Você está na página 1de 4

Adapun tata cara shalatnya tidak jauh berbeda dengan shalat sunnah lainnya.

Perbedaannya hanya terletak ketika selesai shalat, orang yang bersangkutan


disuruh membaca doa istikharah yang intinya berisi permohonan kepada Allah Swt.,
agar ia diberikan sesuatu yang terbaik untuk kepentingan jangka pendek (dunia)
maupun jangka panjang (akhirat). Berdasarkan hadits itu pula, seorang muslim,
menurut Imam Syaukani, tidak boleh meremehkan sesuatu perkara dan
mengabaikan istikharah. Kenapa? Sebab, banyak sekali terjadi kasus kecil yang
diremehkan atau disepelekan, namun ketika diambil atau dtinggalkan, justru
menimbulkan bahaya besar di kemudian hari.

Shalat istikharah sangat penting untuk dilakukan karena pilihan manusia acapkali
bersifat subjektif dan terkadang tak terlepas dari dorongan nafsu. Sehingga, pilihan
manusia seringkali mencewakan dan menimbulkan kekesalan. Dapat dipahami jika
manusia kadang membenci sesuatu yang baik dan sebaliknya mencintai sesuatu
yang buruk. Dalam hal ini, al-Qur an mensitirnya dalam surat Al-Baqarah ayat 216:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia sangat baik bagimu, dan boleh jadi
pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetauhi,
sedangkan kamu tidak mengetauhi”.

Sebagai petunjuk dari Allah, pilihan melalui istikharah akan memberikan keyakinan
yang amat kuat dan mantap. Tak salah, jika jawaban dari istikharah yang dilakukan
seseorang kadang bisa munculnya satu keyakinan yang mantap dalam diri, yang
memotivasi diri untuk mengambil keputusan dari permasalahan yang tengah
dihadapi. Boleh jadi, jawaban dari istikharah juga bisa muncul lewat suatu mimpi.
Perlu diketauhi, bahwa mimpi itu ada tiga macam. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Muttafaqun ‘alaih disebutkan, bahwa jenis mimpi yang pertama adalah mimpi
baik, yaitu suatu kabar yang menyenangkan dari Allah. Kedua, mimpi yang
menyedihkan atau menakutkan yang datangnya dari setan. Dan ketiga, mimpi yang
timbul karena ilusi angan-angan atau khayalan manusia belaka. Meski demikian,
jawaban Allah adalah hak priogatif Allah yang tidak dapat ganggu gugat. Oleh
karena itu, yang perlu menjadi titik tekan disini adalah bahwa seseorang
melaksanakan shalat istikharah, semata-mata menyerahkan urusan yang dipilih itu
kepada Allah, akan mendapatkan bimbingan Allah sehingga segala urusan hanya
kepada Allah semata. Sebab, jika pilihan itu plihan terbaik, maka Allah akan
memudahkannya bagi orang itu dan akan memberkahinya. Tetapi jika hal tersebut
adalah sebaliknya, maka Allah akan memalingkannya dan memudahkan orang itu
kepada kebaikan sesuai dengan izin-Nya.

URGENSI AMANAH

Amanah dalam bahasa Arab berarti memenuhi janji. Amanah diambil dari kata Al-
amnu (rasa aman) lawan dari ketakutan. Amanah berarti merasa aman dari
pengkhianatan.
Sedangkan secara istilah: Segala sesuatu yang harus dijaga dan ditunaikan, baik itu
hak-hak Allah seperti ibadah dan menjauhi maksiat. Maupun hak-hak sesama
manusia, seperti menjaga rahasia dan menepati janji.

Sedemikian pentingnya amanah dalam ajaran Islam, sehingga ia menjadi pemisah


bagi orang yang beriman dan munafik serta menjadi salah satu indikator
kesempurnaan iman seorang Muslim yang telah bersyahadat. Seperti sabda
Rasulullah :

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (iaitu) orang-orang yang


khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang
dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga
Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (Al-Mu’minun (23):1-11).

Laa iimaana liman laa amaanata lah, wa la diina liman laa ‘ah dalah (tidak
sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama
seseorang yang tidak menunaikan janji). H.R Ahmad.

