02
2 1596 188,677 20,267 10,74
BB42B (g) 1 1725 169,314 22,281 13,16
2 1724 160,289 17,436 10,88
2 BB200 (g) 1 3453 179,219 24,512 13,68
2 3398 175,002 22,832 13,05
BB200B (g) 1 1661 187,903 22,639 12,05

39
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

Kel. Sifat Jumlah Rataan Simpangan Koefisien


Sifat Galur catatan Baku Keragaman (%)

2 1601 188,683 20,306 10,76


BB200J (g) 1 1792 171,169 23,415 13,68
2 1797 162,821 17,427 10,70
BB42 (g) 1 7932 150,888 23,868 15,82
2 6957 146,762 19,829 13,51
BB42B (g) 1 4046 162,914 22,871 14,04
2 3462 158,207 18,724 11,84
BB42J (g) 1 3886 138,367 17,632 12,74
2 3495 135,623 14,737 10,87

Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan. Hal ini disebabkan
keragaman sifat produksi pada puyuh karena sifat jumlah telur tidak menjadi
selama 21 generasi seleksi sangat bervariasi. kriteria seleksi, sedangkan bobot telur
Keragaman tertinggi terdapat pada sifat merupakan kriteria seleksi pada kedua
jumlah telur, sedangkan keragaman paling galur. Juga menunjukkan bahwa seleksi
rendah adalah pada sifat bobot telur 11 memberikan pengaruh terhadap penurunan
minggu pertama dan 12 minggu terakhir. keragaman dari sifat yang diseleksi. Seleksi
Selama 21 generasi seleksi, bobot telur yang kecil lebih menunjukkan
keragaman sifat produksi yang diseleksi tingkat keragaman fenotip yang lebih kecil
pada puyuh mengalami penurunan dari dibanding dengan bobot telur yang besar. Ini
generasi ke generasi seleksi, kecuali pada menunjukkan bahwa seleksi negatif lebih
sifat JT200 masih menunjukkan fluktuasi cepat mencapai keseragaman.
yang cukup tinggi dan bahkan cenderung

25

20

15
KK (%)

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi

JT200 BT11 BT12 BB200 BB42

Gambar 1.
Koefisien keragaman sifat produksi pada puyuh galur 1 selama 21 generasi seleksi

40
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

30

25

20
KK (%)

15

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Generasi

JT200 BT11 BT12 BB200 BB42

Gambar 2.
Koefisien keragaman sifat produksi pada puyuh galur 2 selama 21 generasi seleksi

Seleksi selama 21 generasi terhadap Seleksi terhadap bobot telur yang


sifat BB42 dan BB200 memberikan pengaruh besar lebih memberikan pengaruh terhadap
terhadap peningkatan rataan kedua sifat penurunan JT200 daripada seleksi
tersebut dari generasi ke generasi seleksi berdasarkan bobot badan yang besar dan
dan sampai generasi ke 21 masih bobot telur yang kecil.
menunjukkan kecenderungan naik. Selain Sedangkan seleksi berdasarkan sifat
kriteria seleksi, perbedaan respon terhadap bobot telur yang besar memberikan
seleksi peningkatan BB42 dan BB200 selama pengaruh peningkatan terhadap BB11 dan
21 generasi seleksi juga dipengaruhi oleh BT12 yang lebih baik dibandingkan dengan
perbedaan jenis kelamin dan galur pada seleksi berdasarkan sifat bobot badan yang
puyuh (Gambar 3). besar dan bobot telur yang kecil.

230

210
Rataan Bobot Badan (g)

G1_BB42B
190
G1_BB42J
G2_BB42B
170
G2_BB42J
G1_BB200B
150
G1_BB200J
G2_BB200B
130 G2_BB200J

110

90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Generasi

Gambar 3.

41
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

Rataan BB42 dan BB200 puyuh selama 21 generasi seleksi

140

135

130

125
Jumlah (butir)

120 Galur 1
115 Galur 2

110

105

100

95
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi

Gambar 4.
Rataan JT200 selama 21 generasi seleksi

14.5
14
13.5
13
Bobot telur (g)

12.5
12
11.5
11
10.5
10
9.5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi
G1_BT11 G1_BT12 G2_BT11 G2_BT12

Gambar 5.
Rataan bobot telur puyuh selama 21 generasi seleksi

Parameter Genetik kecenderungan ragam aditif terlihat


meningkat, sementara pada galur 2 arahnya
Keragaman Aditif. Selama 21 generasi lebih mendatar, walau nilai ragam
seleksi, ragam aditif sifat-sifat yang antargenerasi lebih berfluktuasi. Hal ini
diseleksi pada kedua galur puyuh masih disebabkan karena sifat bobot badan
tetap bertahan. Bahkan terlihat masih merukan kriteria seleksi pada galur 1.
menunjukkan adanya peningkatan. Untuk Seperti terlihat pada gambar 6.
sifat bobot badan, baik pada sifat bobot Dari nilai keragaman aditif BT11 dan
badan umur 42 hari maupun bobot badan BT12 yang diperoleh menunjukkan bahwa
umur 200 hari pada kedua galur masih seleksi sampai 21 generasi yang dilakukan
menunjukkan ragam aditif yang masih berdasarkan kriteria seleksi bobot telur yang
bertahan sampai 21 generasi seleksi. Bahkan ringan pada galur 1 dan bobot telur yang
untuk sifat bobot badan puyuh galur 1, berat pada puyuh galur 2 tidak memberikan

42
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

pengaruh menurunkan keragaman. sedangkan pada galur 1 kecenderungan


Keragaman aditif BT11 dan BT12 pada kedua arahnya relatif lebih mendatar. Hal ini
galur puyuh masih bertahan sampai 21 dikarenakan pada galur 2 seleksi hanya
generasi seleksi. Seperti terlihat pada didasarkan pada sifat bobot telur,
gambar 7. sedangkan pada galur 1 seleksi juga
Keragaman JT200 pada galur 1 dan didasarkan atas indeks jumlah telur. Seperti
galur 2 juga masih tetap bertahan sampai 21 ditunjukkan pada gambar 8.
generasi seleksi. Bahkan pada galur 2,
keragam aditif cenderung meningkat,

350.00

300.00

250.00
Ragam (Gram)

G1_BB42
200.00 G2_BB42
150.00 G1_BB200
G2_BB200
100.00

50.00

0.00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21
Generasi

Gambar 6.
Ragam aditif sifat bobot badan pada puyuh selama 21 generasi seleksi

1.20

1.00

0.80
Ragam (Gram)

G1_BT11
G1_BT12
0.60
G2_BT11

0.40 G2_BT12

0.20

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi

Gambar 7.
Ragam aditif sifat bobot telur pada puyuh selama 21 generasi seleksi

43
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

700.00

600.00

500.00
Ragam (Butir)

400.00 G1_JT200
300.00 G2_JT200

200.00

100.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi

Gambar 8.
Ragam aditif sifat jumlah telur pada puyuh selama 21 generasi seleksi

dengan yang diperoleh Schuler et.al. (1998)


Heritabilitas. Nilai heritabilitas BB42 pada dengan nilai 0,233±0,035. Menurut Moritsu
galur 1 dan 2 masing-masing berkisar antara et.al. (1997), nilai heritabilitas untuk
0,52 – 0,58 dan 0,07 – 0,37. Nilai produksi telur berdasarkan hasil penelitian
heritabilitas BB200 pada galur 1 dan 2 dalam periode yang berbeda bervariasi
masing-masing berkisar antara 0,32 – 0,67 antara 0,09 sampai 0,51 dengan nilai rataan
dan 0,04 – 0,07. Nilai heritabilitas BT11 0,25. Sedangkan nilai heritabilitas
pada galur 1 dan 2 masing-masing 0,01 dan berdasarkan seleksi selama lima generasi
0,42. Nilai heritabilitas BT12 pada galur 1 diperoleh nilai untuk galur tingi dan rendah
dan 2 masing-masing 0,09 dan 0,35. masing-masing 0,06 dan 0,35. Hal ini
Sedangkan nilai heritabilitas JT200 pada disebabkan karena jumlah telur dalam
galur 1 dan 2 masing-masing 0,12 dan 0,09, penelitian ini bukan merupakan kriteria
seperti terlihat pada Tabel 2. seleksi.
Nilai heritabilitas BB42 dan BB200 pada
puyuh galur 1 lebih tinggi dibanding dengan Korelasi genetik. Korelasi genetik antara
galur 2. Namun untuk sifat bobot telur, nilai sifat yang diukur juga bervariasi di antara
heritabilitas yang diperoleh pada puyuh kedua galur puyuh. Korelasi genetik antara
galur 1 lebih kecil daripada nilai JT200 dengan BT11, BT12, BB42, dan BB200
heritabilitas bobot telur pada galur 2. pada galur 1 bernilai negatif, seperti yang
Sedangkan sifat jumlah telur nilai disajikan pada Tabel 2.
heritabilitas yang diperoleh pada galur 1 Nilai korelasi genetik yang negatif
sedikit lebih tinggi dibanding nilai antara sifat jumlah telur dan bobot telur
heritabilitas sifat yang sama pada galur 2. sama seperti hasil yang diperoleh oleh
Dari nilai heritabilitas yang diperoleh di Mielenz (2002) pada ayam layer dan pada
antara sifat produksi pada puyuh kalkun (Arthur and Abplanalp, 1975) yakni
menunjukkan bahwa perbedaan kriteria sebesar –0,1. Korelasi genetik positif yang
seleksi memberikan pengaruh terhadap nilai tertinggi diantara sifat yang diukur adalah
heritabilitas sifat tersebut. antara BT11 dengan BT12 pada galur 1 dan
Nilai heritabilitas total jumlah telur galur 2 sebesar 0,78. Korelasi genetik antara
yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar BB42 dengan BB200 pada galur 1 dan galur 2
0,11± 0,02 pada galur 1 dan 0,09±0,01 pada masing-masing sebesar 0,40 dan 0,38.
galur 2, lebih kecil jika dibandingkan

44
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Tabel 2.
Nilai heritabilitas±SE sifat produksi pada puyuh selama 21 generasi seleksi

Kelompok Sifat
Pada jantan dan betina Hanya pada betina
Galur BB42 BB200 JT200 BT11 BT12 BB200B BB42B
1 0,52±0,02 0,67±0,04 0,11±0,02 0,01±0,01 0,09±0,06 0,32±0,06 0,58±0,01
2 0,37±0,01 0,04±0,01 0,09±0,01 0,42±0,02 0,35±0,02 0,04±0,01 0,07±0,01

Tabel 3.
Korelasi genetik sifat produksi puyuh betina hasil seleksi selama 21 generasi

Galur BT11 BT12 BB42 BB200


1 (2) JT200 -0,13 -0,10 (0,05) -0,02 (-0,01) -0,06 (0,04)
(0,05)
BT11 0,78 (0,78) 0,08 (0,18) 0,03 (0,27)
BT12 0,05 (0,18) 0,07 (0,29)
BB42 0,40 (0,38)

Kesimpulan dan Saran seleksi jangka panjang untuk tetap


mempertahankan ragam aditif.
Kesimpulan 2. Penelitian seleksi untuk pendugaan
1. Seleksi jangka panjang memberikan parameter genetik pada unggas dapat
pengaruh terhadap peningkatan rataan menggunakan puyuh sebagai
produksi puyuh pada sifat yang diseleksi pembanding, mengingat nilai
dan terkorelasi positif, tetapi heritabilitas untuk beberapa sifat
memberikan pengaruh penurunan memiliki kemiripan. Namun perlu
produksi terhadap sifat yang terkorelasi dipertimbangkan penggunakan metode
negatif. seleksi dan sistem perkawinan yang
2. Keragaman sifat produksi yang diseleksi sama.
cenderung mengalami penurunan,
namun keragaman aditif masih tetap Ucapan Terima Kasih
bertahan dari generasi ke generasi
selama 21 generasi seleksi-seleksi. Ucapan terima kasih saya sampaikan
3. Nilai heritabilitas yang diperoleh dalam kepada pihak Stasiun Penelitian Martin
penelitian ini untuk sifat jumlah telur Luther Universitas Merbiz, Jerman yang
dan bobot telur ringan tergolong kecil telah memberikan kesempatan kepada saya
dengan nilai h2 masing-masing antara untuk menggunakan data seleksi puyuh
0,09 – 0,12 dan 0,01 - 0,09, bobot badan selama 21 generasi dalam penelitian ini.
ringan nilai h2 tergolong kecil sampai
sedang yakni antara 0,04 – 0,37 dan h2 Daftar Pustaka
sifat bobot telur yang berat tergolong
sedang berkisar antara 0,35 – 0,42. Nilai Aggrey S.E., Ankra-Badug. A., Marks H.L.
h2 bobot badan berat tergolong sedang 2003. Effect of Long-Term Divergent
sampai tinggi berkisar antara 0,32 – Selection on Growth Characteristics
0,67. in Japanese Quail. Poultry Sci., 82:
538-542.
Saran
1. Intensitas seleksi yang kecil dan sistem Arthur J. A. and Abplanalp H. 1975. Linear
perkawinan 1: 1 dengan menghindarkan Estimates of Heritability and
silang dalam (inbreeding) perlu Genetic.
dipertimbangkan dalam melakukan

45
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

Correlation for Egg Production, Body Under Different Environment.


Weight, Conformation, and Egg Poultry Sci,. 75: 1198-1203.
Weight of Turkey. Poultry Sci.,
54:11-23. Mielenz N., Kovac M., Groeneveld E.,
Cole H.H. 1966. Introduction to Livestock Preisinger R., Schmutz M., Schuler
Production. W.H. San Francisco: L. 2002. Genetic Evaluation of Egg
Freeman and Company. Production Traits Based on Additive
and Dominance
Falconer D.S., Mackay T.F.C. 1989.
Introduction to Quantitative Models in Laying Hens. 11th European Poultry
Genetics. New York: Longman Inc. Conference 6-10 September 2002.
Bremen.
Francesh A., Estany J., Alfonso L., Iglesias
M. 1997. Genetic Parameters for Egg Moritsu Y., Nestor K.E., Noble D.O., Antony
Number, Egg Weight, and Eggshell N.B., Bacon W.L. 1997. Divergent
Selection for Body Weight and Yolk
Color in Three Catalan Poultry Breeds. Precursor in Coturnix coturnix
Poultry Sci., 76:1627–1631. japonica. 12. Heterosis in Reciprocal
Crosses Between Divergently
Groeneveld E. 1998. VCE 4 User’s Guide and Selected Lines. Polutry Sci., 76:
Reference Manual Version 1.1. 437-444.
Institute of Animal Husbandry and
Animal Behavior. Germany: Federal Nestor K.E., Anderson J.W., Patterson R.A.
Agricultural Research Centre. 2000. Genetics of Growth and
Reproduction in Turkey. 14 Changes
Henderson C.R. 1986. Recent Development Ingenetic Parameter Over Thirty
In Variance and Covariance generations of Selection for
Estimation. J. Anim. Sci., 63: 208- Increased Body Weight. Poultry Sci.,
216. 79:445-452.

Kuswahyuni I.S. 1989. Respon Seleksi Jangka Nestor K.E., Bacon W.L., Anthony N.B.,
Pendek Bobot Badan Umur Empat Noble D.O. 1996. Divergent
Minggu Terhadap Penampilan Selection for Body Weight and Yolk
Produksi dan Reproduksi Burung Precursor in Coturnix coturnix
Puyuh. [Disertasi].FPS, IPB. Bogor. japonica. 10 Response to Selection
Over Thirty Generations. Poultry
Lasley L.J. 1978. Genetics of Livestock Sci., 75: 303-310.
Improvement. 3 rd Edition. New
Delhi: Prentice-Hall of India Private Preston T.R., Willis M.B. 1974. Intensive
Limited. Beef Production. Second Ed. New
York: Pergamon Press Inc.
Maeda Y., Minvielle F., and Okamoto S.
1997. Changes of Protein Quass R.L. 1988. Additive Genetics Model
Polymorphism in Selection Program Withgroups and Relationships.
for Egg Production in Japanese J.Dairy Sci., 71:1338.
Quail, (Coturnix coturnix
japonica). Japanese Poultry Science, Saatci M., Dewi I.A.P., Aksoy A.R.,
34: 263-272. Kirmizibayrak T. 2003. Aplication of
REML Procedure to Estimate the
Marks H. L. 1985. Direct and Correlated Genetic Parameter of Weekly
Responses to Selection forgrowth.. Liveweights in One-to-One Sir and
Dalam Poultry Genetics and Dam Pedigree Recorded Quail.
Breeding. Hill W.G., Manson J.M., J.Anim.Breed.Genet, 120: 23-28.
Hewit D., ed. Longmangroup
Limited, Harlow UK. Hal. 47-57 SAS. 1996. SAS User’s Guide: Statistics.
Cary, NC USA: SAS Institute Inc.
Marks H. L. 1996. Long-Term Selection for
Body Weight in Japanese Quail Schuler L., Mielenz N., Hempel S. 1998.
Asymetry of Selection Respons in

46
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Performance Traits of Japanese


Quails. Proc.6th WCGALP, Univ. New
England, Armidale, Australia.
26:101-104.

Van der Werf J.H.J., de Boer I.J.M. 1990.


Estimation of Additive Genetic
Variance When Base Populations are
Selected. J. Anim. Sci., 68: 3124 -
3132.

Warwick E.J., Legates J.E. 1979. Breeding


and Improvement of Farm Animal.
New York: Mc-Grow-Hill Book
Company.

Warwick E.J., Maria Astuti J., Hardjosubroto


W. 1983. Pemuliaan Ternak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

47
Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...

