Você está na página 1de 3

Semangat berukhuwah yang menggelora ternyata tak jarang

memunculkan masalah. Di antaranya sebuah fenomena,


sebagian kaum muslimin, saat melakukan muamalah dengan saudaranya sesama muslim, kurang
menjaga komitmen terhadap aturan-aturan syariat.
Memang semangat ukhuwah adalah sebuah keharusan dan tuntutan. Ia adalah nikmat Allah 
yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya yang shaleh. Tapi, semangat
yang menggelora itu tidak boleh mengalahkan aturan-aturan syariat, sehingga menyebabkan muamalah
menjadi haram.
Nyatanya, muamalah-muamalah yang terjadi antar sesama ikhwah (saudara) telah terkotori
oleh berbagai pelanggaran syariat. Di antaranya adalah:
1. Tidak mencatat utang dan pinjaman
Seorang muslim meminjamkan sejumlah harta kepada saudaranya sampai batas waktu tertentu
yang disepakati tanpa mencatatnya. Ia mengira bahwa permintaan untuk mencatat akan mengurangi
nilai ukhuwah. Padahal, Allah  telah memerintahkan kita untuk mencatat utang. Allah  berfirman,
artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”(QS. al-Baqarah: 282).
Utang yang tak dicatat akan berdampak pada hilangnya banyak hak, sebab umur manusia ada di
tangan Allah. Selain itu juga dapat memunculkan kecurigaan, keraguan, dan rusaknya jalinan ukhuwah
saat terjadi kelupaan dan kesalahan.
2. Memanfaatkan rasa malu dan rasa tidak enak
Seorang akh (saudara) memperlambat pembayaran atau penunaian hak-hak yang menjadi
tanggungannya, padahal ia mampu. Dalam hal ini ia mengeksploitasi rasa malu dan rasa tidak enak
saudaranya.
Ini merupakan pelanggaran syariat Allah , karena Rasulullah  telah menjelaskan dengan
sabdanya,

 ‫ َمطْ ُل الْغَيِن ِّ ظُْل ٌم‬


“Penundaan seorang yang mampu adalah kezhaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang mampu yang memperlambat penunaian hak yang menjadi kewajibannya haruslah
dihukum. Dasarnya adalah hadits Rasulullah :

ِ ِ ِ
َ ‫ يَلُّ الْ َو ِاجد حُي ُّل ع ْر‬
 ُ‫ضهُ َوعُ ُق ْو َبتَه‬
“Penundaan orang yang sudah berpunya (mampu membayar) menghalalkan harga dirinya
dan menghalalkan penimpaan hukuman padanya.”(HR. Bukhari secara mu’allaq dan di-maushul-
kan oleh Ahmad, Ishaq, Abu Dawud dan An-Nasa’i dan berkata Syaikh al-Albani sanadnya hasan).
Karena itu, tidak pantas seorang muslim memanfaatkan perasaan malu saudaranya dan rasa
tidak enaknya, lalu ia mengambil sesuatu darinya yang ia tidak berhak atasnya, atau ia memperlambat
diri dalam membayar hak-hak yang menjadi tanggungannya kepada saudara-saudaranya, padahal ia
mampu.
Justru ukhuwah yang jujur seharusnya mendorongnya untuk menjaga harta saudaranya, dan ia
mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.
3. Tidak menghitung saat menerima harta atau uang dari orang lain
Sering sekali seorang akh sembrono dalam masalah menghitung harta atau uang saat menerima
dari saudaranya, ia berprasangka bahwa hal ini akan memengaruhi hubungan persaudaraan, atau akan
menyinggung kejujuran dan amanah.
Saat seorang muslim menghitung hartanya di kemudian hari, ternyata jumlahnya kurang, ia
kembali kepada saudaranya dan memberitahukannya tentang kekurangan ini. Nah, di sana ada banyak
kemungkinan bagi munculnya kecurigaan. Hal ini sering sekali menyinggung rasa persaudaraan.
Saat seorang muslim menerima harta dari muslim lainnya, hitunglah terlebih dahulu di hadapannya.
Dengan cara demikian, ia tetap menjaga semangat ukhuwah di antara keduanya.
4. Memberikan rekomendasi kerja atas dasar perasaan
Seorang muslim memberikan rekomendasi kerja kepada saudaranya bertolak pada perasaan dan
bukan atas dasar kecakapan. Maka dampak-dampak yang dapat ditimbulkannya adalah kualitas
pelaksanaan menurun, produktivitas melemah dan kesulitan mencari jalan keluar darinya (memecatnya)
karena takut menyinggung rasa ukhuwah dan cinta kasih karena Allah.
Dalam hal ini terdapat pelanggaran syariat Allah, di mana amanah dalam memberikan
rekomendasi hendaklah didasarkan pada nilai-nilai iman dan akhlak serta nilai-nilai kecakapan teknis.
Allah  telah memerintahkan kepada kita agar seharusnya seleksi dan rekomendasi itu didasarkan pada
al-qiyam (nilai, prestasi), al-quwwah (kekuatan, khususnya ilmu pengetahuan, dan kafa’ah (kecakapan).
Landasan hal ini adalah firman Allah , artinya,

