Você está na página 1de 11

Apakah Jakarta Aman Terhadap Gempa Disain Maksimum

Oleh: Dradjat Hoedajanto1

ABSTRAK
Bangunan di Jakarta dibangun berdasarkan 4 era standar konstruksi, yaitu (1) GBV & PBI-55, (2) PBI-71,
(3) PPTGIUG-83 & SNI Beton 91, dan (4) SNI Beton 2002 & SNI Gempa 2002 dengan beban gempa
disain dan detailing yang berbeda-beda. Gempa Indramayu 9 Agustus 2007 mengguncang Jakarta dan
menyebabkan warganya berhamburan “menyelamatkan diri” keluar gedung bahkan dari gedung tinggi.
Padahal dampaknya hanya menimbulkan percepatan di batuan dasar Jakarta lk 4% gravitasi, jauh kecil
dibandingkan dengan nilai gempa disain SNI Gempa 2002 yang lk 15% gravitasi.

Pengamatan menunjukkan bahwa kerusakan pasca gempa dari engineered buildings maupun non-
eningeered buildings yang terjadi di seluruh Indonesia terutama dipicu oleh praktek konstruksi yang non-
standar. Lalu apakah Jakarta sudah dibangun sesuai dengan standar konstruksi yang ada? Belum
diterapkannya persyaratan sertifikasi profesi ahli dan teknisi konstruksi secara ketat secara langsung
membuka peluang bagi praktisi yang tidak tahu dan non-etis untuk tidak mengikuti ketentuan SNI.

Bangunan pra 2002 didisain maksimal terhadap gempa 200 th, padahal gempa disain SNI Gempa 2002
adalah gempa 500 th? Bahkan Draft Seismic Hazard Map USGS 2007 menetapkan beban gempa disain
yang lebih besar lagi. PSITG-ITB bekerja sama dengan HAKI dan USGS sedang meneliti hal ini. PemDa
DKI Jakarta seyogyanya mulai melangkah mengambil kebijakan untuk menetapkan perlunya kajian ulang
atas semua ketentuan terkait, khususnya untuk menghindarkan kasus Northridge th 1994, Kobe th 1995,
dan Pakistan th 2005. Program microzoning, reevaluasi peta seismic hazard, penerapan seismic risk
management, dan retrofitting bangunan dengan konsep Performance Based Earthquake Engineering
perlu ditetapkan sebagai tanggung jawab dan kebijakan dasar PemDa untuk menghindarkan terjadinya
kerugian tak terduga di masa mendatang.

KATA KUNCI: beban gempa disain, kerusakan pasca gempa, sertifikasi profesi ahli dan teknisi
konstruksi, engineered dan non-engineered buildings, PSITG-ITB, HAKI, SNI, USGS, reevaluasi Seismic
Hazard Map, microzoning, seismic risk management, retrofitting, Performance Based Earthquake
Engineering.

                                                            
1
   Associate Professor, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan - Institut Teknologi Bandung
Ketua, Program Studi Infrastruktur Tahan Gempa - ITB
Ketua, Program Sertifikasi Profesi - Himpunan Akhli Konstruksi Indonesia

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 1 


 
1. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun ini, tercatat begitu banyak petaka alam yang datang melanda berbagai tempat di
Negara kita yang bukan saja silih berganti tetapi seolah menunjukkan kecenderungan akan datangnya
petaka yang makin hebat didalam waktu dekat. Satu persatu bencana datang membawa kerusakan dan
kerugian nyawa dan harta yang tidak terbilang jumlah dan nilainya. Gempa, tsunami, letusan gunung
berapi, longsor, angin puting beliung, dan cuaca yang tidak bersahabat yang mengakibatkan banjir dan
pasang yang tak terkendali, berdatangan mengakibatkan kerusakan pada bangunan, sarana, dan alam
sekitar yang ada seolah memberikan kesaksian atas tingkat kerawanan bangunan dan prasarana kita
terhadap bencana alam yang bisa datang menerpa. Belum lagi kalau kita perhitungkan petaka yang
telah dan mungkin masih akan terjadi akibat ulah kita manusia yang kurang mampu “menghargai” alam
dan lebih mementingkan keuntungan sesaat bagi kelompok. Memperhatikan segala hal ini, khususnya
mengingat pentingnya arti kota Jakarta bagi bangsa Indonesia dan adanya kekhawatiran gempa besar
akan melanda Jakarta dalam waktu dekat, menjadi pertanyaan adalah apakah bangunan dan sarana di
Jakarta aman terhadap gempa disain maksimum yang mungkin datang menghantam?