Perbandingan Antara Substitusi Keluih (Artocarpus Communis)


dan sukun (Artocarpus Altilis) Terhadap Kualitas Abon Sapi
Comparison Between Keluih (Artocarpus Communis)
and Bread- Fruit(Artocarpus Altilis) to Quality of abon cow

Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani

Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan 20155

Abstract: The objective of this experiment was to study The Comparison Between
Keluih (Artocarpus communis) and Bread-Fruit (Artocarpus altilis) To Quality of Abon
Cow.
This research conducted in Laboratorium Teknologi Food, Technological Majors of
Agriculture, Faculty of Agriculture, University North Sumatra, Medan. The objective of
this research was to know substitution materials type and comparison of correct
substitution level to quality of cow abon.
This research is conducted by using completely randomized design method (CRD) which
consist of 2 factor such as first factor is S (substitution materials) where S0 = meat of
cow + keluih, and S1 = meat of cow + bread-fruit. The second factor is L (comparison of
substitution level) where L0 = 100%: 0%, L1 = 75%: 25%, L2 = 50%: 50% and L3 = 25%: 75%,
treatment combination counted 2 x 4 by 3 replication.
The result of research that different substitution materials were increasing to masture
(%) (10.03 and 11.00, respectively), to crude protein (%) (28.68 and 30.77,
respectively),and was decreasing to taste (numerik) (2.78 and 2.41, respectively),
colour (numerik) (2.87 and 2.51, respectively) and texture (numerik) (2.72 and 2.28,
respectively) but non significant (P>0.05) with fat rate.
Comparison of different substitution level was decreasing to masture (%) (12.70,
11.83, 10.17 and 7.67, respectively), to crude protein (%) (38.65, 35.15, 29.05 and
16.03, respectively), to taste (numerik) (3.01, 2.92, 2.40 and 2.05, respectively), to
colour (numerik) (2.87, 2.83, 2.69 and 2.36, respectively), and to texture (numerik)
(2.94, 2.68, 2.33 and 2.06, respectively), but was increasing to fat rate (%) (18.25,
20.86, 25.74 and 28.45, respectively).
Interaction between substitution materials and comparison of different substitution
level was decreasing to crude protein (%) (38.40, 34.50, 25.75, 16.53 / 38.90, 35.80,
32.83 and 15.53, respectively), to taste (numerik) (3.13, 2.97, 2.58, 2.44 / 2.89, 2.86,
2.22 and 1.66, respectively), to colour (numerik) (3.02, 2.97, 2.80, 2.69 / 2.72, 2.69,
2.58 and 2.03, respectively), and to texture (numerik) (3.13, 2.72, 2.52, 2.50 / 2.75,
2.63, 2.13 and 1.61, respectively), but non significant (P>0.05) to masture and fat
rate.
Keluih can be used as substitution materials because owning more compared to
excellence is bread-fruit with best substitution level is 25%.
Key words: keluih, bread-fruit, abon and crude protein

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji perbandingan antara keluih
(Artocarpus communis) dan sukun (Artocarpus altilis) terhadap kualitas abon sapi.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui jenis bahan substitusi dan perbandingan level substitusi
yang tepat terhadap kualitas abon sapi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL)
yang terdiri dari 2 faktor yaitu faktor S (bahan substitusi) di mana S0 = keluih dan S1 =
sukun dan faktor L (perbandingan level substitusi) di mana L0 = 100%: 0%, L1 = 75%: 25%,
L2 = 50%: 50%, dan L3 = 25%: 75%. kombinasi perlakuan sebanyak 2 x 4 dengan 3 ulangan.

48
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Hasil penelitian diperoleh bahwa bahan substitusi yang berbeda berpengaruh nyata
(P<0.05) terhadap kadar air dan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar
protein, rasa, warna, dan tekstur, tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kadar
lemak sedangkan perbandingan level substitusi yang berbeda berpengaruh sangat nyata
terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak, rasa, warna, dan tekstur. Interaksi
antara bahan substitusi dan perbandingan level substitusi yang berbeda berpengaruh
nyata terhadap kadar protein, rasa, warna, dan tekstur tetapi tidak berbeda nyata
terhadap kadar air dan kadar lemak. Keluih dapat digunakan sebagai bahan substitusi
karena memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan dengan sukun dengan level
substitusi yang terbaik adalah 25%.
Kata kunci: keluih, sukun, abon, dan protein kasar.

Pendahuluan Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk
Daging adalah salah satu bahan mengetahui jenis bahan substitusi abon dan
pangan yang mempunyai kadar protein yang perbandingan level substitusi yang tepat
tinggi. Masalahnya daging mempunyai sifat terhadap kualitas kadar air, kadar protein,
yang mudah rusak (perishable food) dan kadar lemak, dan organoleptik abon sapi.
tingkat kerusakan sekitar 5-10%. Oleh
karena itu diperlukan penanganan yang Bahan dan Metode Penelitian
tepat dan cepat berupa pengawetan dan
pengolahan. Tujuannya adalah untuk Lokasi dan waktu Penelitian
memperpanjang waktu penyimpanan, Penelitian ini dilaksanakan di
mempertahankan nilai gizi, serta memberi laboratorium Teknologi Pangan, Jurusan
peluang penganekaragaman jenis olahan Teknologi Pertanian, Jln. Prof. A. Sofyan no.
makanan (Dinas Peternakan, 1998). 3, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Salah satu bahan makanan asal Utara pada bulan Februari 2005 – Maret
daging yang mempunyai nilai gizi tinggi dan 2005.
bervariasi cara pengolahannya adalah abon.
Masalahnya abon daging sapi mahal Bahan dan Alat
harganya namun peminatnya tetap banyak. • Bahan
Untuk menekan harga agar terjangkau oleh - Daging sapi 4500g
masyarakat menengah ke bawah, maka - Asam jawa 360g
produk abon dapat dibuat dari bahan - Sukun 1350g
hewani yang dikombinasi dengan bahan - Santan kental 200 ml
nabati. - Keluih 1350g
Pada penelitian ini penulis - Ketumbar 240g
menambahkan keluih (Artocarpus - Minyak goreng 7200g
communis) dan sukun (Artocarpus altilis) - Lengkuas 240g
dalam pembuatan abon untuk memperkecil - Pepaya muda 450g
biaya dengan mengurangi pemakaian daging - Cabe merah 600g
sehingga daya jual abon murah dan dapat - Jintan 100g
dijangkau masyarakat tetapi tetap - Gula merah 1700g
mempertahankan mutu dan - Garam 200g
palatabilitasnya. Selain itu bahan yang - Bawang putih 1000g
digunakan juga mudah diperoleh, cara - Bawang merah 1200g
pembuatan yang mudah, dan biayanya tidak - Kemiri 600g
terlalu mahal. • Alat
Keluih (Artocarpus communis) - Panci
dipilih karena mempunyai serat yang hampir - Talenan
menyerupai daging, sedangkan sukun - Kuali
(Artocarpus altilis) dipilih karena satu - Mortal
bangsa dengan keluih meskipun seratnya - Kompor
tidak sama. Keunggulan dari produk abon - Baskom
keluih adalah berasa enak (khas), memiliki - Sendok penggoreng
tampilan (tekstur) yang sama dengan abon - Pisau
daging murni, dan tahan disimpan lama. - Peniris sentrifugal
- Timbangan

49
Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...

Kadar Kadar Kadar


Perlakuan Rasa Warna Tekstur
air protein lemak
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah S0 10.03a 28.68a 23.30tn 2.78a 2.87a 2.72a
rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial S11 11.00 b
30.77b
23.35tn
2.41b
2.51b
2.28b
yang terdiri atas 2 faktor yaitu:
L0 12.70a 38.65a 18.25d 3.01a 2.87a 2.94a
1. Faktor substitusi (S) L1 11.83b 35.15b 20.86c 2.92a 2.83a 2.68a
S0 = daging sapi + keluih
L2 b c b b b
2.33b
S1 = daging sapi + sukun 10.17 29.05 25.74 2.40 2.69

2. Faktor level perbandingan (L) L3 7.67 c


16.03d
28.45 a
2.05 c
2.36b
2.06b
L0 = 100%: 0%
S0L0 12.73tn 38.40a 18.30tn 3.13a 3.02a 3.13a
L1 = 75%: 25% S0L1 tn c tn a a
10.33 34.50 20.57 2.97 2.97 2.72c
L2 = 50%: 50%
S0L2 tn d tn c a
2.52c
L3 = 25%: 75% 9.67 25.27 25.87 2.58 2.80

Banyak ulangan yang diperoleh sebanyak 3 S0L3 7.40tn 16.53e 28.45tn 2.44d 2.69b 2.50c
ulangan. S1L0 12.67 tn
38.90 a
18.20tn
2.89b
2.72b
2.75b
S1L1 11.60tn 35.80b 21.15tn 2.86b 2.69b 2.63c
Model Rancangan S1L2 tn c tn d b
10.67 32.83 25.60 2.22 2.58 2.13d
Model rancangan yang digunakan
S1L3 7.93 tn
15.53e
28.45tn
1.66e
2.03 c
1.61d
adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Υijk = μ + αi +βj + (αβ) ij + ∈ijk Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf 5%.
Parameter Penelitian tn = tidak nyata
a. Kadar Air
b. Kadar Protein 1. Kadar air
c. Kadar Lemak Semakin tinggi level keluih atau
d. Uji organoleptik (rasa, warna, dan sukun, kadar airnya semakin menurun. Hal
tekstur) ini disebabkan keluih dan sukun lebih mudah
kering selama proses pemanasan
Prosedur Penelitian dibandingkan dengan daging sapi, dan juga
1. Daging direbus sampai sampai lunak, sifat protein daging sapi yang mampu
sewaktu merebus dimasukkan menahan airnya selama proses pemanasan
potongan pepaya muda agar daging berlangsung. Penurunan ini menunjukkan
mudah lunak. pengaruh yang tidak berbeda nyata
2. Keluih dan sukun dikupas, terhadap kadar air.
dibersihkan, lalu diparut.
3. Daging ditumbuk kemudian dicabik- 2. Kadar protein
cabik, ditumbuk lagi, lalu disuir- Semakin tinggi level daging sapi
suir. semakin tinggi kadar protein abon yang
4. Bumbu dihaluskan, santan diperas dihasilkan, hal ini disebabkan oleh karena
langsung tanpa air (1kg daging: 1 protein daging sapi lebih tinggi daripada
butir kelapa). keluih dan sukun. Jika dilihat dari komposisi
5. Campurkan bumbu, keluih atau daging sapi kadar proteinnya mencapai
sukun, daging, dan santan diaduk 18.8% (Direktoratgizi,1981).
sampai santan kering.
6. Goreng dengan minyak panas sambil 3. Kadar lemak
terus diaduk sampai daging Semakin tinggi level keluih atau
berwarna coklat, kemudian tiriskan sukun semakin tinggi pula kadar lemaknya.
dan peras minyak berlebihan dengan Keluih dan sukun merupakan buah yang
peniris sentrifugal. mempunyai karbohidrat yang tinggi
(Baliwati dkk., 2004) serta merupakan
Hasil dan Pembahasan bagian dari karbohidrat kompleks
(polisakarida). Serat inilah yang
Rekapitulasi hasil penelitian dapat menyebabkan naiknya kadar lemak pada
dilihat pada Tabel 1. berikut ini. abon dengan level substitusi keluih atau
sukun yang semakin besar, di mana menurut
Tabel 1. Muchtadi (2000) menyatakan bahwa serat
Rekapitulasi hasil penelitian pangan mempunyai karakteristik
mengabsorbsi lemak minyak.

50
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

4. Rasa berbeda nyata terhadap kadar air


Abon keluih mempunyai dan kadar lemak.
karakteristik serat yang hampir menyerupai
daging bila dibanding dengan sukun sehingga Saran
rasanya lebih disukai panelis. Hal ini Disarankan agar menggunakan keluih
didukung oleh Pitojo (2005) yang sebagai bahan substitusi daging pada abon
menyatakan abon keluih mempunyai rasa sapi dengan level 25%.
yang khas dan penampilan (tekstur) yang
sama dengan abon daging sapi seratus Daftar Pustaka
persen.
Astawan, M. W. dan M. Astawan. 1989.
5. Warna Teknologi Pengolahan Pangan
Warna abon dengan substitusi Hewani Tepat Guna. Jakarta:
keluih memiliki warna coklat kemerahan Akademical Pressindo.
sehingga lebih disukai panelis daripada
warna abon yang disustitusi sukun Baliwati, Y. F., Khomsan, A., C. M. Dwiriani.
mempunyai warna coklat pucat. Warna 2004. Pengantar Pangan dan Gizi.
coklat ini merupakan hasil reaksi Jakarta: Penebar Swadaya.
pencoklatan (reaksi Maillard) yang
diinginkan pada waktu penggorengan. Warna Dinas Peternakan. 1998. Petunjuk Teknis
ini dapat dijadikan sebagai petunjuk mutu Pengolahan Hasil Peternakan.
abon seperti yang dikemukakan Pamencak Medan: Pemerintah Propinsi Daerah
(1982) yang menyatakan bahwa semakin Tingkat I Sumatera Utara.
coklat warna abon biasanya mutunya akan
semakin baik. Sebaliknya abon yang Facruddin, L. 1997. Membuat Aneka Abon
berwarna muda biasanya dalam proses Teknologi Tepat Guna. Yogyakarta:
pembuatannya dicampur bahan lain. Kanisius.

6. Tekstur Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi


Keluih mempunyai karakteristik Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:
serat yang hampir menyerupai daging sapi UI Press.
bila dibanding dengan sukun, sehingga
tekstur lebih disukai panelis. Abon keluih Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging.
yang dihasilkan seperti serat-serat kapas Penerjemah A. Parakkasi. Jakarta:
yang hampir mendekati tekstur abon daging. UI Press.
Hal ini didukung oleh Pitojo (2005) bahwa
abon kluwih mempunyai tampilan (tekstur) Margono, T. Suryati, D. dan Hartinah S.
yang hampir menyerupai abon daging sapi. 2004. Tentang Pengolahan Pangan.
[www.document]URL
Kesimpulan dan Saran http://www.iptek.net.id/warintek/
pengolahan_pangan.idx.php.
1. Kesimpulan
1. Bahan substitusi yang berbeda Moehyi, S. 1992. Penyelenggaraan Makanan
berpengaruh menurunkan kadar air Institusi dan Jasa Boga. Jakarta:
dan berpengaruh menaikkan kadar Bharatara.
protein, rasa, warna, dan tekstur
tetapi tidak berbeda nyata terhadap Muchtadi, D. 2000. Sayur-Sayuran (Sumber
kadar lemak. Serat dan Antioksidan: Mencegah
2. Perbandingan level substitusi yang Penyakit Degenaratif).
berbeda berpengaruh menurunkan
kadar air, kadar protein, rasa, Pamentjak. 1982. Pedoman Industri Kecil
warna, dan tekstur, serta Rakyat. Jakarta: Jasa Guna.
berpengaruh menaikkan kadar
lemak. Pitojo, S.1992. Budidaya Sukun. Yogyakarta:
3. Interaksi antara bahan substitusi Kanisius.
yang berbeda berpengaruh
menurunkan kadar protein, rasa, Pitojo, S. 2005. Budidaya Keluih.
warna, dan tekstur, tetapi tidak Yogyakarta: Kanisius.

51
Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging.


Edisi ke-2. Yogyakarta: UGM Press.

Sunarjono, H. H. 2003. Prospek Berkebun


Buah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tabloid Nova. 2002. [www. document] URL


http//www.sedap_sekejap.com/arti
kel/2002/edisi4/files/teknoind.htm

Tarwotjo, C. S. 1998. Dasar-Dasar Gizi


Kuliner. Jakarta: Gramedia Widia
Sarana Indonesia.

Winarno, F.G. 1993. Pangan, Gizi,


Teknologi, dan Konsumen. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

52
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah


Beranak Pada Kambing Peranakan Etawah
The effects of Milking Intervals on Post-Partum Sexual Activity of
Etawah Cross-Bredgoats

Usman Budi
* Staf Pengajar Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara

Abstract: Research was conducted to study the influence of milking interval of Etawah
Cross-bred in post-partum sexual activity in Indonesian Animal Production Research
Institute (IANPRI), Ciawi, Bogor and Faculty of Animal Husbandry IPB, Bogor from
October, 2000 to May, 2001. 5-7 years of 18 heads of Etawah Cross-bred weregrouped
of body weight for threegroups. All samples have received same feed and
management. The randomized complete block design was used with there were three
treatments, (1) 12 hours of milking interval, (2) 16:8 hours of milking interval, and (3)
24 hours of milking interval. According to data processing, all treatments did not
shown significantly difference on concentration of progesterone hormone, post-partum
estrous, percentage of pregnant and litter size, however milking interval 16:8 shown
inclination faster more than another treatment on post-partum estrous. Feed
consumption of etawah cross-bredgoats at all treatments did not also show
significantly different. The result of this reseach indicated that no significant effect of
milking intervals on post-partum sexual activity of etawah cross-bredgoats.
Key words: milking interval, sexual activity, post partum,goat, etawah cross-bred.

Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh interval pemerahan


terhadap aktivitas seksual setelah beranak kambing Peranakan Etawah (PE) di Balai
Penelitian Ternak Ciawi, Bogor dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor dari Bulan Oktober
2000 sampai Mei 2001. Ternak yang digunakan adalah 18 ekor kambing betina PE
dengan umur 5-7 tahun, dikelompokkan berdasarkan bobot badan menjadi tiga
kelompok. Rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok nonfaktorial
dengan perlakuan interval pemerahan 12 jam, interval pemerahan 16:8 jam dan
interval pemerahan 24 jam. Semua ternak mendapat pakan dan manajemen
pemeliharaan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval pemerahan
tidak memberikan pengaruh yang nyata pada aktivitas seksual setelah beranak yaitu
terhadap kandungan hormon progesteron, berahi setelah beranak, persentase
kebuntingan dan jumlah anak sekelahiran, namun demikian interval pemerahan 16:8
menunjukkan kecenderungan lebih cepat dibanding dua perlakuan lainnya terhadap
munculnya berahi setelah beranak. Konsumsi pakan kambing PE pada ketiga perlakuan
juga tidak berbeda secara statistik. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini
mengindikasikan bahwa aktivitas seksual setelah beranak pada kambing PE tidak nyata
dipengaruhi oleh interval pemerahan.
Kata kunci: interval pemerahan, aktivitas seksual, setelah beranak, kambing,
peranakan etawah

Pendahuluan berpotensi untuk menghasilkan susu, namun


keberadaan dan produksi susu kambing di
Kambing sebagai salah satu ternak, Indonesia saat ini belum optimal, karena
keberadaannya di Indonesia memberikan selain belum begitu luas dikonsumsi oleh
andil yang cukup besar bagi pendapatan masyarakat, tata laksana pemerahannya
masyarakat utamanya masyarakat peternak juga belum berjalan sebagaimana mestinya.
kecil. Di samping sebagai penghasil daging Dalam upaya meningkatkan
dan hasil ikutannya berupa kulit dan pupuk produksi susu kambing dan mengetahui tata
yang sudah memasyarakat, kambing juga laksana pemerahan yang baik sehingga

53
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...

