Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
oleh Pembuatnya
Perlu diketahui bahwa Persema dan Persibo serta klub-klub lain yang mengikuti LPI
tidak pernah mengajukan pengunduran diri dari PSSI. Klub-klub tersebut hanya
mengundurkan diri dari PT Liga Indonesia yang merupakan penyelenggara Liga Super
Indonesia. Persema dan Persibo diberikan sanksi pemecatan tak lain adalah karena
mengikuti kompetisi Liga Primer Indonesia yang TIDAK diselenggarakan oleh PSSI. Dalam
pasal 6 ayat (3) butir c. Pedoman Dasar PSSI memang dinyatakan bahwa setiap Anggota PSSI
memiliki kewajiban untuk mengikuti turnamen dan pertandingan lainnya (yang dalam
redaksionalnya tidak jelas harus diselenggarakan oleh siapa) dan pelanggaran terhadap
ketentuan dalam Pedoman Dasar PSSI dapat dikenai sanksi oleh pengurus yang salah
satunya dapat berupa pemecatan (pasal 7 Pedoman Dasar PSSI). Meski berwenang untuk
memecat anggota yang ada, bukan berarti pengurus dapat menggunakan kewenangannya
sesuka hati. Prosedur untuk pemecatan anggota PSSI diatur mendalam pada Peraturan
Organisasi Tentang Keanggotaan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia.
Mungkin celah hukum yang ingin dimanfaatkan PSSI adalah Pasal 9 Peraturan
Keanggotaan PSSI yang menyatakan bahwa sanksi pemecatan dapat diberikan oleh
pengurus tanpa terlebih dahulu memberikan teguran lisan maupun tertulis dan/atau
menunggu terlebih dahulu agenda Musyawarah Nasional (ayat (1)). Kondisi demikian hanya
dapat dilakukan apabila anggota yang dimaksud melakukan pelanggaran yang melewati
batas toleransi dan harus segera ditetapkan demi kemaslahatan PSSI (ayat (2)). Namun
demikian, pemberian kesempatan membela diri terhadap anggota harus dilakukan (ayat
(3)). Keputusan tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam Munas (ayat (4)). Sekilas
pemecatan yang dilakukan PSSI sudah memenuhi ketentuan pasal 9 diatas, namun jika
diperhatikan, maka terdapat pelanggaran disana-sini. Pertama, pengambilan keputusan
tetap harus memberi kesempatan pada Persema dan Persibo untuk membela diri.
Sementara itu, Keputusan diambil pada tanggal 13 Januari dan kedua tim baru dimintakan
pembelaan sesudahnya. Kedua, alasan yang dapat dibenarkan untuk pemecatan dengan
pasal 9 adalah keadaan luar biasa (extraordinary condition) dan segera (urgent). Bisa
dikatakan bahwa kondisi luar biasa dalam pasal 9 tersebut sangat absurd dan aneh, namun
dari kondisi urgent dapat dikatakan bahwa keputusan tanggal 13 adalah sewenang-wenang.
Mengapa? Karena dalam waktu seminggu akan diadakan Kongres. Untuk apa membuat
ketetapan yang “harus segera”, jika sebentar lagi proses yang lebih layak yang dapat
menjamin hak-hak anggota akan diselenggarakan.
Entah disengaja atau tidak, namun jelas bahwa tindakan pengurus PSSI terhadap
Persema dan Persibo adalah sewenang-wenang (detournement de pouvoir) dan tak lain
merupakan upaya memanfaatkan celah hukum dalam peraturan miliknya sendiri (yang
absurd dan berantakan) dengan cara yang absurd pula.
Meski baru merupakan spekulasi liar, namun pernyataan bahwa tindakan PSSI adalah upaya
revans terhadap tindakan Persema dan Persibo bergabung dalam LPI bukannya tanpa dasar.
FIFA telah memberikan peringatan bagi PSSI (yang isinya tidak pernah dipublikasikan secara
otentik oleh PSSI) karena adanya dualisme liga profesional di Indonesia. PSSI sebagai badan
olahraga resmi yang ditunjuk Badan Olahraga Profesional Indonesia dalam hal
persepakbolaan mengatasi hal tersebut dengan tindakan ‘bodoh’ memecat Persema dan
Persibo melalui mekanisme ‘bodoh’ yang semakin menunjukkan kebodohan mereka
mengurus persepakbolaan. Sarkas memang, namun memang begitulah keadaannya. Saya
amat geram ketika melihat peraturan-peraturan PSSI yang berantakan, memiliki redaksional
buruk, bahkan typo error menyebar layaknya jamur. Hal ini menunjukkan bahwa pengurus
tidak peduli dengan perangkat organisasinya sendiri. Padahal industri sepakbola dunia
terkenal akan terintegrasinya hukum publik sepakbola yang sangat rumit (statuta FIFA) dan
hukum privat (yang sangat kapitalis) secara sangat baik.
Tulisan ini dibuat bukan untuk meributkan kata-kata yang terdapat pada peraturan PSSI.
Selalu lebih besar dari itu. Bukan pula untuk menunjukkan sisi positivisme seorang “anak
hukum” (saya tidak pernah dan tidak akan menjadi seorang positivis). Tulisan ini tak lain
dibuat sebagai upaya untuk memberikan sumbangsih kecil untuk persepakbolaan Indonesia.
Sebagai mahasiswa hukum pecinta sepakbola Indonesia, maka banyak yang bisa saya
lakukan. Namun pilihan saya jatuh pada langkah malas dengan analisis melalui tulisan ini.
Cheers! Untuk sepakbola Indonesia!
Bahan Bacaan:
Yesayas Oktovianus, "Bojonegoro, Persema, PSM, dan BOPI. " Kompas, 22 Januari 2011.