Kota Metropolitan Jakarta yang berfungsi sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan yang juga
menjadi pusat dari kegiatan bisnis di Indonesia secara phisik merupakan kota yang paling maju tingkat
pembangunannya di Indonesia. Saat ini berbagai bangunan berdiri di Jakarta, mulai dari perumahan
sangat sederhana, rumah-rumah mewah hingga bangunan tinggi pencakar langit dan jembatan serta
flyover yang menjadi landmark tersebar diberbagai penjuru kota. Berdasarkan masa pembangunannya,
bangunan di Jakarta dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) era pembangunan yaitu (1) era pra 1970-an,
(2) era th 1970 – 1980, (3) era th 1990 – 2000 dan (4) era pasca th 2000. Era Pra 1970-an merupakan
gabungan dari kelompok bangunan yang dibangun dijaman belanda dengan GBV-nya dan yang
dibangun setelah kemerdekaan dengan Peraturan Beton Indonesia – PBI-55 [1]. Era 1970 – 1980
pembangunan terutama ditumpukan pada Peraturan Beton Indonesia – PBI-71 [2]. Era 1990 – 2000
merupakan perkembangan dari penggunaan SNI Beton 91 [3] yang dikombinasikan dengan PPTGIUG
1983 [4], dan era pasca th 2000 merupakan era di mana pembangunan didasarkan pada SNI Gempa
2002 (SNI 03-1726-2002) [5] dan SNI Beton 2002 (SNI 03-2847-2002) [6].

Gempa yang terjadi pada hari Kamis tanggal 9


Agustus yang baru lalu dengan sumber gempa di
utara Indramayu dengan kedalaman 289 km dan
magnitude Mb 7.5 [USGS, 2007], lihat Gambar 1,
membuat panik penduduk Jakarta. Banyak warga
“menyelamatkan diri” berlarian keluar dari bangun-
an tempat tinggalnya, termasuk hotel dan apar-
temen bertingkat tinggi, turun menggunakan tang-
ga. Bagi mereka yang sudah mulai berusia lanjut /
mempunyai kendala kesehatan, hal ini mungkin
membahayakan. USGS menyatakan bahwa gem-
pa ini mengakibatkan percepatan pada tingkat
batuan dasar di Jakarta sebesar 4% g. Nilai yang
masih jauh di bawah ketentuan gempa disain SNI
Gempa 2002 untuk Jakarta yaitu 15% g (Gambar
2). Jelas bahwa gempa Indramayu yang mengaki-
batkan keretakan rambut pada beberapa bangun-
Gambar 1  Gempa Indramayu 9/8/07
an tinggi dan kerusakan pada bangunan sederha-
na di Jakarta sesungguhnya untuk Jakarta masih masuk dalam kelompok gempa ringan. Di sini peran
PemDa yang memberi penerangan tentang langkah mitigasi gempa yang benar akan banyak membantu.

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 2 


 
Gambar 2  Peta hazard seismik Indonesia, SNI 03‐1726‐2002, percepatan pada 
batuan dasar, untuk Probability of Exceedance 10% dalam 50 tahun 

Jakarta, BRA = 25 – 30 %g

Gambar 3 Draft – Seismic Hazard Map of West Indonesia – USGS 2007 [7]