dapat diterapkan di peternakan rakyat, konsentrat adalah sebesar 5% dari bobot


diperlukan suatu cara yang penerapannya hidup berdasarkan bahan kering (NRC,
tidak sukar dilaksanakan seperti frekuensi 1975).
pemerahan (interval pemerahan) yang
optimal, sehingga dapat diperoleh produksi
susu yang optimal yang didukung dengan
pakan dan manajemen yang baik. Dari Metode Penelitian
beberapa penelitian yang telah dilakukan Rancangan percobaan yang
sebelumnya telah ditemukan bahwa jumlah digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
maksimum air susu yang dihasilkan oleh (RAK) nonfaktorial, dengan pengelompokkan
induk dibatasi tidak hanya oleh kesanggupan ternak berdasarkan bobot badan. Ternak
genetiknya, tetapi juga oleh frekuensi yang digunakan dalam penelitian ini
penyusuan dan kesanggupan anak menyusu diurutkan dari bobot badan yang paling
serta makanan yang dikonsumsi. Berbeda rendah hingga ke bobot badan yang paling
halnya dengan beberapa jenis hewan yang tinggi, selanjutnya dari 18 ekor ternak yang
telah banyak diteliti, seperti pada sapi, digunakan dibagi menjadi 3 kelompok
domba, dan kuda, sejauh ini banyaknya berdasarkan bobot badan sehingga diperoleh
frekuensi pemerahan yang optimal pada tiap kelompok ada 6 ekor ternak. Adapun
kambing belum banyak diketahui. perlakuan yang digunakan pada penelitian
Salah satu bangsa kambing di ini terdiri atas tiga perlakuan pemerahan,
Indonesia yang diharapkan dapat yaitu pemerahan dengan interval 12 jam (2
ditingkatkan produksinya adalah kambing kali pemerahan sehari); pemerahan dengan
Peranakan Etawah (PE) yaitu bangsa interval 16:8 jam (2 kali pemerahan sehari);
kambing yang diperoleh dari kawin tatar dan pemerahan dengan interval 24 jam (1
(grading-up) antara kambing asli Indonesia kali pemerahan sehari).
(kambing kacang) dengan kambing Etawah Pengaruh perlakuan terhadap semua
yang didatangkan dari India. Hasil peubah yang diamati, dipelajari dengan
perkawinan dari dua bangsa kambing ini sidik ragam dengan model matematik:
menghasilkan peranakan kambing Etawah
yang ciri-ciri dan kemampuan produksinya Yij = μ + τi + βj + εij
mendekati sifat-sifat karakteristik kambing
Etawah. Perbedaan antara perlakuan
Tujuan Penelitian ini adalah untuk terhadap parameter kuantitatif yang diuji
mengetahui pengaruh interval pemerahan menggunakan analisis sidik ragam (analysis
kambing PE terhadap aktivitas seksual of variance) atas dasar rancangan acak
setelah beranak yaitu kandungan hormon kelompok nonfaktorial menurut Steel dan
progesteron di dalam darah, persentase Torrie (1991) dan jika hasilnya berbeda
kebuntingan, timbulnya berahi setelah nyata diadakan uji lanjut dengan uji Beda
beranak, dan jumlah anak sekelahiran dan Nyata Terkecil (BNT).
bobot lahir. Selain itu juga untuk Penelitian ini dilakukan pada bulan
mengetahui pengaruh interval pemerahan Oktober 2000 sampai dengan Mei 2001.
terhadap konsumsi pakan. Dimulai saat ternak bunting 4 bulan atau
satu bulan sebelum beranak, ternak
Bahan dan Metode dimasukkan ke dalam kandang individu dan
diberi pakan yang seragam, yaitu: Hijauan
Materi Penelitian rumput raja yang ditimbang beratnya antara
Ternak yang digunakan adalah 18 3-4kg/hari/ekor yang telah dipotong
ekor kambing betina Peranakan Etawah (PE) menggunakan alat pemotong rumput dan
terpilih dengan bobot badan 35,0 – 45,2kg konsentrat buatan BPT Ciawi sebanyak
dan umur berkisar 5-7 tahun. Kambing PE 800g/hari/ekor. Jumlah pakan yang
dipelihara dalam kandang individu dengan diberikan dan sisanya ditimbang setiap hari.
ukuran 2 x 1 m2 dan rumput raja (Penisetum Dengan cara dikumpulkan dari beberapa
purpureophoides) segar (protein kasar 9,84% sampel harian yang diambil secara acak,
dan serat kasar 39,57%), dan konsentrat rumput dan konsentrat disimpan dan
(protein kasar 19,25% dan serat kasar selanjutnya dilakukan analisis kandungan
10,73%). Proporsi bahan kering hijauan dan zat makanannya secara analisis proksimat di
konsentrat yang diberikan adalah 30:70. Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas
Hijauan diberikan dalam bentuk cacahan Peternakan IPB, Bogor. Sebelum penelitian
sepanjang ± 5 cm. Jumlah pemberian pakan diadakan persiapan ternak dan kandang

54
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

dibersihkan, tiap petak kandang diberi beranak dengan cara mengamati tanda-
nomor yang sesuai dengan nomor yang ada tanda berahi yang terjadi pada ternak dan
pada ternak. Untuk rancangan acak melihat tingkah laku ternak tersebut. Hal ini
kelompok, masing-masing ternak sesuai dengan yang dikemukakan oleh
ditempatkan pada kandang individu dan Prasad (1979) bahwa ditemukan sebanyak 17
diberi perlakuan secara acak. Adapun ekor induk kembali berahi setelah beranak
interval pemerahan yang digunakan pada dalam waktu 5 sampai 20 hari, walaupun
penelitian ini ada tiga, yaitu: (a) Pemerahan beberapa sumber lain menyatakan bahwa
yang dilakukan dengan interval selama 12 timbulnya berahi setelah beranak beragam
jam dalam sehari (2 kali pemerahan sehari), mulai dari satu sampai tiga bulan ataupun
yaitu pemerahan dilakukan pada pukul lebih lama lagi.
06.00 Wib dan pukul 18.00 Wib (b) Persentase kebuntingan diamati
Pemerahan yang dilakukan dengan setelah dihentikan pemerahan (empat bulan
perbandingan 16:8 jam (2 kali sehari) dalam setelah beranak) dan setiap ternak
arti 16 jam interval pemerahan sebelum dikawinkan sebanyak dua kali menggunakan
dilakukan pemerahan pukul 06.00 WIB kambing PE jantan (kawin alam) saat ternak
kemudian 8 jam interval pemerahan diketahui berahi. Selanjutnya dilakukan
sebelum dilakukan pemerahan pukul 14.00 pemeriksaan kebuntingan dengan cara
WIB (c) Pemerahan yang dilakukan dengan melihat timbul atau tidaknya kembali berahi
interval selama 24 jam dalam sehari (1 kali ternak setelah proses perkawinan tersebut.
pemerahan sehari), yaitu pada pukul 06.00 Persentase kebuntingan diperoleh dari
WIB. jumlah ternak yang bunting setelah
Sampel darah diambil setiap dua dikawinkan dibagi dengan jumlah ternak
minggu pada awal laktasi sampai akhir yang dikawinkan.
laktasi dengan alat suntik steril dari vena Jumlah anak sekelahiran diamati
jugularis sebanyak 10 ml dimasukkan ke dengan menghitung banyaknya anak yang
dalam tabung gelas yang diberi tutup karet lahir dari setiap induk yang beranak pada
kemudian ditempatkan pada termos berisi seluruh induk yang diteliti. Bobot lahir
es dan dibawa ke laboratorium untuk ditimbang dengan menimbang bobot anak
dianalisis kadar hormon progesteron dengan yang baru lahir per ekor dalam kilogram.
metode RIA di Balai Penelitian Ternak, Selanjutnya diamati juga jenis kelamin anak
Ciawi. yang dilahirkan untuk melihat apakah
Peubah yang diamati adalah perlakuan interval pemerahan berpengaruh
kandungan hormon progesteron di dalam pada rasio jenis kelamin anak yang
darah, timbulnya berahi setelah beranak, dilahirkan.
persentase kebuntingan, jumlah anak Konsumsi pakan harian
sekelahiran (litter size), dan bobot lahir dalamg/BK/hari ditentukan dengan cara
anak. Selain itu diukur juga konsumsi pakan. menimbang pakan yang diberikan per hari
Kandungan hormon progesteron ini dikurangi dengan sisanya, jenis pakan yang
diukur setiap dua minggu sekali yang digunakan dianalisis kandungan zat
dimulai setelah ternak beranak sampai makanannya dengan cara mengambil sampel
berakhirnya laktasi pada penelitian ini. harian untuk analisis proksimat.
Sampel darah 10 ml diambil dari vena Pengujian statistik terhadap
jugularis dengan menggunakan alat suntik parameter kuantitatif yang diukur
steril pada pagi hari (Ryley, 1983; menggunakan analisis sidik ragam atas dasar
Subhagiana, 1998). Sampel darah rancangan acak kelompok nonfaktorial
dimasukkan ke dalam termos es atau wadah menurut Steel dan Torrie (1991) dan
berisi es, selama beberapa jam dibiarkan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil
menggumpal. Kemudian serum dipisahkan (BNT).
dengan cara sentrifugasi pada kecepatan
2500-3000 rpm selama 30 menit di Hasil dan Pembahasan
laboratorium. Serum disimpan dalam tabung
plastik kecil dalam keadaan beku sampai Kandungan Hormon Progesteron di Dalam
diadakan analisis hormon progesteron yang Darah
diukur dengan metode “Radioimmunoassay” Kandungan hormon progesteron
(RIA) teknik fase padat (Diagnostic Products kambing PE dalam penelitian ini pada
Corporation, Los Angeles, CA). perlakuan interval pemerahan 12 jam (IP
Timbulnya berahi setelah beranak 12), interval pemerahan 16:8 jam (IP 16:8)
diamati kira-kira satu minggu setelah ternak dan interval pemerahan 24 jam (IP 24)

55
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...

masing-masing adalah 0,125 – 2,4 ng/ml ternak yang digunakan merupakan ternak
dengan rataan 1,35 ± 0,82 ng/ml, 1,047 – yang dipakai pada penelitian-penelitian
2,71 ng/ml dengan rataan 1,75 ± 0,6 ng/ml tersebut, sehingga pengamatan kandungan
dan 0,81 – 3,07 ng/ml dengan rataan 2,08 ± hormon progesteron dengan pengambilan
0,47 ng/ml. Hasil analisis data menunjukkan darah pada setiap ternak melanjutkan
bahwa interval pemerahan tidak nyata pengambilan darah pada penelitian
mempengaruhi kandungan hormon sebelumnya.
progesteron di dalam darah kambing PE. Pada gambar 1 (interval pemerahan
Pola umum kandungan hormon progesteron 12 jam) dapat dilihat bahwa permulaan
pada masing-masing perlakuan disajikan terjadinya siklus, dengan terlihat adanya
pada gambar 1, 2, dan 3. peningkatan kandungan hormon
Secara umum, awal pengamatan progesteron, bervariasi pada masing-masing
kandungan hormon progesteron dalam ternak yaitu dari 28 – 81 hari setelah
penelitian ini pada masing-masing ternak beranak. Pada gambar 1 terlihat ada dua
tidak sama, bervariasi dari 1 – 14 hari ternak yang tidak menunjukkan siklus
setelah beranak dan selanjutnya diamati dengan tidak terlihatnya peningkatan
setiap dua minggu sekali. Hal ini terjadi kandungan hormon progesteron dalam darah
karena penelitian ini adalah lanjutan dari yaitu pada grafik keempat dan grafik
penelitian-penelitian sebelumnya dan kelima.

Grafik 1

Grafik 2

Grafik 3

Grafik 4

Grafik 5

Grafik 6

Gambar 1.
Konsentrasi progesteron secara individual pada IP 12

56
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Grafik 1

Grafik 2

Grafik 3

Grafik 4

Grafik 5

Gambar 2.
Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 16:8

Grafik 1

Grafik 2

Grafik 3

Grafik 4

Gambar 3.
Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 24

57
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...

Pada grafik keempat dari gambar 1, di dalam ovarium yang mensekresikan


terlihat bahwa jumlah sampel yang diamati hormon progesteron ke dalam darah
hanya empat dari sembilan sampel yang sehingga terjadi peningkatan kandungan
seharusnya ada pada masing-masing ternak hormon progesteron. Sutama et.al. (1997)
dan sampel yang ada hanya terdapat pada melaporkan bahwa rataan siklus berahi pada
minggu-minggu awal pengamatan. Hal ini kambing PE adalah 19-24 hari.
terjadi karena sampel yang berupa serum
darah tidak ada (tumpah) dari tabung Berahi Setelah Beranak
sampel, sehingga tidak dapat dijadikan Data berahi setelah beranak
bahan untuk melihat kandungan hormon kambing PE dalam penelitian ini pada
progesteron. Pada grafik kelima juga tidak perlakuan IP 12, IP 16:8 dan IP 24 masing-
terlihat adanya peningkatan kandungan masing adalah 48.75±21.09, 39.80±5.50 dan
hormon progesteron selama pengamatan. 52.25±9.78 hari dengan rataan 46.93±5.24
Hal ini terjadi mungkin karena ovulasi tidak hari (Tabel 5).
terjadi selama pengamatan dan mungkin Data berahi setelah beranak dalam
ovulasi terjadi di luar waktu pengamatan penelitian ini diperoleh dari data kandungan
(setelah pengambilan darah tidak lagi hormon progesteron pada kambing PE
dilakukan), sehingga tidak terlihat adanya selama penelitian. Hal ini dilakukan karena
peningkatan kandungan hormon pengamatan berahi setelah beranak
progesteron. seharusnya dilakukan dengan melihat tanda-
Gambar 2 juga terdapat variasi awal tanda berahi pada ternak secara langsung,
peningkatan kandungan hormon progesteron namun hasil yang didapat kurang akurat,
dalam darah yaitu dari 22 – 41 hari setelah karena sulitnya melihat tanda-tanda berahi
beranak. Pada gambar ini terlihat bahwa pada ternak yang dipelihara dalam kandang
jumlah ternak yang diamati adalah sebanyak individu.
lima ekor yang seharusnya enam ekor. Hal Hasil yang diperoleh pada
ini terjadi karena saat pengambilan sampel, penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
darah yang telah disentrifuge untuk diambil dilakukan Sutama et.al. (1997) yang
serumnya dimasukkan ke dalam tabung melaporkan bahwa terjadinya berahi setelah
plastik, selanjutnya disimpan di dalam beranak pada kambing PE terjadi antara 32-
mesin pembeku (freezer). Saat 103 hari.
penyimpanan ini, beberapa sampel keluar Kondisi ternak sebelum dan sesudah
dari tabung sampel saat serum dalam beranak berpengaruh terhadap aktivitas
keadaan beku, sehingga tidak dapat seksual setelah beranak (Sutama et.al.,
digunakan untuk mengamati hormon 1993). Selanjutnya Sutama et.al. (1997)
progesteron. melaporkan bahwa timbulnya berahi setelah
Pada gambar 3 juga terdapat variasi beranak pada kambing PE dengan tingkat
awal peningkatan kandungan hormon produsi susu yang berbeda bervariasi antara
progesteron yaitu dari 24 – 43 hari setelah 32-103 hari. Kecepatan munculnya aktivitas
beranak. Pada gambar 4 terlihat bahwa seksual setelah beranak bervariasi diantara
jumlah ternak yang diamati hanya empat bangsa kambing, dan dipengaruhi oleh
ekor. Seperti pada gambar 2 dan gambar 3, panjang laktasi dan kondisi pakan yang
bahwa tidak lengkapnya jumlah ternak yang dikonsumsi.
diamati disebabkan keluarnya sampel yang Selanjutnya Riera (1982, 1984);
berupa serum pada saat dibekukan di dalam Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa
freezerr karena tutup tabung plastik terdapat variasi yang cukup besar terhadap
terbuka. berahi pertama setelah beranak yaitu 5-27
Terjadinya variasi awal peningkatan minggu pada kambing di daerah beriklim
kandungan hormon progesteron pada sedang (temperate zone).
gambar 1, 2, dan 3 dapat dijadikan
pertanda telah terjadinya siklus berahi pada Persentase Kebuntingan
kambing PE dalam penelitian ini mungkin Persentase kebuntingan (PK) dalam
disebabkan adanya variasi saat terjadinya penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8
ovulasi setelah berahi pada masing-masing dan IP 24 masing-masing adalah 33.33%,
ternak. Dengan terjadinya berahi dan jika 16.67%, dan 66.67% (Tabel 5). Dari data
diikuti dengan ovulasi terbentuklah corpus tersebut terlihat bahwa perlakuan IP 24
luteum (CL). CL merupakan jaringan utama lebih tinggi dari dua perlakuan lainnya.

58
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Tabel 5.
Rataan Berahi Setelah Beranak, Persentase Kebuntingan, Jumlah
Anak Sekelahiran, dan Bobot Lahir Anak Kambing PE

Interval Pemerahan (IP) dalam Jam


Peubah
12 16:8 24 Rataan
BSB (hari) 48.75±21.09 39.80±5.50 52.25±9.78 46.93±5.24
PK (%) 33.33 16.67 66.67 38.89
JAS (ekor) 2.00 (n=2) 1.00 (n=1) 1.75 (n=4) 1.71
BL (kg) 2.83 (n=7) 2.6 (n=4) 4.4 (n=1) 2.88
Keterangan: BSB = berahi setelah beranak, n = jumlah sampel yang diamati, PK = persentase
kebuntingan, JAS = jumlah anak sekelahiran, BL = bobot lahir anak

Perbedaan pada persentase sebanyak 1.5 ekor. Demikian juga hasil


kebuntingan ini diduga bukan karena penelitian Budiarsana et.al. (1999) yang
pengaruh dari perlakuan, namun terjadi melaporkan bahwa rataan jumlah anak
karena jumlah sampel yang terlalu sedikit sekelahiran sebanyak 1.46 ekor dan laporan
sehingga menimbulkan variasi perbedaan Adiati et.al. (2001) bahwa jumlah anak
yang mencolok. sekelahiran kambing PE sebanyak 1.65 ekor.
Terjadinya persentase kebuntingan Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena
yang cukup rendah (16.67%) kemungkinan kambing PE yang digunakan dalam
disebabkan kurang telitinya dalam penelitian ini telah berumur sekitar tujuh
melakukan pengamatan berahi, sehingga tahun, sehingga berpeluang untuk
pada waktu mengawinkan ternak kurang menghasilkan jumlah anak sekelahiran lebih
tepat yang mengakibatkan ternak yang banyak dibandingkan dengan kambing PE
dikawinkan tidak bunting. Menurut yang berumur lebih muda. Setiadi et.al.
Devendra dan Burns (1983); Adiati et.al. (1997) menyatakan bahwa jumlah anak
(1997) waktu yang terbaik mengawinkan sekelahiran cenderung meningkat dengan
kambing minimal 12 jam setelah timbulnya meningkatnya umur induk 2-6 tahun,
tanda-tanda berahi pertama. Persentase keadaan ini didukung oleh pengamatan yang
kebuntingan dalam penelitian ini lebih dilakukan Sutama et.al. (1995) pada
rendah dari penelitian-penelitian yang telah kambing PE betina muda, bahwa jumlah
dilakukan sebelumnya pada kambing PE. anak sekelahiran sebesar 1.04 ekor.
Adiati et.al. (1997) melaporkan bahwa
persentase kebuntingan pada kambing PE Bobot Lahir Anak Kambing PE
berkisar antara 30-100%, Budiarsana et.al. Bobot lahir pada penelitian ini pada
(1999) melaporkan bahwa persentase perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masing-
kebuntingan pada kambing PE dalam masing adalah 2.83kg, 2.6kg, dan 4.4kg
penelitiannya antara 37-84.2%, lebih tinggi dengan rataan 2.88kg (Tabel 5). Hasil
lagi perbedaannya dengan penelitian yang penelitian ini hampir lebih rendah
dilakukan Sutama et.al. (1997) yang dibandingkan penelitian-penelitian pada
mendapatkan persentase kebuntingan pada kambing PE sebelumnya. Adiati et.al. (2001)
kambing PE sebesar 71.4-85.7%. Terjadinya melaporkan bahwa rataan bobot lahir
perbedaan hasil-hasil penelitian tersebut, kambing PE seberat 3.74kg dan dengan yang
tergantung pada jumlah sampel ternak yang dilaporkan Sutama et.al. (1997) yang
digunakan, kualitas ternak yang dipakai, menyatakan bahwa bobot lahir kambing PE
lokasi (tempat) dilaksanakannya penelitian rata-rata sebesar 3.6kg. Selanjutnya
dan keadaan pakan yang dikonsumsi oleh Budiarsana et.al. (1999) mendapatkan
ternak pada masing-masing penelitian. rataan bobot lahir kambing PE seberat
3.63kg. Demikian juga halnya dengan
Jumlah Anak Sekelahiran (litter size) penelitian tentang bobot lahir terhadap
Kambing PE kambing PE dilakukan oleh Setiadi et.al.
Jumlah anak sekelahiran dalam (1997), dan Adiati et.al. (1997) yang
penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8, melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak
dan IP 24 masing-masing adalah 2 ekor, 1 jantan adalah 3.7kg dan 4.0kg sedang anak
ekor dan 1.75 ekor dengan rataan 1.71 ekor betina 3.2kg dan 3.5kg dan Adiati et.al.
(Tabel 5). Hasil dari penelitian ini lebih (1999) melaporkan bahwa rataan bobot lahir
tinggi dari laporan Adiati et.al. (1997) yang anak kambing PE bervariasi antara 2.86-
mendapati rataan jumlah anak sekelahiran 3.17kg. Lebih rendahnya rataan bobot lahir

