Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Penasehat:
Dekan Fakultas Pertanian USU • Jurnal ilmiah Peternakan
AGRIPET diterbitkan dalam
Penanggung Jawab: rangka penyebarluasan
Ketua Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU informasi berupa hasil-hasil
penelitian dan pemikiran,
Ketua Penyunting: terutama dari tenaga pengajar
Iskandar Sembiring, Ir., M.M. dan mahasiswa Departemen
Perternakan, Fakultas
Wakil Ketua Penyunting: Pertanian USU.
Tri Hesti Wahyuni, Ir., M.Sc.
• Jurnal AGRIPET terbit 3 kali
Mitra Bestari setahun: April, Agustus, dan
Simon Ginting, Ir., M.Sc., Dr. Desember. Setiap kali
(Ketua Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang) penerbitan menurut 6 – 7
tulisan. Pembaca yang
Setel Karo-Karo, Ir., M.Sc., Dr. menjadi sasaran adalah
(Staf Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang) mahasiswa, tenaga pengajar,
instansi pemerintah, para
Endang Romjali, Ir., M.Sc., Dr. pengusaha, segenap assosiasi
(Staf BPTP Gedong Johor Medan) dan pemerhati di bidang
peternakan serta para
Rachmat Herman, Drh., M.VSc., Dr., Prof. peternak.
(Dosen Fakultas Peternakan IPB)
• Tulisan yang dimuat dikirim ke
Wihandoyo, Ir., M.Sc., Dr., Prof. redaksi di alamat tersebut di
(Dosen Fakultas Peternakan UGM) atas dalam bentuk disket 3 ½
inci yang telah diformat lebih
Sayed Umar, Ir., M.S. dahulu dan diperikasa ulang
(Dosen Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU) pembacaannya, serta hasil
print out rangkap dua pada
kertas ukuran A4.
Hasnudi, Ir., M.S., Dr.
(Dosen Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU)
• Semua tulisan akan ditelaah
Penyunting: lebih dahulu oleh penyunting
Zulfikar Siregar, Ir., M.P., Dr. tentang redaksionalnya dan
Eniza Saleh, Ir., M.S. dewan mitra bestari tentang
Hamdan, S.Pt., M.Si. materi tulisan sesuai kaidah
ilmiah yang akan menentukan
layak tidaknya untuk dimuat.
Pelaksana Tata Usaha:
Usman Budi, S.Pt., M.Si.
Sudarno K. • Redaksi akan mengubah
susunan dan kalimatnya tanpa
Alamat Penyunting dan Tata Usaha mengubah isi sebenarnya.
Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Tulisan yang tidak dimuat
Tel. (061) 8215242 akan dikirimkan kembali jika
disertai ongkos kirim
secukupnya.
Izin Terbit
ISSN: 1858-263x
• Harga jurnal per eksemplar
Dicetak Oleh adalah Rp 10.000,-
USUpress
Pengantar dari Redaksi
Akhir kata, redaksi mengucapkan terima kasih atas segala bantuan moril
maupun materil, kritik serta saran konstruktif dari semua pihak yang diberikan terhadap
peningkatan mutu jurnal AGRIPET ini.
Redaksi
ii
Daftar Isi ISSN: 1858-263x
iii
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…
Hamdan*
Abstract: Estimation of additive variances and parameter genetics were obtained from
38.578 records of two lines of quail over 21 generation selection from 1993 to 2001 in
Merbiz Research Station University of Martin Luther, Germany. The purposes of this
study were 1) to estimate variances component and genetic parameters 2) to examine
stability of genetic parameters from generation to generation following long-term
selection for production traits in Japanese quail. The first line of quail was selected
on high body weight and small egg weight while the second line was selected only on
hight egg weight. Variance component and genetic parameters were estimated using
Univariate and Multivariate Animal Model REML procedure using VCE program. The
averages of body weight at age of 42 days (BB42), body weight at age of 200 days
(BB200), egg weight at the first 11 weeks (BT11), and the last 12 weeks (BT12) in both
quail lines increased following 21st generation selection, however the number of eggs
laid between 42 days and 200 days of age (JT200) decreased. Additive variance of
selected traits still remained following 21st generation selection. Realized heritability
estimated for the traits of JT200 and low-egg weight were low i.e. 0,09 to 0,12 and
0,01 to 0,09 respectively , while the trait of low-body weight (line 2) was low to
moderate i.e. 0,04 to 0,37, heritability of high-egg weight was moderate i.e. 0,35 to
0,42. Whereas, heritability of high-body weight (line 1) was moderate to high i.e. 0,32
to 0,67.
Key words: Japanese quail, long-term selection, additive variance, genetic
parameters, heritability.
Abstrak: Pendugaan komponen ragam dan parameter genetik diperoleh dari 38.578
catatan dari dua galur puyuh hasil seleksi selama 21 generasi mulai 1993 sampai 2001 di
Stasiun Penelitian Martin Luther Universitas Merbiz, Jerman. Tujuan penelitian ini
adalah 1) untuk menduga komponen ragam dan parameter genetik 2) untuk menguji
stabilitas parameter genetik dari generasi ke generasi hasil seleksi jangka panjang
beberapa sifat produksi puyuh. galur puyuh pertama diseleksi atas bobot badan besar
dan bobot telur yang kecil, sementara galur kedua diseleksi hanya berdasarkan sifat
bobot telur yang besar. Komponen ragam dan parameter genetik diduga dengan
menggunakan Univariate dan Multivariate Animal Model REML menggunakan VCE
program. Rata-rata bobot badan umur 42 hari (BB42), bobot badan umur 200 hari
(BB200), bobot telur 11 minggu pertama produksi (BT11), dan 12 minggu terakhir
produksi (BT12) pada kedua galur puyuh meningkat sejalan dengan seleksi selama 21
generasi, sementara jumlah telur mulai dari umur 42 hari sampai 200 hari (JT200)
menurun. Keragaman aditif sifat yang diseleksi masih tetap bertahan sampai 21
generasi seleksi. Sifat JT200 dan bobot telur ringan, nilai heritabilitasnya rendah, yakni
berturut-turut antara 0,09 sampai 0,12 dan 0,01 sampai 0,09, sementara bobot badan
ringan (galur 2) heritabilitasnya rendah sampai sedang yakni 0,04 sampai 0,37, bobot
telur yang besar heritabilitasnya sedang yakni antara 0,35 sampai 0,42. Sementara,
heritabilitas sifat bobot badan yang tinggi (galur 1), sedang sampai tinggi yakni antara
0,32 sampai 0,67.
Kata kunci: puyuh, seleksi jangka panjang, ragam aditif, parameter genetik,
heritabilitas.
36
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…
Pendahuluan
tetapi dalam praktiknya jarang dijumpai
Sejak abad ke-11, puyuh (Coturnix nilai-nilai ekstrim tersebut (Warwick dan
coturnix japonica) dikenal sebagai penghasil Legates, 1979). Kategori besar kecilnya nilai
daging dan telur, tetapi ia tidak pernah heritabilitas, dikemukakan oleh Cole (1966)
sepopuler ayam karena ukuran tubuhnya yaitu: h2 <0,20 rendah; 0,20 – 0,40 sedang
yang kecil. Walaupun demikian karena dan >0,40 tinggi. Sedangkan menurut
ukuran tubuhnya yang kecil, mudah Preston dan Willis (1974), heritabilitas
dipelihara pada kandang pembibitan, rendah <0,25; 0,25 – 0,50 sedang dan >0,50
prolifik, interval generasi singkat, tinggi.
keragaman genetik dan produktivitas tinggi, Heritabilitas dapat menduga
serta kemiripan antara puyuh dengan peningkatan kemajuan genetik yang
beberapa spesies unggas lainnya untuk mungkin diperoleh bila dilakukan seleksi
beberapa parameter genetik menjadikan sifat tertentu. Jika heritabilitas suatu sifat
puyuh sebagai model hewan percobaan memiliki nilai tinggi, berarti performans
dalam penelitian seleksi unggas, khususnya atau penampilan individu lebih banyak
untuk penelitian seleksi jangka panjang dipengaruhi oleh faktor genetik dibanding
(Maeda et.al., 1997). dengan faktor lingkungan dan seleksi
Seleksi jangka panjang telah berdasarkan individu efektif. Heritabilitas
dilakukan untuk menduga parameter genetik yang tinggi juga menandakan aksigen aditif
bobot badan 4 minggu pada puyuh dengan penting untuk sifat tersebut dan sebaliknya
pemberian pakan yang berbeda untuk jika heritabilitas rendah, maka mungkin
melihat batas seleksi. Walaupun keragaman aksigen seperti lewat dominant (over
genetik masih bertahan sampai 97 generasi dominance), dominan dan epistasis lebih
seleksi, namun hasil dugaan menunjukkan penting (Lasley, 1978).
adanya kehilangan keragaman genetik aditif Nilai heritabilitas suatu sifat akan
sejalan dengan seleksi (Mark, 1996). bervariasi antarpopulasi. Perbedaan variasi
Menurut Nestor et.al. (1996), tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan
dengan dilakukan seleksi selama lebih dari faktor genetik (ragam genetik), perbedaan
30 generasi pada dua galur puyuh yang lingkungan (ragam lingkungan), metode, dan
berbeda, respon bobot badan dan bobot jumlah cuplikan data yang digunakan
telur meningkat pada galur yang memiliki (Falconer dan Mackay, 1989). Selain itu juga
bobot badan besar ataupun pada galur yang dipengaruhi oleh waktu generasi seleksi
memiliki bobot badan kecil. Aggrey et.al. (Marks, 1985). Marks (1996), melaporkan
(2003), juga telah melakukan penelitian bahwa nilai heritabilitas bobot badan puyuh
seleksi jangka panjang bobot badan 4 hasil seleksi jangka panjang dan jangka
minggu pada dua galur puyuh yang berbeda pendek menunjukkan nilai yang berbeda,
menghasilkan respon yang tidak simetris selain itu perbedaan nilai heritabilitas juga
pada galur (line) yang memiliki bobot badan dipengaruhi oleh galur yang berbeda (galur
besar dan kecil. Hasil seleksi jangka panjang bobot badan berat dan ringan) dan
untuk peningkatan bobot badan 4 minggu lingkungan (pakan).
pada puyuh dipengaruhi oleh perbedaan Warwick et.al. (1983), menyatakan
jenis kelamin heritabilitas akan menentukan perubahan
Komponen ragam merupakan faktor pada sifat yang diseleksi (respon seleksi),
penting dalam pendugaan parameter korelasi genetik akan mempengaruhi
genetik diantaranya heritabilitas, korelasi perubahan genetik sifat lain yang tidak
genetik (Van der Werf dan Boer, 1990). Juga diseleksi (respon terkorelasi). Makin tinggi
digunakan untuk perancanaan program korelasi genetik, makin besar perubahan
pemuliaan serta interpretasi mekanisme yang terjadi pada sifat yang berkorelasi.
genetik sifat-sifat kuantitatif (Henderson, Korelasi genetik dapat berubah dalam
1986). Heritabilitas dan ragam aditif dapat populasi yang sama selama beberapa
berubah setiap waktu karena beberapa generasi apabila ada seleksi yang intensif.
alasan, salah satunya adalah seleksi. Melalui Nilai pendugaan korelasi genetik hanya
seleksi secara langsung, heritabilitas dan berlaku pada populasi di mana nilai tersebut
ragam aditif suatu sifat akan menurun diestimasi dan pada kurun waktu tertentu
(Bulmer, 1971). pula.