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 3 


 
Apakah bangunan dan sarana kita aman terhadap kemungkinan gempa maksimum? Selanjutnya bila
mengingat besarnya angin putting beliung beberapa saat yang lalu, aman pulakah terhadap beban angin
maksimum yang mungkin menerpa Jakarta? Apakah gempa dan angin yang lebih besar dari apa yang
telah dirasakan selama 50 tahun terakhir ini masih bisa menerpa Jakarta? Kapan? Berapa besarkah
tingkat kerusakan yang mungkin terjadi? Rusak berat2 atau bahkan Total Collapse hingga melumpuhkan
semua kegiatan kota atau sekedar rusak ringan yang tidak menghambat? Bangunan-bangunan
manakah yang rawan terhadap kemungkinan kerusakan yang cukup parah? Bukankah Jakarta dengan
Tim Penasehat Konstruksi Bangunannya yang telah ada sejak tahun 1974 mengawasi pembangunan
kota dengan sepenuhnya mengikuti ketentuan dan peraturan bangunan yang mutahir hingga seharusnya
aman terhadap kemungkinan kerusakan akibat beban-beban bangunan yang mungkin terjadi selama
masa layannya? Bagaimanakah tingkat keamanan bangunan pra 2002 yang hanya didisain terhadap
gempa 200 th padahal SNI Gempa 2002 menetapkan gempa disain 500 th? Selanjutnya apakah dampak
dari studi USGS (lihat Gambar 3) yang menghasilkan Draft Seismic Hazard Map 2007 untuk Indonesia
Barat [7] yang merekomendasikan gempa disain yang lebih besar dari SNI Gempa 2002?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak seorangpun mampu menjawab secara akurat, atau
barangkali lebih tepatnya belum seorangpun mau mencoba menjawab secara apa adanya. Fakta akan
lemahnya code enforcement yang diikuti dengan adanya praktek-praktek pembangunan yang tidak
sepenuhnya mengikuti ketentuan Standard dan Code yang ada, terutama yang dipicu oleh dorongan
pengembang yang hanya mementingkan Rp./m2 yang serendah mungkin atau oleh perencana yang
sadar atau tidak sadar semata-mata mempromosikan layanannya yang “mampu” memberikan struktur
yang lebih murah tetapi sesungguhnya tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan Code yang ada, secara
langsung makin membuka kemungkinan terjadinya kerusakan parah dan bahkan mungkin total collapse
bila bangunan-bangunan tersebut menerima beban gempa maksimum. Hal ini terjadi kemungkinan
karena para pihak terkait tidak memahami bahwa ketentuan dalam Code adalah rekomendasi minimum
untuk kondisi standar dan bukan rekomendasi maksimum untuk segala kondisi yang secara legal bisa
ditawar. Semuanya dikaitkan pada konsep bahwa Code dibuat untuk menjaga keamanan publik.

Sebagai enjinir yang menggeluti dan berprofesi di dunia konstruksi, anggota HAKI tidak dibenarkan
mengambil sikap negatif seperti itu. Perkembangan teknologi konstruksi saat ini telah demikian maju
hingga praktis kita mampu untuk membangun dengan memperhitungkan dengan cermat tingkat resiko
yang harus dihadapi dan menghasilkan bangunan yang relatif aman dengan biaya konstruksi yang dapat
dipertanggung jawabkan. Mengingat bahwa biaya struktur gedung tinggi (termasuk pondasi) umumnya
hanya berkisar antara 20-25 % dari biaya total gedung, sikap memaksakan “penghematan struktur” yang
bisa menyebabkan turunnya kenyamanan layan atau bahkan turunnya tingkat keamanan struktur jelas
merupakan langkah yang tidak dapat dibenarkan. Etika profesi haruslah menjadi salah satu penuntun
utama bagi praktisi ahli HAKI dalam menjalani profesinya, dan salah satu kebijakan dasar yang harus
selalu menjadi pegangan adalah sikap untuk mengedepankan CODE COMPLIENCE karena konsep
dasarnya Code of Practices disepakati dan ditetapkan sebagai persyaratan minimum untuk kondisi
standar. Sebagai pegangan praktis, mengingat masih rendahnya kemampuan kita untuk melakukan
penelitian yang mendalam dan menyeluruh, maka sikap mengikuti rekomendasi yang ditetapkan di
Negara maju (dalam hal struktur beton kita mengacu ke ACI) merupakan sikap praktis yang paling benar
dan paling dapat dipertanggung jawabkan.

