Você está na página 1de 7

Ku ingin ayahku seperti

itu*1

Posted by Nisfiyah Sya'baniyah


Munir 08.32, under

Argumentasi, Lelaki Shalih, dan Cinta

“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama


dan akhlaqnya meminang,” kata Rasulullah
mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka,
nikahkanlah dia.” Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki shalih
yang datang meminang putri seseorang.

“Apabila engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan lelaki


shalih itu, “Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
meluas.” Di sini Rasulullah mengabarkan sebuah ancaman atau konsekuensi jika
pinangan lelaki shalih itu ditolak oleh pihak yang dipinang. Ancamannya
disebutkan secara umum berupa fitnah di muka bumi dan meluasnya kerusakan.

Bisa jadi perkataan Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi para
orangtua dan putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika tidak menurutinya
adalah fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi. Kita bisa mengira-ngira
jenis kerusakan apa yang akan muncul jika seseorang yang berniat melamar
seseorang karena mempertahankan kesucian dirinya dan dihalang-halangi serta
dipersulit urusan pernikahannya. Inilah salah satu jenis kerusakan yang banyak
terjadi di dunia modern ini, meskipun banyak di antara mereka tidak meminang
siapapun.

Mari kita belajar tentang pinangan lelaki shalih dari kisah cinta sahabat Rasulullah
dari Persia, Salman Al Farisi. Dalam Jalan Cinta, Salim A Fillah mengisahkan
romansa cintanya. Salman Al Farisi, lelaki Persia yang baru bebas dari
perbudakan fisik dan perbudakan konsepsi hidup itu ternyata mencintai salah
seorang muslimah shalihah dari Madinah. Ditemuinya saudara seimannya dari
Madinah, Abud Darda’, untuk melamarkan sang perempuan untuknya.

“Saya,” katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak


perempuan, “Adalah Abud Darda’.”
1
http://v2-nizvy.blogspot.com/2011/02/ku-ingin-ayahku-seperti-itu.html
“Dan ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara saya,
Salman Al Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya berdebar.

“Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah


memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki
kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai
beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk
mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk
dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan terang.

“Adalah kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas


pinangan Salman, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah
yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang
sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya
serahkan pada putri kami.” Yang dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir
ruang itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pasti.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu
yang bicara mewakili putrinya. ”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka
dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak
pinangan Salman.”

Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah penolakan
pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman harus
membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan. Inilah
yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu. Rasa itu hanya satu arah
saja, bukan sepasang.

Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi
Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak
pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya,
“Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul bait.” Lelaki yang bertekad kuat untuk
membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas
pohon kurma dan 40 uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya
mengusulkan strategi perang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan
Islam dengan gemilang. Lelaki yang di kemudian hari dengan penuh amanah
melaksanakan tugas dinasnya di Mada’in dengan mengendarai seekor keledai,
sendirian. Lelaki yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya,
kecuali sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana dalam jabatannya pernah
dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang di ujung sekaratnya merasa
terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa pun perkakas yang berharga.
Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinangannya oleh perempuan yang
dicintanya.
Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah. “Namun, jika
Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah
menyiapkan jawaban mengiyakan,” kata si ibu perempuan itu melanjutkan
perkataannya. Anda mengerti? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih
peminangnya karena ia mencintai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar,
Abud Darda’. Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak.

Ada juga kisah cinta yang lain. Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah
binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia ingin mempererat kekerabatannya
dengan Sang Rasul dengan pinangan itu. Saat itu usia Fathimah menjelang
delapan belas tahun. Ia menjadi perempuan yang tumbuh sempurna dan menjadi
idaman para lelaki yang ingin menikah. Keluhuran budi, kemuliaan akhlaq,
kehormatan keturunan, dan keshalihahan jiwa menjadi penarik yang sangat kuat.

“Saya mohon kepadamu,” kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana


dikisahkan Anas dalam Fatimah Az Zahra, “Sudilah kiranya engkau menikahkan
Fathimah denganku.” Dalam riwayat lain, Abu Bakar melamar melalui putrinya
sekaligus Ummul Mukminin Aisyah.