Secara teori, nilai heritabilitas Pendugaan korelasi genetik
berkisar antara nol sampai dengan satu, beberapa sifat produksi pada unggas telah
37
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…
38
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Tabel 1.
Nilai rataan, standar deviasi, dan KK sifat produksi puyuh hasil seleksi selama 21
generasi.
39
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…
Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan. Hal ini disebabkan
keragaman sifat produksi pada puyuh karena sifat jumlah telur tidak menjadi
selama 21 generasi seleksi sangat bervariasi. kriteria seleksi, sedangkan bobot telur
Keragaman tertinggi terdapat pada sifat merupakan kriteria seleksi pada kedua
jumlah telur, sedangkan keragaman paling galur. Juga menunjukkan bahwa seleksi
rendah adalah pada sifat bobot telur 11 memberikan pengaruh terhadap penurunan
minggu pertama dan 12 minggu terakhir. keragaman dari sifat yang diseleksi. Seleksi
Selama 21 generasi seleksi, bobot telur yang kecil lebih menunjukkan
keragaman sifat produksi yang diseleksi tingkat keragaman fenotip yang lebih kecil
pada puyuh mengalami penurunan dari dibanding dengan bobot telur yang besar. Ini
generasi ke generasi seleksi, kecuali pada menunjukkan bahwa seleksi negatif lebih
sifat JT200 masih menunjukkan fluktuasi cepat mencapai keseragaman.
yang cukup tinggi dan bahkan cenderung
25
20
15
KK (%)
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi
Gambar 1.
Koefisien keragaman sifat produksi pada puyuh galur 1 selama 21 generasi seleksi
40
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
30
25
20
KK (%)
15
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Generasi
Gambar 2.
Koefisien keragaman sifat produksi pada puyuh galur 2 selama 21 generasi seleksi
230
210
Rataan Bobot Badan (g)
G1_BB42B
190
G1_BB42J
G2_BB42B
170
G2_BB42J
G1_BB200B
150
G1_BB200J
G2_BB200B
130 G2_BB200J
110
90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi
Gambar 3.
41
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…
140
135
130
125
Jumlah (butir)
120 Galur 1
115 Galur 2
110
105
100
95
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi
Gambar 4.
Rataan JT200 selama 21 generasi seleksi
14.5
14
13.5
13
Bobot telur (g)
12.5
12
11.5
11
10.5
10
9.5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi
G1_BT11 G1_BT12 G2_BT11 G2_BT12
Gambar 5.
Rataan bobot telur puyuh selama 21 generasi seleksi
42
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
350.00
300.00
250.00
Ragam (Gram)
G1_BB42
200.00 G2_BB42
150.00 G1_BB200
G2_BB200
100.00
50.00
0.00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21
Generasi
Gambar 6.
Ragam aditif sifat bobot badan pada puyuh selama 21 generasi seleksi
1.20
1.00
0.80
Ragam (Gram)
G1_BT11
G1_BT12
0.60
G2_BT11
0.40 G2_BT12
0.20
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi
Gambar 7.
Ragam aditif sifat bobot telur pada puyuh selama 21 generasi seleksi
43
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…
700.00
600.00
500.00
Ragam (Butir)
400.00 G1_JT200
300.00 G2_JT200
200.00
100.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Generasi
Gambar 8.
Ragam aditif sifat jumlah telur pada puyuh selama 21 generasi seleksi
44
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Tabel 2.
Nilai heritabilitas±SE sifat produksi pada puyuh selama 21 generasi seleksi
Kelompok Sifat
Pada jantan dan betina Hanya pada betina
Galur BB42 BB200 JT200 BT11 BT12 BB200B BB42B
1 0,52±0,02 0,67±0,04 0,11±0,02 0,01±0,01 0,09±0,06 0,32±0,06 0,58±0,01
2 0,37±0,01 0,04±0,01 0,09±0,01 0,42±0,02 0,35±0,02 0,04±0,01 0,07±0,01
Tabel 3.
Korelasi genetik sifat produksi puyuh betina hasil seleksi selama 21 generasi
45
Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…
Kuswahyuni I.S. 1989. Respon Seleksi Jangka Nestor K.E., Bacon W.L., Anthony N.B.,
Pendek Bobot Badan Umur Empat Noble D.O. 1996. Divergent
Minggu Terhadap Penampilan Selection for Body Weight and Yolk
Produksi dan Reproduksi Burung Precursor in Coturnix coturnix
Puyuh. [Disertasi].FPS, IPB. Bogor. japonica. 10 Response to Selection
Over Thirty Generations. Poultry
Lasley L.J. 1978. Genetics of Livestock Sci., 75: 303-310.
Improvement. 3 rd Edition. New
Delhi: Prentice-Hall of India Private Preston T.R., Willis M.B. 1974. Intensive
Limited. Beef Production. Second Ed. New
York: Pergamon Press Inc.
Maeda Y., Minvielle F., and Okamoto S.
1997. Changes of Protein Quass R.L. 1988. Additive Genetics Model
Polymorphism in Selection Program Withgroups and Relationships.
for Egg Production in Japanese J.Dairy Sci., 71:1338.
Quail, (Coturnix coturnix
japonica). Japanese Poultry Science, Saatci M., Dewi I.A.P., Aksoy A.R.,
34: 263-272. Kirmizibayrak T. 2003. Aplication of
REML Procedure to Estimate the
Marks H. L. 1985. Direct and Correlated Genetic Parameter of Weekly
Responses to Selection forgrowth.. Liveweights in One-to-One Sir and
Dalam Poultry Genetics and Dam Pedigree Recorded Quail.
Breeding. Hill W.G., Manson J.M., J.Anim.Breed.Genet, 120: 23-28.
Hewit D., ed. Longmangroup
Limited, Harlow UK. Hal. 47-57 SAS. 1996. SAS User’s Guide: Statistics.
Cary, NC USA: SAS Institute Inc.
Marks H. L. 1996. Long-Term Selection for
Body Weight in Japanese Quail Schuler L., Mielenz N., Hempel S. 1998.
Asymetry of Selection Respons in
46
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
47
Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...
Abstract: The objective of this experiment was to study The Comparison Between
Keluih (Artocarpus communis) and Bread-Fruit (Artocarpus altilis) To Quality of Abon
Cow.
This research conducted in Laboratorium Teknologi Food, Technological Majors of
Agriculture, Faculty of Agriculture, University North Sumatra, Medan. The objective of
this research was to know substitution materials type and comparison of correct
substitution level to quality of cow abon.
This research is conducted by using completely randomized design method (CRD) which
consist of 2 factor such as first factor is S (substitution materials) where S0 = meat of
cow + keluih, and S1 = meat of cow + bread-fruit. The second factor is L (comparison of
substitution level) where L0 = 100%: 0%, L1 = 75%: 25%, L2 = 50%: 50% and L3 = 25%: 75%,
treatment combination counted 2 x 4 by 3 replication.
The result of research that different substitution materials were increasing to masture
(%) (10.03 and 11.00, respectively), to crude protein (%) (28.68 and 30.77,
respectively),and was decreasing to taste (numerik) (2.78 and 2.41, respectively),
colour (numerik) (2.87 and 2.51, respectively) and texture (numerik) (2.72 and 2.28,
respectively) but non significant (P>0.05) with fat rate.
Comparison of different substitution level was decreasing to masture (%) (12.70,
11.83, 10.17 and 7.67, respectively), to crude protein (%) (38.65, 35.15, 29.05 and
16.03, respectively), to taste (numerik) (3.01, 2.92, 2.40 and 2.05, respectively), to
colour (numerik) (2.87, 2.83, 2.69 and 2.36, respectively), and to texture (numerik)
(2.94, 2.68, 2.33 and 2.06, respectively), but was increasing to fat rate (%) (18.25,
20.86, 25.74 and 28.45, respectively).
Interaction between substitution materials and comparison of different substitution
level was decreasing to crude protein (%) (38.40, 34.50, 25.75, 16.53 / 38.90, 35.80,
32.83 and 15.53, respectively), to taste (numerik) (3.13, 2.97, 2.58, 2.44 / 2.89, 2.86,
2.22 and 1.66, respectively), to colour (numerik) (3.02, 2.97, 2.80, 2.69 / 2.72, 2.69,
2.58 and 2.03, respectively), and to texture (numerik) (3.13, 2.72, 2.52, 2.50 / 2.75,
2.63, 2.13 and 1.61, respectively), but non significant (P>0.05) to masture and fat
rate.
Keluih can be used as substitution materials because owning more compared to
excellence is bread-fruit with best substitution level is 25%.
Key words: keluih, bread-fruit, abon and crude protein
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji perbandingan antara keluih
(Artocarpus communis) dan sukun (Artocarpus altilis) terhadap kualitas abon sapi.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui jenis bahan substitusi dan perbandingan level substitusi
yang tepat terhadap kualitas abon sapi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL)
yang terdiri dari 2 faktor yaitu faktor S (bahan substitusi) di mana S0 = keluih dan S1 =
sukun dan faktor L (perbandingan level substitusi) di mana L0 = 100%: 0%, L1 = 75%: 25%,
L2 = 50%: 50%, dan L3 = 25%: 75%. kombinasi perlakuan sebanyak 2 x 4 dengan 3 ulangan.
48
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Hasil penelitian diperoleh bahwa bahan substitusi yang berbeda berpengaruh nyata
(P<0.05) terhadap kadar air dan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar
protein, rasa, warna, dan tekstur, tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kadar
lemak sedangkan perbandingan level substitusi yang berbeda berpengaruh sangat nyata
terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak, rasa, warna, dan tekstur. Interaksi
antara bahan substitusi dan perbandingan level substitusi yang berbeda berpengaruh
nyata terhadap kadar protein, rasa, warna, dan tekstur tetapi tidak berbeda nyata
terhadap kadar air dan kadar lemak. Keluih dapat digunakan sebagai bahan substitusi
karena memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan dengan sukun dengan level
substitusi yang terbaik adalah 25%.
Kata kunci: keluih, sukun, abon, dan protein kasar.
49
Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...
Banyak ulangan yang diperoleh sebanyak 3 S0L3 7.40tn 16.53e 28.45tn 2.44d 2.69b 2.50c
ulangan. S1L0 12.67 tn
38.90 a
18.20tn
2.89b
2.72b
2.75b
S1L1 11.60tn 35.80b 21.15tn 2.86b 2.69b 2.63c
Model Rancangan S1L2 tn c tn d b
10.67 32.83 25.60 2.22 2.58 2.13d
Model rancangan yang digunakan
S1L3 7.93 tn
15.53e
28.45tn
1.66e
2.03 c
1.61d
adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Υijk = μ + αi +βj + (αβ) ij + ∈ijk Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf 5%.