1.1 Pembangunan Jakarta dan Masalah Teknis yang Ada


Secara teknis awal dari terbentuknya Metropolitan Jakarta dengan gedung-gedung pencakar langit dan
jembatan serta flyovernya dimulai dengan pembangunan Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Gelora

                                                            
2
   Rusak berat akibat gempa disain adalah konsekuensi dari kosep disain Life Safety yang dianut oleh SNI Gempa 2002

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 4 


 
Senayan, Gedung MPR, Jembatan Semanggi, dan Monumen Nasional. Hotel Indonesia dan Wisma
Nusantara dibangun di awal tahun 60-an menggunakan knowhow dari Jepang. Gelora Senayan
dibangun dengan menggunakan knowhow Rusia. Sedangkan gedung MPR dan jembatan Semanggi
dibangun dibawah pimpinan Ir. Sutami (alm) yang memanfaatkan sistem prategang. Monumen Nasional
dibangun oleh insinyur-insinyur Indonesia a.l. Prof. Ir. Roosenno (alm) dan Ir. Hamid Shahab (alm)
dengan kondisi di mana tidak jarang dialami kesukaran dalam mendapatkan material konstruksi
khususnya semen dan baja tulangan, hingga sebagian dari tulangan yang digunakan di bagian pondasi
gedung adalah batang-batang baja rel kereta. Saat itu Pedoman Teknis yang digunakan adalah
Peraturan Beton Indonesia (PBI) – 55 dengan peraturan muatan yang utamanya mengedepankan
masalah beban gravitasi.

Di awal tahun 70-an, lahirlah PBI-71 menggantikan PBI-55 dengan mengambil acuan utama ACI 318 dan
beberapa ketentuan dari Belanda (GBV). Di akhir tahun 70-an Beca Carter, Ferner and Hollings dari
New Zealand dibantu oleh beberapa tokoh konstruksi nasional menerbitkan Indonesia Earthquake Study
yang kemudian menjadi cikal bakal dari Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung
(PPTGIUG) di tahun 1983. Lengkaplah langkah persiapan bangsa Indonesia memasuki era bangunan
modern. Istilah bangunan daktail untuk gedung tahan gempa mulai dikenal dan dipraktekkan di
lapangan. Ciri khas dari struktur beton yang daktail adalah detailing dari penulangannya yang sistimnya
didapat dari studi laboratorium dan pengamatan lapangan yang sangat komprehensif dan lama. Jenis
material tulangan juga menjadi hal yang dicermati untuk memastikan bahwa perilaku detail yang dibuat
sesuai dengan karakteristik perilaku studi penelitian yang disepakati. Salah satu kontribusi yang berarti
dari PPTGIUG-83 adalah peta zona gempa yang didasarkan pada konsep equal risk dengan beban
gempa disain 200 th dan masa layan bangunan 30 th.

Gambar 4 Kondisi bangunan pasca gempa (R.O. Hamburger, San Francisco, CA, USA)

Perkembangan lanjut yang terjadi adalah lahirnya SNI Beton 91 yang didasarkan sepenuhnya pada ACI
318 yang menggantikan PBI-71 dan kemudian SNI Gempa 2002 yang secara konsep mengacu pada
UBC-97 [8]. Sejalan dengan perkembangan yang terjadi di dunia luar, maka masa layan bangunan
(khususnya bangunan tinggi) minimum diambil menjadi 50 tahun dan beban gempa disain diambil
menjadi 500 th. Konsep disain bangunan tahan gempa masih didasarkan pada konsep Life Safety yang
mengedepankan keselamatan penghuni pada saat gempa maksimum terjadi (bangunan boleh rusak
berat, tetapi tidak boleh runtuh, Gambar 4). Saat ini SNI Beton 1991 telah digantikan oleh SNI Beton
2002 yang mengacu pada ACI 318M-99.

