Você está na página 1de 11

Abolisi adalah tindakan yang meniadakan atau menghapus atau

meniadakan segala hal yang bertalian dengan pidana atau hukuman,


dan akibat-akibat hukum pidana yang seperti putusan hakim atau
vonis.

Dasar Abolisi adalah: semboyan romawi “Deletio, oblivio vel extinctio


accusationis” yang berarti meniadakan, melupakan dan menghapuskan
soal tuduhan, sehingga termasuk proses ante sententiam, pra
keputusan pengadilan.

Mahfud MD mengusulkan kepada presiden agar memberikan abolisi


kepada pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad dan Chandra Hamzah

ABOLISI. Tahukan anda?

Abolisi adalah tindakan yang meniadakan atau menghapus atau meniadakan segala hal yang bertalian dengan pidana atau
hukuman, dan akibat-akibat hukum pidana yang seperti putusan hakim atau vonis.

Dasar Abolisi adalah: semboyan romawi “Deletio, oblivio vel extinctio accusationis” yang berarti meniadakan, melupakan dan
menghapuskan soal tuduhan, sehingga termasuk proses ante sententiam, pra keputusan pengadilan.

Grasi, Amnesti dan Abolisi


Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya- upaya non hukum yang luar
biasa dalam arti, pada hakekatnya mereka bukanlah suatu upaya
hukum. Upaya hukum sudah berakhir di pengadilan atau Mahkamah
Agung. 
Grasi praktis dikenal dalam seluiruh sistem hukum di seluruh dunia,
diberikan oleh presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara,
yang sebenarnya merupakan tindakan non- hukum yang didasarkan
pada hak prerogatif seorang kepala negara. Grasi bersifat
pengampunan berupa pengurangan pidana (stafverminderend) atau
memperingan hukuman pidana bahkan juga penghapusan pelaksanaan
pidana yang telah diputuskan lembaga hukum. Grasi bisa diajukan
oleh terpidana kepada presiden, bukan melulu inisiatif dari presiden. 
Dalam UUD Pasal 14 ayat 2 (yang telah diamandemen) dikatakan:
1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan
Mahkamah Agung.
2. Presiden memberikan Amnesti dan abolisi dengan
mempertimbangkan Dewan Perwakilan Rakyat. 
Amnesti berarti ditiadakannya akibat hukum dari delik tertentu atau
dari sekelompok delik demi kepentingan terdakwa, si tersangka dan
mereka yang belum diadili untuk meniadakan akibat hukum dari delik-
delik yang dimaksud. Pemberian amnesti adalah ‘ante sententiam’
yaitu sebelum putusan hakim dibacakan. Pada umumnya amnesti
bertalian dengan soal politik, sehingga DPR perlu dilibatkan. 

Abolisi adalah tindakan yang meniadakan atau menghapus bukan saja


hal yang bertalian dengan pidana atau hukuman, tetapi juga yang
menyangkut akibat- akibat hukum pidana yang ditiadakan seperti
putusan hakim atau vonis. Abolisi berkaitan dengan semboyan romawi
“Deletio, oblivio vel extinctio accusationis” yang berarti meniadakan,
melupakan dan menghapuskan soal tuduhan, sehingga termasuk
proses ante sententiam, pra keputusan pengadilan.
BERIKAN ABOLISI UNTUK BIBIT-CHANDRA

Oleh Edi Setiadi

Gegap gempitanya pemberitaan sekitar tindakan polisi dan KPK mencapai


puncaknya ketika pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad dan Chandra Hamzah
ditahan atas dasar melakukan suatu tindak pidana dan cukup bukti untuk
melakukan tindakan paksa kepadanya. Penahanan adalah tindakan yang biasa
dalam penegakan hukum dan itu merupakan wewenang dari penyidik Polri
(bukan hak sebagaimana kata wakabareskrim).