Mendapat pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam dan berpaling.
“Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” kata beliau dalam riwayat lain. “Hai Abu
Bakar, tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah. Yang terakhir ini
diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. Maksud Rasulullah dengan
menunggu keputusan adalah keputusan dari Allah atas kondisi dan keadaan itu,
apakah menerima pinangan itu atau tidak.

Ketika Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia
mengatakan, “Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.”

Kemudian Umar mengambil kesempatan itu. Ia mendatangi Rasulullah dan


menyampaikan pinangannya untuk menikahi Fathimah binti Muhammad.
Tujuannya tidak terlalu berbeda dengan Abu Bakar. Bahkan jawaban yang
diberikan Rasulullah kepada Umar pun sama dengan jawaban yang diberikan
kepada Abu Bakar. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” ujar beliau.
“Tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah.

Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab langsung, ia
mengatakan, “Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.”

Kita bisa membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa hidup
Rasulullah pun ditolak pinangannya. Abu
Bakar adalah sahabat paling utama di antara seluruh sahabat yang ada.
Kepercayaannya kepada Islam dan kerasulan begitu murni, tanpa reverse ataupun
setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat julukan Ash Shiddiq. Ia adalah lelaki
yang disebutkan Al Qur’an sebagai pengiring jalan hijrah Rasulullah di dalam
gua.

Ia adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah dalam pelukan
Islam.

Ia adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa tertindas.

Ia adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad, dan hanya
menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh keluarganya.

Ia adalah orang yang ingin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah. Ia adalah
salah satu lelaki yang telah dijamin menginjakkan tumitnya di kesejukan taman
jannah. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.

Sementara, siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin Khathab. Ia
adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan.

Ia dan Hamzah lah yang telah mengangkat kemuliaan kaum muslimin di masa-
masa awal perkembangannya di Mekah. Ia lelaki yang seringkali firasatnya
mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi kepada Rasulullah. Ia adalah
lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musyrikin saat ia akan
berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam.

Ia lelaki yang sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia


menggantikan posisi Rasulullah dan Abu Bakar di kemudian hari.

Ia pula yang di kemudian hari membuka kunci-kunci dunia dan membebaskan


negeri-negeri untuk menerima cahaya Islam. Namun, lelaki shalih ini ditolak
pinangannya secara halus oleh Rasulullah.

Mari kita simak kenapa pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika
itu, Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat-shahabatnya dari
Anshar, keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih
terdahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad
kepada Rasulullah.

Ia menemui Rasulullah dan memberi salam.


“Hai anak Abu Thalib,” sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, ”Ada
perlu apa?”

Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana


dinukil Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. “Aku terkenang pada Fathimah binti
Rasulullah,” katanya lirih hampir tak terdengar. Dengar dan rasakan kepolosan
dan kepasrahan dari setiap diksi yang terucap dari Ali bin Abi Thalib itu.
Kepolosan dan kepasrahan seorang pecinta akan cintanya yang demikian lama. Ia
menggunakan pilihan kata yang sangat lembut di dalam jiwa, “Terkenang.” Kata
ini mewakili keterlamaan rasa dan gelora yang terpendam, bertunas menembus
langit-langit realita, transliterasi rasa.

“Ahlan wa sahlan!” kata Rasulullah menyambut perkataan Ali. Senyum


mengiringi rangkaian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita tidak
usah sebingung Ali memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu bermakna bahwa
pinangan Ali diterima oleh Rasulullah seperti yang dipahami rekan-rekan Ali.

Mari kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh Rasulullah.
Mari kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk memahami penolakan
pinangan dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan lelaki shalih yang ini. Kita
boleh punya pendapat tersendiri tentang masalah ini.

Ketika Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa
penolakan halus, kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab bisa jadi
itu adalah bahasa kias yang digunakan Rasulullah. Misalnya ketika Rasulullah
mengatakan bahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini tidak bisa diterjemahkan
sebagai kecil secara harfiah, sebab saat itu usia Fathimah sudah hampir delapan
belas tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk ukuran masa itu dan bangsa
Arab. Sementara Rasulullah sendiri berumah tangga dengan Aisyah pada usia
setengah usia Fathimah saat itu. Maka, kita harus memahami kalimat penolakan
itu sebagai bahasa kias.