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 5 


 
Digantikannya fungsi UBC-97 oleh IBC di tahun 2000, yang sekarang sudah terbit dengan 2006 IBC [9],
dan ASCE 7-05 [10] melahirkan tantangan lanjut yang perlu disikapi khususnya dengan munculnya
konsep Performance Based Earthquake Engineering dan Performance Based Earthquake Design [11] di
mana faktor Target Performance menjadi suatu isu yang perlu dirundingkan dan disepakati bersama oleh
para pihak terkait, termasuk pemilik dan pengelola bangunan. Konsep mendisain Bangunan Tahan
Gempa tidak lagi sepenuhnya didasarkan pada konsep Life Safety. Unsur Kelaikan Layan pasca gempa
menjadi suatu pertimbangan dan sejalan dengan hal tersebut disain tidak lagi didominasi oleh strength
concept saja. Unsur kekakuan bangunan yang parallel dengan tingkat kerusakan pasca gempa menjadi
unsur yang diperhatikan dan bahkan di-”target”-kan sejak langkah awal disain. Ditailing yang benar tetap
menjadi tumpuan dari performance yang direncanakan. Pengamatan yang dilakukan terhadap
kerusakan dan keruntuhan bangunan pasca gempa di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan bahwa
penyebab utama dari rusak dan runtuhnya bangunan tersebut mayoritasnya adalah karena pelaksanaan
konstruksi yang tidak sesuai standar (SNI). Penggunaan tulangan dan detailing yang salah/tidak sesuai
standar merupakan factor penentu yang paling banyak.

Uraian di atas secara tidak langsung memberikan gambaran mengenai masalah yang dihadapi oleh
bangunan-bangunan di Jakarta, khususnya bangunan pra 2002. Walaupun kita tidak perlu panik atas
kemungkinan bahwa bangunan-bangunan tersebut akan roboh akibat beban gempa maksimum, perlu
diambil sikap bahwa minimal semua bangunan tersebut harus direview dengan seksama dengan
memanfaatkan konsep Performance Based Earthquake Design. Tiap bangunan harus dikaji dengan
seksama, ditetapkan nilai kepentingannya dikaitkan dengan konsep Seismic Risk Management yang
sesuai untuk kemudian di retrofit untuk meningkatkan nilai keamanan bangunan sesuai dengan standar
minimum yang berlaku. Merupakan tanggung jawab kita bersama bahwa bangunan-bangunan tersebut
tidak mengalami rusak parah yang tidak bisa direpair akibat gempa maksimum yang mungkin di rasakan
di Jakarta. Definisi respon bangunan yang diberikan oleh ATC 40 [12] berikut merupakan target respon
yang dapat dijadikan pegangan dalam mengevaluasi respon bangunan-bangunan di Jakarta terhadap
gempa disain maksimum (lihat ATC-40 Vol 1 Hal 3-6, Pasal 3.3.7).

Tabel 1 Definisi Building Performance berdasarkan ATC-40

BUILDING PERFORMANCE LEVEL (ATC-40)


NON-STRUCTURAL STRUCTURAL PERFORMANCE LEVEL
PERFORMANCE LEVEL SP-1 SP-2 SP-3 SP-4 SP-5 SP-6
NP-A 1-A 2-A NR NR NR NR
OPERATIONAL
NP-B 1-B 2-B 3-B NR NR NR
IMMEDIATE OCCUPANCY
NP-C 1-C 2-C 3-C 4-C 5-C 6-C
LIFE SAFETY
NP-D NR 2-D 3-D 4-D 5-D 6-D
HAZARDS REDUES
NP-E NR NR 3-E 4-E 5-E NOT
NOT CONSIDERED APPL.
SP-1 Immediate Occupancy SP-4 Limited Safety (range)
SP-2 Damage control (range) SP-5 Structural Stability
SP-3 Life Safety SP-6 Not Considered
NR: Not Recommended NOT APPL.: Not Applicable

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 6 


 
2. KERUSAKAN BANGUNAN DI INDONESIA AKIBAT GEMPA
Gambar 4 dan 5 menunjukkan kerusakan tipikal pada bangunan-bangunan di Indonesia akibat gempa.
Bila dicermati, kerusakan yang terjadi baik pada engineered maupun non-engineered buildings penyebab
utamanya adalah praktek konstruksi yang tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan/persyaratan Code,
terutama penggunaan tulangan dan detailing yang tidak sesuai untuk bangunan tahan gempa hingga
bangunan runtuh walau gempa lebih kecil dari gempa disain.