Pemerintah pun khawatir kasus ini akan menjadi kerawanan sosial dan politik
yang berimplikasi kepada terganggunya stabilitas di berbagai bidang. Respons
Presiden Yudhoyono dengan memanggil beberapa tokoh dan meminta masukan
kepada mereka tidak boleh diartikan sebagai intervensi eksekutif kepada
yudikatif, tetapi harus dilihat dalam konteks dia sebagai kepala negara yang
mempunyai hak-hak khusus.

Memang betul kasus penahanan Bibit-Chandra penyelesaiannya tidak sekadar


memerintahkan polisi untuk membebaskan yang bersangkutan. Kalau cara ini
ditempuh berarti termasuk obstructing justice terhadap proses peradilan pidana
yang dimulai dari penyelidikan/penyidikan. Kalaupun dalam upaya tindakan
paksa yang dilakukan polisi ada kesalahan hendaknya dicari jalan yang sesuai
dengan mekanisme sistem peradilan pidana. Melalui SP3 tentu tidak mungkin
karena polisi selalu mengatakan cukup bukti. Oleh karena itu, tahapan
selanjutnya adalah cepat-cepat melimpahkan perkara ini kepada penuntut umum
(P 21).

Apabila sudah masuk ke wilayah kewenangan kejaksaan, ada cara untuk


menghentikan perkara ini, yaitu melalui mekanisme penerbitan Surat
Penghentian Penuntutan Perkara (SPPK) sebagaimana dilakukan Presiden
Yudhoyono dalam kasus mantan Presiden Soeharto. Pasal 140 KUHAP
terutama ayat (2) huruf a bisa dijadikan dasar oleh Jaksa Agung untuk
menghentikan penuntutan dalam perkara Bibit Chandra.

Satu cara lagi bisa ditempuh Pesiden Yudhoyono yaitu memberikan abolisi.
Abolisi adalah suatu pernyataan bahwa orang-orang yang telah melakukan
pelanggaran atau pelanggaran pidana tidak akan dituntut di muka pengadilan,
jadi meniadakan wewenang jaksa untuk menuntut hukuman. Jadi, abolisi ini
hanya menggugurkan penuntutan terhadap mereka yang belum dihukum.
Memang pemberian abolisi memerlukan proses yang rumit karena harus
mendapat persetujuan dari DPR. Karena pemberian abolisi hanya dapat
diberikan atas kuasa UU, setiap kali presiden memberikan abolisi harus dibuat
UU-nya.
Pemberian abolisi terhadap Bibit-Chandra bisa mengacu kepada ketentuan
Pasal 1 UU Darurat No. 11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang menyatakan
presiden atas kepentingan negara dapat memberikan amnesti dan abolisi
kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana. Tinggal Presiden dan DPR
meyakinkan masyarakat, pemberian abolisi ini demi kepentingan umum.
Konsekuensi hukum dari pemberian abolisi bukan kepada orangnya tetapi
kepada perbuatannya. Dengan demikian, kesalahan orang itu menjadi tidak ada,
dianggap sebagai perbuatan yang dianggap sama sekali tidak pernah ada. Hal
ini sesuai dengan pernyataan awal Menko Polhukam Djoko Suyanto, perkara
Bibit-Chandra harus diperhitungkan aspek sosial dan politiknya dan
pertimbangan keadilan, tetapi tidak menabrak hukum.

Pemberian abolisi kepada Bibit-Chandra bukan tidak mengandung kerugian.


Pertama, pemerintahan Presiden Yudhoyono akan dianggap melakukan
diskriminasi law enforcement karena ini menyangkut tekanan publik dan
menimpa petinggi hukum di Indonesia sehingga penegakan hukum terkesan
berjalan kepada orang-orang powerless saja. Kedua, kalau pemberian abolisi ini
tanpa alasan jelas maka tidak akan memberikan pendidikan hukum yang baik
terhadap masyarakat, padahal pilar-pilar reformasi dan dampak negatif dari
reformasi ini adalah kecenderungan orang yang tidak percaya kepada hukum
dan institusinya.

Akan tetapi, pemberian abolisi kepada Bibit-Chandra bukan tanpa keuntungan.


