Você está na página 1de 6

Apa itu adab dan ta’dib?

: Suatu penjelasan
dari Ust Adian Husaini
July 30, 2009
tags: dakwah, ta'dib
by Aliff Bin Basri

PENDIDIKAN DAN MANUSIA BERADAB

Oleh: Adian Husaini ( http://www.adianhusaini.com/ )

Jurnal Islamia-Republika (kerjasama INSISTS dan Harian Republika) edisi Khamis (9 Julai
2009), membahas secara panjang lebar tentang konsep pendidikan dan adab dalam ajaran Islam.
Perbahasan ini mengangkat kembali salah satu komponen  yang sangat penting dalam Islam,
iaitu masalah adab. Banyak ulama yang sudah membahas masalah adab. Pendiri Nahdatul
Ulama, KH Hasyim Asy’ari, misalnya, dalam kitabnya, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, mengutip
pendapat Imam al-Syafi’i yang menjelaskan begitu pentingnya kedudukan adab dalam Islam.
Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang mengejar anak
satu-satunya yang hilang.

Lalu, Syeikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebahagian ulama:

”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū  lā tawhīda lahū;  wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata,
faman lā syarī’ata lahū, lā  īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman
lā  ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul
Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11).

Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari,  Tauhid mewajibkan wujudnya iman.
Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka
barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid;
dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada
hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.

Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya
konsep adab?  Huraian yang lebih terperinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu.

Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah:


“Pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam
rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku
dalam tabiat semesta.”  Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan
tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa
ilmu. ”Keduanya sia-sia karana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang
satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,”  (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, (ISTAC, 2001).

Begitu pentingnya masalah adab ini, maka adalah tepat untuk dikatakan bahawa  jatuh-
bangunnya umat Islam, bergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan
konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan tahu
bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama
yang shalih berbeza dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran
menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa (QS
49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim
ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih.

Dalam masyarakat yang beradab, seorang penghibur tidak akan lebih dihormati jika
dibandingkan dengan pelajar yang memenangi Olimpiade fisika. Seorang pelacur atau pezina
ditempatkan pada tempatnya, yang seharusnya tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan
muslimah-muslimah yang shalihah. Itulah adab kepada sesama manusia.

Adab juga berkait dengan ketauhidan; sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang manusia
tidak men-syirik-kan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan al-Khaliq dengan makhluk
merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam al-Quran disebutkan, Allah
murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya dengan al-Khalik, padahal dia adalah makhluk.

Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam,
masyarakat beradab haruslah meletakkan al-Khaliq pada tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan
disamakan dengan makhluk. Kerana membawa agama Tauhid (bukan agama Kristen), maka
Nabi Isa a.s. mengingatkan: ”Dan ingatlah ketika Isa ibn Maryam, wahai anak keturunan Israel,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua, membenarkan apa yang telah ada
pada kita, yaitu Taurat dan memberikan kabar gembira (akan datangnya) seorang Rasul yang
bernama Ahmad.” (QS 61:6).

Jadi, dalam pandangan Islam, Isa a.s. adalah Nabi, utusan Allah, sebagaimana para nabi
sebelumnya. Itulah tindakan yang beradab. Kerana Nabi Isa a.s. memang manusia, dan harus kita
tempatkan sebagai manusia, bukan sebagai ”sekutu” Allah atau ”setara” dengan Allah. Maka,
ketika kaum Kristian mengangkat Isa a.s. sebagai Tuhan atau sama dengan derajat Tuhan, maka
Allah murka. Dan kepada utusan-Nya yang terakhir, Muhammad saw, maka dijelaskanlah
kemurkaan Allah tersebut sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, (yang ertinya):

 ”Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.”
Sesungguhnya kamu (yang mengatakan seperti itu) telah melakukan suatu perkara yang sangat
mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, bumi terbelah, dan gunung-gunung
runtuh. Karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19:88-91).

Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi, beliau
berbeza dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia saja tidak
diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus, diberikan gaji yang
lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun kadangkala keliru.
Orang berebut untuk menjadi presiden  karena dianggap jika menjadi presiden akan menjadi
orang terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga  dapat melakukan perubahan.

Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya,  tentu saja adalah dengan
cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri tauladan kehidupan
(uswah hasanah). Maka, benarlah pendapat ulama yang dikutip Kyai Hasyim Asy’ari, jika orang
tidak mengakui dan menghormati syariat Nabi Muhammad saw, bagaimana mungkin dia boleh
dikatakan mempunyai iman? Sikap yang melecehkan syariat Allah jelas merupakan sikap
manusia yang tidak beradab. Maka, sangatlah tidak beradab apabila terdapat sebuah disertasi
doktor dan berbagai buku tentang Pluralisme Agama yang menyatakan, bahawa untuk
mendapatkan pahala dari Allah, tidaklah perlu mengakui kenabian Muhammad saw!

Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama.
Ulama adalah pewaris nabi. Maka, kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang
benar-benar menjalankan amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’).
Ulama jahat harus dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati
sebagai ulama. Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka,
sangatlah keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan
penguasa.

Adab adalah kemampuan dan kemahuan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan
martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketakwaannya, bukan karena
kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab
dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa
ulama yang palsu sehingga dia boleh meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat
rujukan.
 

Syeikh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam kitabnya
Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar seseorang
mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu.

Syeikh Wan Ahmad  menyatakan:

 “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majlis) perhimpunan ilmu yang engkau
muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau daripada segala adab dan hikmah.”

Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah
proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab,
jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan
menuruti hawa nafsu yang merusak.

Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid,
guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin perniagaan, pemimpin masyarakat, dan lainnya. Bagi
orang-orang yang memegang institusi, bila tidak terdapat adab, maka akan terjadi kerusakan
yang lebih parah.

Kata Prof Wan Mohd. Nor Wan Daud, guru besar di Akademi Alam dan Tamadun Melayu
Universiti Kebangsaan Malaysia: 

”Gejala penyalahgunaan kuasa, penipuan, pelbagai jenis rasuah, politik uang, pemubaziran,
kehilangan keberanian dan keadilan, sikap malas dan ’sambil lewa’, kegagalan pemimpin rumah
tangga, dan sebagainya mencerminkan masalah pokok ini.”

Jadi, menurut  Prof. Wan Mohd. Nor,   jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan
mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Manusia
dikatakan zalim, jika – misalnya – meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Maka, dengan
kefahaman seperti itu, seorang Muslim yang beradab pasti lebih mencintai dan mengidolakan
Nabi Muhammad saw lebih daripada  manusia mana sekalipun. Manusia Muslim yang beradab
juga akan menghormati sahabat-sahabat Nabi dan keluarganya.

Begitu juga seorang muslim yang beradab akan lebih menghormati ulama pewaris nabi,
ketimbang penguasa yang zalim.  Salah satu adab penting yang harus dimiliki seorang Muslim
adalah adab terhadap ilmu. Seorang yang beradab, haruslah  mengenal darjat ilmu, mana ilmu
yang wajib ‘ain (wajib dimiliki oleh setiap muslim) dan mana yang wajib kifayah (wajib dimiliki
sebahagian Muslim).

 
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan
beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama)
adalah pewaris nabi. Kerana itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan,
orang yang mencari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian
manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-
Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw:

“Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah
Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”               

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syeikhul Islam Ibn Taimiyah, juga menulis sebuah
buku berjudul Al-Ilmu.  Beliau mengutip ungkapan Abu Darda’ r.a.  yang menyatakan:

“Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad, sesungguhnya ia
kurang akalnya.” 

Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a., yang  pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda:

 “Barangsiapa masuk ke masjidku ini untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka
ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.”

Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan
menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau
salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal
Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika manusia yang tidak
beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu. (Jahil Murokab)

Itulah adab. Dunia pendidikan Islam, khususnya, sudah saatnya mengkonsentrasikan diri untuk
membentuk manusia-manusia yang beradab. Itu hanya boleh dilakukan jika dunia pendidikan
mengajarkan ilmu yang benar secara proporsional. Salah satu mata pelajaran penting  yang harus
diajarkan dengan benar, adalah pelajaran sejarah. Dalam berbagai kesempatan tatap muka
dengan para guru dan siswa di berbagai lembaga pendidikan Islam, saya masih menjumpai
sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan Islam yang belum memiliki buku sejarah tersendiri.
Masih banyak siswa sekolah Islam yang memahami bahwa Pangeran Diponegoro berperang
semata-mata hanya karena urusan tanah leluhurnya yang dirampas oleh Penjajah Kristian
Belanda. Padahal, bukti-bukti sejarah menunjukkan, Pangeran Diponegoro berperang dengan
tujuan menegakkan syariat Islam di Tanah Jawa.

 
Mengutip buku berjudul Gedenkschrift van den Orloog op Java, karya F.V.A. Ridder de Stuers,
(Amsterdam: Johannes Müller, 1847), dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Prof.
Dr. Rifyal Ka’bah memaparkan penuturan seorang Letnan Kolonel Belanda pada masa Perang
Diponegoro (1825-1830), yang menyatakan bahwa tujuan Perang Diponegoro adalah agar
hukum Islam berlaku untuk orang Jawa.

Diceritakan dalam buku ini, Belanda mengirim delegasi ke pedalaman Salatiga untuk berunding
dengan Pangeran Diponegoro dan para pembantunya. Delegasi yang membawa surat Gubernur
Jenderal Hendrik Markus de Kock ini  diterima oleh Kyai Modjo, Ali Basa, dan lain-lain.
Belanda meminta peperangan  segera dihentikan, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Kyai
Modjo menjawab bahwa perang tidak dapat dihentikan selama tuntutan mereka belum terpenuhi.
Dalam perundingan itu, pihak Diponegoro juga menggunakan ungkapan “Laa mauta illaa bil-
ajal” (Tidak ajal berpantang mati).

 Kyai Modjo juga menyebutkan QS an-Naml:27 yang merupakan ucapan Nabi Sulaiman kepada
Ratu Bilqis, (yang artinya): “Jangan kalian bersikap arogan terhadapku dan datanglah kepadaku
dengan menyerahkan diri.”  Ketika ditanya, apa maksud ungkapan itu, Kyai Modjo menjawab:
“Komt gij allen tot mijnen Vorst,  en gaat langs het pad der regtvaardigheit.” (Supaya kalian
datang menemui Pangeranku dan berjalanlah melalui jalan keadilan).

Kyai Modjo menegaskan, bahwa keinginan Diponegoro adalah agar hukum Islam seluruhnya
berlaku untuk orang Jawa. Sedangkan persengketaan antara orang Jawa dan orang Eropa
diputuskan berdasarkan hukum Islam dan persengketaan antara orang Eropa dengan orang
Eropa, dengan persetujuan Sultan, diputuskan berdasarkan hukum Eropa.  (Lihat, Rifyal Ka’bah,
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta).

Maka, sebenarnya merupakan tindakan yang tidak beradab, memandang pejuang Islam, seperti
Pangeran Diponegoro seolah-olah hanya berperang karena urusan tanah leluhurnya. Di buku
sejarah SMA bahkan masih ada yang memaparkan bahwa Khalifah Utsman bin Affan adalah
pemimpin yang lebih mementingkan keluarganya dibandingkan dengan negaranya. Pemaparan
seperti ini sangat tidak sesuai dengan fakta sejarah dan sangat tidak beradab. Karena itulah, para
penyelenggara pendidikan Islam harus benar-benar memeriksa materi pelajaran yang diajarkan
kepada siswanya. Mereka tidak bisa bersikap tidak peduli dan membiarkan siswa-siswa mereka
diajarkan berbagai materi pelajaran yang justru mengarahkan siswanya menjadi manusia-
manusia yang tidak beradab.

[Solo, 24 Juli 2009/www.hidayatullah.com]

Você também pode gostar