TULANGAN: JENIS DAN DITAIL SALAH 
BETON: MUTU MERAGUKAN 
KOLOM 
PATAH 

Gambar 4  GEDUNG STIE YOGYAKARTA

Keruntuhan terjadi karena kolom jadi sendi plastis  Gambar 6  Rumah rakyat di BAceh tidak rusak

Gambar 5  Gedung Keuangan Negara Banda Aceh 

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 7 


 
Mencermati kondisi dari bangunan-bangunan yang tidak mengalami kerusakan atau hanya sedikit rusak
setelah gempa, umumnya hal tadi dicapai karena penggunaan material yang baik dan juga praktek
detailing yang sesuai untuk kondisi gempa. Ini terlihat baik pada bangunan engineered maupun non-
engineered seperti yang terlihat pada Gambar 6.

Khusus mendalami kemungkinan rusak dan runtuhnya bangunan akibat gempa, salah satu sumber
masalah adalah kurang tepatnya langkah perencanaan struktur bangunan secara keseluruhan, termasuk
pondasinya. Hadirnya software struktur komersial yang serba otomatis tidak jarang menjerumuskan
praktisi konstruksi hingga tidak sedikit yang merasa mampu melakukan perhitungan dan perencanaan
bangunan berbagai bentuk walau kurang didukung dengan pengalaman dan pemahaman yang baik
mengenai standar praktek sesuai Code yang ada. Fakta bahwa Analisis dan Perencanaan Bangunan
Tahan Gempa umumnya tidak diajarkan secara formal di tingkat S-1 umumnya menyebabkan kurangnya
pemahaman atas konsep dasar dari respon bangunan terhadap beban gempa. Apalagi bila masalah
respon inelastic dan kontribusi sistem pondasi yang di atas tanah lunak sekaligus diperhitungkan. Tidak
jarang karena merasa sudah menggunakan software struktur standar dan opsi otomatisnya (termasuk
opsi Code yang diikuti) di on kan, praktisi merasa bahwa perencanaannya sudah pasti benar. Hal yang
seringkali tidak benar adanya karena sesungguhnya proses perencanaan bangunan tahan gempa
dimulai dari saat pemilihan sistem struktur, termasuk konfigurasinya, dan pemilihan pemodelan elemen
struktur yang diambil. Bukti yang ada di lapangan, baik pada saat kondisi layan biasa maupun kondisi
pasca gempa, menjadi bukti atas masih kurangnya pemahaman yang baik dari para praktisi konstruksi
mengenai teknik-teknik yang perlu dikuasai dan diterapkan untuk mendapatkan bangunan tahan gempa
yang memberikan respon sesuai yang kita inginkan.

Pergantian dan penyempuranaan Code yang disesuaikan dengan kemajuan knowhow yang ada secara
langsung membawa akibat pada kualitas struktur yang dihasilkan di lapangan. Kehancuran Northridge di
tahun 1994 dan Kobe di tahun 1995 akibat gempa menjadi contoh klasik dari keterbatasan pemahaman
kita mengenai kegempaan, lihat Gambar 7, yang disamping karena gempa yang terjadi di luar dugaan
lebih dari gempa disain yang disepakati waktu dibangun dan detailing yang ada belum sepenuhnya
mengikuti detailing terakhir yang disesuaikan dengan kemajuan yang dicapai dari saat ke saat.
Penyempurnaan dari sistem struktur dapat dilihat pada Gambar 8 dari pilihan sistem struktur baru yang
menggantikan struktur yang collapse pada Gambar 7.