“Tiga perkara yang jika terdapat salah satu daripadanya, berarti terdapat tanda
munafiq sekalipun ia berpuasa, mendirikan shalat, menunaikan haji, umrah dan
mengakui dirinya seorang Muslam yaitu apabila berbicara ia berdusta, apabila
berjanji ia memungkirinya dan apabila dberikan amana ia menggkhianatinya”
(Riwayat Abu Al-Syeikh).

Dengan melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya, maka nyatalah wujud


keimanan seorang Muslim yang senantiasa bergerak aktif di dalam dadanya.
Karena pergerakan yang aktif itu, maka imannya menajdi produktif menghasilkan
karya kebaikan dan amal sholeh. Baginya, amanah meski berat sekalipun adalah
tanggung jawabnya tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada Allah SWT.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang
dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui. (Al-Anfaal : 27). Allah
memerintahkan untuk menunaikan amanah dan melarang mengkhianatinya.

Dalam ajaran Islam, diatur pula mekanisme pembebanan amanah kepada


seseorang. Bagi orang yang tak memiliki kapabilitas dalam bidang amanahnya
maka tak pantaslah dibebankan kepadanya. Sebagaimana Abu Dzar Al-Ghifari yang
dinilai lemah oleh Rasulullah untuk mengemban suatu amanah.
ِ‫جْذِر ُقُلْوب‬ َ ‫ي‬ ْ ‫ت ِف‬ ْ ‫لَماَنَة َنَزَل‬َ ‫ن ْا‬ّ ‫حّدَثَنا َأ‬
َ ،‫خَر‬ َ ‫ظُر ْال‬ ِ ‫حُدُهَما َوَأَنا َأْنَت‬ َ ‫ت َأ‬ُ ‫ن َرَأْي‬ِ ‫حِدْيَثْي‬
َ ‫ل صلى ال عليه وسلم‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫سْو‬ ُ ‫حّدَثَنا َر‬َ :‫ل‬ َ ‫ن حَُذْيَفَة َقا‬ْ‫ع‬ َ
َ ‫ل َأَثُرَها ِمْث‬
‫ل‬ ّ‫ظ‬ َ ‫ن َقْلِبِه َفَي‬
ْ ‫لمَاَنَة ِم‬َ ‫ض ُا‬
ُ ‫ل الّنْوَمَة َفُتْقَب‬ ُ‫ج‬ ُ ‫ َيَناُم الّر‬: ‫ل‬ َ ‫ َقا‬،‫ن َرْفِعَها‬ ْ‫ع‬ َ ‫حّدَثَنا‬
َ ‫سّنِة َو‬ ّ ‫ن ال‬َ ‫عِلُمْوا ِم‬َ ‫ ُثّم‬،‫ن‬ ِ ‫ن ْالُقْرآ‬َ ‫عِلُمْوا ِم‬
َ ‫ ُثّم‬،‫ل‬ ِ ‫جا‬
َ ‫الّر‬
ُ ‫ح الّنا‬
‫س‬ َ ‫صِب‬
ْ ‫ َفُي‬،‫يٌء‬ ْ ‫ش‬َ ‫س ِفْيِه‬ َ ‫ط َفَتَراُه ُمْنَتِبًرا َوَلْي‬
َ ‫ك َفَنِق‬
َ ‫جِل‬ ْ ‫عَلى ِر‬ َ ‫جَتُه‬ ْ ‫حَر‬ ْ ‫جْمٍر َد‬َ ‫ل َك‬ ِ‫ج‬
َ ‫ل اْلَم‬ َ ‫ض َفَيْبَقى َأَثُرَها ِمْث‬ُ ‫ ُثّم َيَناُم الّنْوَمَة َفُتْقَب‬.‫ت‬ ِ ‫َأَثِر ْالَوْك‬
‫ َوَما ِفي‬،‫جَلَدُه‬ ْ ‫ َوَما َأ‬،‫ظَرَفُه‬ ْ ‫ َوَما َأ‬،‫ل‬ َ ‫عَق‬ْ ‫ َما َأ‬: ‫ل‬ِ‫ج‬ُ ‫ل ِللّر‬ ُ ‫ل َأِمْيًنا َوُيَقا‬
ً‫ج‬ ُ ‫ن َر‬ ٍ‫ل‬َ ‫ن ِفي َبْني ُف‬ ّ ‫ ِإ‬: ‫ل‬ ُ ‫ َفُيَقا‬،‫لَماَنَة‬
َ ‫ي ْا‬َ ‫حُدُهْم ُيَؤّد‬َ ‫ل َبَكاُد َأ‬
َ ‫ن َف‬ َ ‫َيَتَباَيعُْو‬
‫صَراِنّيا َرّدُه‬
ْ ‫ن َن‬ َ ‫ن َكا‬ ْ ‫ َوِإ‬،‫لُم‬َ‫س‬ ْ‫ل‬ِ ‫ي ْا‬ّ ‫عَل‬ َ ‫سِلًما َرّدُه‬
ْ ‫ن ُم‬ َ ‫ َلِئنْ َكا‬،‫ت‬ ُ ‫ن َوَما ٌُأَباِلي َأّيُكْم َباَيْع‬ ٌ ‫ي َزَما‬ َ ‫ َوَلَقْد َأَتى‬.‫ن‬
ّ ‫عَل‬ ٍ ‫ن ِإْيَما‬
ْ ‫ل ِم‬ ٍ ‫جْرَد‬َ ‫حّبٍة‬َ ‫ل‬ َ ‫َقْلِبِه مِْثَقا‬
‫لنًا‬
َ ‫لنًا َوُف‬
َ ‫ل ُف‬ّ ‫ت ُأَباِيُع ِإ‬ُ ‫ َفَأّما ْالَيْوَم َفَما ُكْن‬.‫عُيُه‬
ِ ‫سا‬
َ ‫ي‬ ّ ‫عَل‬َ