Parameter Penelitian tn = tidak nyata
a. Kadar Air
b. Kadar Protein 1. Kadar air
c. Kadar Lemak Semakin tinggi level keluih atau
d. Uji organoleptik (rasa, warna, dan sukun, kadar airnya semakin menurun. Hal
tekstur) ini disebabkan keluih dan sukun lebih mudah
kering selama proses pemanasan
Prosedur Penelitian dibandingkan dengan daging sapi, dan juga
1. Daging direbus sampai sampai lunak, sifat protein daging sapi yang mampu
sewaktu merebus dimasukkan menahan airnya selama proses pemanasan
potongan pepaya muda agar daging berlangsung. Penurunan ini menunjukkan
mudah lunak. pengaruh yang tidak berbeda nyata
2. Keluih dan sukun dikupas, terhadap kadar air.
dibersihkan, lalu diparut.
3. Daging ditumbuk kemudian dicabik- 2. Kadar protein
cabik, ditumbuk lagi, lalu disuir- Semakin tinggi level daging sapi
suir. semakin tinggi kadar protein abon yang
4. Bumbu dihaluskan, santan diperas dihasilkan, hal ini disebabkan oleh karena
langsung tanpa air (1kg daging: 1 protein daging sapi lebih tinggi daripada
butir kelapa). keluih dan sukun. Jika dilihat dari komposisi
5. Campurkan bumbu, keluih atau daging sapi kadar proteinnya mencapai
sukun, daging, dan santan diaduk 18.8% (Direktoratgizi,1981).
sampai santan kering.
6. Goreng dengan minyak panas sambil 3. Kadar lemak
terus diaduk sampai daging Semakin tinggi level keluih atau
berwarna coklat, kemudian tiriskan sukun semakin tinggi pula kadar lemaknya.
dan peras minyak berlebihan dengan Keluih dan sukun merupakan buah yang
peniris sentrifugal. mempunyai karbohidrat yang tinggi
(Baliwati dkk., 2004) serta merupakan
Hasil dan Pembahasan bagian dari karbohidrat kompleks
(polisakarida). Serat inilah yang
Rekapitulasi hasil penelitian dapat menyebabkan naiknya kadar lemak pada
dilihat pada Tabel 1. berikut ini. abon dengan level substitusi keluih atau
sukun yang semakin besar, di mana menurut
Tabel 1. Muchtadi (2000) menyatakan bahwa serat
Rekapitulasi hasil penelitian pangan mempunyai karakteristik
mengabsorbsi lemak minyak.
50
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
51
Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...
52
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Usman Budi
* Staf Pengajar Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara
Abstract: Research was conducted to study the influence of milking interval of Etawah
Cross-bred in post-partum sexual activity in Indonesian Animal Production Research
Institute (IANPRI), Ciawi, Bogor and Faculty of Animal Husbandry IPB, Bogor from
October, 2000 to May, 2001. 5-7 years of 18 heads of Etawah Cross-bred weregrouped
of body weight for threegroups. All samples have received same feed and
management. The randomized complete block design was used with there were three
treatments, (1) 12 hours of milking interval, (2) 16:8 hours of milking interval, and (3)
24 hours of milking interval. According to data processing, all treatments did not
shown significantly difference on concentration of progesterone hormone, post-partum
estrous, percentage of pregnant and litter size, however milking interval 16:8 shown
inclination faster more than another treatment on post-partum estrous. Feed
consumption of etawah cross-bredgoats at all treatments did not also show
significantly different. The result of this reseach indicated that no significant effect of
milking intervals on post-partum sexual activity of etawah cross-bredgoats.
Key words: milking interval, sexual activity, post partum,goat, etawah cross-bred.
53
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
54
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
dibersihkan, tiap petak kandang diberi beranak dengan cara mengamati tanda-
nomor yang sesuai dengan nomor yang ada tanda berahi yang terjadi pada ternak dan
pada ternak. Untuk rancangan acak melihat tingkah laku ternak tersebut. Hal ini
kelompok, masing-masing ternak sesuai dengan yang dikemukakan oleh
ditempatkan pada kandang individu dan Prasad (1979) bahwa ditemukan sebanyak 17
diberi perlakuan secara acak. Adapun ekor induk kembali berahi setelah beranak
interval pemerahan yang digunakan pada dalam waktu 5 sampai 20 hari, walaupun
penelitian ini ada tiga, yaitu: (a) Pemerahan beberapa sumber lain menyatakan bahwa
yang dilakukan dengan interval selama 12 timbulnya berahi setelah beranak beragam
jam dalam sehari (2 kali pemerahan sehari), mulai dari satu sampai tiga bulan ataupun
yaitu pemerahan dilakukan pada pukul lebih lama lagi.
06.00 Wib dan pukul 18.00 Wib (b) Persentase kebuntingan diamati
Pemerahan yang dilakukan dengan setelah dihentikan pemerahan (empat bulan
perbandingan 16:8 jam (2 kali sehari) dalam setelah beranak) dan setiap ternak
arti 16 jam interval pemerahan sebelum dikawinkan sebanyak dua kali menggunakan
dilakukan pemerahan pukul 06.00 WIB kambing PE jantan (kawin alam) saat ternak
kemudian 8 jam interval pemerahan diketahui berahi. Selanjutnya dilakukan
sebelum dilakukan pemerahan pukul 14.00 pemeriksaan kebuntingan dengan cara
WIB (c) Pemerahan yang dilakukan dengan melihat timbul atau tidaknya kembali berahi
interval selama 24 jam dalam sehari (1 kali ternak setelah proses perkawinan tersebut.
pemerahan sehari), yaitu pada pukul 06.00 Persentase kebuntingan diperoleh dari
WIB. jumlah ternak yang bunting setelah
Sampel darah diambil setiap dua dikawinkan dibagi dengan jumlah ternak
minggu pada awal laktasi sampai akhir yang dikawinkan.
laktasi dengan alat suntik steril dari vena Jumlah anak sekelahiran diamati
jugularis sebanyak 10 ml dimasukkan ke dengan menghitung banyaknya anak yang
dalam tabung gelas yang diberi tutup karet lahir dari setiap induk yang beranak pada
kemudian ditempatkan pada termos berisi seluruh induk yang diteliti. Bobot lahir
es dan dibawa ke laboratorium untuk ditimbang dengan menimbang bobot anak
dianalisis kadar hormon progesteron dengan yang baru lahir per ekor dalam kilogram.
metode RIA di Balai Penelitian Ternak, Selanjutnya diamati juga jenis kelamin anak
Ciawi. yang dilahirkan untuk melihat apakah
Peubah yang diamati adalah perlakuan interval pemerahan berpengaruh
kandungan hormon progesteron di dalam pada rasio jenis kelamin anak yang
darah, timbulnya berahi setelah beranak, dilahirkan.
persentase kebuntingan, jumlah anak Konsumsi pakan harian
sekelahiran (litter size), dan bobot lahir dalamg/BK/hari ditentukan dengan cara
anak. Selain itu diukur juga konsumsi pakan. menimbang pakan yang diberikan per hari
Kandungan hormon progesteron ini dikurangi dengan sisanya, jenis pakan yang
diukur setiap dua minggu sekali yang digunakan dianalisis kandungan zat
dimulai setelah ternak beranak sampai makanannya dengan cara mengambil sampel
berakhirnya laktasi pada penelitian ini. harian untuk analisis proksimat.
Sampel darah 10 ml diambil dari vena Pengujian statistik terhadap
jugularis dengan menggunakan alat suntik parameter kuantitatif yang diukur
steril pada pagi hari (Ryley, 1983; menggunakan analisis sidik ragam atas dasar
Subhagiana, 1998). Sampel darah rancangan acak kelompok nonfaktorial
dimasukkan ke dalam termos es atau wadah menurut Steel dan Torrie (1991) dan
berisi es, selama beberapa jam dibiarkan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil
menggumpal. Kemudian serum dipisahkan (BNT).
dengan cara sentrifugasi pada kecepatan
2500-3000 rpm selama 30 menit di Hasil dan Pembahasan
laboratorium. Serum disimpan dalam tabung
plastik kecil dalam keadaan beku sampai Kandungan Hormon Progesteron di Dalam
diadakan analisis hormon progesteron yang Darah
diukur dengan metode “Radioimmunoassay” Kandungan hormon progesteron
(RIA) teknik fase padat (Diagnostic Products kambing PE dalam penelitian ini pada
Corporation, Los Angeles, CA). perlakuan interval pemerahan 12 jam (IP
Timbulnya berahi setelah beranak 12), interval pemerahan 16:8 jam (IP 16:8)
diamati kira-kira satu minggu setelah ternak dan interval pemerahan 24 jam (IP 24)
55
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
masing-masing adalah 0,125 – 2,4 ng/ml ternak yang digunakan merupakan ternak
dengan rataan 1,35 ± 0,82 ng/ml, 1,047 – yang dipakai pada penelitian-penelitian
2,71 ng/ml dengan rataan 1,75 ± 0,6 ng/ml tersebut, sehingga pengamatan kandungan
dan 0,81 – 3,07 ng/ml dengan rataan 2,08 ± hormon progesteron dengan pengambilan
0,47 ng/ml. Hasil analisis data menunjukkan darah pada setiap ternak melanjutkan
bahwa interval pemerahan tidak nyata pengambilan darah pada penelitian
mempengaruhi kandungan hormon sebelumnya.
progesteron di dalam darah kambing PE. Pada gambar 1 (interval pemerahan
Pola umum kandungan hormon progesteron 12 jam) dapat dilihat bahwa permulaan
pada masing-masing perlakuan disajikan terjadinya siklus, dengan terlihat adanya
pada gambar 1, 2, dan 3. peningkatan kandungan hormon
Secara umum, awal pengamatan progesteron, bervariasi pada masing-masing
kandungan hormon progesteron dalam ternak yaitu dari 28 – 81 hari setelah
penelitian ini pada masing-masing ternak beranak. Pada gambar 1 terlihat ada dua
tidak sama, bervariasi dari 1 – 14 hari ternak yang tidak menunjukkan siklus
setelah beranak dan selanjutnya diamati dengan tidak terlihatnya peningkatan
setiap dua minggu sekali. Hal ini terjadi kandungan hormon progesteron dalam darah
karena penelitian ini adalah lanjutan dari yaitu pada grafik keempat dan grafik
penelitian-penelitian sebelumnya dan kelima.
Grafik 1
Grafik 2
Grafik 3
Grafik 4
Grafik 5
Grafik 6
Gambar 1.
Konsentrasi progesteron secara individual pada IP 12
56
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Grafik 1
Grafik 2
Grafik 3
Grafik 4
Grafik 5
Gambar 2.
Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 16:8
Grafik 1
Grafik 2
Grafik 3
Grafik 4
Gambar 3.
Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 24
57
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
58
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Tabel 5.
Rataan Berahi Setelah Beranak, Persentase Kebuntingan, Jumlah
Anak Sekelahiran, dan Bobot Lahir Anak Kambing PE
59
Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...
anak kambing PE dalam penelitian ini induk peranakan Etawah yang umurnya
dibandingkan dengan penelitian relatif lebih muda dan jumlah sampel yang
sebelumnya, kemungkinan disebabkan ada cukup, agar responsnya terhadap perlakuan
induk yang anaknya mati saat dilahirkan dan yang diberikan lebih akurat, sehingga
bobot lahir anak yang lahir tersebut (2 ekor) hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil
relatif ringan, sehingga mengurangi rataan dari penelitian ini dan jika memungkinkan
bobot lahir anak kambing PE secara perlu kiranya menambah perlakuan dengan
keseluruhan dalam penelitian ini. frekuensi pemerahan tiga kali dalam sehari.
Kemungkinan lain adalah pakan yang
diberikan kepada induk yang sedang bunting Daftar Pustaka
kurang mencukupi kebutuhannya, sehingga
berakibat rendahnya bobot lahir anak. Adiati, U., Hastono, R. S. G. Sianturi, T. D.
Chaniago, dan I. K. Sutama. 1997.
Konsumsi Pakan Sinkronisasi Berahi Secara Biologis
Konsumsi pakan kambing PE pada Pada Kambing PE. Pros. Seminar
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Nasional Peternakan dan Veteriner
Dari hasil analisis data ternyata bahwa II: 411-416.
interval pemerahan tidak mempengaruhi
secara nyata terhadap konsumsi pakan. Devendra, C. and C. B. Mc. Leroy. 1980.
Namun dari rataan terlihat bahwa konsumsi Goat and Sheep Production in The
pakan paling tinggi terdapat pada perlakuan Tropics. Intermediate Tropical
interval pemerahan 24 jam yaitu sebesar Agriculture Series. London. New
1194.22gBK/hari. York. Singapore: First Publ.
Dari data konsumsi pakan diperoleh Longmans.
bahwa konsumsi bahan kering dibandingkan
dengan bobot badan pada perlakuan IP 12, Devendra, C. dan M. Burns. 1983. Produksi
IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2.7, Kambing di Daerah Tropis.
2.85, dan 2.86%. Hasil ini sesuai dengan Penerjemah IDK Harya Putra.
penelitian Devendra dan Leroy (1980) bahwa Bandung: Institut Teknologi
kambing Etawah serta bangsa kambing Bandung.
perah mengkonsumsi bahan kering harian
bervariasi dari 2.0 – 4.7% dari bobot badan Maryati, T. dan L. Nunik. 1990. Penentuan
atau setara dengan konsumsi sebesar 41.1 – Kandungan Hormon Progesteron
131.1g/kg bobot badan0.75 per hari Dalam Darah dan Susu Pada Ternak
Kambing dan Sapi. Risalah
Kesimpulan dan Saran Pertemuan Ilmiah Pusat Aplikasi
Radio Isotop. BATAN. Jakarta.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan Ryley, J. W. 1983. Collection of Samples for
tersebut di atas, dapat diambil beberapa Laboratory Investigation. In: Dairy
kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: Cattle Research Techniques. Edited
1. Interval pemerahan 16:8 jam dapat by J. H. Ternouth. Quensland Dept.
meningkatkan produksi susu 32.82% of Primary Industries. Brisbane,
pada kambing peranakan Etawah Australia.
dibandingkan dengan interval
pemerahan 12 jam. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991.
2. Komposisi susu tidak terpengaruh Prinsip dan Prosedur Statistika:
dengan perlakuan interval pemerahan. Suatu Pendekatan Biometrik. Alih
3. Efisiensi produksi susu pada perlakuan Bahasa B. Sumantri. Ed. Jakarta:
interval pemerahan 16:8 jam lebih baik Gramedia Pustaka Utama.
dari dua interval pemerahan lainnya.
4. Aktivitas seksual setelah beranak pada Subhagiana, I. W. 1998. Keadaan
kambing peranakan Etawah tidak Konsentrasi Progesteron dan
terpengaruh dengan perlakuan interval Estradiol Selama Kebuntingan,
pemerahan. Bobot Lahir dan Jumlah Anak Pada
Kambing Peranakan Etawah Pada
Saran Tingkat Produksi Susu yang
Perlu dilakukan penelitian lain Berbeda. [Tesis]. Bogor: Institut
dengan menggunakan kambing-kambing Pertanian Bogor, Program
60
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
61
Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...
Abstract: This research aim to give of temulawak flour in ransum to carcass quality (colour,
tekstur and pH) broiler 6 week old. This experiment was arranged by completely random
design (CDR) which consists of 5 treatments and 4 replications, and each replication consist
of 5 chickens. The parameter in this experiment are meat colour, meat teksture, and meat
pH. The result of research obtained of temulawak flour until level 4% in ransum not
significant (P>0.05) to meat colour, meat teksture and meat pH.
Key words: diet, temulawak flour, meat colour, meat teksture, meat pH.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji pemberian tepung temulawak dalam ransum
terhadap kualitas karkas (warna, tesktur, dan pH) ayam broiler umur 6 Minggu. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), terdiri dari 5 perlakuan 4
ulangan, dan setiap ulangan terdiri atas 5 ekor ayam. Parameter yang diukur adalah warna
daging, tekstur daging, dan pH daging. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pemberian
tepung temulawak sampai level 4% dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
warna daging, tekstur daging, dan pH daging.
Kata kunci: ransum, tepung temulawak, warna daging, tekstur daging, pH daging.
62
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Tabel 1.
Formula Ransum Broiler Periode Starter
Bahan Pakan R0 R1 R2 R3 R4
Jagung K 56.25 56.00 55.00 55.00
kuning
Dedak O 4.25 5.00 5.00 3.75
Bungkil M 22.00 22.00 22.00 21.50
kedelai
Bungkil E 4.50 3.50 3.00 3.75
kelapa
Tepung ikan R 10.00 10.00 10.00 10.00
Top mix S 0.75 0.50 1.00 1.00
Minyak I 1.25 1.00 1.00 1.00
Nabati
Temulawak L 1.00 2.00 3.00 4.00
Total 100.00 100.00 100.0 100.00
63
Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...
Tabel 2.
Formula Ransum Broiler Periode Finisher
Bahan Pakan R0 R1 R2 R3 R4
Jagung kuning K 58.50 58.50 58.00 58.00
Dedak O 5.50 5.50 5.00 4.00
Bungkil kedelai M 17.00 17.00 17.00 17.00
Bungkil kelapa E 6.00 5.00 4.50 4.50
Tepung ikan R 10.00 10.00 10.00 10.00
Top mix S 0.50 0.50 1.00 1.00
Minyak Nabati I 1.50 1.50 1.50 1.50
Temulawak L 1.00 2.00 3.00 4.00
Total 100.00 100.00 100.0 100.00
Protein (%) 19.93 19.92 19.90 19.97
Lemak (%) 4.23 4.30 4.28 4.22
Serat Kasar (%) 3.85 4.00 4.06 4.13
EM (kkal/kg) 3023.64 3044.70 3047.01 3064.56
64
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
3.1
3.09
3.05
3.04 3.04
3
2.98 2.99
2.95
2.9
R0 R1 R2 R3 R4
Grafik 2.
Tekstur Daging Ayam Broiler Umur 6 Minggu
4.46
4.44 4.44
4.42
4.4 4.4
4.38
4.36 4.36 4.36
4.34 4.35
4.32
4.3
4.28
R0 R1 R2 R3 R4
65
Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...
Dari uji regresi linier diperoleh daging menjadi putih kekuningan dan
persamaan regresi linier: Y = 4,448 – 0,002X, tekstur daging semakin halus.
yang berarti setiap penambahan 1% tepung
temulawak dalam ransum menyebabkan Daftar Pustaka
penurunan nilai tekstur sebesar 4,446
(tekstur daging menjadi lebih halus). Bakrie, B., Andayani, B., Yanis, M.,
Purnomo, H. A., M. Nur, dan D.
pH Daging Zaenuddin. 2002. Teknologi
pH daging broiler merupakan hasil Pemberian Jamu Pada Ayam
pengukuran potongan karkas yang telah Buras Potong. [www.document]
dilumatkan dan diukur dengan menggunakan URL http://www.Jakarta
pH meter. Hasil yang diperoleh dapat dilihat Litbang. Deptan.go id/ Infotek 02
pada Tabel 5. pn Jamu. Htm. (2002).
Tabel 5. Rataan pH Daging Ayam Broiler Biofarmaka. 2002. Tanaman Obat dan
Umur 6 Minggu Khasiatnya. [www.document]
URL http://www.Jakarta.
Perlakuan Rataan Standar Litbang. Deptan.go. id/Pustaka/
Deviasi
aTekno pro/ kaflet/2034. Html.
R0 6.11 + 0.15
R1 6.17 + 0.24
R2 6.16 + 0.27 Hanafiah, K. A. 2002. Rancangan Percobaan.
R3 6.20 + 0.13 Jakarta: Rajagrafindo Persada.
R4 6.13 + 0.24
Liang, B. O., Apsarkon.Y., Widjaja.T. 1985.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa pH Darya Varia Laboratoria.
daging ayam broiler yang diberi tepung Simposium Nasional Temulawak.
temulawak dalam ransum sampai level 4% UNPAD, Bandung.
berkisar 6,11 – 6,20. Daging ayam broiler
segar/mentah tanpa pendinginan yang baru Maheswari, H. 2002. Pemanfaatan Obat
disembelih pHnya berkisar 6,02- 6,39. Hal Alami. [Karya Ilmiah]. IPB, Bogor.
ini didukung oleh Thornton dangracey (1974)
disitir Siregar dan Siswani (1988) bahwa Mangisah, I. 2003. Pemanfaatan Kunyit
variasi pH terjadi antara lain disebabkan (Curcuma Domestica) dan
tipe/bagian urat daging, kadar glikogen Temulawak (Curcuma
dalam jaringan, jenis, dan jumlah Xanthorrizha Roxb) Upaya
mikroorganisme awal serta penyebarannya Menurunkan Kadar Kolesterol
dalam daging. Daging Ayam Broiler.
Berdasarkan hasil analisis statistik [www.document] URL
ternyata pemberian tepung temulawak http://www. Balitbang Jateng.go
dalam ransum sampai level 4% tidak id/ cari php? Kunci=12
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pH
daging ayam broiler. Hal ini disebabkan Priyatno, M. A. 2003. Mendirikan Usaha
interval dari level pemberian tepung Pemotongan Ayam. Jakarta:
temulawak dalam ransum tidak berbeda Penebar Swadaya.
jauh sehingga pH daging yang diperoleh
tidak berbeda nyata (tidak bervariasi). Hal Sinar Harapan. 2002. Temulawak.
ini didukung oleh pendapat Soeparno (1994) [www.document] URL
bahwa faktor-faktor yang dapat http://www.Sinar Harapan.
menghasilkan variasi pH daging adalah stress co.id/Iptek/Kesehatan/2002/074
sebelum pemotongan, pemberian obat- /kes2 html.
obatan, spesies dan individu ternak.