59
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...

anak kambing PE dalam penelitian ini induk peranakan Etawah yang umurnya
dibandingkan dengan penelitian relatif lebih muda dan jumlah sampel yang
sebelumnya, kemungkinan disebabkan ada cukup, agar responsnya terhadap perlakuan
induk yang anaknya mati saat dilahirkan dan yang diberikan lebih akurat, sehingga
bobot lahir anak yang lahir tersebut (2 ekor) hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil
relatif ringan, sehingga mengurangi rataan dari penelitian ini dan jika memungkinkan
bobot lahir anak kambing PE secara perlu kiranya menambah perlakuan dengan
keseluruhan dalam penelitian ini. frekuensi pemerahan tiga kali dalam sehari.
Kemungkinan lain adalah pakan yang
diberikan kepada induk yang sedang bunting Daftar Pustaka
kurang mencukupi kebutuhannya, sehingga
berakibat rendahnya bobot lahir anak. Adiati, U., Hastono, R. S. G. Sianturi, T. D.
Chaniago, dan I. K. Sutama. 1997.
Konsumsi Pakan Sinkronisasi Berahi Secara Biologis
Konsumsi pakan kambing PE pada Pada Kambing PE. Pros. Seminar
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Nasional Peternakan dan Veteriner
Dari hasil analisis data ternyata bahwa II: 411-416.
interval pemerahan tidak mempengaruhi
secara nyata terhadap konsumsi pakan. Devendra, C. and C. B. Mc. Leroy. 1980.
Namun dari rataan terlihat bahwa konsumsi Goat and Sheep Production in The
pakan paling tinggi terdapat pada perlakuan Tropics. Intermediate Tropical
interval pemerahan 24 jam yaitu sebesar Agriculture Series. London. New
1194.22gBK/hari. York. Singapore: First Publ.
Dari data konsumsi pakan diperoleh Longmans.
bahwa konsumsi bahan kering dibandingkan
dengan bobot badan pada perlakuan IP 12, Devendra, C. dan M. Burns. 1983. Produksi
IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2.7, Kambing di Daerah Tropis.
2.85, dan 2.86%. Hasil ini sesuai dengan Penerjemah IDK Harya Putra.
penelitian Devendra dan Leroy (1980) bahwa Bandung: Institut Teknologi
kambing Etawah serta bangsa kambing Bandung.
perah mengkonsumsi bahan kering harian
bervariasi dari 2.0 – 4.7% dari bobot badan Maryati, T. dan L. Nunik. 1990. Penentuan
atau setara dengan konsumsi sebesar 41.1 – Kandungan Hormon Progesteron
131.1g/kg bobot badan0.75 per hari Dalam Darah dan Susu Pada Ternak
Kambing dan Sapi. Risalah
Kesimpulan dan Saran Pertemuan Ilmiah Pusat Aplikasi
Radio Isotop. BATAN. Jakarta.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan Ryley, J. W. 1983. Collection of Samples for
tersebut di atas, dapat diambil beberapa Laboratory Investigation. In: Dairy
kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: Cattle Research Techniques. Edited
1. Interval pemerahan 16:8 jam dapat by J. H. Ternouth. Quensland Dept.
meningkatkan produksi susu 32.82% of Primary Industries. Brisbane,
pada kambing peranakan Etawah Australia.
dibandingkan dengan interval
pemerahan 12 jam. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991.
2. Komposisi susu tidak terpengaruh Prinsip dan Prosedur Statistika:
dengan perlakuan interval pemerahan. Suatu Pendekatan Biometrik. Alih
3. Efisiensi produksi susu pada perlakuan Bahasa B. Sumantri. Ed. Jakarta:
interval pemerahan 16:8 jam lebih baik Gramedia Pustaka Utama.
dari dua interval pemerahan lainnya.
4. Aktivitas seksual setelah beranak pada Subhagiana, I. W. 1998. Keadaan
kambing peranakan Etawah tidak Konsentrasi Progesteron dan
terpengaruh dengan perlakuan interval Estradiol Selama Kebuntingan,
pemerahan. Bobot Lahir dan Jumlah Anak Pada
Kambing Peranakan Etawah Pada
Saran Tingkat Produksi Susu yang
Perlu dilakukan penelitian lain Berbeda. [Tesis]. Bogor: Institut
dengan menggunakan kambing-kambing Pertanian Bogor, Program

60
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Pascasarjana, Program Studi Ilmu


Ternak.

Sutama, I. K., .IG.M. Budiarsana, dan Y.


Saepudin. 1993. Kinerja Reproduksi
sekitar pubertas dan beranak
pertama kambing PE. Ilmu dan
Peternakan, 8: 9-12.

Sutama, I. K., B. Setiadi, I.G.M. Budiarsana


dan U. Adiati. 1997. Aktivitas
Seksual Setelah Beranak dari
Kambing PE Dengan Tingkat
Produksi Susu yang Berbeda. Pros.
Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, 18-19 November 1997.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, 401-409.

61
Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...

Pengaruh Pemberiaan Tepung Temulawak (Curcuma Xanthorrizha Roxb)


Dalam Ransum Terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler Umur 6 Minggu
[The Influence of Temulawak Flour (Curcuma xanthorrizha Roxb) In A
Portion to Quality of Carcass Broiler 6 Weeks Old]

Yunilas*), Edhy Mirwandhono*), dan Olivia Sinaga **)


*) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU
**) Alumni Prog. Studi Peternakan, FP USU

Abstract: This research aim to give of temulawak flour in ransum to carcass quality (colour,
tekstur and pH) broiler 6 week old. This experiment was arranged by completely random
design (CDR) which consists of 5 treatments and 4 replications, and each replication consist
of 5 chickens. The parameter in this experiment are meat colour, meat teksture, and meat
pH. The result of research obtained of temulawak flour until level 4% in ransum not
significant (P>0.05) to meat colour, meat teksture and meat pH.
Key words: diet, temulawak flour, meat colour, meat teksture, meat pH.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji pemberian tepung temulawak dalam ransum
terhadap kualitas karkas (warna, tesktur, dan pH) ayam broiler umur 6 Minggu. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), terdiri dari 5 perlakuan 4
ulangan, dan setiap ulangan terdiri atas 5 ekor ayam. Parameter yang diukur adalah warna
daging, tekstur daging, dan pH daging. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pemberian
tepung temulawak sampai level 4% dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
warna daging, tekstur daging, dan pH daging.
Kata kunci: ransum, tepung temulawak, warna daging, tekstur daging, pH daging.

Pendahuluan Berkenaan dengan bahan yang


digunakan untuk keperluan pakan ternak
Daging ayam merupakan salah satu unggas, berbagai jenis tanaman holtikultura
daging yang memegang peranan cukup dapat digunakan sebagai pakan ternak
penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi unggas. Salah satunya adalah temulawak
masyarakat. Ayam broiler merupakan salah yang telah lama dikenal yang dapat
satu ternak penghasil daging yang cukup berkhasiat sebagai obat karena kandungan
potensial untuk memenuhi kebutuhan kimianya seperti minyak atsiri, kurkumin,
masyarakat asal protein hewani (Mangisah, glukosida, flavoinida, pati, dan sebagainya
2003). (Biofarmaka, 2002).
Menurut Priyatno (2003), konsumsi Temulawak mengandung zat utama
daging ayam meningkat paling pesat yaitu kurkumin dan minyak atsiri berwarna
dibanding dengan daging sapi, kambing, kuning muda dengan bau yang
maupun babi. Beberapa alasan yang berkarakteristik dengan rasa yang tajam
menyebabkan kebutuhan daging ayam serta bersifat antiseptik dan penggunaannya
mengalami peningkatkan yang cukup pesat sebagai pewarna makanan. Kurkumoid jauh
antara lain: 1) daging ayam relatif murah, 2) lebih unggul dari temu-temuan lainnya
daging ayam lebih baik dari segi kesehatan (Liang dkk., 1985).
karena mengandung sedikit lemak dan kaya Temulawak memiliki kandungan
protein dibanding daging sapi, kambing, dan kurkumin yang ekstraknya sangat manjur
babi, 3) tidak ada agama apapun yang untuk pengobatan penyakit hati,
melarang umatnya mengkonsumsi daging menurunkan kadar kolesterol dalam darah
ayam, 4) daging ayam mempunyai rasa yang dan untuk menjaga serta menyehatkan hati
dapat diterima semuagolongan masyarakat (lever) atau istilah medisnya
dan semua umur, 5) daging ayam cukup hepatoprotektor (Sinar Harapan, 2002).
mudah diolah menjadi produk olahan yang Temulawak, daun turi, merica
bernilai tinggi, mudah disimpan, dan mudah bolong, dan daun cengkeh sebagai ramuan
dikonsumsi. godongan diberikan pada unggas untuk
meningkatkan nafsu makan ayam,

62
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

meningkatkan kesehatan serta memacu R4 = Ransum dengan penambahan tepung


pertumbuhan badan (Maheswari, 2002). temulawak 4% dari total ransum
Ditinjau dari manfaat temulawak Parameter yang diamati dari
tersebut di atas, maka perlu diuji pengaruh penelitian ini meliputi:
pemberian tepung temulawak dalam ransum • pH daging diukur dengan menggunakan
terhadap kualitas karkas ayam broiler umur pH meter.
6 minggu. • warna daging diperoleh dengan
pengamatan visual, masing-masing
Bahan dan Metode diberi penilaian di mana warna kuning
(nilai 4), putih kekuningan (nilai 3), dan
Penelitian ini dilakukan di putih (nilai 2).
Laboratorium Biologi Ternak Jurusan • tekstur daging diukur dengan
Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas menggunakan teksturo meter.
Sumatera Utara selama 6 minggu. Ayam Pengaruh perlakuan terhadap semua
yang digunakan dalam penelitian ini adalah parameter dianalisis secara statistik
ayam broiler jenis Hubbard berumur sehari menggunakan model matematik (Hanafiah,
(DOC) sebanyak 100 ekor. 2002):
Rancangan percobaan yang Yij = μ + αi + εij
digunakan adalah rancangan acak lengkap Di mana:
(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 i = 0,1,2, …………. t (perlakuan)
ulangan, sehingga diperoleh 20 unit j = 0,1,2, .…………. n (ulangan)
percobaan. Setiap unit percobaan terdiri Yij = hasil nilai pengamatan dari perlakuan
dari 5 ekor ayam. ke-i dan ulangan ke-j
Penelitian menggunakan 5 macam μ = nilai tengah di mana nilai Yij ditarik
ransum perlakuan masing-masing: sebagai sampel
R0 = Ransum kontrol (ransum komersial) αi = pengaruh perlakuan berbagai level
R1 = Ransum dengan penambahan tepung tepung temulawak ke-i
temulawak 1% dari total ransum εij = pengaruh galat atau sisa seluruh faktor
R2 = Ransum dengan penambahan tepung lain diluar perlakuan yang mendapat
temulawak 2% dari total ransum perlakuaan ke-i dan ulangan ke-j
R3 = Ransum dengan penambahan tepung
temulawak 3% dari total ransum

Tabel 1.
Formula Ransum Broiler Periode Starter

Bahan Pakan R0 R1 R2 R3 R4
Jagung K 56.25 56.00 55.00 55.00
kuning
Dedak O 4.25 5.00 5.00 3.75
Bungkil M 22.00 22.00 22.00 21.50
kedelai
Bungkil E 4.50 3.50 3.00 3.75
kelapa
Tepung ikan R 10.00 10.00 10.00 10.00
Top mix S 0.75 0.50 1.00 1.00
Minyak I 1.25 1.00 1.00 1.00
Nabati
Temulawak L 1.00 2.00 3.00 4.00
Total 100.00 100.00 100.0 100.00

Protein (%) 21.50 21.56 21.57 21.54


Lemak (%) 4.00 5.53 4.17 4.10
Serat Kasar 3.79 3.99 4.14 4.20
(%)
EM (kkal/kg) 3000.30 3005.53 3000.35 3012.59

63
Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...

Tabel 2.
Formula Ransum Broiler Periode Finisher

Bahan Pakan R0 R1 R2 R3 R4
Jagung kuning K 58.50 58.50 58.00 58.00
Dedak O 5.50 5.50 5.00 4.00
Bungkil kedelai M 17.00 17.00 17.00 17.00
Bungkil kelapa E 6.00 5.00 4.50 4.50
Tepung ikan R 10.00 10.00 10.00 10.00
Top mix S 0.50 0.50 1.00 1.00
Minyak Nabati I 1.50 1.50 1.50 1.50
Temulawak L 1.00 2.00 3.00 4.00
Total 100.00 100.00 100.0 100.00
Protein (%) 19.93 19.92 19.90 19.97
Lemak (%) 4.23 4.30 4.28 4.22
Serat Kasar (%) 3.85 4.00 4.06 4.13
EM (kkal/kg) 3023.64 3044.70 3047.01 3064.56

Hasil dan Pembahasan Tampak bahwa warna daging pada


ransum yang diberi tepung temulawak
Warna Daging menjadi lebih kekuning-kuningan. Hal ini
Secara umum warna daging broiler didukung Liang dkk. (1985) bahwa
yang diperoleh adalah putih kekuningan. temulawak mengandung zat warna yang
Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada diambil dari pigmen rimpangnya karena
Tabel 3 di bawah ini: mengandung zat warna kuning (kurkumoid)
yang sering digunakan sebagai zat warna.
Tabel 3. Bakrie dkk. (2002) menyatakan, pakan juga
Rataan Warna Daging Ayam Broiler mempengaruhi warna daging, bentuk, dan
Umur 6 Minggu warna daging diberi jamu-jamuan seperti
temulawak menjadi lebih disukai oleh
Perlakuan Rataan Standar konsumen.
Deviasi
Berdasarkan hasil analisis statistik
R0 2.98 + 0.05
R1 2.99 + 0.08
ternyata pemberian tepung temulawak
R2 3.04 + 0.15 dalam ransum sampai level 4% tidak
R3 3.04 + 0.15 berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap warna
R4 3.09 + 0.20 daging ayam broiler. Hal ini disebabkan
interval dari level pemberian tepung
Tabel 3 memperlihatkan bahwa temulawak dalam ransum tidak berbeda
warna daging ayam broiler yang diberi jauh sehingga warna daging yang diperoleh
tepung temulawak dalam ransum sampai pun tidak berbeda nyata. Walaupun
level 4% berkisar antara 2,98 – 3,09. Warna demikian, peningkatan level pemberian
daging pada perlakuan Ro (ransum tanpa tepung temulawak dalam ransum cenderung
temulawak) sebesar 2,98 (berwarna putih) meningkatkan warna daging dari putih ke
sedangkan warna daging pada perlakuan R4 putih kekuningan (uji regresi linier).
(ransum dengan tepung temulawak 4%)
sebesar 3,09 (berwarna putih kekuningan).

64
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Grafik 1. Warna Daging Ayam Broiler Umur 6 Minggu

3.1
3.09
3.05
3.04 3.04
3
2.98 2.99
2.95

2.9
R0 R1 R2 R3 R4

Dari uji regresi linier diperoleh Tabel 4 memperlihatkan bahwa


persamaan regresi linier: Y = 2,947 + tekstur daging ayam broiler yang diberi
0,027X, yang berarti setiap penambahan 1% tepung temulawak dalam ransum sampai
tepung temulawak dalam ransum level 4% berkisar 4,35 – 4,44g/mm2. Tampak
menyebabkan peningkatan warna daging tekstur terendah diperoleh pada perlakuan
sebesar 2,974 (warna daging menjadi R4 (ransum dengan pemberian 4% tepung
kekuningan). temulawak) di mana serabutnya lebih halus.
Menurut Soeparno (1994), unggas yang
Tekstur Daging dagingnya empuk adalah unggas yang daging
Tektur daging merupakan penentu karkasnya lunak, lentur, dan bertekstur
paling penting pada kualitas daging. Rataan halus.
tektur daging broiler umur 6 minggu dapat Berdasarkan hasil analisis statistik
dilihat pada Tabel 4 di bawah ini: ternyata pemberian tepung temulawak
dalam ransum sampai level 4% tidak
Tabel 4. Rataan Tektur Daging Ayam berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap
Broiler Umur 6 Minggu tekstur daging ayam broiler. Hal ini
disebabkan interval dari level pemberian
Perlakuan Rataan Standar tepung temulawak dalam ransum tidak
Deviasi berbeda jauh sehingga tekstur daging yang
R0 4.44 + 0.20 diperoleh tidak berbeda nyata. Namun
R1 4.40 + 0.10 peningkatan level pemberian tepung
R2 4.36 + 0.09
R3 4.36 + 0.09
temulawak dalam ransum cenderung
R4 4.35 + 0.11 menyebabkan tekstur daging semakin halus
(uji regresi linier).

Grafik 2.
Tekstur Daging Ayam Broiler Umur 6 Minggu

4.46
4.44 4.44
4.42
4.4 4.4
4.38
4.36 4.36 4.36
4.34 4.35
4.32
4.3
4.28
R0 R1 R2 R3 R4

65
Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...