Pertama, pemerintah akan dianggap konsekuen memberantas korupsi dan tetap
menjaga eksistensi berdirinya KPK bukan melindungi pelaku korupsi. Kedua,
penuntasan kasus ini akan menumbuhkan kepercayaan yang lebih besar pihak
luar negeri terhadap kondisi kehidupan dan penegakan hukum di Indonesia.

Usulan pembentukan tim independen pencari fakta hanya akan menegaskan,


aparat penegak hukum tidak dapat bekerja profesional dan penegakan hukum
yang dilakukan sekarang merupakan tipu muslihat kepada masyarakat. Apabila
hal ini terjadi, kepercayaan masyarakat kepada institusi penegakan hukum akan
mencapai titik nadir yang membahayakan eksistensi Indonesia sebagai negara
hukum. Pemberian abolisi adalah cara yang amat elegan karena tidak menabrak
tatanan hukum yang telah dibangun.

Pembentukan tim independen (apalagi sebagai tim pencari fakta) akan


menempatkan institusi penegak hukum berada pada tekanan opini publik.
Padahal, ciri negara hukum adalah penegakan hukum harus terbebas dari
pengaruh dan tekanan dari lembaga extrajudisial yang tidak ada hubungannya
dengan kekuasaan kehakiman dan akan menjadi preseden buruk bagi kasus-
kasus hukum yang akan terjadi. ***

Penulis, Guru Besar Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Kopwil IV
Jabar Banten, dpk. Fakultas Hukum Unisba, Wakil Rektor Bidang Akademik
Unisba.
Paradoks Hukuman Mati

Oleh Endang Suryadinata 

Hari-hari ini publik sedang membicarakan rencana Kejagung untuk


mengeksekusi Sumiarsih dan anaknya, Sugeng, dua terpidana mati
kasus pembunuhan keluarga Letkol Marinir Purwanto 13 Agustus 1988
(Jawa Pos, 2-4 Juli 2008). Publik juga bertanya kapan terpidana bom
Bali Amrozi cs dieksekusi?

Banyak yang kontra terhadap hukuman itu, tetapi tidak sedikit pula
yang bernafsu mempertahankannya. Sepanjang sejarah umat
manusia, memang pro dan kontra itu tidak ada matinya. Pihak yang
pro atau kontra punya argumentasi kuat dan rasional.

Selain kondisi seperti itu, sejak dulu hukuman mati mengandung


paradoks. Meski membuat banyak orang mati, hukuman tersebut
malah terus hidup dalam sejarah. Umur hukuman mati sudah setua
peradaban manusia. Bahkan, yang satu itu tidak mengenal kata mati.
Codex Hammurabi (2000 tahun SM) mencantumkan hukuman mati,
bukan hanya untuk manusia, tapi juga binatang yang membunuh
manusia (Dr J.A. Drossaart Bentfort, Tijdschrift voor Strafrecht 1940,
Deep I p 308-309).

Paradoks Sokrates 

Dalam sejarah ada kasus pidana mati terbesar yang juga menyimpan
paradoks, yakni menimpa Sokrates yang dieksekusi sekitar 399 SM
dalam umur 70 tahun. Sokrates dianggap menyesatkan kaum muda
agar tidak mempercayai para dewa. Padahal, dia justru mengajari
mereka untuk mencapai kebijaksanaan yang sejati dengan berani
berfilsafat atau mencintai kebenaran sehingga terhindar dari
kedangkalan berpikir. 

Meski dibujuk melarikan diri, Sokrates tetap menerima vonis matinya.


Eksekusi dilangsungkan dengan Sokrates memilih meminum racun.
Paradoksnya, tubuh Sokrates memang dimatikan oleh racun itu, tapi
pemikiran-pemikirannya justru hidup hingga sekarang.
Paradoks tersebut juga bisa dibaca dari hukum positif kita yang masih
mencantumkan hukuman mati, yang justru diadopsi dari hukum
Belanda yang pernah menjajah kita. Paradoksnya lagi, Belanda
sekarang sudah mencabut hukuman mati. 