Siregar dan Siswani. 1988. Pengaruh Waktu
Kesimpulan dan Suhu Penyimpanan Terhadap
Pembusukan Daging Sapi.
Pemberian tepung temulawak Penemuan Ilmiah Ruminansia.
dalam ransum sampai level 4% tidak Cisarua, Bogor.
berpengaruh terhadap warna, tekstur, dan
pH daging. Walaupun demikian, perlakuan Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging.
tersebut cenderung meningkatkan warna Yogyakarta: UGM Press.
66
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Abstract: This research aimed at testing the response of mixed pasture with the increase in
various levels of the shades as well as his interaction towards the production of the wet
weight, the production of the dry matter of suitables. The research plan that was used was
the Split Plot design (RPT) with two treatment factors. The first factorgiving of the shades
(N) consisted of three levels that is: N0 = without the shade, N1 = the shade 55%, N2 = the
shade 75%. The factor of the two mixed pastures consisted of 4 pastures that is P0 =
Calopogonium mucunoides + Pueraria javanica + Calopogonium caeruleum, P1= Digitaria
milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium muconoides, P2 =
Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium
caeruleum, P3 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum +
Arachisglabarata.
The use of various levels of the shades was non significantly different (P>0,01) towards the
production of the wet weight and the production of the dry matter, whereas the treatment
with influential mixed pasture significantly different (P<0,01) towards the production of the
wet weight and the production of the dry matter. And the interaction between the
treatment was non significantly different (P>0,01) towards the production of the wet weight
and the production of the dry matter. Mixed pasture that produced the production of the
wet weight and the production of the dry matter that highest in this research was P3
(Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata).
Key words: mixed pasture, shades, production of the wet weight, production of the dry
matter.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji respon pastura campuran dengan
penambahan berbagai level naungan serta interaksinya terhadap produksi bahan segar,
produksi bahan kering hijauan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak
Terbagi (RPT) dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama pemberian naungan (N) terdiri
dari tiga taraf yaitu: N0 = tanpa naungan, N1 = naungan 55%, N2 = naungan 75%. Faktor kedua
pastura campuran terdiri dari 4 pastura yaitu P0 = Calopogonium mucunoides + Pueraria
javanica + Calopogonium caeruleum, P1= Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis +
Paspalum notatum + Calopogonium muconoides, P2 = Digitaria milanjiana +
Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium caeruleum, P3 = Digitaria
milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata. Penggunaan
berbagai tingkat naungan tidak berpengaruh nyata (P>0,01) terhadap produksi bahan segar
dan produksi bahan kering, sedangkan perlakuan dengan pastura campuran berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi bahan segar dan produksi bahan kering. Dan interaksi
antara perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,01) terhadap produksi bahan segar dan
produksi bahan kering. Pastura campuran yang menghasilkan produksi bahan segar hijauan
dan produksi bahan kering hijauan yang tertinggi dalam penelitian ini adalah P3 (Digitaria
milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata).
Kata Kunci: pastura campuran, naungan, produksi bahan segar, produksi bahan kering.
67
Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...
dihadapi dalam penyediaan hijauan pakan naungan (0%, 55%, dan 75%) dan untuk
adalah terbatasnya penggunaan dan menguji respon pastura campuran dengan
pemilikan lahan, karena pada umumnya penambahan berbagai level naungan serta
lahan produktif digunakan untuk tanaman interaksinya terhadap produksi bahan segar,
pangan. Pemanfaatan areal pada lahan produksi bahan kering dan kualitas hijauan.
perkebunan kelapa sawit adalah salah satu
alternatif yang dapat dilakukan untuk Bahan dan Metode Penelitian
mengatasi penyediaan hijauan pakan.
Areal lahan kelapa sawit di Penelitian dilaksanakan di Loka
Indonesia lima tahun belakangan ini Penelitian Ternak Potong Sei Putihgalang,
mengalami peningkatan. Luas areal mulai bulan Februari 2004 sampai bulan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada Agustus 2004. Metode penelitian yang
tahun 2002 di proyeksikan sekitar 3.718.541 digunakan adalah metode rancangan petak
ha (Jakarta Future Exchange, 1999). Dilihat terbagi (split plot). Pada percobaan ini
dari areal lahan kelapa sawit yang begitu terdapat 2 faktor yaitu faktor pertama yang
besar, dirasakan perlu adanya pemanfaatan dijadikan sebagai petak utama (main plot)
dari areal tersebut. Mengingat jarak tanam adalah naungan, dengan tingkat naungan
kelapa sawit (9 m x 9 m), dapat dikatakan 0%, 55%, dan 75%. Faktor kedua dijadikan
merupakan suatu lahan potensial yang sebagai anak petak (subplot) adalah 4 jenis
belum termanfaatkan dan dibiarkan begitu pastura, yaitu: P0 = penutup tanah
saja. Padahal jika ditinjau secara agronomis konvensional = Calopogonium muconoides +
dan zooteknis, disela-sela lahan pertanaman Peuraria javanica + Calopogonium
kelapa sawit dapat diusahakan budidaya caeruleum, P1 = Digitaria milanjiana +
hijauan pakan ternak dengan beberapa Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum
spesies tanaman yang tahan terhadap + Calopogonium muconoides, P2 = Digitaria
naungan. milanjiana + Stylosanthesguyanensis +
Hal yang harus diperhatikan dari Paspalum notatum + Calopogonium
pertanaman campuran rumput-leguminosa caeruleum, P3 = Digitaria milanjiana +
pada areal perkebunan adalah toleransi atau Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum
tidaknya tanaman tersebut pada naungan + Arachisglabarata, dengan jumlah ulangan
kelapa sawit. Dari hasil review yang sebanyak 3
dilaporkan oleh Wong (1990), dilaporkan Naungan dipasang setelah pengolahan
bahwa tanaman Stenotaphrum secundatum, dan pembuatan petak pada setiap blok,
Calopogonium caeruleum, Desmodium dengan tinggi 1,5 m sesuai dengan tingkat
heterophyllum, Desmodium ovalifolium transmisi cahaya yang dikehendaki yaitu 75%
adalah tanaman yang tinggi toleransinya dan 55%. Pemupukan diberikan sejumlah
terhadap naungan, sedangkan Brachiaria 200kg Urea + 100kg SP-36 + 100kg KCl
humidicola, Digitaria sp, Calopogonium (rumput) dan 100kg SP-36 + 100kg KCl
muconoides, Centrocema pubescens, (legum) per tahun/hektar. Pupuk SP-36 dan
Peuraria phaseloides adalah tanaman yang KCl diaplikasikan pada saat tanam
sedang toleransinya terhadap naungan, dan (seluruhnya), pupuk urea dibagi menurut
Stylosanthes quianensis merupakan tanaman jumlah panen + awal, aplikasikan dengan
yang rendah toleransinya terhadap naungan. jumlah merata. Penanaman dilakukan
Pertumbuhan spesies-spesies dengan mempergunakan bahan tanam
pastura sangat nyata bergantung pada sobekan rumput dan biji leguminosa. Jarak
cahaya lingkungan dan biasanya kualitas tanam untuk rumput 20 x 20 cm, sedangkan
energi cahaya yang tersedia sangat erat dan untuk legum ditanam di antara tanaman
berhubungan positif. Namun demikian, rumput dengan jarak yang sama.
beberapa studi pada kondisi di mana Pemotongan dilakukan pada saat
ketersediaan N dalam tanah sangat tanaman berumur 1 bulan, dimaksudkan
terbatas, ternyata ditemukan produksi untuk menyeragamkan pertumbuhan.
biomasa tertinggi pada perlakuan naungan Pemotongan rumput dan legum dilakukan
yang sedang dibanding pada kondisi sesuai dengan perlakuan umur pemotongan
terbuka. Pengaruh ini nyata disertai dengan yaitu 6 minggu dengan interval pemotongan
konsentrasi nitrogen yang lebih banyak pada 4 kali selama penelitian. Tinggi pemotongan
jaringan tanaman (Wong dan Wilson, 1980). 20 cm di atas permukaan tanah.
Oleh karena itu perlu adanya suatu Pengamatan dilakukan terhadap parameter
penelitian untuk mengetahui sampai sejauh meliputi: produksi bahan segar dan bahan
mana toleransi kombinasi pertanaman
rumput-leguminosa terhadap berbagai taraf
68
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
kering diukur pada setiap pemotongan yang Berat Segar Berat Kering
meliputi produksi setiap panen. Perlakuan
(kg/ha) (kg/ha)
Hasil dan Pembahasan N2P1 7242,25 1530,63
N2P2 7381,35 1792,61
Hasil penelitian merupakan hasil
N2P3 9429,18 2314,17
yang diperoleh setelah dilakukan
penghitungan produksi bahan segar. Keterangan: tn = tidak nyata
Produksi bahan kering rataan hijauan Notasi yang sama pada perlakuan yang
selama 24 minggu dapat dilihat pada Tabel berbeda menunjukkan pengaruh yang tidak
1 di bawah ini. berbeda nyata
10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
Pastura Campuran
0
P P P P
Grafik 1.
Histogram produksi bahan segar(kg/ha) rataan pastura campuran selama penelitian.
69
Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...
1950
1900
1850
1800
1750
Rataan
170
0
1650
1600
1550
1500 Level Naungan
N N N
Grafik 2 .
Histogram produksi bahan kering (kg/ha) rataan level naungan
70
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Dari Grafik 2. terlihat jelas bahwa terhadap produksi bahan segar dan produksi
tingkat pemberian naungan sampai dengan bahan kering. Perlakuan pastura campuran
55% (N1) memberikan hasil rataan tertinggi P3 (Digitaria milanjiana +
pada jumlah produksi bahan kering rataan, Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum
tetapi semakin tinggi tingkat pemberian + Arachisglabarata) menaikkan produksi
naungan menyebabkan produksi bahan bahan segar dan bahan kering. Pengaruh
kering rataan semakin menurun. Penurunan interaksi antara level naungan 0%, 55%, dan
hasil bahan kering rataan pada tingkat 75% dengan pastura campuran tidak
pemberian naungan 75% diduga disebabkan berpengaruh terhadap produksi bahan segar
dengan menurunnya intensitas cahaya. dan produksi bahan kering.