“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi
dipercaya pada sisi kami.” Berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”(QS. Yusuf: 54-55).
Dan firman Allah , artinya,

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah
orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”(QS. al-Qashash: 26).
Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah  bersabda,

“Siapa yang menjadi penguasa atas suatu urusan kaum muslimin, lalu ia mengangkat
seseorang menjadi penguasa (pegawai) atas mereka berdasarkan kolusi atau nepotisme, maka
atasnya laknat Allah, Allah  tidak menerima darinya pertukaran (imbalan) atau ganti sehingga
Dia memasukkannya ke dalam Neraka.” (HR. Ahmad dan al-Hakim, ia berkata “Isnadnya shohih”).
Inilah beberapa contoh yang menjelaskan adanya pemahaman yang keliru dalam pemahaman syariat
Islam di bidang muamalah yang berkenaan dengan harta.
Di sisi lain, ketika komitmen dengan aturan-aturan syariat telah dilakukan maka akan muncul
berbagai fenomena ukhuwah antar sesama kaum muslimin dalam praktik-praktik muamalah maliyah
(yang berkaitan dengan harta), seperti:
1. Tidak akan bermuamalah dengan musuh-musuh Islam
Seorang muslim akan mengutamakan bermuamalah dengan saudaranya sesama muslim secara
hak dan adil. Sebab itu adalah wujud i’anah (membantu) dan taqwiyah (penguatan) kepadanya. Hal ini
juga menjadi penyebab tumbuh dan berkembangnya usaha-usaha mereka dalam menghadapi persaingan
keras. Lebih-lebih lagi, dari musuh-musuh Islam dengan segala perbedaan manhaj dan bentuk mereka.
Namun tidak berarti bahwa syariat Islam mengharamkan bermuamalah dengan non muslim—
selama hubungan kita dengan mereka normal-normal saja, atau istilah fikihnya mereka bukan kafir
harbi. Tapi, di sana ada skala prioritas.
2. Tasamuh (toleran) dalam bermuamalah
Seorang muslim harus toleran terhadap saudaranya dalam bermuamalah dan melaksanakan
haknya, agar bisa menyuguhkan kepada orang banyak bagaimana contoh muamalah-muamalah Islam.
Dengan ini, kita telah melaksanakan wasiat Rasulullah  yang bersabda,

ِ
َ َ‫اع َوإِ َذا ا ْشَتَرى َوإِ َذا ا ْقت‬
 ‫ضى‬ َ َ‫ َرح َم اهللُ َر ُجالً مَسْ ًحا إِ َذا ب‬
“Semoga Allah  merahmati seorang lelaki yang mudah (toleran) jika menjual, membeli dan
menagih).” (HR. Bukhari).
Beliau juga bersabda,

ِ
 ً‫ضاء‬ ْ ‫ إِ َّن خيَ َار ُك ْم أ‬
َ َ‫َح َسنَ ُك ْم ق‬
“Orang-orang pilihan (baik) di antara kamu adalah orang-orang yang paling baik saat
membayar utang.” (HR. Bukhari Muslim).
3. Memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan
Seorang akh (saudara) muslim hendaknya toleran kepada saudaranya saat membayar (utang,
tanggungan dan sebagainya) jika dia kesusahan atau kesulitan.
Dasarnya adalah firman Allah , artinya,

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 280).
Rasulullah  telah berwasiat demikian saat bersabda, artinya,“Siapa yang memberi tenggang
waktu kepada orang yang kesulitan atau kesusahan atau memutihkannya sama sekali, maka
Allah  akan menaunginya pada hari kiamat di bawah naungan ‘Arsy-Nya pada hari yang tidak
ada naungan selain naungan-Nya.”(HR. At-Tirmidzi).
4. Memberi murah (diskon) dan qana’ah (puas) dengan sedikit keuntungan
Janganlah seorang muslim memanfaatkan hajat saudaranya kepada suatu barang atau sesuatu
hal. Justru ia harus memberi kemurahan (diskon) kepadanya saat dia membutuhkannya. Ia harus
qana’ah dan ridha dengan apa yang Allah berikan untuknya, sebab qana’ah adalah gudang yang tidak
ada habisnya. Rasulullah  telah bersabda,

 ُ‫َّعهُ اهللُ مِب َا آتَاه‬


َ ‫َسلَ َم َو ُر ِز َق َك َفافًا َو َقن‬
ْ ‫ قَ ْد أَْفلَ َح َم ْن أ‬
“Telah beruntung orang yang masuk Islam dan diberi rizki secukupnya, dan Allah 
memberikan sifat qana’ah atas apa yang Dia berikan kepadanya.” (HR. Muslim).
Semoga Allah  senantiasa melimpahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita.

Diringkas dari Al-Iltizam bi al-Dhawabith al-Syar’iyyah fi al-Mu’amalat al-Maliyyah, Karya Dr. Husain
Syahhatah

Você também pode gostar