Gambar 7 Hanshin Expressway, Kobe – 1995 Gambar 8 Hanshin Expressway yang baru

Kenyataan bahwa Amerika dan Jepang yang sudah relatif maju bisa juga mengalami keruntuhan
bangunan akibat gempa seperti Gambar 7 karena faktor di atas perlu dijadikan pemicu untuk menyikapi
secara positif indikasi yang disampaikan oleh USGS dalam Draft Seismic Hazard Map 2007 yang
disampaikan di Gambar 3 yang mengindikasikan nilai gempa disain yang lebih tinggi dari SNI Gempa

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 8 


 
2002. Pusat Studi Infrastruktur Tahan Gempa ITB (PSITG-ITB) dan HAKI saat ini sedang membina kerja
sama dengan USGS untuk mereview masalah ini secara detail dan menyusun usulan peta hazard
seismic pengganti yang didasarkan pada state-of-the-arts teknologi kegempaan3 dengan mencermati
data-data geologi dan seismologi yang diharapkan lebih lengkap, “akurat”, dan dapat dipertanggung
jawabkan. Diharapkan sebelum akhir tahun ini telah dapat disampaikan draft yang dapat diajukan pada
para ahli dan praktisi terkait untuk direview dan disempurnakan. Secara konseptual apa yang ditargetkan
adalah menyampaikan satu seri peta hazard seismic4 untuk Indonesia sesuai dengan Teknologi yang
disampaikan oleh IBC 2006 dan ASCE 7-05. Kita harapkan dengan melengkapi semua yang harus
dilengkapi, mereview semua yang harus direview, dan dengan menetapkan penerapan ketentuan
Standar Praktek sesuai Code secara maksimal bisa dihindarkan keruntuhan bangunan di Jakarta seperti
yang terjadi di Pakistan tahun 2005 yang lalu.

Pakistan, 8 Oktober 2005, 7.6 M

Gempa dan malpraktek konstruksi bukan monopoli Indonesia

3. FAKTA, KESIMPULAN dan SARAN


Memperhatikan semua tinjauan yang telah disampaikan di atas, pertanyaan mengenai aman tidaknya
bangunan di Jakarfta terhadap gempa disain maksimum perlu disikapi dengan hati-hati dan ditindak
lanjuti dengan menyepakati perlunya kebijakan bersama yang positif. Secara singkat beberapa hal yang
perlu dikedepankan adalah:

• Bahaya gempa bagi Kota Jakarta adalah masalah yang nyata, MINIMAL sesuai dengan apa yang
telah direkomendasikan dalam SNI Gempa 2002 yang sedang diupayakan penyempurnaannya.
                                                            
3
   Teknologi source 3-D dan software terakhir dari USGS
4 th
   Peta hazard seismic untuk Probability of Exceedance 10% dalam 50 untuk 0.2 det dan 1.0 det spectral responses
acceleration dan long-period transition period TL.

