Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Abolisi adalah tindakan yang meniadakan atau menghapus atau meniadakan segala hal yang bertalian dengan pidana atau
hukuman, dan akibat-akibat hukum pidana yang seperti putusan hakim atau vonis.
Dasar Abolisi adalah: semboyan romawi “Deletio, oblivio vel extinctio accusationis” yang berarti meniadakan, melupakan dan
menghapuskan soal tuduhan, sehingga termasuk proses ante sententiam, pra keputusan pengadilan.
Pemerintah pun khawatir kasus ini akan menjadi kerawanan sosial dan politik
yang berimplikasi kepada terganggunya stabilitas di berbagai bidang. Respons
Presiden Yudhoyono dengan memanggil beberapa tokoh dan meminta masukan
kepada mereka tidak boleh diartikan sebagai intervensi eksekutif kepada
yudikatif, tetapi harus dilihat dalam konteks dia sebagai kepala negara yang
mempunyai hak-hak khusus.
Satu cara lagi bisa ditempuh Pesiden Yudhoyono yaitu memberikan abolisi.
Abolisi adalah suatu pernyataan bahwa orang-orang yang telah melakukan
pelanggaran atau pelanggaran pidana tidak akan dituntut di muka pengadilan,
jadi meniadakan wewenang jaksa untuk menuntut hukuman. Jadi, abolisi ini
hanya menggugurkan penuntutan terhadap mereka yang belum dihukum.
Memang pemberian abolisi memerlukan proses yang rumit karena harus
mendapat persetujuan dari DPR. Karena pemberian abolisi hanya dapat
diberikan atas kuasa UU, setiap kali presiden memberikan abolisi harus dibuat
UU-nya.
Pemberian abolisi terhadap Bibit-Chandra bisa mengacu kepada ketentuan
Pasal 1 UU Darurat No. 11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang menyatakan
presiden atas kepentingan negara dapat memberikan amnesti dan abolisi
kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana. Tinggal Presiden dan DPR
meyakinkan masyarakat, pemberian abolisi ini demi kepentingan umum.
Konsekuensi hukum dari pemberian abolisi bukan kepada orangnya tetapi
kepada perbuatannya. Dengan demikian, kesalahan orang itu menjadi tidak ada,
dianggap sebagai perbuatan yang dianggap sama sekali tidak pernah ada. Hal
ini sesuai dengan pernyataan awal Menko Polhukam Djoko Suyanto, perkara
Bibit-Chandra harus diperhitungkan aspek sosial dan politiknya dan
pertimbangan keadilan, tetapi tidak menabrak hukum.
Penulis, Guru Besar Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Kopwil IV
Jabar Banten, dpk. Fakultas Hukum Unisba, Wakil Rektor Bidang Akademik
Unisba.
Paradoks Hukuman Mati
Banyak yang kontra terhadap hukuman itu, tetapi tidak sedikit pula
yang bernafsu mempertahankannya. Sepanjang sejarah umat
manusia, memang pro dan kontra itu tidak ada matinya. Pihak yang
pro atau kontra punya argumentasi kuat dan rasional.
Paradoks Sokrates
Dalam sejarah ada kasus pidana mati terbesar yang juga menyimpan
paradoks, yakni menimpa Sokrates yang dieksekusi sekitar 399 SM
dalam umur 70 tahun. Sokrates dianggap menyesatkan kaum muda
agar tidak mempercayai para dewa. Padahal, dia justru mengajari
mereka untuk mencapai kebijaksanaan yang sejati dengan berani
berfilsafat atau mencintai kebenaran sehingga terhindar dari
kedangkalan berpikir.
Hak untuk hidup seperti itu paling ditekankan untuk dihormati dan
dilindungi semua negara sebagaimana terkandung dalam pasal 6
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang juga
sudah diratifikasi pemerintah RI. Hak tersebut juga dilindungi baik
dalam pasal 28A UUD 1945 seperti sudah disebutkan di atas maupun
pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi,
hukum kita terkait hukuman mati tampak ambivalens, di satu sisi
dicantumkan dalam hukum positif. Tapi, dalam hukum positif kita,
juga ada pasal yang mengharuskan negara melindungi hak hidup
warganya.
Kasus masuknya debitor nakal di istana beberapa waktu lalu dan atau
hubungan pertemanan antara PT Masaro yang terlibat kasus korupsi
pengadaan alat komunikasi radio terpadu di Departremen Kehutanan
(keluarga Anggoro Widjojo) dan pimpinan kepolisian dan kejaksaan
merupakan bukti konkret yang sudah diketahui luas oleh publik.
Padahal, hal itu telah melanggar prinsip sistem tata kelola negara
modern, yang seharusnya menerapkan prinsip-prinsip hubungan
impersonal sehingga semua urusan harus didasarkan pada aturan dan
hubungan yang rasional. Nilai-nilai reformasi sebenarnya
mengarahkan negara ini harus dikelola secara rasional melalui
hubungan-hubungan impersonal.