Dari uji regresi linier diperoleh daging menjadi putih kekuningan dan
persamaan regresi linier: Y = 4,448 – 0,002X, tekstur daging semakin halus.
yang berarti setiap penambahan 1% tepung
temulawak dalam ransum menyebabkan Daftar Pustaka
penurunan nilai tekstur sebesar 4,446
(tekstur daging menjadi lebih halus). Bakrie, B., Andayani, B., Yanis, M.,
Purnomo, H. A., M. Nur, dan D.
pH Daging Zaenuddin. 2002. Teknologi
pH daging broiler merupakan hasil Pemberian Jamu Pada Ayam
pengukuran potongan karkas yang telah Buras Potong. [www.document]
dilumatkan dan diukur dengan menggunakan URL http://www.Jakarta
pH meter. Hasil yang diperoleh dapat dilihat Litbang. Deptan.go id/ Infotek 02
pada Tabel 5. pn Jamu. Htm. (2002).

Tabel 5. Rataan pH Daging Ayam Broiler Biofarmaka. 2002. Tanaman Obat dan
Umur 6 Minggu Khasiatnya. [www.document]
URL http://www.Jakarta.
Perlakuan Rataan Standar Litbang. Deptan.go. id/Pustaka/
Deviasi
aTekno pro/ kaflet/2034. Html.
R0 6.11 + 0.15
R1 6.17 + 0.24
R2 6.16 + 0.27 Hanafiah, K. A. 2002. Rancangan Percobaan.
R3 6.20 + 0.13 Jakarta: Rajagrafindo Persada.
R4 6.13 + 0.24
Liang, B. O., Apsarkon.Y., Widjaja.T. 1985.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa pH Darya Varia Laboratoria.
daging ayam broiler yang diberi tepung Simposium Nasional Temulawak.
temulawak dalam ransum sampai level 4% UNPAD, Bandung.
berkisar 6,11 – 6,20. Daging ayam broiler
segar/mentah tanpa pendinginan yang baru Maheswari, H. 2002. Pemanfaatan Obat
disembelih pHnya berkisar 6,02- 6,39. Hal Alami. [Karya Ilmiah]. IPB, Bogor.
ini didukung oleh Thornton dangracey (1974)
disitir Siregar dan Siswani (1988) bahwa Mangisah, I. 2003. Pemanfaatan Kunyit
variasi pH terjadi antara lain disebabkan (Curcuma Domestica) dan
tipe/bagian urat daging, kadar glikogen Temulawak (Curcuma
dalam jaringan, jenis, dan jumlah Xanthorrizha Roxb) Upaya
mikroorganisme awal serta penyebarannya Menurunkan Kadar Kolesterol
dalam daging. Daging Ayam Broiler.
Berdasarkan hasil analisis statistik [www.document] URL
ternyata pemberian tepung temulawak http://www. Balitbang Jateng.go
dalam ransum sampai level 4% tidak id/ cari php? Kunci=12
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pH
daging ayam broiler. Hal ini disebabkan Priyatno, M. A. 2003. Mendirikan Usaha
interval dari level pemberian tepung Pemotongan Ayam. Jakarta:
temulawak dalam ransum tidak berbeda Penebar Swadaya.
jauh sehingga pH daging yang diperoleh
tidak berbeda nyata (tidak bervariasi). Hal Sinar Harapan. 2002. Temulawak.
ini didukung oleh pendapat Soeparno (1994) [www.document] URL
bahwa faktor-faktor yang dapat http://www.Sinar Harapan.
menghasilkan variasi pH daging adalah stress co.id/Iptek/Kesehatan/2002/074
sebelum pemotongan, pemberian obat- /kes2 html.
obatan, spesies dan individu ternak.
Siregar dan Siswani. 1988. Pengaruh Waktu
Kesimpulan dan Suhu Penyimpanan Terhadap
Pembusukan Daging Sapi.
Pemberian tepung temulawak Penemuan Ilmiah Ruminansia.
dalam ransum sampai level 4% tidak Cisarua, Bogor.
berpengaruh terhadap warna, tekstur, dan
pH daging. Walaupun demikian, perlakuan Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging.
tersebut cenderung meningkatkan warna Yogyakarta: UGM Press.

66
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Pengaruh Berbagai Level Naungan dari Beberapa Pastura Campuran


Terhadap Produksi Hijauan
(The Effect of Various Levels of the Shades from Some Mixed Pasture
towards the Production of Suitables)

Nevy Diana Hanafi 1), Roeswandy 2) dan Hasan Fuad Nasution 3)


1,2,3)
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstract: This research aimed at testing the response of mixed pasture with the increase in
various levels of the shades as well as his interaction towards the production of the wet
weight, the production of the dry matter of suitables. The research plan that was used was
the Split Plot design (RPT) with two treatment factors. The first factorgiving of the shades
(N) consisted of three levels that is: N0 = without the shade, N1 = the shade 55%, N2 = the
shade 75%. The factor of the two mixed pastures consisted of 4 pastures that is P0 =
Calopogonium mucunoides + Pueraria javanica + Calopogonium caeruleum, P1= Digitaria
milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium muconoides, P2 =
Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium
caeruleum, P3 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum +
Arachisglabarata.
The use of various levels of the shades was non significantly different (P>0,01) towards the
production of the wet weight and the production of the dry matter, whereas the treatment
with influential mixed pasture significantly different (P<0,01) towards the production of the
wet weight and the production of the dry matter. And the interaction between the
treatment was non significantly different (P>0,01) towards the production of the wet weight
and the production of the dry matter. Mixed pasture that produced the production of the
wet weight and the production of the dry matter that highest in this research was P3
(Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata).
Key words: mixed pasture, shades, production of the wet weight, production of the dry
matter.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji respon pastura campuran dengan
penambahan berbagai level naungan serta interaksinya terhadap produksi bahan segar,
produksi bahan kering hijauan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak
Terbagi (RPT) dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama pemberian naungan (N) terdiri
dari tiga taraf yaitu: N0 = tanpa naungan, N1 = naungan 55%, N2 = naungan 75%. Faktor kedua
pastura campuran terdiri dari 4 pastura yaitu P0 = Calopogonium mucunoides + Pueraria
javanica + Calopogonium caeruleum, P1= Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis +
Paspalum notatum + Calopogonium muconoides, P2 = Digitaria milanjiana +
Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium caeruleum, P3 = Digitaria
milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata. Penggunaan
berbagai tingkat naungan tidak berpengaruh nyata (P>0,01) terhadap produksi bahan segar
dan produksi bahan kering, sedangkan perlakuan dengan pastura campuran berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi bahan segar dan produksi bahan kering. Dan interaksi
antara perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,01) terhadap produksi bahan segar dan
produksi bahan kering. Pastura campuran yang menghasilkan produksi bahan segar hijauan
dan produksi bahan kering hijauan yang tertinggi dalam penelitian ini adalah P3 (Digitaria
milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata).
Kata Kunci: pastura campuran, naungan, produksi bahan segar, produksi bahan kering.

Pendahuluan cukup dan mempunyai nilai gizi yang tinggi.


Ketersediaan bahan makanan untuk ternak
Salah satu kunci keberhasilan tidak selalu dalam keadaan yang memadai
dalam peningkatan produksi peternakan seperti yang diharapkan, baik dari segi mutu
adalah tersedianya bahan makanan yang maupun jumlahnya. Masalah utama yang

67
Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...

dihadapi dalam penyediaan hijauan pakan naungan (0%, 55%, dan 75%) dan untuk
adalah terbatasnya penggunaan dan menguji respon pastura campuran dengan
pemilikan lahan, karena pada umumnya penambahan berbagai level naungan serta
lahan produktif digunakan untuk tanaman interaksinya terhadap produksi bahan segar,
pangan. Pemanfaatan areal pada lahan produksi bahan kering dan kualitas hijauan.
perkebunan kelapa sawit adalah salah satu
alternatif yang dapat dilakukan untuk Bahan dan Metode Penelitian
mengatasi penyediaan hijauan pakan.
Areal lahan kelapa sawit di Penelitian dilaksanakan di Loka
Indonesia lima tahun belakangan ini Penelitian Ternak Potong Sei Putihgalang,
mengalami peningkatan. Luas areal mulai bulan Februari 2004 sampai bulan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada Agustus 2004. Metode penelitian yang
tahun 2002 di proyeksikan sekitar 3.718.541 digunakan adalah metode rancangan petak
ha (Jakarta Future Exchange, 1999). Dilihat terbagi (split plot). Pada percobaan ini
dari areal lahan kelapa sawit yang begitu terdapat 2 faktor yaitu faktor pertama yang
besar, dirasakan perlu adanya pemanfaatan dijadikan sebagai petak utama (main plot)
dari areal tersebut. Mengingat jarak tanam adalah naungan, dengan tingkat naungan
kelapa sawit (9 m x 9 m), dapat dikatakan 0%, 55%, dan 75%. Faktor kedua dijadikan
merupakan suatu lahan potensial yang sebagai anak petak (subplot) adalah 4 jenis
belum termanfaatkan dan dibiarkan begitu pastura, yaitu: P0 = penutup tanah
saja. Padahal jika ditinjau secara agronomis konvensional = Calopogonium muconoides +
dan zooteknis, disela-sela lahan pertanaman Peuraria javanica + Calopogonium
kelapa sawit dapat diusahakan budidaya caeruleum, P1 = Digitaria milanjiana +
hijauan pakan ternak dengan beberapa Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum
spesies tanaman yang tahan terhadap + Calopogonium muconoides, P2 = Digitaria
naungan. milanjiana + Stylosanthesguyanensis +
Hal yang harus diperhatikan dari Paspalum notatum + Calopogonium
pertanaman campuran rumput-leguminosa caeruleum, P3 = Digitaria milanjiana +
pada areal perkebunan adalah toleransi atau Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum
tidaknya tanaman tersebut pada naungan + Arachisglabarata, dengan jumlah ulangan
kelapa sawit. Dari hasil review yang sebanyak 3
dilaporkan oleh Wong (1990), dilaporkan Naungan dipasang setelah pengolahan
bahwa tanaman Stenotaphrum secundatum, dan pembuatan petak pada setiap blok,
Calopogonium caeruleum, Desmodium dengan tinggi 1,5 m sesuai dengan tingkat
heterophyllum, Desmodium ovalifolium transmisi cahaya yang dikehendaki yaitu 75%
adalah tanaman yang tinggi toleransinya dan 55%. Pemupukan diberikan sejumlah
terhadap naungan, sedangkan Brachiaria 200kg Urea + 100kg SP-36 + 100kg KCl
humidicola, Digitaria sp, Calopogonium (rumput) dan 100kg SP-36 + 100kg KCl
muconoides, Centrocema pubescens, (legum) per tahun/hektar. Pupuk SP-36 dan
Peuraria phaseloides adalah tanaman yang KCl diaplikasikan pada saat tanam
sedang toleransinya terhadap naungan, dan (seluruhnya), pupuk urea dibagi menurut
Stylosanthes quianensis merupakan tanaman jumlah panen + awal, aplikasikan dengan
yang rendah toleransinya terhadap naungan. jumlah merata. Penanaman dilakukan
Pertumbuhan spesies-spesies dengan mempergunakan bahan tanam
pastura sangat nyata bergantung pada sobekan rumput dan biji leguminosa. Jarak
cahaya lingkungan dan biasanya kualitas tanam untuk rumput 20 x 20 cm, sedangkan
energi cahaya yang tersedia sangat erat dan untuk legum ditanam di antara tanaman
berhubungan positif. Namun demikian, rumput dengan jarak yang sama.
beberapa studi pada kondisi di mana Pemotongan dilakukan pada saat
ketersediaan N dalam tanah sangat tanaman berumur 1 bulan, dimaksudkan
terbatas, ternyata ditemukan produksi untuk menyeragamkan pertumbuhan.
biomasa tertinggi pada perlakuan naungan Pemotongan rumput dan legum dilakukan
yang sedang dibanding pada kondisi sesuai dengan perlakuan umur pemotongan
terbuka. Pengaruh ini nyata disertai dengan yaitu 6 minggu dengan interval pemotongan
konsentrasi nitrogen yang lebih banyak pada 4 kali selama penelitian. Tinggi pemotongan
jaringan tanaman (Wong dan Wilson, 1980). 20 cm di atas permukaan tanah.
Oleh karena itu perlu adanya suatu Pengamatan dilakukan terhadap parameter
penelitian untuk mengetahui sampai sejauh meliputi: produksi bahan segar dan bahan
mana toleransi kombinasi pertanaman
rumput-leguminosa terhadap berbagai taraf

68
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

kering diukur pada setiap pemotongan yang Berat Segar Berat Kering
meliputi produksi setiap panen. Perlakuan
(kg/ha) (kg/ha)
Hasil dan Pembahasan N2P1 7242,25 1530,63
N2P2 7381,35 1792,61
Hasil penelitian merupakan hasil
N2P3 9429,18 2314,17
yang diperoleh setelah dilakukan
penghitungan produksi bahan segar. Keterangan: tn = tidak nyata
Produksi bahan kering rataan hijauan Notasi yang sama pada perlakuan yang
selama 24 minggu dapat dilihat pada Tabel berbeda menunjukkan pengaruh yang tidak
1 di bawah ini. berbeda nyata

Tabel 1 . Produksi Bahan Segar


Rekapitulasi rataan pengaruh level Berdasarkan Tabel 1 di atas,
pemberian naungan pada pastura diketahui bahwa tingkat pemberian naungan
campuran terhadap produksi bahan tidak memberikan pengaruh yang nyata
segar (kg/ha), produksi bahan kering terhadap jumlah produksi bahan segar, di
(kg/ha) mana diperoleh jumlah produksi bahan
segar N0 (0%) sebesar 72760,4kg/ha, N1
(55%) sebesar 7275,3kg/ha, dan N2 (75%)
Berat Segar Berat Kering
Perlakuan sebesar 6942,9kg/ha. Hal ini berarti bahwa
(kg/ha) (kg/ha) kebutuhan tanaman terhadap cahaya sinar
matahari masih dalam batas toleransi.
N0 7260,4tn 1925,8tn Meskipun adanya taraf naungan yang
N1 7275,3 tn
1798,7tn berbeda, cahaya matahari masih dapat
N2 6942,9 tn 1664,8tn menyinari tanaman. Karena cahaya
matahari mempunyai panjang gelombang
P0 3661,2B 1069,7C yang berebeda-beda sesuai dengan
P1 7557,1A 1767,4B kebutuhan tanaman untuk melakukan
P2 8208,5A 2029,7AB fotosintesis. Sulaiman dan Sinuraya (1994)
P3 A mengatakan bahwa dalam proses
9211,3 2318,9A
fotosintetik, klorofil hanya menangkap sinar
N0P0 3638,78 1182,44 merah dan sinar biru-violet saja yang dibagi
N0P1 6991,49 1800,55 menjadi dua sistem yaitu fotosistem I yang
N0P2 diaktifkan oleh cahaya merah jauh (680-
9055,56 2306,17
700nm), sedangkan fotosistem II diaktifkan
N0P3 9355,79 2414,23 oleh cahaya merah (650 nm).
N1P0 3626,04 1005,05 Sedangkan dari hasil analisis sidik
N1P1 8437,60 1970,89 ragam pastura campuran diperoleh bahwa
pastura P0 berbeda sangat nyata dengan
N1P2 8188,60 1990,36 pastura P1, P2, dan P3. Untuk lebih jelasnya
N1P3 8848,94 2228,59 dapat dilihat pada grafik 1 berikut ini:
N2P0 3718,84 1021,61
Produksi Segar (kg/ha)

10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
Pastura Campuran
0
P P P P
Grafik 1.
Histogram produksi bahan segar(kg/ha) rataan pastura campuran selama penelitian.

69
Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...

Dari grafik 1 terlihat bahwa perlakuan dapat mendukung produksi secara


hijauan pastura campuran pada pastura P3 bersamaan terhadap pertumbuhan tanaman.
(Digitaria milanjiana + Seperti yang dinyatakan Malcom (1992)
Stylosanthesguyanensis + Paspalum bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman
notatum + Arachisglabarata) yaitu sebesar dipengaruhi oleh proses fotosintesis pada
9211,3kg/ha menghasilkan produksi bahan tanaman. Setiap varietas tanaman memiliki
segar rataan tertinggi dibandingkan dengan sifat dan ciri tanaman yang berbeda, akan
jenis pastura campuran lainnya yang tetapi besarnya produksi tanaman juga
masing-masing P2 sebesar 8208,5kg/ha, dipengaruhi oleh tingkat efisiensi
diikuti P1 sebesar 7557,1kg/ha, dan yang penggunaan cahaya yang diserap dan juga
terendah pada pastura P0 yaitu sebesar dipengaruhi oleh terganggunya
3661,2kg/ha. keseimbangan dalam sistem tanaman
Hal ini disebabkan oleh jenis tersebut (Fitter dan Hay, 1991).
tanaman pencampuran pada P3 (Digitaria
milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Produksi Bahan Kering
Paspalum notatum + Arachisglabarata)
mempunyai pertumbuhan dan daya tahan Berdasarkan Tabel 1 di atas,
hidup di bawah naungan. Hal ini dinyatakan diketahui bahwa tingkat pemberian naungan
oleh Reksohadiprodjo (1985) bahwa legum tidak memberikan pengaruh yang nyata
Stylo dapat tumbuh di tanah yang luas terhadap jumlah produksi bahan kering, di
kisaran kondisinya dengan curah hujan mana diperoleh jumlah produksi bahan
sedang sampai tinggi di daerah tropik dan kering N0 (0%) sebesar 1925,8kg/ha, N1
subtropik, sangat toleran terhadap (55%) sebesar 1798,7kg/ha dan N2 (75%)
kesuburan tanah yang rendah. Hal ini sebesar 1664,8kg/ha. Hal ini disebabkan
didukung oleh Manetje dan Jones (1992), bahwa tingkat naungan yang diberikan tidak
bahwa Stylo merupakan jenis legume yang memberikan pengaruh pada rataan produksi
memberikan harapan baik untuk sebagian bahan kering walaupun jumlah produksi
besar daerah di Indonesia. Toleransinya berat kering tertinggi pada tingkat naungan
terhadap jenis tanah sangat luas bahkan N0 (0%). Sebagaimana yang dikatakan oleh
tanah-tanah yang miskin unsur hara dengan Wilson dan Wong (1982), mengemukakan
kandungan P sebesar 0,06%. Tanaman bahwa naungan menurunkan bahan kering
Arachisglabarata tahan terhadap naungan, green panic dan siratro. Naungan juga
merambat melalui tanah dan produksi dapat menurunkan nisbah daun dan batang, juga
mencapai 18 ton/ha/tahun (Anonimous, menaikkan kadar lignin dari hijauan yang
2002). ditanam.
Hasil analisis sidik ragam di atas Hal yang sama juga dinyatakan oleh
juga menunjukkan bahwa interaksi antara Sanchez (1976) yang menyatakan bahwa
tingkat pemberian naungan dengan pastura bermacam-macam pastura campuran,
campuran tidak berpengaruh nyata terhadap rumput mempunyai respon yang berbeda
parameter yang diamati. Hal ini diduga dalam menghasilkan bahan kering.
respon kedua perlakuan yang diuji belum
Produksi Bahan Kering (kg/ha)