Di dalam shohih Bukhari dan Muslim dari hadits Hudzaifah Ibnul Yaman –
RadhilAllahuanhuma- berkata: Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda
tentang dua hadits, aku telah mendengar salah satu diantaranya dan aku
menunggu hadits yang lain, Beliau bersabda bahwasanya amanah diturunkan di
pangkal hati seseorang, kemudian turun alqur’an dan mereka mendapatkan ilmu
dari al-Qur’an dan dari sunnah. Kemudian Nabi menjelaskan tentang diangkatnya
amanah, beliau bersabda : « ketika seseorang tidur maka diangkatlah amanah dari
dalam hatinya dan hal tersebut berbekas seperti berbekasnya tanda lahir pada kulit
tubuh, kemudian ia tidur dan diangkatlah amanah dari hatinya maka hal tersebut
berbekas seperti bola api yang digelindingkan di kakimu kemudian melepuh dan
kamu lihat bekas luka itu menyembul, padahal tidak ada sesuatu didalamnya. Lalu
pada pagi harinya manusia saling berjanji setia, hingga dari mereka tidak ada yang
menunaikan amanah, maka dikatakan bahwa di Bani Fulan ada seorang lelaki yang
jujur. Dan dikatakan kepada lelaki itu : “Alangkah tabahnya dia! Alangkah
pandainya dia! Alangkah cerdiknya dia. Padahal tidak ada dalam hatinya iman
meski seberat biji sawi.” Hudzaifah berkata : “Sungguh akan datang kepadaku
suatu zaman yang aku tidak menghiraukan siapa yang telah kubai’at saling berjanji
setia. Apabila ia seorang muslim, niscaya ia akan dikembalikan kepadaku oleh
Islam, dan apabila ia seorang Nasrani, niscaya ia akan dikembalikan kepadaku oleh
pemimpinya. Adapun hari ini aku tidak berjanji setia kecuali kepada si fulan dan
fulan”.Shohih Bukhari No. 6497, Shohih Muslim No. 367

Jadi, dalam pembebanan amanah sebaiknya terlebih dahulu melihat kapasitas


orang yang bersangkutan. Jangan sampai kita menentukan suatu amanah tidak
melihat pada kapabiliats seseorang, melainkan dengan kecenderungan hatinya
semata, maka Allah mengancam dengan siksaan yang pedih.

:“Barangsiapa menguasai suatu urusan kaum muslimin, lalu dia memberi kuasa
kepada seseorang kerana cintanya, maka laknat Allah menimpa atasnya. Allah tidak
menerima ganti dan tidak pula tebusan, sehingga dia dimasukkan ke dalam neraka
jahannam “. (Riwayat Al-Hakim).

“Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Sahabat


bertanya: “Bagaimana mensia-siakannya?” Rasulullah menjawab: “Apabila sesuatu
jawatan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya” (H.R Bukhari).

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS.
Al-Maidah : 67)

Você também pode gostar