Pendapat yang sama juga didukung oleh
Ludlow, et. al. (1974) yang menyatakan Saran
bahwa produksi bahan kering menurun Penggunaan pastura P3 (Digitaria
dengan adanya intensitas cahaya yang milanjiana + Stylosanthesguyanensis +
rendah pada beberapa spesies rumput dan Paspalum notatum + Arachisglabarata)
legum. Hal ini didukung oleh Ross (1995) lebih direkomendasikan dikarenakan
mengatakan bahwa cahaya merupakan salah produksi hijauannya lebih tinggi daripada
satu faktor yang mempengaruhi terbuka dan perlakuan mix pastura yang lainnya.
tertutupnya stomata. Menurunnya intensitas Walaupun penggunaan naungan tidak
cahaya akibat naungan akan mempengaruhi berpengaruh terhadap produksi hijauan,
pembukaan stomata, sehingga aktivitas tetapi disarankan menggunakan naungan
fotosintesis akan menurun. Dengan 55%, karena pada naungan ini dapat
demikian, fotosintat yang dihasilkan selama menghasilkan produksi yang optimum
tanaman dinaungi menjadi berkurang, ini dibandingkan 0% dan 75%.
akan tercermin dari rendahnya bobot kering
tanaman. Daftar Pustaka
Sedangkan dari hasil analisis sidik
ragam pastura campuran, diperoleh bahwa Anonimous, 2002. Hijauan Makanan Ternak.
pastura P3 berbeda sangat nyata dengan Medan: Loka Penelitian Ternak
pastura P0, P1, dan P2. Hal ini disebabkan Potong Sei Putih.
karena varietas pastura memberikan respon
yang berbeda pada kondisi lingkungan yang Dwijoseputro, D. 1983. Pengantar Fisiologi
berbeda dan pertumbuhan serta produksi Tumbuhan. PT Jakarta: Gramedia.
tanaman juga dipengaruhi oleh faktor- Hal 55-70.
faktorgenetis tanaman itu sendiri. Soegito,
et. al. (1992) menyatakan bahwa setiap Fitter, A. H. dan R. K. M. Hay. 1991.
varietas tanaman memiliki produksi yang Fisiologi Lingkungan Tanaman.
berbeda-beda tergantung kepada Penerjemah Sri Andani dan E.D.
sifatgenetis varietas tanaman itu sendiri. Purbayanti. Yogyakarta:Gadjahmada
Hasil analisis sidik ragam di atas University Press. Hal 53-79.
juga menunjukkan bahwa interaksi antara
tingkat pemberian naungan dengan pastura Jakarta Future Exchange. 2002. Potensi dan
campuran berpengaruh tidak nyata terhadap Produksi Kelapa Sawit di Indonesia.
parameter yang diamati. Hal ini disebabkan
tanaman memiliki sifat dan ciri tanaman Ludlow, M. M. Wilson, G. L. and M. R.
yang berbeda tapi besarnya produksi Huterust. 1974. Studies on The
tanaman juga dipengaruhi oleh tingkat Productivity of Tropical Pasture
efisiensi penggunaan cahaya yang telah Plants. Shading Ongrowth,
diserap. Hal ini sesuai dengan hasil Photosyntesis and Respiration in
penelitian Syahbuddin, et.al. (1998) Vivograsses and Two Legumes.
menyatakan bahwa setiap varietas memiliki Australian J. Agric, Research
respon yang berbeda terhadap pemberian 25:425.
naungan.
Malcom, B. W. 1992. Fisiologi Tanaman.
Kesimpulan dan Saran Penerjemah Mulyani Sutejo dan A.G.
Kartasapoetra. Jakarta: Bumi
Kesimpulan Aksara. Hal. 430-432.
Penggunaan berbagai level naungan
0%, 55%, dan 75% tidak berpengaruh
71
Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...
72
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
Abstract: The objectives of this research were to study the colour, texture, taste and
biological living of yoghurt. The yoghurt was treated with various temperature and
various kinds of milk and using Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus
thermophilus. Factorial randomized block was used and the first factor was
temperature, i.e. T1 (30°C), T2 (37°C), T3 (44°C), T4 (51°C); and the second factor was
various kinds of milk, i.e. S1 (Skim Cow Milk), S2 (Fresh Cow Milk), S3 (Full Cream Cow
Milk) and S4 (Fresh Buffalo Milk). The results showed that interaction of temperature,
i.e. 44°C with Fresh Cow Milk had highly significantly effect on texture and colour of
the yoghurt but did not effect on the taste. There were biological living in all of
different temperature of yoghurt which were indicated by coagulation in the end of
incubate process.
Key words: milk, yoghurt, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus.
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur dan jenis
susu dalam pembuatan yoghurt dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus
dan Streprococcus thermophilus terhadap warna, tekstur, rasa, dan uji biologis dari
yoghurt yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok faktorial
(RAKF) 4 x 4 dengan 2 ulangan, di mana terdapat 2 faktor perlakuan yaitu faktor
temperatur inkubasi (T) dengan taraf T1: 30°C, T2: 37°C, T3: 44°C, T4: 51°C . Faktor
berikutnya yaitu jenis susu (S) yaitu S1: penggunaan susu skim sebagai bahan dasar, S2:
susu sapi segar, S3: susu full krim, S4: susu kerbau segar. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa interaksi antara temperatur 44°C dan jenis susu sapi segar berpengaruh sangat
nyata terhadap tekstur, warna dari yoghurt yang dihasilkan dan tidak berpengaruh
nyata terhadap rasa. Pada uji biologik diperoleh hasil pengamatan bahwa pada tiap
temperatur dan jenis susu yang digunakan didapati adanya aktivitas dari bakteri biakan
yang ditandai dengan adanya penggumpalan pada masa akhir inkubasi.
Kata kunci: susu, yoghurt, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus.
73
Nurzainah Ginting dan Elsegustri Pasaribu: Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt..
dikurangi hingga 0,5% (Potter, 1986) pembentukan tekstur dan rasa yoghurt
sehingga susu ini cocok untuk bayi. Karena (Goff, 2003).
susu skim mengandung lemak yang lebih Temperatur memegang peranan penting
sedikit maka kandungan vitamin A, D, dan E bagi pertumbuhan bakteri. Dalam
juga rendah. Vitamin yang bersifat larut pengembangbiakannya dengan cara
dalam air, termasuk di dalamnya vitamin B membelah diri, bakteri memerlukan
kompleks dan asam askorbat (vitamin C) temperatur dan keadaan lingkungan
dapat ditemukan dalam susu skim. tertentu sehingga daur hidupnya dapat terus
Produk-produk olahan susu telah berjalan. Menurut Eckles (1980) pengaruh
diketahui memegang peranan penting dalam temperatur terhadap mikroorganisma dapat
makanan manusia di berbagai negara. digolongkan 3 bagian yaitu temperatur
Dengan tingkat nutrisinya yang tinggi, rendah yaitu di bawah 10°C, biasanya
produk olahan susu dapat dijadikan pertumbuhan mikroorganisma menjadi
makanan tambahan walau susu/olahannya lambat pada temperatur ini. Temperatur
hanya mewakili sekitar 10% konsumsi total sedang yaitu 10 – 43°C. Diantara susu ini
protein. Salah satu produk olahan susu akan didapati suhu optimum bagi organisma
adalah yoghurt. Yoghurt adalah susu yang secara mayoritas. Temperatur tinggi yaitu di
diasamkan melalui proses fermentasi. Hasil atas 43°C. Kebanyakan mikroorganisma mati
olahan susu ini berbentuk seperti bubur. pada temperatur sekitar dan di atas 60°C.
Yoghurt dapat menurunkan kadar kolesterol Pada penelitian ini diharapkan dapat
darah, menjaga kesehatan lambung dan diketahui suhu yang paling optimal untuk
mencegah penyakit kanker saluran bakteri berkembang biak secara aktif.
pencernaan. Manfaat yang terakhir ini
dikarenakan yoghurt mengandung bakteri Bahan dan Metode
hidup sebagai probiotik dari makanan yang
menguntungkan bagi mikroflora dalam Penelitian dilakukan di Fakultas
saluran pencernaan. Selain itu Pertanian USU selama dua bulan yaitu
mengkonsumsi yoghurt membolehkan Oktober sampai November 2003. Bahan yang
seseorang yang menderita kelainan lactoce digunakan adalah susu sapi segar, susu
intolerence seolah mampu mengkonsumsi kerbau, susu full krim, susu skim, dan air.
susu (McLean, 1993). Lactoce intolerence Selain itu adalah bakteri Streptococcus
adalah suatu kelainan dari seseorang yang thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus
akan diare setiap minum susu dikarenakan dengan perbandingan 1:1.
memiliki kekurangan laktosa dalam usus Metode penelitian yang digunakan
kecilnya. Laktosa adalah enzim yang adalah rancangan acak kelompok (RAK)
tersebar pada laktosa disakarida di dalam faktorial 4 x 4 dengan 2 (dua) kali ulangan.
glukosa dan galaktose. Jika terdapat laktosa Faktor yang diteliti adalah faktor
tidak dikenal atau tidak diketahui, maka Temperatur (T) yaitu T1 (30°C), T2 (37°C),
laktosa yang dicerna dalam usus tetap T3 (44°C) dan T4 (51°C). Selain faktor
tinggal pada usus dan sebagai hasil dari temperatur adalah jenis susu (S) yaitu S1
osmosis, air bergerak ke usus dan (susu skim), S2 (susu sapi segar), S3 (susu
menyebabkan diare. Pada yoghurt full krim), dan S4 (susu kerbau segar).
laktosanya telah difermentasikan ke dalam Pengaruh perlakuan terhadap semua peubah
bentuk asam laktat di mana setiap orang yang diamati, dipelajari dengan sidik ragam
memiliki enzim untuk mencernanya. dengan model matematik:
Pada pembuatan yoghurt dilakukan
proses fermentasi dengan memanfaatkan Yijk= µ + αi + αj + βk+ (αβ)ij + ∑ijk
bakteri asam laktat misalnya dari golongan
Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcuc Adapun peubah yang diamati adalah secara
thermophilus. Streptococcus thermophilus fisik yaitu warna, yaitu warna sebelum dan
berkembang biak lebih cepat dan sesudah susu ditambah dengan bakteri.
menghasilkan baik asam maupun CO2. Asam Selain itu adalah tekstur, yaitu dilihat
dan CO2 yang dihasilkan tersebut kemudian bagaimana interaksi antara jenis susu dan
merangsang pertumbuhan dari Lactobacillus temperatur berpengaruh terhadap tekstur
bulgaricus. Di sisi lain, aktivitas proteolitik dari hasil akhir yoghurt tersebut. Juga rasa
dari Lactobacillus bulgaricus memproduksi yaitu dengan keempat jenis susu yang
peptida penstimulasi dan asam amino untuk digunakan maka akan diuji rasa mana yang
dapat dipakai oleh Sreptococcus paling disukai oleh panelis yang mewakili
thermophilus. Mikroorganisma ini berbagai tingkatan usia, ekonomi, dan latar
sepenuhnya bertanggung jawab atas belakang budaya yang berbeda. Selain
74
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
75
Nurzainah Ginting dan Elsegustri Pasaribu: Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt..