1950
1900
1850
1800
1750
Rataan
170
0
1650
1600
1550
1500 Level Naungan
N N N
Grafik 2 .
Histogram produksi bahan kering (kg/ha) rataan level naungan

70
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Dari Grafik 2. terlihat jelas bahwa terhadap produksi bahan segar dan produksi
tingkat pemberian naungan sampai dengan bahan kering. Perlakuan pastura campuran
55% (N1) memberikan hasil rataan tertinggi P3 (Digitaria milanjiana +
pada jumlah produksi bahan kering rataan, Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum
tetapi semakin tinggi tingkat pemberian + Arachisglabarata) menaikkan produksi
naungan menyebabkan produksi bahan bahan segar dan bahan kering. Pengaruh
kering rataan semakin menurun. Penurunan interaksi antara level naungan 0%, 55%, dan
hasil bahan kering rataan pada tingkat 75% dengan pastura campuran tidak
pemberian naungan 75% diduga disebabkan berpengaruh terhadap produksi bahan segar
dengan menurunnya intensitas cahaya. dan produksi bahan kering.
Pendapat yang sama juga didukung oleh
Ludlow, et. al. (1974) yang menyatakan Saran
bahwa produksi bahan kering menurun Penggunaan pastura P3 (Digitaria
dengan adanya intensitas cahaya yang milanjiana + Stylosanthesguyanensis +
rendah pada beberapa spesies rumput dan Paspalum notatum + Arachisglabarata)
legum. Hal ini didukung oleh Ross (1995) lebih direkomendasikan dikarenakan
mengatakan bahwa cahaya merupakan salah produksi hijauannya lebih tinggi daripada
satu faktor yang mempengaruhi terbuka dan perlakuan mix pastura yang lainnya.
tertutupnya stomata. Menurunnya intensitas Walaupun penggunaan naungan tidak
cahaya akibat naungan akan mempengaruhi berpengaruh terhadap produksi hijauan,
pembukaan stomata, sehingga aktivitas tetapi disarankan menggunakan naungan
fotosintesis akan menurun. Dengan 55%, karena pada naungan ini dapat
demikian, fotosintat yang dihasilkan selama menghasilkan produksi yang optimum
tanaman dinaungi menjadi berkurang, ini dibandingkan 0% dan 75%.
akan tercermin dari rendahnya bobot kering
tanaman. Daftar Pustaka
Sedangkan dari hasil analisis sidik
ragam pastura campuran, diperoleh bahwa Anonimous, 2002. Hijauan Makanan Ternak.
pastura P3 berbeda sangat nyata dengan Medan: Loka Penelitian Ternak
pastura P0, P1, dan P2. Hal ini disebabkan Potong Sei Putih.
karena varietas pastura memberikan respon
yang berbeda pada kondisi lingkungan yang Dwijoseputro, D. 1983. Pengantar Fisiologi
berbeda dan pertumbuhan serta produksi Tumbuhan. PT Jakarta: Gramedia.
tanaman juga dipengaruhi oleh faktor- Hal 55-70.
faktorgenetis tanaman itu sendiri. Soegito,
et. al. (1992) menyatakan bahwa setiap Fitter, A. H. dan R. K. M. Hay. 1991.
varietas tanaman memiliki produksi yang Fisiologi Lingkungan Tanaman.
berbeda-beda tergantung kepada Penerjemah Sri Andani dan E.D.
sifatgenetis varietas tanaman itu sendiri. Purbayanti. Yogyakarta:Gadjahmada
Hasil analisis sidik ragam di atas University Press. Hal 53-79.
juga menunjukkan bahwa interaksi antara
tingkat pemberian naungan dengan pastura Jakarta Future Exchange. 2002. Potensi dan
campuran berpengaruh tidak nyata terhadap Produksi Kelapa Sawit di Indonesia.
parameter yang diamati. Hal ini disebabkan
tanaman memiliki sifat dan ciri tanaman Ludlow, M. M. Wilson, G. L. and M. R.
yang berbeda tapi besarnya produksi Huterust. 1974. Studies on The
tanaman juga dipengaruhi oleh tingkat Productivity of Tropical Pasture
efisiensi penggunaan cahaya yang telah Plants. Shading Ongrowth,
diserap. Hal ini sesuai dengan hasil Photosyntesis and Respiration in
penelitian Syahbuddin, et.al. (1998) Vivograsses and Two Legumes.
menyatakan bahwa setiap varietas memiliki Australian J. Agric, Research
respon yang berbeda terhadap pemberian 25:425.
naungan.
Malcom, B. W. 1992. Fisiologi Tanaman.
Kesimpulan dan Saran Penerjemah Mulyani Sutejo dan A.G.
Kartasapoetra. Jakarta: Bumi
Kesimpulan Aksara. Hal. 430-432.
Penggunaan berbagai level naungan
0%, 55%, dan 75% tidak berpengaruh

71
Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...

Manetje, L. T and R. M. Jones. 1992. Plant


Resources of South-East Asia.
PROSEA, No. 4. Bogor, Indonesia
Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi
Tanaman Hijauan Makanan Ternak
Tropik. Yogyakarta: BPFE.

Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid


II. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.

Sanchez, P. A. 1976. Properties and


Management Of Soil in The Tropic.
New York: Jhon Wiley and Sons.
Page 225-270.

Soegito, S. Rodiah dan Arifin. 1992.


Pemurnian dan Perbanyakan Benih
Perjenis Kedelai. Malang: Badan
Penelitian Tanaman Pangan. Hal 18-
24.

Sulaiman A. H. dan Sinurayag. 1994. Dasar-


Dasar Biokimia untuk Pertanian.
Medan: USU Press.

Syahbuddin, H. Y. Apriyana, N. Heriyani.


Darmijati dan Irsal Las. 1998.
Serapan Hara Nitrogen, Posfor dan
Kalium Tanaman Kedelai (Glycine
max, L. merili) di Rumah Kaca Pada
Tiga Taraf Intansitas Radiasi Surya
dan Kadar Air Tanah Latosol. Jurnal
Tanah dan Iklim Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman
Pangan, hal 20-28. Bogor

Wilson, J. R., and C. C., Wong. 1982. Effect


of Shade on Some Factors in
Influencing Nutritive Quality of
Green Panic and Siratro Pastures.
Aust. J. Agric. Res, 33: 937.

Wong, C.C., and Wilson, J.R. Effect of


Shading ongrowth and Nitrogen
Content ofgreen Panic and Siratro in
Pure and Mixed Swar5ds Defoliated
at Two Frequencies. Australian
Journal of Agricultural Research.
31:269.

Wong, C.C., 1990. Shade Tolerance of


Tropical Forages: a review. In:
Shelton, H.M. and W.W.Stur.(Ed).
Forage for Plantation Crop. Proc.
ACIAR, No.32:64

72
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt dari Berbagai Jenis


Susu Dengan Menggunakan Lactobacillus Bulgaricus dan
Streptococcus Thermophilus
The effect of Temperature in Making Yoghurt from Various Kind of
Milk, Using Lactobacillus Bulgaricus and Streptococcus Thermophilus

Nurzainah Ginting, Elsegustri Pasaribu

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstract: The objectives of this research were to study the colour, texture, taste and
biological living of yoghurt. The yoghurt was treated with various temperature and
various kinds of milk and using Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus
thermophilus. Factorial randomized block was used and the first factor was
temperature, i.e. T1 (30°C), T2 (37°C), T3 (44°C), T4 (51°C); and the second factor was
various kinds of milk, i.e. S1 (Skim Cow Milk), S2 (Fresh Cow Milk), S3 (Full Cream Cow
Milk) and S4 (Fresh Buffalo Milk). The results showed that interaction of temperature,
i.e. 44°C with Fresh Cow Milk had highly significantly effect on texture and colour of
the yoghurt but did not effect on the taste. There were biological living in all of
different temperature of yoghurt which were indicated by coagulation in the end of
incubate process.
Key words: milk, yoghurt, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus.

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur dan jenis
susu dalam pembuatan yoghurt dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus
dan Streprococcus thermophilus terhadap warna, tekstur, rasa, dan uji biologis dari
yoghurt yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok faktorial
(RAKF) 4 x 4 dengan 2 ulangan, di mana terdapat 2 faktor perlakuan yaitu faktor
temperatur inkubasi (T) dengan taraf T1: 30°C, T2: 37°C, T3: 44°C, T4: 51°C . Faktor
berikutnya yaitu jenis susu (S) yaitu S1: penggunaan susu skim sebagai bahan dasar, S2:
susu sapi segar, S3: susu full krim, S4: susu kerbau segar. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa interaksi antara temperatur 44°C dan jenis susu sapi segar berpengaruh sangat
nyata terhadap tekstur, warna dari yoghurt yang dihasilkan dan tidak berpengaruh
nyata terhadap rasa. Pada uji biologik diperoleh hasil pengamatan bahwa pada tiap
temperatur dan jenis susu yang digunakan didapati adanya aktivitas dari bakteri biakan
yang ditandai dengan adanya penggumpalan pada masa akhir inkubasi.
Kata kunci: susu, yoghurt, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus.

Pendahuluan berwarna putih kekuning-kuningan, tidak


tembus cahaya. Kekuningan karena memiliki
Susu adalah substansi cair yang kandungan vitamin A yang tinggi
disekresikan oleh kelenjar mamae oleh (Puspardoyo, 1997). Potter (1986)
semua mamalia. Bagian utamanya adalah menyatakan susu bubuk full krim adalah
air, lemak, protein, gula, dan abu. Susanto susu yang dikeringkan hingga sekitar 97%
(2003) menyatakan susu merupakan sumber total zat padatnya. Biasanya dalam susu full
kalsium, fosfor, vitamin B, dan protein yang krim telah ditambahkan berbagai macam
sangat baik. Mutu protein susu setara vitamin dan mineral. Susu kerbau jauh lebih
dengan protein daging dan telur. Protein banyak mengandung lemak susu, lebih tinggi
susu sangat kaya akan lisin, yaitu salah satu daripada susu sapi (Williamson and Payne,
asam amino esensial yang sangat dibutuhkan 1993). Susu kerbau banyak dipakai untuk
tubuh. membuat makanan, misalnya yoghurt, es
Susu sapi segar adalah air susu hasil krim, dan berbagai jenis keju. Susu skim
pemerahan yang tidak dikurangi atau adalah susu yang mengandung semua
ditambah apapun. Ciri-cirinya adalah kandungan susu kecuali lemaknya yang telah

73
Nurzainah Ginting dan Elsegustri Pasaribu: Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt..

dikurangi hingga 0,5% (Potter, 1986) pembentukan tekstur dan rasa yoghurt
sehingga susu ini cocok untuk bayi. Karena (Goff, 2003).
susu skim mengandung lemak yang lebih Temperatur memegang peranan penting
sedikit maka kandungan vitamin A, D, dan E bagi pertumbuhan bakteri. Dalam
juga rendah. Vitamin yang bersifat larut pengembangbiakannya dengan cara
dalam air, termasuk di dalamnya vitamin B membelah diri, bakteri memerlukan
kompleks dan asam askorbat (vitamin C) temperatur dan keadaan lingkungan
dapat ditemukan dalam susu skim. tertentu sehingga daur hidupnya dapat terus
Produk-produk olahan susu telah berjalan. Menurut Eckles (1980) pengaruh
diketahui memegang peranan penting dalam temperatur terhadap mikroorganisma dapat
makanan manusia di berbagai negara. digolongkan 3 bagian yaitu temperatur
Dengan tingkat nutrisinya yang tinggi, rendah yaitu di bawah 10°C, biasanya
produk olahan susu dapat dijadikan pertumbuhan mikroorganisma menjadi
makanan tambahan walau susu/olahannya lambat pada temperatur ini. Temperatur
hanya mewakili sekitar 10% konsumsi total sedang yaitu 10 – 43°C. Diantara susu ini
protein. Salah satu produk olahan susu akan didapati suhu optimum bagi organisma
adalah yoghurt. Yoghurt adalah susu yang secara mayoritas. Temperatur tinggi yaitu di
diasamkan melalui proses fermentasi. Hasil atas 43°C. Kebanyakan mikroorganisma mati
olahan susu ini berbentuk seperti bubur. pada temperatur sekitar dan di atas 60°C.
Yoghurt dapat menurunkan kadar kolesterol Pada penelitian ini diharapkan dapat
darah, menjaga kesehatan lambung dan diketahui suhu yang paling optimal untuk
mencegah penyakit kanker saluran bakteri berkembang biak secara aktif.
pencernaan. Manfaat yang terakhir ini
dikarenakan yoghurt mengandung bakteri Bahan dan Metode
hidup sebagai probiotik dari makanan yang
menguntungkan bagi mikroflora dalam Penelitian dilakukan di Fakultas
saluran pencernaan. Selain itu Pertanian USU selama dua bulan yaitu
mengkonsumsi yoghurt membolehkan Oktober sampai November 2003. Bahan yang
seseorang yang menderita kelainan lactoce digunakan adalah susu sapi segar, susu
intolerence seolah mampu mengkonsumsi kerbau, susu full krim, susu skim, dan air.
susu (McLean, 1993). Lactoce intolerence Selain itu adalah bakteri Streptococcus
adalah suatu kelainan dari seseorang yang thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus
akan diare setiap minum susu dikarenakan dengan perbandingan 1:1.
memiliki kekurangan laktosa dalam usus Metode penelitian yang digunakan
kecilnya. Laktosa adalah enzim yang adalah rancangan acak kelompok (RAK)
tersebar pada laktosa disakarida di dalam faktorial 4 x 4 dengan 2 (dua) kali ulangan.
glukosa dan galaktose. Jika terdapat laktosa Faktor yang diteliti adalah faktor
tidak dikenal atau tidak diketahui, maka Temperatur (T) yaitu T1 (30°C), T2 (37°C),
laktosa yang dicerna dalam usus tetap T3 (44°C) dan T4 (51°C). Selain faktor
tinggal pada usus dan sebagai hasil dari temperatur adalah jenis susu (S) yaitu S1
osmosis, air bergerak ke usus dan (susu skim), S2 (susu sapi segar), S3 (susu
menyebabkan diare. Pada yoghurt full krim), dan S4 (susu kerbau segar).
laktosanya telah difermentasikan ke dalam Pengaruh perlakuan terhadap semua peubah
bentuk asam laktat di mana setiap orang yang diamati, dipelajari dengan sidik ragam
memiliki enzim untuk mencernanya. dengan model matematik:
Pada pembuatan yoghurt dilakukan
proses fermentasi dengan memanfaatkan Yijk= µ + αi + αj + βk+ (αβ)ij + ∑ijk
bakteri asam laktat misalnya dari golongan
Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcuc Adapun peubah yang diamati adalah secara
thermophilus. Streptococcus thermophilus fisik yaitu warna, yaitu warna sebelum dan
berkembang biak lebih cepat dan sesudah susu ditambah dengan bakteri.
menghasilkan baik asam maupun CO2. Asam Selain itu adalah tekstur, yaitu dilihat
dan CO2 yang dihasilkan tersebut kemudian bagaimana interaksi antara jenis susu dan
merangsang pertumbuhan dari Lactobacillus temperatur berpengaruh terhadap tekstur
bulgaricus. Di sisi lain, aktivitas proteolitik dari hasil akhir yoghurt tersebut. Juga rasa
dari Lactobacillus bulgaricus memproduksi yaitu dengan keempat jenis susu yang
peptida penstimulasi dan asam amino untuk digunakan maka akan diuji rasa mana yang
dapat dipakai oleh Sreptococcus paling disukai oleh panelis yang mewakili
thermophilus. Mikroorganisma ini berbagai tingkatan usia, ekonomi, dan latar
sepenuhnya bertanggung jawab atas belakang budaya yang berbeda. Selain

74
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

peubah yang disebut di atas, peubah lainnya Suka 3


adalah uji biologi, yaitu untuk mengetahui Sangat Suka 4
ada tidaknya aktivitas bakteri untuk setiap Selain uji di atas, dilakukan juga uji
level temperatur yang dicobakan. mikrobiologik untuk mengetahui ada
Pada pelaksanaan penelitian, susu tidaknya aktivitas bakteri untuk setiap
sapi dan kerbau segar dikumpulkan dari perlakuan temperatur.
peternak, sementara susu skim dan full krim
dilarutkan sebanyak 500g dalam 462,5 ml air Hasil dan Pembahasan
masak. Banyaknya susu yang digunakan
adalah 500 cc untuk tiap jenis susu. Susu Pada uji keragaman pengaruh
sapi dan kerbau dipasteurisasi selama 30 temperatur inkubasi dan jenis susu pada
menit pada suhu 60-70°C. Kemudian bakteri warna yoghurt, ternyata faktor perlakuan
biakan ditimbang sebanyak 50g untuk setiap suhu yang berbeda terhadap jenis susu
perlakuan. Setiap susu yang sudah diberi menghasilkan perbedaan yang sangat nyata
biakan ditutup dalam wadah dan di mana T3 (44°C) menunjukkan warna yang
dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu lebih kuning Hal ini membuktikan bahwa
30°C dan dibiarkan selama 20 jam. Setelah bakteri memerlukan suhu tertentu untuk
itu wadah yang berisi susu yang sudah berkembang biak secara optimum dan sesuai
berubah menjadi yoghurt dikeluarkan dari dengan pernyataan Eckles(1980) bahwa tiap
inkubator, dibiarkan sebentar pada suhu jenis bakteri memiliki suhu optimum untuk
kamar dan dimasukkan ke refrigerator perkembangbiakan. Jenis susu S2 (susu sapi
bersuhu 5°C. segar) dan S3 (susu full krim) memiliki skala
Untuk perlakuan temperatur 37°C, warna yang paling tinggi, yaitu kuning tua.
proses awalnya sama, hanya saja wadah Hal ini disebabkan jenis susu sapi segar dan
yang sudah berisi susu dimasukkan ke susu full krim memiliki komposisi yang tidak
inkubator bersuhu 37°C selama 10-11 jam. jauh berbeda, hanya saja susu full krim
Berikutnya perlakuan bersuhu 44°C, wadah telah melalui proses pengolahan seperti
berisi susu dimasukkan ke dalam inkubator pengeringan sehingga sekitar 97% zat
bersuhu 44°C selama 8 jam dan terakhir padatnya (Potter, 1986). Bahkan beberapa
perlakuan 51°C dimasukkan ke dalam produk susu full krim mendapat
inkubator bersuhu 51°C selama 6 jam. penambahan bahan nutrisi lain sehingga
Sesudah susu berubah menjadi yoghurt lebih lengkap.
selalu disimpan di dalam refrigerator untuk Warna yoghurt ternyata dipengaruhi
menghambat perkembangbiakan yang oleh makanan yang dikonsumsi oleh ternak.
berlebihan agar yoghurt tidak menjadi Makanan hijauan adalah sumber yang baik
terlalu asam. bagi beta karoten di mana warna kuning
Pengambilan data dari uji organoleptik pada karoten tersebut akan terdapat dalam
terdiri atas: lemak air susu. Hal ini yang menyebabkan
mengapa yoghurt dari susu skim warnanya
1. uji warna cenderung lebih putih karena kandungan
Skala Hedonik Skala lemaknya rendah, sementara karoten yang
Numerik menyumbangkan warna kuning tersebut
Putih 1 berasal dari lemak susu.
Putih Kekuningan 2 Tekstur dari yoghurt yang dihasilkan
Kuning 3 menentukan apakah yoghurt tersebut
Kuning Tua 4 berkualitas baik. Yoghurt yang baik memiliki
tekstur yang lembut seperti bubur, tidak
2. uji tekstur terlalu encer dan tidak pula terlalu padat
Skala Hedonik Skala (Legowo, 2002). Faktor berbagai level
Numerik temperatur dan jenis susu serta interaksi
Encer 1 dari kedua faktor tersebut terhadap tekstur
Agak Kental 2 yoghurt menunjukkan perbedaan yang
Kental 3 sangat nyata. Perlakuan dengan temperatur
Menggumpal 4 44°C dengan memakai susu full krim
menunjukkan perbedaan sangat nyata
3. uji rasa terhadap perlakuan dengan temperatur 44°C
Skala Hedonik Skala Numerik memakai susu skim. Artinya pada
Tidak Suka 1 temteratur optimum untuk berkembang
Agak Suka 2 biak, susu skim yang kandungan lemaknya

