Você está na página 1de 2

Kebijakan pengelolaan terpadu wilayah perbatasan

1. Terpadu adalah akar permasalahan dari kebijakan yang ingin dipecahkan oleh
naskah tersebut. Seluruh sektor yang berkaitan dengan pembangunan di wilayah
perbatasan diikutsertakan dan oleh karenanya kemudian kebijakan yang ingin
dikeluarkan untuk menangani wilayah perbatasan menjadi terpadu. Keterpaduan yang
lain ditunjukkan oleh terbentuknya suatu badan yang memiliki otoritas dan
berlegalitas formal untuk memadukan seluruh sektor yang menangani perbatasan. Dua
keterpaduan tersebut adalah tolok ukur keberhasilan kebijakan pengelolaan terpadu
wilayah perbatasan, dari seluruh 6 tolok ukur yang dikemukakan.

2. Memperhatikan seluruh keenam tolok ukur kebijakan yang diajukan (hlm 17),
nampak bahwa sudut pandang strukturalis sangat kental dalam penetapannya. Hal ini
ironis karena watak pendekatan strukturalis dalam birokrasi cenderung akan
terjebak pada kebijakan yang sentralistis dan melupakan substansi seperti
ditunjukkan oleh pembentukan satu badan sentral yang akan dibentuk dan dijadikan
tolok ukur keberhasilan kebijakan. Lebih ironis lagi pada tolok ukur point “d.”
dikatakan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan adalah “akibat” dari
terbangunnya infra struktur. Sekali lagi benar bahwa infra struktur akan
meningkatkan dinamika ekonomi masyarakat, tetapi masyarakat itu siapa? itulah yang
pantas dipertanyakan.

3. Seharusnyalah yang menjadi tolok ukur keberhasilan adalah peningkatan


kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Untuk itu pakailah pandangan
fungsionalis dalam menetapkan tujuan, sehingga substansi birokrasi benar-benar
adalah pelayan masyarakat, bukan justru melayani dirinya sendiri. Dari sudut
pandang fungsionalis, seluruh keenam tolok ukur terbut adalah tolok ukur yang
mengarah pada pelayanan birokrasi terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain unsur
politiknya sangat kental dalam penetapan tolok ukur keberhasilan, sedangkan tolok
ukur sosial budaya dan sosial ekonomi hanya lampiran saja.

4. Di era yang lebih mengedepankan kedaulatan individu ini, seharusnyalah individu


warga negara yang dijadikan tolok ukur sasaran keberhasilan, sehingga si warga
negara dapat mengarahkan dengan sadar kedaulatannya kepada negara Indonesia.
Nampaknya aliran sosialisme baru yang diusung Hugo Chavez di Venezuela yang telah
melahirkan gerakan politik dan sosial budaya sosialisme baru di Amerika Latin,
belum mewarnai penetapan tolok ukur dan tentunya implementasi nantinya dalam
kebijakan penanganan terpadu wilayah perbatasan. Orientasi pada masyarakat masih
sangat lemah pada tolok ukur keberhasilan tersebut. Dalam tolok ukur tersebut
tidak sebuah kata pun yang menyebut tentang pemberdayaan masyarakat. Sebagai
akibatnya tolok ukur yang muncul adalah tolok ukur yang lebih banyak mengeluarkan
anggaran dari pada mengefisiensikan anggaran.

5. Di era demokratisasi dan civil society dewasa ini seluruh kebijakan harus
berorientasi pada masyarakat, bukan berorientasi pada peningkatan dinamika
ekonomi, yang kemudian akan menetes hasilnya pada masyarakat sekelilingnya. Teori
Trickle down effect jelas sudah gagal di Indonesia dan harus ditinggalkan.
Orientasi kepada masyarakatlah yang harus dikedepankan dalam pembangunan, dan
badai krisis ekonomi yang lalu jelas menunjukkan ekonomi menengah ke bawahlah yang
mampu bertahan, bukan konglomerat. Pendekatan yang demikian itulah yang harus
diterapkan di perbatasan, yang jelas-jelas memiliki kharakteristik:

a. Minim sarana dan prasarana transportasi, sehingga memiliki tingkat


aksesibilitas yang rendah.
b. Merupakan blank spots kebijakan Pemerintah, akibat langkanya informasi tentang
pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan.
c. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat.
d. Rendahnya dinamika sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kesejahteraan.

6. Dari kharakteristik tersebut nampak bahwa hanya satu kharakteristik yang


kemudian justru diadopsi dan dikembangkan secara luas menjadi tolok ukur dalam
Kebijakan Pengembangan Wilayah Pertahanan, dan sebaliknya 3 kharakteristik wilayah
perbatasan tersebut dijadikan akibat alias sampiran dari tolok ukur keberhasilan
Kebijakan Pengembangan Wilayah Perbatasan.

7. Berdasarkan uraian di atas, maka tolok ukur dalam Kebijakan Pengembangan


Wilayah Perbatasan harus direformasi dengan memperhatikan kharakteristik wilayah
perbatasan. Dengan kata lain untuk mengembangkan kebijakan di wilayah perbatasan
fokusnya atau orientasinya harus kepada masyarakat.

SIP: K.D. ANDARU NUGROHO

Você também pode gostar