sebagian sudah dibuang memiliki tekstur ada aktivitas bakteri yaitu ditandakan
yang lebih encer daripada susu full krim. dengan adanya penggumpalan pada tekstur
Menurut Gilliland (1986) beberapa faktor yoghurt serta aromanya yang asam. Pada
yang mempengaruhi tekstur yoghurt adalah tekstur yang encer atau tidak padat, maka
perlakuan pada susu sebelum kemungkinan besar bakteri tidak
diinokulasikan, ketersediaan nutrisi, bahan- berkembang optimal (suhu 30°C) atau
bahan pendorong, produksi metabolis oleh bakteri sebagian mati (suhu 51°C).
lactobacilli, interaksi dengan bakteri biakan
lainnya, penanganan bakteri sebelum Kesimpulan dan Saran
digunakan dan juga ada atau tidaknya
antibiotika dalam susu. Tekstur yoghurt susu Kesimpulan
kerbau adalah yang paling padat 1.Temperatur 30°C, 37°C, 44°C, dan
dikarenakan susu kerbau memiliki 51°C yang digunakan sebagai suhu
kandungan lemak yang lebih tinggi inkubasi berpengaruh terhadap
dibandingkan jenis susu lainnya. warna, tekstur yoghurt sedangkan
Rasa yoghurt yang diamati adalah pada rasa tidak berpengaruh.
melalui pemberian yoghurt polos (tanpa 2.Jenis susu sapi segar, susu kerbau
ditambahi perasa apapun) kepada panelis. segar, susu full krim, dan susu skim
Yoghurt biasanya memiliki citarasa asam yang digunakan sebagai bahan dasar
menyegarkan yang tajam (Davies and Law, yoghurt berpengaruh terhadap warna,
1984) dan aroma yang khas. Dari tiap tekstur, rasa yoghurt.
perlakuan di mana total rataan yang paling 3.Ada interaksi yang nyata antara
tinggi adalah pada perlakuan dengan temperatur °C dan jenis susu yang
menggunakan susu full krim dan yang digunakan.
terendah dihasilkan pada yoghurt berbahan 4.Hasil yang paling baik diperoleh pada
susu kerbau. Hal ini berarti yoghurt temperatur 44°C dengan pemakaian
berbahan susu full krim lebih disukai dari susu sapi full krim sebagai bahan
yang berbahan susu kerbau. Ini terjadi dasarnya.
karena masyarakat Indonesia lebih
mengenal dan lebih sering mengkonsumsi Saran
susu sapi dan berbagai produk hasil 1. Susu yang dipakai adalah susu yang
olahannya seperti susu skim dan full krim baru, tidak disimpan terlalu lama
daripada susu kerbau. sehingga merupakan media terbaik
Rasa yang dihasilkan oleh yoghurt untuk bekteri berkembang biak.
berbahan susu kerbau cenderung lebih asam 2. Temperatur yang digunakan sebaiknya
dibanding berbahan susu full krim, karena tidak rendah ataupun tinggi untuk
produksi asam oleh bakteri lebih cepat menyediakan temperatur yang
dikarenakan bakteri yang juga berkembang optimum bagi bakteri berkembang
lebih cepat (Davies and Law, 1984) pada biak.
susu kerbau dibandingkan dengan jenis susu
lainnya. Rasa asam pada yoghurt merupakan Daftar Pustaka
indikasi perkembangbiakan dari
percampuran bakteri yang berjalan baik dan Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi
cepat (Driessen, 1981). Rasa asam pada Pengolahan Air Susu. Yogyakarta:
yoghurt juga menunjukkan bahwa adanya Andi Offset.
asam laktat yang telah terbentuk sebagai
hasil kerja dari bakteri (Eckles, 1980). Davies, F. L. and Law B. A. 1984. Advances
Menurut Adnan (1984) keasaman yang in The Microbiology and
tercapai dapat mengganggu pertumbuhan Biochemistry of Cheese &
bakteri yang tidak dikehendaki, terutama Fermented Milk. London: Elsevies
bakteri yang menyebabkan diare seperti Applied Science.
Clostridium difficile pada orang dewasa dan
Rotavirus pada anak-anak. Driessen, F. 1981. Mixed Culture
Lebih diminatinya yoghurt berbahan Fermentations, P. Bushell & J.
dasar susu full krim karena yoghurt terasa Slater. London: Educations
lebih enak, kandungan lemaknya tidak Academic Press.
terlalu tinggi seperti susu kerbau sehingga
rasanya tidak mengakibatkan cepat muak. Eckles, C. H., W. B. Combs, H. Macy. 1980.
Pada uji mikrobiologik disimpulkan Milk and Milk Products. 4th Edition,
bahwa pada semua level temperatur tetap
76
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
77
Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..
Abstract: The objectives of this research was to test the comparison three of kind
concentrates on carcass percentage, fat and income over feed cost of Sungei Putih
sheep for fatgrowth. The experiment was using complete randomized experiment
design by three treatments and six replication, where treatments of T1 wasgrass +
concentrate A (palm oil by product), T2 wasgrass + concentrate B (conventional) and
T3 wasgrass + concentrate C (farming by product).
The results showed the highest average carcass weight at T2 (12,96kg) then
T3(12,82kg) and then lowest average at T1 (11,47kg). The highest average carcass
percentage T2 (54,53%) then T3 (54,03%) and the lowest average at T1 (52,68%). The
highest average subcutan fat weight at T2 (1,70kg) then T3 (1,63kg) and the lowest
average at T1 (1,24kg). The highest average intermusculer fat at T2 (413,40g) then T3
(411,80g) and the lowest average at T1 (383,20g). The highest average chanel + pelvic
fat weight at T2 (241,80g) then T3 (231,40g) and the lowest average at T1 (215,80g).
And the highest average income over feed cost at T1 (Rp 73.331,67) then T3 (Rp
56.383,57) and the lowest average at T2 (Rp 21.430.63). The statistic of analysis the
research result showed that the test result of variation indicated that T1, T2 and T3
didn’t have a real different affect to the carcass weight, carcass percentage, subcutan
fat weight, intermusculer fat weight, and chanel + pelvic fat weight, mean while for
income over feed cost has a real different affect.
Key Words: sheep, Consentrate, Carcass, fat and IOFC.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbandingan antara tiga macam
konsentrat yaitu konsentrat A (berbasis hasil sampingan industri kelapa sawit),
konsentrat B (konvensional), dan konsentrat C (berbasis hasil sampingan industri
pertanian) terhadap persentase karkas dan income over feed cost Domba Sungei Putih
selama penggemukan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri
dari tiga perlakuan dan 6 ulangan yaitu: T1 = rumput + konsentrat A (berbasis hasil
sampingan kelapa sawit), T2 = rumput + konsentrat B (konsentrat konvensional), dan T3
= rumput + konsentrat C (berbasis hasil sampingan produk pertanian).
Hasil penelitian menunjukkan rataan bobot karkas tertinggi pada T2 (12,96kg),
sementara rataan bobot karkas T3 (12,82kg) dan rataan bobot karkas terendah pada T1
(11,47kg). Rataan persentase karkas tertinggi pada T2 (54,53%) sementara rataan
persentase karkas T3 (54,03%) dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (52,68%).
Rataan bobot lemak subkutan tertinggi pada T2 (1,70kg), sementara rataan bobot
karkas T3 (1,63kg), dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (1,24kg). Rataan bobot
lemak intermuskuler tertinggi pada T2 (413,40g) sementara rataan bobot karkas T3
(411,80g) dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (382,20g). Rataan bobot lemak
ginjal + pelvik tertinggi pada T2 (241,80g) sementara rataan bobot karkas T3 (231,40g)
dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (215,80g). Dan rataan income over feed cost
tertinggi pada T1 (Rp 73.331,67) sementara T3 (Rp 56.383,57) dan rataan income over
feed cost terendah pada T2 (Rp 21.430,63). Dari hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa T1, T2, dan T3 pada Domba Sungei Putih tidak berbeda nyata terhadap bobot
karkas, persentase karkas, bobot lemak subkutan, bobot lemak intermuskuler, bobot
78
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
lemak ginjal + pelvis, sedangkan untuk income over feed cost memperlihatkan hasil
yang sangat berbeda nyata.
Kata Kunci: domba, karkas, lemak, dan IOFC.
Pendahuluan sampingan industri kelapa sawit),
konsentrat B (konsentrat konvensional) dan
Latar Belakang konsentrat C (konsentrat yang berbasil hasil
Sistem pemeliharaan ternak domba sampingan industri pertanian) terhadap
di Indonesia pada umumnya adalah secara bobot karkas, persentase karkas, bobot
tradisional, di mana pemberian pakan lemak subkutan, bobot lemak
tergantung pada hijauan tanaman makanan intermuskuler, bobot lemak ginjal + pelvis
ternak yang tersedia (rerumputan) dengan dan income over feed cost domba Sungei
sedikit atau tidak ada pakan tambahan Putih.
(Tomaszewska, et.al.:1993). Hal ini
menyebabkan tingkat produksi domba Kegunaan Penelitian
rendah. Salah satu cara untuk mengatasinya Sebagai upaya alternatif dalam
adalah dengan memperbaiki kualitas pakan, pemanfaatan hasil sampingan industri
namun pakan komersil yang berkualitas kelapa sawit dan hasil sampingan industri
harganya relatif mahal. Salah satu alternatif pertanian dan sebagai bahan informasi bagi
meningkatkan produktivitas ternak dan peternak dan pihak-pihak yang
sekaligus pendapatan peternak adalah membutuhkan.
melalui pemanfaatan pakan inkonvensional.
Bahan pakan inkonvensional antara lain: Bahan dan Metode Penelitian
hasil sampingan (by product) dan hasil sisa
(limbah) industri perkebunan dan pertanian. Tempat dan Waktu Penelitian.
Sumatera Utara mempunyai areal Penelitian ini dilaksanakan di Desa
perkebunan kelapa sawit yang cukup luas Pulaugambar Kecamatan Dolok Masihul
dan terdapat juga industri pengolahan Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini
sawit. Data statistik perkebunan Sumatera berlangsung selama tiga bulan dimulai dari
Utara tahun 2002: luas perkebunan kelapa Januari 2005 sampai April 2005.
sawit di Sumatera Utara adalah 766.669,73
Ha dan terdapat 60 unit perkebunan kelapa Bahan dan Alat Penelitian
sawit. Hasil akhir dari proses pengolahan Bahan yang digunakan antara lain:
sawit tersebut antara lain minyak kelapa a. 18 ekor domba jantan Sungei Putih lepas
sawit sebagai produk utama, solid sawit sapih umur 5-6 bulan dengan kisaran
sebagai limbah padat dan limbah cair yang bobot badan awal rata-rata 15kg (12-
dibuang ketempat pengendalian limbah 19kg)
(Naibaho,1994). Limbah sawit ini sangat b. Rumput gajah
melimpah dan belum diolah lebih lanjut. c. Konsentrat, terdiri dari:
Hasil sisa perkebunan lainnya yang dapat • Konsentrat A terdiri dari: lumpur
digunakan yaitu anakan tebu yang berasal sawit, bungkil inti sawit, kerak
dari tebu utama setelah dipotong. Hasil tehu, anakan tebu, molases, urea,
sampingan lainnya dari industri pengolahan ultra mineral,garam
buah markisa dan buah nenas. Semua hasil • Konsentrat B terdiri dari: jagung,
sisa perkebunan maupun hasil sampingan dedak, bungkil kedelai, tepung ikan,
industri pertanian ini dapat dijadikan molases, urea, ultra mineral,garam
sebagai alternatif pakan domba. • Konsentrat C terdiri dari: jagung,
Sehubungan dengan hal tersebut di dedak, bungkil kedelai, ampas
atas, dilakukan penelitian tentang nenas, kulit buah markisa, tepung
pemanfaatan hasil sampingan industri ikan, urea, ultra mineral, dan
kelapa sawit dan hasil sampingan industri garam.
pertanian sebagai konsentrat terhadap
kualitas dan persentase karkas, lemak serta Alat yang digunakan antara lain:
income over feed cost pada ternak domba a. Kandang 18 unit beserta
Sungei Putih. perlengkapannya dengan ukuran 1x
1,5m
Tujuan Penelitian b. Timbangan bobot hidup berkapasitas
Adapun tujuan penelitian ini adalah 120kg dengan kepekaan 500g,
untuk menguji perbandingan antara timbangan berkapasitas 5kg dengan
konsentrat A (konsentrat yang berbasis hasil kepekaan 5g untuk menimbang
79
Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..