75
Nurzainah Ginting dan Elsegustri Pasaribu: Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt..

sebagian sudah dibuang memiliki tekstur ada aktivitas bakteri yaitu ditandakan
yang lebih encer daripada susu full krim. dengan adanya penggumpalan pada tekstur
Menurut Gilliland (1986) beberapa faktor yoghurt serta aromanya yang asam. Pada
yang mempengaruhi tekstur yoghurt adalah tekstur yang encer atau tidak padat, maka
perlakuan pada susu sebelum kemungkinan besar bakteri tidak
diinokulasikan, ketersediaan nutrisi, bahan- berkembang optimal (suhu 30°C) atau
bahan pendorong, produksi metabolis oleh bakteri sebagian mati (suhu 51°C).
lactobacilli, interaksi dengan bakteri biakan
lainnya, penanganan bakteri sebelum Kesimpulan dan Saran
digunakan dan juga ada atau tidaknya
antibiotika dalam susu. Tekstur yoghurt susu Kesimpulan
kerbau adalah yang paling padat 1.Temperatur 30°C, 37°C, 44°C, dan
dikarenakan susu kerbau memiliki 51°C yang digunakan sebagai suhu
kandungan lemak yang lebih tinggi inkubasi berpengaruh terhadap
dibandingkan jenis susu lainnya. warna, tekstur yoghurt sedangkan
Rasa yoghurt yang diamati adalah pada rasa tidak berpengaruh.
melalui pemberian yoghurt polos (tanpa 2.Jenis susu sapi segar, susu kerbau
ditambahi perasa apapun) kepada panelis. segar, susu full krim, dan susu skim
Yoghurt biasanya memiliki citarasa asam yang digunakan sebagai bahan dasar
menyegarkan yang tajam (Davies and Law, yoghurt berpengaruh terhadap warna,
1984) dan aroma yang khas. Dari tiap tekstur, rasa yoghurt.
perlakuan di mana total rataan yang paling 3.Ada interaksi yang nyata antara
tinggi adalah pada perlakuan dengan temperatur °C dan jenis susu yang
menggunakan susu full krim dan yang digunakan.
terendah dihasilkan pada yoghurt berbahan 4.Hasil yang paling baik diperoleh pada
susu kerbau. Hal ini berarti yoghurt temperatur 44°C dengan pemakaian
berbahan susu full krim lebih disukai dari susu sapi full krim sebagai bahan
yang berbahan susu kerbau. Ini terjadi dasarnya.
karena masyarakat Indonesia lebih
mengenal dan lebih sering mengkonsumsi Saran
susu sapi dan berbagai produk hasil 1. Susu yang dipakai adalah susu yang
olahannya seperti susu skim dan full krim baru, tidak disimpan terlalu lama
daripada susu kerbau. sehingga merupakan media terbaik
Rasa yang dihasilkan oleh yoghurt untuk bekteri berkembang biak.
berbahan susu kerbau cenderung lebih asam 2. Temperatur yang digunakan sebaiknya
dibanding berbahan susu full krim, karena tidak rendah ataupun tinggi untuk
produksi asam oleh bakteri lebih cepat menyediakan temperatur yang
dikarenakan bakteri yang juga berkembang optimum bagi bakteri berkembang
lebih cepat (Davies and Law, 1984) pada biak.
susu kerbau dibandingkan dengan jenis susu
lainnya. Rasa asam pada yoghurt merupakan Daftar Pustaka
indikasi perkembangbiakan dari
percampuran bakteri yang berjalan baik dan Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi
cepat (Driessen, 1981). Rasa asam pada Pengolahan Air Susu. Yogyakarta:
yoghurt juga menunjukkan bahwa adanya Andi Offset.
asam laktat yang telah terbentuk sebagai
hasil kerja dari bakteri (Eckles, 1980). Davies, F. L. and Law B. A. 1984. Advances
Menurut Adnan (1984) keasaman yang in The Microbiology and
tercapai dapat mengganggu pertumbuhan Biochemistry of Cheese &
bakteri yang tidak dikehendaki, terutama Fermented Milk. London: Elsevies
bakteri yang menyebabkan diare seperti Applied Science.
Clostridium difficile pada orang dewasa dan
Rotavirus pada anak-anak. Driessen, F. 1981. Mixed Culture
Lebih diminatinya yoghurt berbahan Fermentations, P. Bushell & J.
dasar susu full krim karena yoghurt terasa Slater. London: Educations
lebih enak, kandungan lemaknya tidak Academic Press.
terlalu tinggi seperti susu kerbau sehingga
rasanya tidak mengakibatkan cepat muak. Eckles, C. H., W. B. Combs, H. Macy. 1980.
Pada uji mikrobiologik disimpulkan Milk and Milk Products. 4th Edition,
bahwa pada semua level temperatur tetap

76
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Bombay, New Delhi: Tata McGraw


Hill Publishing Company Ltd.

Goff, D. 2003. Yoghurt, Diary Science, and


Technology. Canada: University
ofguelph.

Gilliland, S.E. 1986. Bacterial Starter


Cultures for Food. Florida, USA: CRC
Press.

Legowo, A. M. 13 September 2002. Yoghurt


untuk Kesehatan. Kompas.

McLean, V.A. 1983. Yoghurt and You:


Nutritional Value of Yughurt. The
National Yoghurt Association.

Puspowardoyo, H. 1997. Mikrobiologi


Pangan Hewani–Nabati. Yogyakarta:
Kanisius.

Potter, N. N. 1986. Food Science. New York:


Von Nostrand Reinhold Company.

Susanto, A. 2000. Si Putih Kaya Gizi. Kompas


Cyber Media, diakses 9 Mei 2003.

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993.


Pengantar Peternakan di Daerah
Tropis. Yogyakarta: UGM Press.

77
Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..

Pemberian Tiga Macam Konsentrat Terhadap Kualitas dan


Persentase Karkas Serta Income Over Feed Cost Domba Sungei Putih
Selama Penggemukan
(The Usage Three Kind of Concentrates on Quality and Carcass
Percentage and Also Income Over Feed Cost of Sungei Putih Sheep
For Fatgrowth)

Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantioni

Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU

Abstract: The objectives of this research was to test the comparison three of kind
concentrates on carcass percentage, fat and income over feed cost of Sungei Putih
sheep for fatgrowth. The experiment was using complete randomized experiment
design by three treatments and six replication, where treatments of T1 wasgrass +
concentrate A (palm oil by product), T2 wasgrass + concentrate B (conventional) and
T3 wasgrass + concentrate C (farming by product).
The results showed the highest average carcass weight at T2 (12,96kg) then
T3(12,82kg) and then lowest average at T1 (11,47kg). The highest average carcass
percentage T2 (54,53%) then T3 (54,03%) and the lowest average at T1 (52,68%). The
highest average subcutan fat weight at T2 (1,70kg) then T3 (1,63kg) and the lowest
average at T1 (1,24kg). The highest average intermusculer fat at T2 (413,40g) then T3
(411,80g) and the lowest average at T1 (383,20g). The highest average chanel + pelvic
fat weight at T2 (241,80g) then T3 (231,40g) and the lowest average at T1 (215,80g).
And the highest average income over feed cost at T1 (Rp 73.331,67) then T3 (Rp
56.383,57) and the lowest average at T2 (Rp 21.430.63). The statistic of analysis the
research result showed that the test result of variation indicated that T1, T2 and T3
didn’t have a real different affect to the carcass weight, carcass percentage, subcutan
fat weight, intermusculer fat weight, and chanel + pelvic fat weight, mean while for
income over feed cost has a real different affect.
Key Words: sheep, Consentrate, Carcass, fat and IOFC.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbandingan antara tiga macam
konsentrat yaitu konsentrat A (berbasis hasil sampingan industri kelapa sawit),
konsentrat B (konvensional), dan konsentrat C (berbasis hasil sampingan industri
pertanian) terhadap persentase karkas dan income over feed cost Domba Sungei Putih
selama penggemukan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri
dari tiga perlakuan dan 6 ulangan yaitu: T1 = rumput + konsentrat A (berbasis hasil
sampingan kelapa sawit), T2 = rumput + konsentrat B (konsentrat konvensional), dan T3
= rumput + konsentrat C (berbasis hasil sampingan produk pertanian).
Hasil penelitian menunjukkan rataan bobot karkas tertinggi pada T2 (12,96kg),
sementara rataan bobot karkas T3 (12,82kg) dan rataan bobot karkas terendah pada T1
(11,47kg). Rataan persentase karkas tertinggi pada T2 (54,53%) sementara rataan
persentase karkas T3 (54,03%) dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (52,68%).
Rataan bobot lemak subkutan tertinggi pada T2 (1,70kg), sementara rataan bobot
karkas T3 (1,63kg), dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (1,24kg). Rataan bobot
lemak intermuskuler tertinggi pada T2 (413,40g) sementara rataan bobot karkas T3
(411,80g) dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (382,20g). Rataan bobot lemak
ginjal + pelvik tertinggi pada T2 (241,80g) sementara rataan bobot karkas T3 (231,40g)
dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (215,80g). Dan rataan income over feed cost
tertinggi pada T1 (Rp 73.331,67) sementara T3 (Rp 56.383,57) dan rataan income over
feed cost terendah pada T2 (Rp 21.430,63). Dari hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa T1, T2, dan T3 pada Domba Sungei Putih tidak berbeda nyata terhadap bobot
karkas, persentase karkas, bobot lemak subkutan, bobot lemak intermuskuler, bobot

78
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

lemak ginjal + pelvis, sedangkan untuk income over feed cost memperlihatkan hasil
yang sangat berbeda nyata.
Kata Kunci: domba, karkas, lemak, dan IOFC.
Pendahuluan sampingan industri kelapa sawit),
konsentrat B (konsentrat konvensional) dan
Latar Belakang konsentrat C (konsentrat yang berbasil hasil
Sistem pemeliharaan ternak domba sampingan industri pertanian) terhadap
di Indonesia pada umumnya adalah secara bobot karkas, persentase karkas, bobot
tradisional, di mana pemberian pakan lemak subkutan, bobot lemak
tergantung pada hijauan tanaman makanan intermuskuler, bobot lemak ginjal + pelvis
ternak yang tersedia (rerumputan) dengan dan income over feed cost domba Sungei
sedikit atau tidak ada pakan tambahan Putih.
(Tomaszewska, et.al.:1993). Hal ini
menyebabkan tingkat produksi domba Kegunaan Penelitian
rendah. Salah satu cara untuk mengatasinya Sebagai upaya alternatif dalam
adalah dengan memperbaiki kualitas pakan, pemanfaatan hasil sampingan industri
namun pakan komersil yang berkualitas kelapa sawit dan hasil sampingan industri
harganya relatif mahal. Salah satu alternatif pertanian dan sebagai bahan informasi bagi
meningkatkan produktivitas ternak dan peternak dan pihak-pihak yang
sekaligus pendapatan peternak adalah membutuhkan.
melalui pemanfaatan pakan inkonvensional.
Bahan pakan inkonvensional antara lain: Bahan dan Metode Penelitian
hasil sampingan (by product) dan hasil sisa
(limbah) industri perkebunan dan pertanian. Tempat dan Waktu Penelitian.
Sumatera Utara mempunyai areal Penelitian ini dilaksanakan di Desa
perkebunan kelapa sawit yang cukup luas Pulaugambar Kecamatan Dolok Masihul
dan terdapat juga industri pengolahan Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini
sawit. Data statistik perkebunan Sumatera berlangsung selama tiga bulan dimulai dari
Utara tahun 2002: luas perkebunan kelapa Januari 2005 sampai April 2005.
sawit di Sumatera Utara adalah 766.669,73
Ha dan terdapat 60 unit perkebunan kelapa Bahan dan Alat Penelitian
sawit. Hasil akhir dari proses pengolahan Bahan yang digunakan antara lain:
sawit tersebut antara lain minyak kelapa a. 18 ekor domba jantan Sungei Putih lepas
sawit sebagai produk utama, solid sawit sapih umur 5-6 bulan dengan kisaran
sebagai limbah padat dan limbah cair yang bobot badan awal rata-rata 15kg (12-
dibuang ketempat pengendalian limbah 19kg)
(Naibaho,1994). Limbah sawit ini sangat b. Rumput gajah
melimpah dan belum diolah lebih lanjut. c. Konsentrat, terdiri dari:
Hasil sisa perkebunan lainnya yang dapat • Konsentrat A terdiri dari: lumpur
digunakan yaitu anakan tebu yang berasal sawit, bungkil inti sawit, kerak
dari tebu utama setelah dipotong. Hasil tehu, anakan tebu, molases, urea,
sampingan lainnya dari industri pengolahan ultra mineral,garam
buah markisa dan buah nenas. Semua hasil • Konsentrat B terdiri dari: jagung,
sisa perkebunan maupun hasil sampingan dedak, bungkil kedelai, tepung ikan,
industri pertanian ini dapat dijadikan molases, urea, ultra mineral,garam
sebagai alternatif pakan domba. • Konsentrat C terdiri dari: jagung,
Sehubungan dengan hal tersebut di dedak, bungkil kedelai, ampas
atas, dilakukan penelitian tentang nenas, kulit buah markisa, tepung
pemanfaatan hasil sampingan industri ikan, urea, ultra mineral, dan
kelapa sawit dan hasil sampingan industri garam.
pertanian sebagai konsentrat terhadap
kualitas dan persentase karkas, lemak serta Alat yang digunakan antara lain:
income over feed cost pada ternak domba a. Kandang 18 unit beserta
Sungei Putih. perlengkapannya dengan ukuran 1x
1,5m
Tujuan Penelitian b. Timbangan bobot hidup berkapasitas
Adapun tujuan penelitian ini adalah 120kg dengan kepekaan 500g,
untuk menguji perbandingan antara timbangan berkapasitas 5kg dengan
konsentrat A (konsentrat yang berbasis hasil kepekaan 5g untuk menimbang

79
Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..

komponen karkas, timbangan 2kg


dengan kepekaan 10g untuk
menimbang pakan dan timbangan
kapasitas 2.800g dengan kepekaan 1,0g
untuk menimbang komponen karkas
c. Alat pendingin untuk tempat Tabel 8.
menyimpan karkas Bobot karkas (Kg/ekor)

Metode Penelitian Perlakuan


Ulangan Total Rataan
Medote penelitian yang digunakan
T1 T2 T3
pada tahap I adalah metode Rancangan Acak
I 11,77 13,34 11,51 36,62 12,21
Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan
dan 6 ulangan yaitu: II 11,16 12,58 14,13 37,87 12,62
Total 22,93 25,92 25,64 74,49 24,83
T1 = rumput gajah + konsentrat A Rataan 11,47 12,96 12,82 37,25 12,42
T2 = rumput gajah + konsentrat B
T3 = rumput gajah + konsentrat C Persentase karkas
Dari hasil penelitian diperoleh
Ulangan yang didapat berasal dari rumus: persentase karkas, terlihat pada Tabel 9.
T (n-1) ≥ 15
3 (n-1) ≥ 15 Tabel 9.
3n – 3 ≥ 15 Persentase karkas (%)
3n ≥ 18
n≥6 Perlakuan
Ulangan Total Rataan
Adapun model linier penelitian yang T1 T2 T3
digunakan adalah:
I 53,32 55,05 52,27 160,64 53,55

Yij = μ + τ i + Σij II 52,04 54,01 55,79 161,84 53,95


Di mana: Total 105,36 109,06 108,06 322,48 107,49
Yij = Hasil pengamatan pada ulangan ke-i Rataan 52,68 54,53 54,03 161,24 53,75
dan perlakuan ke-j
I = 1,2,3 (perlakuan) Bobot Lemak Subkutan
J = 1,2,3,4,5,6 (ulangan) Dari hasil penelitian diperoleh
μ = Nilai rata-rata (mean) harapan bobot lemak subkutan terlihat pada Tabel
τi = Pengaruh faktor perlakuan ke-i 10.
Σij = Pengaruh galat (experimental error)
perlakuan ke-i ulangan ke-j Tabel 10
(Hanafiah, 2000). Bobot lemak subkutan (kg/ekor)

Metode penelitian tahap II kedua Perlakuan


Ulangan Total Rataan
adalah pengambilan sampel ternak domba T1 T2 T3
yang dipotong yaitu:
I 1,30 1,80 1,33 4,43 1,48
T1 = 2 ekor yaitu T1R1 dan T1R6
T2 = 2 ekor yaitu T2R1 dan T2R4 II 1,17 1,59 1,92 4,68 1,56
T3 = 2 ekor yaitu T3R2 dan T3 R4 Total 2,47 3,39 3,25 9,11 3,04
Maka jumlah ternak domba yang dipotong Rataan 1,24 1,70 1,63 4,56 1,52
sebanyak 6 ekor.

Parameter Penelitian: Bobot karkas, Bobot Lemak Intermuskuler


Persentase karkas, Bobot lemak dan Income Dari hasil penelitian bobot lemak
Over Feed Cost (IOFC). intermuskuler, terlihat pada Tabel 11.

Hasil Penelitian Tabel 11.