Saat Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu
keputusan, ini juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana dipahami dua
lelaki shalih itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan pernyataan untuk
menggantung pinangan, sebab jika pinangan itu digantung, tentu saja Umar
dan Ali tidak boleh meminang Fathimah. Pernyataan itu adalah sebuah
penolakan halus.

Atau bisa jadi, saat itu Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin Abi
Thalib akan melamar Fathimah.
Beliau tahu sebab sejak kecil Ali telah bersamanya dan banyak bergaul dengan
Fathimah. Interaksi yang lama dua muda mudi sangat potensial menumbuhkan
tunas cinta dan memekarkan kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pernyataan
Rasulullah untuk meminta dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah
tentang pinangannya. Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui
bahwa putrinya dan Ali telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya
harapan pada keduanya untuk menikah. Rasulullah hanya sedang menunggu
pinangan Ali. Di masa mendatang sejarah membuktikan ketika Ali dan Fathimah
sudah menikah, ia berkata kepada Ali, suaminya, “Aku pernah satu kali
merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.” Saya yakin kita tahu siapa yang
dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif saya.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan singkat Ali, “Aku terkenang pada Fathimah
binti Rasulullah.” Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang diinginkan Ali.
Rasulullah sangat memahami ini. Beliau adalah seseorang yang sangat peka akan
apa-apa yang diinginkan orang lain dari dirinya. Beliau memiliki empati terhadap
orang lain dengan demikian kuat. Beliau memahami bentuk sempurna keinginan
seseorang seperti Ali dengan beberapa kata saja.

Dan jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, “Ahlan wa sahlan!”
Ungkapan sambutan selamat datang atas sebuah penantian.

Jadi, dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih yang
datang untuk meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan menimbulkan
fitnah di muka bumi ataupun kerusakan yang meluas. Wanita shalihah yang
dipinang Salman Al Farisi telah menunjukkan kepada kita, bahwa ia mencintai
Abud Darda’ dan menolak pinangan lelaki shalih dari Persia itu.

Rasulullah pun telah menunjukkan pada kita


bahwa ia menolak pinangan dua lelaki tershalih
di masanya karena Fathimah mencintai lelaki
shalih yang lain, Ali Bin Abu Thalib. Di sini, kita
belajar bahwa cinta adalah argumentasi yang
shahih untuk menolak, dan cinta adalah
argumentasi yang shahih untuk mempermudah
jalan bagi kedua pecinta berada dalam
singgasana pernikahan.

Mari kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan diabadikan
oleh Imam Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. “Wahai
Rasulullah,” kata lelaki itu, “Seorang anak yatim perempuan yang dalam
tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki, ada yang kaya dan ada yang
miskin.”
“Kami lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih memilih
lelaki yang miskin.” Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas sikap yang
sebaiknya dilakukannya. “Kami,” jawab Rasulullah, “Tidak melihat sesuatu
yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang yang saling mencintai, lam
nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”

Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa
lelaki ini, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati.
Menumbuhkan tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara
api. Seakan-akan Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-
akan Rasulullah mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian
hari.

“Cinta itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma’rah fi
‘Ashrir Risalah, “Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika
tujuannya adalah menikah.” Artinya yang satu menjadikan yang lainnya sebagai
teman hidup dalam bingkai pernikahan.

Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah


bersabda tentang dua manusia yang saling mencintai. “Tidak ada yang bisa dilihat
(lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,” kata Rasulullah, “Seperti
halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah. Ini adalah perkataan
Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa perkataan beliau adalah kebenaran.
Karena bagi dua orang yang saling mencintai, memang tidak ada yang lebih
indah selain pernikahan. Karena cintalah yang menghapus fitnah di muka
bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, insya Allah.

[Shabra Shatilla]

Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah
argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta
berada dalam singgasana pernikahan.

Você também pode gostar