80
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
II 374,40 400,40 459,60 1234,40 411,46 Rataan 382,20 413,40 411,80 1207,40 402,46
Total 764,40 826,80 823,60 2414,80 804,93
Bobot Lemak ginjal + Pelvis
Dari hasil penelitian diperoleh bobot lemak ginjal + pelvis, terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12.
Bobot lemak ginjal + pelvis (g/ekor)
Perlakuan
Ulangan Total Rataan
T1 T2 T3
Tabel 13.
Income over feed cost (Rp)
Perlakuan
Ulangan Total Rataan
T1 T2 T3
81
Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..
82
Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005
83
tn = tidak nyata
Kesimpulan dan Saran Gatenby, R.M and L.P. Batubara. 1994.
Management of Sheep in The Humid
Kesimpulan Tropic, Experiences in North Sumatra.
1. Pemberian pakan pada perlakuan T1, T2 In Second Symposium on Sheep
dan T3 perlakuan T3 (rumput gajah + Production Malaysia Faculty of
konsentrat C yaitu konsentrat hasil Veteriner Medicine and Animal
sampingan industri pertanian) Science, University Agricultural
menghasilkan kualitas yang sama Malaysia Serdang.
terhadap bobot karkas, persentase
karkas, bobot lemak subkutan, lemak Hanafiah, K.A. 2000. Rancangan Percobaan.
intermuskuler dan lemak ginjal + pelvis Fakultas Pertanian. Palembang:
2. Pemberian pakan pada perlakuan T1 Universitas Sriwijaya.
(rumput gajah + konsentrat A yaitu
konsentrat yang berbasis hasil Herman, R. 1993. Perbandingan
sampingan industri kelapa sawit) dan Pertumbuhan, Komposisi Tubuh, dan
perlakuan T3 (rumput gajah + Karkas Antara Domba Priangan dan
konsentrat C yaitu kosentrat hasil Ekorgemuk. [Disertasi]. Program
sampingan industri pertanian) dapat Pascasarjana. Bogor: Institut
menghasilkan keuntungan yang sama Pertanian Bogor.
dibandingkan dengan perlakuan T2
(rumput gajah + konsentrat B yaitu Hutagalung dan Jalaludin. 1982. Feeds For
konsentrat konvensional) sehingga Farm Animal From The Oil Palm.
pakan pada perlakuan T1 dan T2 dapat Serdang, Malaysia.
dijadikan salah satu pakan alternatif
bagi ternak domba. Johston, R.G. 1983. Introduction to Sheep
Farming. London: Granada Publishing
Saran Ltd.
Sebaiknya peternak menggunakan
konsentrat yang berasal dari hasil Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Jakarta:
sampingan industri kelapa sawit yang lebih Universitas Indonesia Press.
luas untuk ternak domba sebagai upaya
peningkatan pendapatan dalam usaha National Research Council. 1995. Nutrient
beternak domba. Requirement of Domestic. No.2.
Washington DC: Nutrient Requirement
Daftar Pustaka of Swine National Academy of
Science.
Anonim. 2002. Teknologi Tepat Guna:
Budidaya Pertanian. Departemen Rangkuti, M., A. Musofie, P. Sitorus, I. P.
Pertanian. Jakarta. [www.document] Kompiang, N. Kusumawardhani, dan
URL http://www.rusnas buah.or.id. A. Roesjat. 1985. Pemanfaatan Daun
Tebu Untuk Pakan Ternak di Jawa
Berg and Butterfield. 1976. New Concept of Timur. Seminar Pemanfaatan Limbah
Cattlegrowth. Sydney: University Tebu Untuk Pakan Ternak. Badan
Press. Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departement Pertanian. 5
Crouse,J.D., J.R. Busboom., R.A. Field, and Maret 1985, grati.
C.L. Ferrel. 1981. Effect of Breed,
Diet, Sex, Location, and Slaughter Tomaszewska, M. W., J. M. Mastika, A.
Weight on Lambgrowth, Crcass Djaja Negara, S. Gardiner, dan T. R.
Composition and Meat Flavor. New Wiradarya. 1993. Produksi Kambing
York: Mc Graw Hill Book Company. dan Domba di Indonesia. Surabaya:
Sebelas Maret University Press.
84
Petunjuk untuk Penulis
Cakupan. Penelitian harus mencakup salah satu disiplin ilmu dalam bidang peternakan
atau yang erat kaitannya dengan peternakan (pertanian, kedokteran,gizi, kesehatan
masyarakat, teknik, ekonomi, hukum, dll.). Mitra bestari dan dewan redaksi berhak
menolak tulisan yang dianggap tidak relevan. Tulisan dapat diajukan oleh semua orang
tanpa memandang institusinya.
Format. Artikel harus terdiri atas tiga bagian, yakni bagian pembuka, isi, dan
penyudah. Bagian pembuka terdiri atas judul, nama penulis dan lembaganya, abstrak,
dan kata kunci. Bagian isi terdiri atas pendahuluan, bahan dan metode (metodologi),
serta hasil dan pembahasan. Bagian penyudah terdiri atas kesimpulan (dan saran kalau
ada), ucapan terima kasih (kalau perlu), dan daftar pustaka.
Bahasa. Kecuali untuk abstrak bahasa Inggris, isi artikel seluruhnya harus ditulis dalam
bahasa Indonesia yang baik dan benar berpedoman pada Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia dan Ejaan yang Disempurnakan, serta menggunakan kata-kata yang dibakukan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa.
Penyerapan kata asing dan pemakaian kata asing harus dibatasi sedikit mungkin, dan
kalau terpaksa penyerapan dan pemakaiannya juga harus berpedoman pada KBBI.
Judul. Judul harus ringkas, padat, dan langsung menunjuk pada isi tulisan. Judul ditulis
dalam bahasa Indonesia dan di bawahnya dalam bahasa Inggris.
Abstrak. Abstrak dibuat dalam bahasa Inggris dan di bawahnya dalam bahasa Indonesia.
Abstrak berisi latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, dan kesimpulan dalam kalimat-
kalimat yang padat, sebaiknya tidak lebih dari 300 kata (dalam bahasa Indonesia).
Kata Kunci. Kata kunci paling banyak lima kata, urutannya menunjukkan hierarki dari
yang paling utama (topik) sampai yang paling kecil (spesifik). Kata kunci bukan urutan
kata penting dalam tulisan tapi adalah urutan kata untuk katalogisasi tulisan ilmiah
internasional dalam bentuk database. kata penting dalam tulisan tapi adalah urutan
kata untuk katalogisasi tulisan ilmiah internasional dalam bentuk database.
Pendahuluan. Bagian ini memuat latar belakang dan pentingnya penelitian dilakukan,
disertai dengan kutipan-kutipan dari pustaka yang relevan untuk mendukung hal
tersebut. Tidak perlu terlalu luas tapi tidak pula terlalu singkat sehingga tidak jelas.
Idealnya 400 – 500 kata.
Bahan dan Metode. Bisa juga metodologi jika sama sekali tidak digunakan bahan
(misalnya survai). Bagian ini memuat bahan dan metode penelitian, mencakup tempat,
waktu, metode pengambilan sampel, alat-alat dan bahan-bahan penting yang
digunakan, pelaksanaan rancangan percobaan, asumsi, metode analisis, dan lain-lain
yang berkaitan. Metode tidak harus bertele-tele tapi tidak pula terlalu singkat sehingga
membuang bagian-bagian penting yang harus diketahui pembaca. Prinsip dasarnya ialah
85
bahwa orang lain dengan kualitas yang sama atau lebih baik dari penulis, harus dapat
mengulangi atau memodifikasi penelitian tersebut dan perincian yang diberikan.
Hasil dan Pembahasan. Hasil sebaiknya dirangkum dalam bentuk tabel dan grafik yang
langsung diberi notasi statistik berdasar uji beda rataan yang umum. Tabel dan grafik
sebaiknya tidak disajikan dalam bentuk singkatan (GO, P3, dsb.) tetapi lengkap, baik di
dalam tabel atau grafik maupun di luarnya sebagai keterangan sehingga memudahkan
pembaca. Satuan untuk setiap angka yang disajikan harus jelas. Setiap parameter atau
peubah disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan langsung dibahas di tempat yang
sama. Pembahasan harus menyertakan kutipan dari pustaka yang terkini sebagai
penyokong atau pembanding, dan harus berdasarkan kebenaran ilmiah yang diakui di
bidang ilmu bersangkutan.
Kesimpulan. Kesimpulan sebaiknya disajikan dalam bentuk satu atau dua paragraf dan
bukan dalam bentuk penomoran. Jika ada saran yang bisa diajukan maka saran itu
harus disajikan secara singkat dan relevan (memang berasal dari penelitian) dalam satu
atau dua paragraf.
Ucapan Terima Kasih. Bagian ini ditulis jika memang ada badan atau perorangan yang
sumbangannya sangat penting dalam penelitian tersebut.
Daftar Pustaka. Daftar pustaka dibuat sesuai dengan Peraturan Penulisan Pustaka
Biologi. Pustaka yang dicantumkan sebaiknya yang terkini dan berasal dari jurnal atau
majalah ilmiah. Pustaka boleh mencakup yang belum dipublikasikan tetapi tersedia,
misalnya skripsi, tesis, disertasi, atau hasil wawancara yang diarsipkan. Disarankan
untuk tidak memakai buku ajar (text book) untuk perkuliahan sebagai pustaka, atau
buku-buku tipis setara brosur untuk petani atau penerapan ilmu untuk umum. Kalau
terpaksa, jumlahnya sebaiknya tidak lebih dari 50% dari semua pustaka. Tahun terbit
juga diusahakan yang terbaru, minimal 40% di atas tahun 1990.
86