Bobot lemak intermuskuler (g/ekor)
Bobot karkas
Dari hasil penelitian diperoleh bobot karkas, Perlakuan
terlihat pada Tabel 8. Ulangan Total Rataan
T1 T2 T3
I 390,00 426,40 364,00 1180,40 393,47

80
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

II 374,40 400,40 459,60 1234,40 411,46 Rataan 382,20 413,40 411,80 1207,40 402,46
Total 764,40 826,80 823,60 2414,80 804,93
Bobot Lemak ginjal + Pelvis
Dari hasil penelitian diperoleh bobot lemak ginjal + pelvis, terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12.
Bobot lemak ginjal + pelvis (g/ekor)

Perlakuan
Ulangan Total Rataan
T1 T2 T3

I 223,60 228,80 202,80 655,20 218,40

II 208,00 254,80 260,00 722,80 240,93

Total 431,60 483,60 462,80 1378,00 459,33

Rataan 215,80 241,80 231,40 689,00 229,67

Income Over Feed Cost


Dari hasil penelitian diperoleh income over feed cost, terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13.
Income over feed cost (Rp)

Perlakuan
Ulangan Total Rataan
T1 T2 T3

I 72.410,72 19.260,56 23.169.62 114.840,90 38.280,30

II 50.107,33 29.814,97 69.865.62 149.787,92 49.929,31

III 79.374,88 45.233,50 53.335.31 177.943,69 59.314,56

IV 77.735,85 15.948,16 72.254.12 165.938,13 55.312,71

V 85.073,01 3.020,50 48.800.25 136.893,76 45.631,25

VI 75.288,25 15.306,06 70.876.50 161.470,81 53.823,60

Total 439.990,04 128.583,75 338.301.42 906.875,21 302.291,74

Rataan 73.331,67 21.430,63 56.383.57 151.145,87 50.381,96

81
Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..

Pembahasan Hasil itu pakan yang dikonsumsi oleh domba


dalam penelitian ini juga tidak berbeda
Bobot Karkas nyata, sehingga persentase dari karkas juga
Untuk melihat pengaruh pemberian tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan
dari ketiga konsentrat tersebut terhadap pendapat Devendra (1977) yang menyatakan
bobot karkas dilakukan analisis keragaman bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh
yang terlihat pada Tabel 14. pakan yang dikonsumsi. Johnston (1983)
juga menyatakan bahwa persentase karkas
Tabel 14. pada domba yang kurus dan kondisinya
Analisis keragaman bobot karkas buruk kurang dari 40%, sedangkan pada
kondisi gemuk persentase karkas dapat
F tabel
melebihi 60%.
DB JK KT F hit
SK
0.05 0.01
Lemak. Untuk melihat pengaruh pemberian
tn
Perlakuan 2 2.72 1.36 1.05 9.55 30.81 dari ketiga macam konsentrat tersebut
Galat 3 3.89 1.29 terhadap lemak dilakukan analisis
Total 5 6.61 keragaman yang terlihat pada Tabel 16, 17,
KK = 9.10% dan 18.
tn = tidak berbeda nyata

Dari Tabel 14 dapat diketahui Tabel16.


bahwa T1, T2, dan T3 pada domba jantan Analisis keragaman bobot lemak subkutan
memberikan pengaruh tidak berbeda nyata
terhadap bobot karkas domba. Hal ini F table
SK DB JK KT F hit
berarti bahwa ketiga macam perlakuan. Hal 0.05 0.01
ini dapat disebabkan karena konsentrat A,
Perlakuan 2 0.25 0.12 1.78tn 9.55 30.81
B, dan C mempunyai nilai nutrisi yang tidak
jauh berbeda dan konsumsi dan Galat 3 0.23 0.07
pertambahan bobot badan yang tidak Total 5 0.48
berbeda nyata juga. Nilai rataan bobot KK = 17.10%
karkas hasil penelitian ini lebih tinggi tn = tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan hasil penelitian.
Tabel 17.
Persentase Karkas Analisis keragaman bobot lemak
Untuk melihat pengaruh pemberian intermuskuler
dari ketiga macam konsentrat tersebut
terhadap persentase karkas dilakukan F table
SK DB JK KT F hit
analisis keragaman yang terlihat pada Tabel 0.05 0.01
15.
Perlakuan 2 1234.78 617.78 0.37tn 9.55 30.81

Tabel 15. Galat 3 5029.36 1676.45


Analisis keragaman persentase karkas Total 5 6264.14
KK = 10.17%
F table tn = tidak berbeda nyata
SK DB JK KT F hit
0.05 0.01
Tabel 18.
Perlakuan 2 3.66 1.83 0.72tn 9.55 30.81 Analisis keragaman bobot lemak ginjal +
Galat 3 7.55 2.51 pelvis
Total 5 11.21
F table
SK DB JK KT F hit
KK = 2.94% 0.05 0.01
tn = tidak berbeda nyata
Perlakuan 2 685.01 342.51 0.5tn 9.55 30.81
Dari hasil analisis keragaman di
atas dapat dilihat bahwa T1, T2, dan T3 Galat 3 2095.6 698.53
pada domba jantan memberikan pengaruh Total 5 2780.61
tidak berbeda nyata terhadap persentase KK = 8.82%
karkas domba. Hal ini dapat disebabkan tn = tidak berbeda nyata
karena konsentrat A, B, dan C mempunyai
nilai nutrisi yang tidak jauh berbeda. Selain

82
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

Dari hasil analisa keragaman dapat Berdasarkan analisis sidik ragam di


dilihat bahwa T1, T2, dan T3 pada domba atas menunjukkan bahwa F hitung lebih
jantan memberikan pengaruh tidak berbeda besar dari F tabel pada taraf 0,01 sehingga
nyata terhadap lemak subkutan, lemak dapat disimpulkan bahwa pemberian lumpur
intermuskuler dan lemak ginjal + pelvis. Hal sawit dalam konsentrat terhadap IOFC
ini disebabkan karena pemberian ketiga memberikan pengaruh yang sangat nyata (P
macam konsentrat tersebut juga < 0,01).
memberikan pengaruh tidak berbeda nyata Untuk mengetahui perbedaan di
terhadap pertambahan bobot badan antara perlakuan maka dilanjutkan dengan
antarperlakuan sehingga bobot lemak uji Duncan, sebagaimana dapat dilihat pada
antarperlakuan juga tidak nyata karena Tabel 20 di bawah ini.
bobot lemak tubuh sebanding dengan Tabel 20.
pertambahan bobot badan. Hal ini sesuai Uji Duncan Income over feed cost
dengan pendapat Herman (1993) yang
menyatakan bahwa semakin tinggi bobot Perlakuan Rataan Notasi
potong yang diperoleh menyebabkan bobot
T1 73.331,67 BC
karkas segar, persentase karkas, dan lemak
akan semakin tinggi. T2 21.430,63 A
Nilai rataan bobot lemak ginjal dan T3 56.383.57 B
pelvis hasil penelitian ini lebih tinggi Keterangan: notasi huruf yang berbeda
dibandingkan dengan hasil penelitian Dewi menyatakan berbeda sangat
nyata dalam taraf 1%
(2000) pada domba Sei Putih yang diberi
pakan bungkil inti sawit sebanyak 31,51%
dan mengandung protein kasar sebesar Berdasarkan uji Duncan di atas
13,26% dan energi 2,88 Mcal/kg dapat diketahui bahwa harga konsentrat
menghasilkan bobot lemak ginjal sebesar sangat nyata mempengaruhi income over
35g, lemak pelvis 45g pada bobot potong feed cost, di mana yang income over feed
15kg. Hal ini sesuai dengan pendapat yang cost tertinggi diperoleh pada perlakuan T1
dikemukakan oleh Berg and Butterfield yaitu 73.331,67 yang berbeda sangat nyata
(1976). dengan perlakuan T2, tetapi tidak berbeda
Income Over feed Cost. Untuk sangat nyata dengan perlakuan T3. Hal ini
melihat pengaruh pemberian dari ketiga diduga karena pada perlakuan T1 telah
konsentrat tersebut terhadap bobot karkas menghasilkan efisiensi biaya konsentrat,
dilakukan analisis keragaman yang terlihat walaupun bila dilihat dari konsumsi dan
pada Tabel 19. pertambahan bobot badan tidak berbeda
Tabel 19. nyata, tapi hal ini disebabkan faktor dari
Analisis keragaman income over feed cost harga bahan untuk menyusun konsentrat A,
B, dan C yang sangat mencolok.
F tabel
SK DB JK KT F hit Rekapitulasi Hasil Penelitian
0.05 0.01
Perlakuan 2 8405330773 4202665387 17,51** 3.68 6.36 Rekapitulasi hasil penelitian terhadap
Galat 15 3599556427 239970428,5 kualitas dan persentase karkas serta income
Total 17 1200488720 over feed cost domba Sungai Putih adalah
KK = 30,74% sebagaimana ditampilkan pada Tabel 22.
** = sangat nyata
Tabel 22.
Rekapitulasi hasil penelitian
Perlakuan
Perlakuan
T1 T2 T3
tn tn
Bobot Karkas (kg/ekor) 11,47 12,96 12,82 tn
tn tn
Persentase karkas (%) 52,68 54,53 54,03 tn
tn tn
Bobot Lemak Subkutan (kg/ekor) 1,24 1,70 1,63 tn
Bobot Lemak Intermuskuler (g/ekor) 382,20 tn 413,40 tn 411,80 tn
tn tn
Bobot Lemak ginjal + Pelvis (g/ekor) 215,80 241,80 231,40 tn
Income Over Feed Cost (Rp) 73.331,67BC 21.430,63A 56.383.57B
Keterangan:
notasi huruf kecil yang berbeda menunjukan perbedaan yang sangat nyata pada taraf 1%

83
tn = tidak nyata
Kesimpulan dan Saran Gatenby, R.M and L.P. Batubara. 1994.
Management of Sheep in The Humid
Kesimpulan Tropic, Experiences in North Sumatra.
1. Pemberian pakan pada perlakuan T1, T2 In Second Symposium on Sheep
dan T3 perlakuan T3 (rumput gajah + Production Malaysia Faculty of
konsentrat C yaitu konsentrat hasil Veteriner Medicine and Animal
sampingan industri pertanian) Science, University Agricultural
menghasilkan kualitas yang sama Malaysia Serdang.
terhadap bobot karkas, persentase
karkas, bobot lemak subkutan, lemak Hanafiah, K.A. 2000. Rancangan Percobaan.
intermuskuler dan lemak ginjal + pelvis Fakultas Pertanian. Palembang:
2. Pemberian pakan pada perlakuan T1 Universitas Sriwijaya.
(rumput gajah + konsentrat A yaitu
konsentrat yang berbasis hasil Herman, R. 1993. Perbandingan
sampingan industri kelapa sawit) dan Pertumbuhan, Komposisi Tubuh, dan
perlakuan T3 (rumput gajah + Karkas Antara Domba Priangan dan
konsentrat C yaitu kosentrat hasil Ekorgemuk. [Disertasi]. Program
sampingan industri pertanian) dapat Pascasarjana. Bogor: Institut
menghasilkan keuntungan yang sama Pertanian Bogor.
dibandingkan dengan perlakuan T2
(rumput gajah + konsentrat B yaitu Hutagalung dan Jalaludin. 1982. Feeds For
konsentrat konvensional) sehingga Farm Animal From The Oil Palm.
pakan pada perlakuan T1 dan T2 dapat Serdang, Malaysia.
dijadikan salah satu pakan alternatif
bagi ternak domba. Johston, R.G. 1983. Introduction to Sheep
Farming. London: Granada Publishing
Saran Ltd.
Sebaiknya peternak menggunakan
konsentrat yang berasal dari hasil Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Jakarta:
sampingan industri kelapa sawit yang lebih Universitas Indonesia Press.
luas untuk ternak domba sebagai upaya
peningkatan pendapatan dalam usaha National Research Council. 1995. Nutrient
beternak domba. Requirement of Domestic. No.2.
Washington DC: Nutrient Requirement
Daftar Pustaka of Swine National Academy of
Science.
Anonim. 2002. Teknologi Tepat Guna:
Budidaya Pertanian. Departemen Rangkuti, M., A. Musofie, P. Sitorus, I. P.
Pertanian. Jakarta. [www.document] Kompiang, N. Kusumawardhani, dan
URL http://www.rusnas buah.or.id. A. Roesjat. 1985. Pemanfaatan Daun
Tebu Untuk Pakan Ternak di Jawa
Berg and Butterfield. 1976. New Concept of Timur. Seminar Pemanfaatan Limbah
Cattlegrowth. Sydney: University Tebu Untuk Pakan Ternak. Badan
Press. Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departement Pertanian. 5
Crouse,J.D., J.R. Busboom., R.A. Field, and Maret 1985, grati.
C.L. Ferrel. 1981. Effect of Breed,
Diet, Sex, Location, and Slaughter Tomaszewska, M. W., J. M. Mastika, A.
Weight on Lambgrowth, Crcass Djaja Negara, S. Gardiner, dan T. R.
Composition and Meat Flavor. New Wiradarya. 1993. Produksi Kambing
York: Mc Graw Hill Book Company. dan Domba di Indonesia. Surabaya:
Sebelas Maret University Press.

84
Petunjuk untuk Penulis

Persyaratan Umum. Artikel harus berupa tulisan yang mengetengahkan suatu


penelitian yang belum pernah dimuat dalam jurnal ilmiah manapun, baik di lingkup
nasional maupun internasional. Semua artikel akan ditelaah lebih dahulu oleh mitra
bestari sebelum dimuat. Redaksi berhak mengubah kalimat, ejaan, tata letak, dan
perwajahan tanpa mengubah isi sebenarnya. Artikel yang tidak dimuat dapat
dikembalikan jika disertai prangko balasan.

Cakupan. Penelitian harus mencakup salah satu disiplin ilmu dalam bidang peternakan
atau yang erat kaitannya dengan peternakan (pertanian, kedokteran,gizi, kesehatan
masyarakat, teknik, ekonomi, hukum, dll.). Mitra bestari dan dewan redaksi berhak
menolak tulisan yang dianggap tidak relevan. Tulisan dapat diajukan oleh semua orang
tanpa memandang institusinya.

Format. Artikel harus terdiri atas tiga bagian, yakni bagian pembuka, isi, dan
penyudah. Bagian pembuka terdiri atas judul, nama penulis dan lembaganya, abstrak,
dan kata kunci. Bagian isi terdiri atas pendahuluan, bahan dan metode (metodologi),
serta hasil dan pembahasan. Bagian penyudah terdiri atas kesimpulan (dan saran kalau
ada), ucapan terima kasih (kalau perlu), dan daftar pustaka.

Bahasa. Kecuali untuk abstrak bahasa Inggris, isi artikel seluruhnya harus ditulis dalam
bahasa Indonesia yang baik dan benar berpedoman pada Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia dan Ejaan yang Disempurnakan, serta menggunakan kata-kata yang dibakukan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa.
Penyerapan kata asing dan pemakaian kata asing harus dibatasi sedikit mungkin, dan
kalau terpaksa penyerapan dan pemakaiannya juga harus berpedoman pada KBBI.

Judul. Judul harus ringkas, padat, dan langsung menunjuk pada isi tulisan. Judul ditulis
dalam bahasa Indonesia dan di bawahnya dalam bahasa Inggris.

Abstrak. Abstrak dibuat dalam bahasa Inggris dan di bawahnya dalam bahasa Indonesia.
Abstrak berisi latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, dan kesimpulan dalam kalimat-
kalimat yang padat, sebaiknya tidak lebih dari 300 kata (dalam bahasa Indonesia).

Kata Kunci. Kata kunci paling banyak lima kata, urutannya menunjukkan hierarki dari
yang paling utama (topik) sampai yang paling kecil (spesifik). Kata kunci bukan urutan
kata penting dalam tulisan tapi adalah urutan kata untuk katalogisasi tulisan ilmiah
internasional dalam bentuk database. kata penting dalam tulisan tapi adalah urutan
kata untuk katalogisasi tulisan ilmiah internasional dalam bentuk database.

Pendahuluan. Bagian ini memuat latar belakang dan pentingnya penelitian dilakukan,
disertai dengan kutipan-kutipan dari pustaka yang relevan untuk mendukung hal
tersebut. Tidak perlu terlalu luas tapi tidak pula terlalu singkat sehingga tidak jelas.
Idealnya 400 – 500 kata.

Bahan dan Metode. Bisa juga metodologi jika sama sekali tidak digunakan bahan
(misalnya survai). Bagian ini memuat bahan dan metode penelitian, mencakup tempat,
waktu, metode pengambilan sampel, alat-alat dan bahan-bahan penting yang
digunakan, pelaksanaan rancangan percobaan, asumsi, metode analisis, dan lain-lain
yang berkaitan. Metode tidak harus bertele-tele tapi tidak pula terlalu singkat sehingga
membuang bagian-bagian penting yang harus diketahui pembaca. Prinsip dasarnya ialah

85
bahwa orang lain dengan kualitas yang sama atau lebih baik dari penulis, harus dapat
mengulangi atau memodifikasi penelitian tersebut dan perincian yang diberikan.

Hasil dan Pembahasan. Hasil sebaiknya dirangkum dalam bentuk tabel dan grafik yang
langsung diberi notasi statistik berdasar uji beda rataan yang umum. Tabel dan grafik
sebaiknya tidak disajikan dalam bentuk singkatan (GO, P3, dsb.) tetapi lengkap, baik di
dalam tabel atau grafik maupun di luarnya sebagai keterangan sehingga memudahkan
pembaca. Satuan untuk setiap angka yang disajikan harus jelas. Setiap parameter atau
peubah disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan langsung dibahas di tempat yang
sama. Pembahasan harus menyertakan kutipan dari pustaka yang terkini sebagai
penyokong atau pembanding, dan harus berdasarkan kebenaran ilmiah yang diakui di
bidang ilmu bersangkutan.

Kesimpulan. Kesimpulan sebaiknya disajikan dalam bentuk satu atau dua paragraf dan
bukan dalam bentuk penomoran. Jika ada saran yang bisa diajukan maka saran itu
harus disajikan secara singkat dan relevan (memang berasal dari penelitian) dalam satu
atau dua paragraf.

Ucapan Terima Kasih. Bagian ini ditulis jika memang ada badan atau perorangan yang
sumbangannya sangat penting dalam penelitian tersebut.

Daftar Pustaka. Daftar pustaka dibuat sesuai dengan Peraturan Penulisan Pustaka
Biologi. Pustaka yang dicantumkan sebaiknya yang terkini dan berasal dari jurnal atau
majalah ilmiah. Pustaka boleh mencakup yang belum dipublikasikan tetapi tersedia,
misalnya skripsi, tesis, disertasi, atau hasil wawancara yang diarsipkan. Disarankan
untuk tidak memakai buku ajar (text book) untuk perkuliahan sebagai pustaka, atau
buku-buku tipis setara brosur untuk petani atau penerapan ilmu untuk umum. Kalau
terpaksa, jumlahnya sebaiknya tidak lebih dari 50% dari semua pustaka. Tahun terbit
juga diusahakan yang terbaru, minimal 40% di atas tahun 1990.

86

Você também pode gostar