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 9 


 
Perlu dicatat bahwa Gempa Indramayu 9 Agustus 2007 yang lalu untuk kota Jakarta termasuk
gempa ringan dan masih jauh di bawah gempa minimum yang ditentukan oleh SNI Gempa 2002;
• Banyak bangunan di Jakarta yang dibangun sebelum tahun 2002 yang didasarkan pada Standar
Praktek pra th 2002 dan perlu direview ulang ketahanannya terhadap beban gempa disain sesuai
dengan kesepakatan saat ini;
• Saat ini masih ada praktek konstruksi di lapangan yang tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan
dari Standar Praktek yang terbaru hingga efektivitas dari struktur bangunan terkait secara
keseluruhan untuk “melawan” dan mendisipasi beban gempa perlu disangsikan;
• Kegagalan bangunan akibat gempa di seluruh Indonesia umumnya dipicu oleh praktek konstruksi
yang tidak sesuai standar dimana praktisi yang terlibat tidak jarang adalah praktisi yang tidak
memiliki pengetahuan teknik kegempaan yang cukup. Persyaratan sertifikasi profesi ahli dan
terampil perlu secara sistimatis diterapkan secara lebih konsisten dan ketat;
• Belum ada pinalti yang serius yang dijatuhkan pada praktisi konstruksi yang tidak mengikuti
Standar Praktek sesuai Code yang disepakati tanpa pembuktian yang dapat diterima secara
professional sesuai pola kesepakatan internasional. Hal ini perlu disikapi dengan menerapkan
kebijakan pinalti yang mendidik dan positif untuk menghindarkan terjadinya petaka yang tidak
diharapkan dimasa depan;
• Indikasi yang disampaikan oleh USGS bahwa Jakarta harus didisain terhadap beban gempa
yang lebih tinggi perlu dicermati dan dikaji hingga tuntas. Upaya yang sedang dikerjakan oleh
PSITG-ITB, HAKI, dan USGS untuk melakukan final review atas masalah ini perlu diteruskan dan
pada saatnya dikaji serta direview bersama untuk mendapatkan kesepakatan akhir yang dapat
dipertanggung jawabkan secara nasional maupun internasional;
• Amanah untuk “menjaga” keamanan publik sesuai Undang-Undang ada di tangan Pemerintah.
Untuk kota Jakarta hal ini tentunya menjadi tanggung jawab PemDa DKI Jakarta dengan segala
jajaran sarana dan prasarananya;
• PemDa DKI Jakarta perlu segera menetapkan kebijakan bahwa bangunan-bangunan pra 2002
harus direview ulang keamanannya terhadap gempa dan di-retrofit seperlunya, khususnya ba-
ngunan-bangunan yang bersejarah, untuk menjamin didapatnya kondisi Jakarta yang aman
terhadap gempa;
• Konsep disain dan retrofitting bangunan yang didasarkan pada Performance Based Earthquake
Engineering dan Performance Based Earthquake Design perlu dipelajari dan dijadikan dasar bagi
pengelolaan dan pembangunan lanjut Kota Jakarta;
• Masyarakat Jakarta seperti juga masyarakat Indonesia pada umumnya tidak memiliki pedoman
dan petunjuk bagaimana harus mengambil sikap dalam kondisi bencana gempa. PemDa DKI
Jakarta perlu segera menyiapkan program mitigasi bencana yang lebih siap pakai untuk
dimasyarakatkan secara masal agar dapat menghindarkan terjadinya kerugian yang tidak perlu
akibat respon masyarakat yang kurang sesuai dalam menghadapi bencana gempa;
• Langkah proaktif lain yang dapat dilakukan oleh PemDa DKI Jakarta adalah memanfaatkan data
yang ada mengenai kondisi tanah di Jakarta untuk menyusun microzonasi kota Jakarta yang
selanjutnya dapat digunakan oleh semua pihak bagi kepentingan dan keamanan masyarakat
pada umumnya;
• Mengingat sifat dan fungsinya sebagai kota metropolitan, Jakarta perlu menerapkan kebijakan
pengelolaan keamanan bangunan terhadap gempa yang didasarkan pada konsep seismic risk
management yang dapat dipertanggung jawabkan, antara lain dengan mengundang partisipasi
yang lebih aktif dari bisnis asuransi.

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 10 
 
DAFTAR REFERENSI
1. PBI-55, Peraturan Beton Indonesia – 1955
2. PBI-71, Peraturan Beton Indonesia – 1971
3. SNI Beton 91, “Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung – 1991”
4. PPTGIUG 1983, “Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung – 1983”
5. SNI Gempa 2002, “Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung –
SNI 03-1726-2002”
6. SNI Beton 2002, “Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung – SNI 03-2847-
2002”
7. USGS, Komunikasi pribadi, Draft – Seismic Hazard Map of West Indonesia – 2007.
8. UBC-97, Uniform Building Code – 1997
9. 2006-IBC, “International Building Code – 2006”
10. ASCE 7-05, “Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures”
11. Bertero, R.D., and Bertero, V.V. “Performance-Based Seismic Engineering: Development and
Application of a Comprehensive Conceptual Approach to the Design of Buildings”, Earthquake
Engineering from Engineering Seismology to Performance-Based Engineering, Bozorgnia, Y.,
and Bertero, V.V., Editors, CRC Press, Florida, USA, 2004.
12. ATC-40, “Seismic Evaluation and Retrofit of Concrete Buildings”, Vol. 1, November 1996.

Seminar dan Pameran HAKI – “KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA” Page 11 
 

Você também pode gostar