Kalau ditelusuri sejarahnya, Belanda pernah melaksanakan hukuman


mati dengan tujuan memberi efek jera bagi yang lain. Eksekusi
berlangsung di tempat umum. Yang menarik dalam konteks itu ialah
kasus di musim semi 1860 di Leeuwaarden, ketika berlangsung
eksekusi mati atas seorang pria yang dituduh membunuh teman
wanitanya. Itu terjadi pada Jumat. 

Anehnya, Selasa berikutnya, seorang pria yang tinggal di dekat tempat


eksekusi dan sempat melihat eksekusi mati pada Jumat tersebut justru
tidak jera. Dia malah berani membunuh temannya. Dia mendapat
inspirasi dari eksekusi Jumat itu untuk membunuh sang teman
(Weekblad van Regt No 2152). Itulah paradoks dari Belanda!

Paradoks Hukum Kita 

Konyolnya, pada 2008 Indonesia masih menggunakan pasal-pasal


hukum warisan Belanda. Dalam KUHP kita, terdapat dua pasal
ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang kejahatan terhadap
keamanan negara atau makar dan pasal 340 tentang pembunuhan
berencana. Pasal-pasal di KUHP itu merupakan kopi dari Wetboek van
Strafrecht (Wv.S) yang disahkan kolonial Belanda pada 1 Januari
1918. Itu jelas paradoks yang menggelikan. Kita hidup di abad ke-21,
tapi masih memakai hukum abad ke-20, yang notabene produk dari
negeri yang pernah menjajah kita. Padahal, sejak usainya Perang
Dunia II, Belanda sudah menghapus hukuman mati. 

Anehnya dari perspektif konstitusi, ada pendapat yang mengemuka


bahwa hukuman mati seharusnya dilarang (strictly prohibited).
Pendapat itu didasarkan pada bunyi pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, ''Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk tidak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun." 

Hak untuk hidup seperti itu paling ditekankan untuk dihormati dan
dilindungi semua negara sebagaimana terkandung dalam pasal 6
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang juga
sudah diratifikasi pemerintah RI. Hak tersebut juga dilindungi baik
dalam pasal 28A UUD 1945 seperti sudah disebutkan di atas maupun
pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi,
hukum kita terkait hukuman mati tampak ambivalens, di satu sisi
dicantumkan dalam hukum positif. Tapi, dalam hukum positif kita,
juga ada pasal yang mengharuskan negara melindungi hak hidup
warganya.

Tren global belakangan ini menunjukkan hukuman mati kian dijauhi


dan diganti dengan hukuman seumur hidup. Hukuman mati dipandang
amat melecehkan martabat manusia dan seolah hendak mengambil
peran Sang Pencipta untuk mengambil nyawa seseorang. Hingga Juni
2006, hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman
mati, termasuk Indonesia. Sekitar 30 negara melakukan moratorium
(de facto tidak menerapkan) hukuman mati dan total 129 negara yang
melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.

Tanpa berpretensi membenarkan tindakan Sumiarsih, Sugeng,


maupun Amrozi cs yang menyebabkan banyak korban, perlu dikaji lagi
rencana eksekusi terhadap mereka.

Mengeksekusi mati mereka seolah hanya mengulang kebiadaban


mereka. Tak ada untungnya mengeksekusi mati mereka. Sebaiknya
siapa pun jangan dihukum atau dieksekusi mati. Lebih baik diganti
hukuman lain. Toh, suatu hari entah Sumiarsih, Sugeng, Amrozi cs,
atau siapa pun akan mati dengan sendirinya. 

* Endang Suryadinata , peminat sejarah Indonesia-Belanda,


alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam 
 
  Opini

[ Selasa, 17 November 2009 ]


Pembiaran Korupsi di Era SBY
Oleh: Laode Ida 

KEJAHATAN penggerogotan uang negara yang notabene milik rakyat


telah kian terbuka modus dan pelakunya. Praktik itu bukan lagi cerita
pepesan kosong atau sekadar "bau busuk" yang tak ketahuan asal
usulnya. Kasus korupsi yang melibatkan PT Masaro yang juga
berakibat langsung pada perseteruan antara KPK dan pimpinan Polri
saat ini membuat banyak orang ngeri karena ternyata negeri ini
berada dalam kendali para mafia. 

Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa periode lima tahun pertama


pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) bukan saja
masih jauh dari keberhasilan memberantas korupsi, melainkan justru
korupsi semakin tampak dilakukan secara berjamaah dan merata di
seluruh Indonesia. Dan, pihak-pihak yang secara kelembagaan berada
langsung di bawah kendali presiden justru menjadi bagian dari aktor
pelanggeng korupsi. 

Lebih ironis lagi, kejaksaaan dan kepolisian -dua lembaga penegak


hukum yang merupakan instrumen negara di bawah presiden-
terindikasi kuat menjadi bagian dari pelanggeng korupsi dan
permafiaan itu. Padahal, SBY seharusnya menjadikan mereka sebagai
barisan terdepan untuk penyelenggaraan negara yang bersih dan baik.

Kegagalan SBY dalam memberantas korupsi dan jejaring permafiaan


itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, ketiadaan kriteria tentang
pola rekrutmen penyelenggara negara. Seharusnya, sejak awal
memastikan bahwa yang berperan dan terlibat di lembaga-lembaga
pemerintahan adalah mereka yang bersih, tak memiliki agenda
subjektif dengan kepentingan materi yang menonjol, selain memiliki
kemampuan yang layak untuk bekerja dalam sistem pencegahan dan
pemberantasan korupsi. 

Yang terjadi selama ini adalah pola akomodasi kepentingan dan


pembiaran masuk serta bercokolnya para figur yang pada tingkat
permukaan mampu "melayani" dan "memuaskan" sang atasan.
Padahal, orang tersebut sangat cerdas dalam memanfaatkan jabatan
untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Atau juga, orang-orang yang
direkrutmerupakan bagian dari "pesan sponsor" terkait dengan
kepentingan pihak ketiga yang telah berjasa dalam suatu proses
politik tertentu. Tepatnya, pola rekrutmen lebih pada bagi-bagi
jabatan atau politik balas budi, mengabaikan dimensi substansial
terkait dengan agenda pemberantasan korupsi.

Kedua, kurangnya ketegasan dari SBY untuk segera mengusut dan


memberi sanksi bagi penyelenggara negara yang terindikasi tidak
bersih, korupsi, atau terlibat jejaring mafia. Kalau diinformasikan oleh
masyarakat, termasuk melalui media massa, mekanisme
penyelesaiannya bersifat normatif. Karena itu, para koruptor tetap
saja berjaya dan melenggang bebas hingga sampai berakhir masa
jabatan dan akhir hayatnya. 

Ketiga, jebakan pada relasi personal. Ada kecenderungan bahwa


negara ini dikelola dengan prinsip-prinsip yang lebih personal sehingga
segala urusan, termasuk terhadap pihak-pihak yang diduga korupsi
atau terlibat dalam jejaring mafia, diselesaikan melalui mekanisme
kekeluargaan atau pertemanan. 

Kasus masuknya debitor nakal di istana beberapa waktu lalu dan atau
hubungan pertemanan antara PT Masaro yang terlibat kasus korupsi
pengadaan alat komunikasi radio terpadu di Departremen Kehutanan
(keluarga Anggoro Widjojo) dan pimpinan kepolisian dan kejaksaan
merupakan bukti konkret yang sudah diketahui luas oleh publik. 

Fenomena seperti itu merupakan wujud dari penyelenggaraan negara


yang berwatak kekeluargaan atau setidaknya berangkat dari nilai-nilai
negara berbasis suku yang homogen. Prinsipnya, "semua bisa diatur
secara kekeluargaan" dengan sifat saling menguntungkan alias
simbiosis mutualisme. 

Padahal, hal itu telah melanggar prinsip sistem tata kelola negara
modern, yang seharusnya menerapkan prinsip-prinsip hubungan
impersonal sehingga semua urusan harus didasarkan pada aturan dan
hubungan yang rasional. Nilai-nilai reformasi sebenarnya
mengarahkan negara ini harus dikelola secara rasional melalui
hubungan-hubungan impersonal.

Keempat, pembiaran pengacara hitam dan makelar kasus. Kasus-


kasus korupsi selalu dikerjasamakan antara oknum pejabat penegak
hukum dan para pengacara hitam serta makelar kasus. Koruptor pun
terbantu hingga bebas. Uang negara yang dikorupsi dibagikan kepada
pihak-pihak yang telah membantu memastikan kasus itu tidak
berlanjut atau pihak tersangka menjadi bebas. 

Presiden SBY, tampaknya, tidak mampu meniadakan pengacara hitam


dan makelar kasus. Bahkan, pejabat penegak hukum juga terus
membiarkan itu. Setidaknya, itu terbukti dari pernyataan Jaksa Agung
Hendarman Supandji dalam suatu rapat dengar pendapat dengan
Komisi III DPR baru-baru ini, yang mengakui berkeliarannya para
markus di lingkungan lembaga yang dipimpinnya. Tentu aneh kalau
Presiden SBY terus memelihara pejabat yang tak mampu
memberantas makelar kasus.

Kelima, lemahnya kendali pusat terhadap daerah. Di era reformasi,


korupsi justru kian merajalela di seluruh daerah di Indonesia. Istilah
desentralisasi korupsi sudah sering diingatkan oleh banyak pihak.
Harapannya, pemerintah nasional, terutama di bawah kepemimpinan
Presiden SBY, menyadari bahwa para pejabat di daerah sedang pesta
pora menikmati kewenangan, kekuasaan, dan jabatannya dengan
merampok uang rakyat. 

Pihak-pihak penegak hukum yang berwenang di daerah, seperti


kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan juga pengacara hitam,
tampaknya benar-benar memanfaatkan kesempatan emas itu.
Apalagi, konon, seorang pejabat penegak hukum yang mendapat
tugas di daerah sekaligus mendapatkan pesan untuk ''membagi
keberuntungan" dengan pejabat yang menempatkannya. 

Dengan motivasi seperti itu, kasus-kasus korupsi sungguh-sungguh


dijadikan lahan yang digarap khusus untuk mengisi brankas pribadi
dan jaringan internal lembaganya. Dan, tampaknya, Presiden SBY
tidak memiliki kepeduliaan yang tinggi terhadap booming korupsi di
berbagai daerah tersebut. (*)

*) Laode Ida, sosiolog, wakil ketua DPD. Artikel ini pendapat pribadi 


Geger Kriminalisasi KPK-Kronologis
Selasa, November 3, 2009 — Teguh Iman Prasetya
Transkrip Hasil Rekaman dan Simulasi

Seusai hasil rekaman diputar di Mahkamah Konstitusi dukungan


terhadap Bibit dan Chandra kian meluas dan mulai mengalir dari
berbagai komunitas dan daerah. Gerakan mendukung Bibit dan
Chandra semakin tinggi intensitasnya setelah pemutaran rekaman
rekayasa kriminalisasi KPK dan uji materi UU KPK di gedung MK. Aksi
dukungan mengalir dari berbagai daerah seperti Yogyakarta dan
Garut. Dijakarta sendiri aksi mahasiswa berulangkali dilakukan di jalan
merdeka barat dan bundaran HI dengan melakukan aksi tanda tangan
dukungan terhadap Bibit dan Candra.

Sedangkan diberbagai media TV. komentar dari berbagai pakar


semakin tinggi, begitupula dukungan dari komunitas Face Book
dengan gerakan 1 juta orang terhadap Candra Hamzah dan Bibit
Rianto mulai meluas.

Dari sumber detikcom, Selasa (3/11/2009) pukul 18.30 WIB atau


sekitar 3 jam setelah rekaman usai diputar, dukungan di akun grup
‘Gerakan 1 Juta Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad
Rianto’ mencapai angka 603 ribu. Angka ini naik cukup signifikan dari
pukul 06.45 WIB tadi pagi yang mencapai 501 ribu. Sedangkan
ratusan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa, di depan MK di Jalan
Medan Merdeka Barat, Jakarta. Mereka berdemo, menjelang sidang uji
materil UU KPK.

Você também pode gostar