Você está na página 1de 8

1.

Orientasi Dan Tujuan Dari Polugri Bebas Aktif


1.1. Masa Orde Lama (Soekarno)

Konfigurasi politik pada orde lama membawa indonesia berda dalam Pencarian
dukungan dan pengakuan kemerdekaan RI. Dan Era Soekarno merupakan suatu rezim
pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk hukum-hukum konservatif dan
pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.

Pada periode ini (1945-1965), pendahulum politik bebas aktif lebih condong bergerak
kekiri dengan garis poros Pyongyang-Peking-Pnompenh-Jakarta dengan konfrontasinya
Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan barat dengan jargon “Go to hell with
your aid” dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB. Landasan pemikiran
Soekarno ialah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya
kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan barat serta PBB dalam
pemikiran Soekarno ialah representasi Imperialisme dan kolonialisme.

Bukti kedekatan Indonesia dengan Uni-Soviet dengan dibuktikannya delegasi soviet


yang paling keras menentang invasi militer Belanda ke Indonesia Tahun 1947 dalam sidang
umum PBB. Pada masa Kekuasaan Soekarno meskipun dikatakan politik bebas aktif dan
Non-Blok, namun dalam kerangka perjuangan anti imperialisme, Soekarno banyak merapat
ke Uni Soviet.

Adapun bentuk Polugri yang dilakukan Masa Orde Lama Yaitu:

a. Aktif mencari dukungan dari negara lain, terbukti banyak negara yang mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia.
b. Indonesia dengan negara lain mendirikan gerakan Non-Blok.
c. Soekarno membuka Poros Pyongyang-Peking-Pnompenh-Jakarta.
d. Penolakan bantuan keuangan dari barat.
e. Bergabung sekaligus keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB.
f. Landasan Utama RI ialah menolak perluasan Imperialisme dan kembalinya
kolonialisme.
g. Akhir dari babak orde lama ialah dengan dikeluarkannya supersemar karena tragedi
pemberontakan G 30 SPKI.

1
1.2. Masa Orde Baru (Soeharto)

Orde baru menjalankan polugri Indonesia berbeda dengan Soekarno. Soeharto dan
Orde barunya tidak tidak menolak hubungan negara-negara barat, dan saat bersamaan juga
berusaha untuk menjaga indepedensi politik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan
bahwa Indonesia melalui ASEAN. Disamping itu Indonesia mendaftarkan kembali menjadi
anggota PBB pada tanggal 19 september 1966 dan mengumumkan bahwa Indonesia
“Bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB (barat) dan melanjutkan partisipasi
dalam kegiatan-kegiatan PBB.

Adapun polugri era orde baru ialah :

a. Kembalinya indonesia menjadi anggota PBB


b. Indonesia fokus pada bidang ekonomi, eksploitasi dan kerjasama internasional
c. Act to free choice di Irian jaya th. 1969
d. Perebutan Timor-Timur sebagai NKRI
e. Pemberantasan G 30 SPKI
f. Indonesia memutus hubungan kerjasama strategis dengan China dan Uni-soviet dan
bersikap anti terhadap gerakan kemerdekaan seperti Vietnam
g. Berdirinya ASEAN merupakan hal penring yang telah dilakukan Soeharto sebagai ia
menjabat sebagai President
h. Indonesia dengan APEC
i. KTT Non-Blok
j. Krisis monoter di Indonesia karena krisis Internasional.

1.3. Masa Reformasi (Pemerintahan B.J. Habibie)

Menurut Mochtar Kusumaatmaja merumuskan bebas aktif yaitu; Bebas, dalam


pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya
tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif,
berarti bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat
pasif-reaktif atas kejadiankejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif.

2
Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi mengalami kedua aspek
outside-in dan inside-outseperti dipaparkan diatas. Sampai derajat tertentu misalnya,
conditionality yang diterapkan IMF berkenaan dengan bantuan keuangan pada masa krisis
ekonomi berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perjalanan
demokratisasi di Indonesia. Dalam kaitannya dengan konteks inside-out, politik luar negeri
Indonesia sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan
dari perubahan politik secara masif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian
tersebut. Pemerintahan Habibie, yang menggantikan Suharto, merupakan salah satu contoh
tepat untuk menggambarkan pertautan antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri
dari sebuah pemerintahan di masa transisi.

Diawal masa pemerintahan, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup


serius1. Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam
cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang
berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Pertama adalah UU no.5/1998
mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965. Selain itu, pemerintahan Habibie
pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak
pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie
yang pendek tersebut.

Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi
perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih
besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari
kalangan domestik. Hubungan Habibie dengan lembaga International Monetary Fund (IMF)
dapat dijadikan ilustrasi yang menarik dalam hal ini. Sebelumnya, IMF mendesak Suharto
untuk menghentikan proyek pembuatan pesawat Habibie yang berbiaya tinggi pada bulan
Januari 1998, tepat ketika suhu politik dan keberlangsungan pemerintahan Suharto sedang
dipertanyakan. Akan tetapi, belakangan ketika ia berkuasa, Habibie mendapatkan kembali

1
Dewi Fortuna Anwar, “The Habibie presidency”, dalam Forrester, G (ed), Post-Suharto Indonesia: renewal or
chaos?(Crawford House Publishing: Bathurst, 1999), hal.4.

3
kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga
tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi
sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar2.

Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik
tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan
untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi
keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri,
sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.
Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie
mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana
ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor
Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.

Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan
menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final
atas masalah Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan
akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember
1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan
memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat
tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right
of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa
hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum
baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya.
Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan
pemerintahan Habibie sendiri3.

Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal.

2
Adam Schwarz, A nation in waiting (Allen-Unwin: New South Wales, edisi kedua, 1999), hal. 373.

3
Tulisan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer,”East Timor – looking back on 1999”, Australian
Journal of International Affairs, vol.54/1 (2000), hal.5

4
Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi
referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua,
kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara
dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu 4. Habibie kehilangan legitimasi
baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai
gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden
Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang
berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum5.

Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen


nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia
masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan
presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga
kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi
sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.

4
Marcus Mietzner, “From Suharto to Habibie: the Indonesian armed forces and political Islam during
transition” dalam Forrester, G. (ed), Post Suharto Indonesia: renewal or chaos?(Bathurst: Crawford House
Publishing, 1999).

5
http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca…341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument

5
2. Pengambilan Kebijakan Oleh Politik Domestik Dalam Suatu
Pengambilan Kebijakan Polugri Dalam Konsep Dan Suatu Contoh
Kasus.

STUDI KASUS GAGALNYA DCA SINGAPURA TH. 2007 OLEH OPINI


PUBLIK DALAM KONSEP MULTI TRAK DIPLOMACY

Multi-track diplomacy merupakan konsep yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh


Louise Diamond (co-founders of the Institute for Multi-Track Diplomacy). Konsep ini
awalnya disebarkan oleh Joseph Montville tahun 1982, antara track 1 (tindakan pemerintah
resmi) dan Track 2 (tindakan non-pmerintah, atau tidak formal) dalam resolusi konflik. Lalu
konsep itu berkembang dari 5 jalur menjadi 9 jalur diplomasi. Antara lain: (1) pemerintah; (2)
ahli professional dalam resolusi konflik; (3) pebisnis; (4) warganegara; (5) peneliti, trainer,
dan pendidik; (6) aktivis; (7) pemuka agama; (8) bantuan/ beasiswa; (9) opini publik/
komunikasi

Jadi saya mengambil contoh kasus gagalnya perjanjian ekstradisi yang dilakukan
Indonesia-Singapura tahun 2007 dikarenakan opini publik (Konsep ke 9 dari multi trak
diplomacy) yang mengatakan bahwa perjanjian itu sangat-sangat merugikan indonesia. Hal
ini berawal dari masyrakat umum dan para peneliti dan pendidik yang beranggapan apabila
kesepakatan itu direalisasikan akan merugikan Indonesia dan tanggapan ini berlanjut hingga
kemeja DPR-RI yang pada akhirnya kesepakatan ini digagalkan. Berikut informasi tentang
perjanjian Ekstradisi tersebut.

Perjanjian bilateral dan yang lebih luas lagi perjanjian internasional adalah hal
mendasar bagi sebuah negara. Setiap negara melalui perjanjian ini dapat menggambarkan apa
yang diinginkan dari perjanjian tersebut, pengaturan bermacam aktivitas bersama dan adanya
ruang terhadap penyelesaian suatu masalah. Salah satu bentuk kerjasama itu, antara lain,
Defence Cooperation Agreement (DCA) yang ditandatangani 27 April 2007. Bentuk
perjanjian kerjasama bilateral antara Indonesia-Singapura ini bermula dari adanya

6
kesepakatan untuk melakukan ekstradisi para koruptor dari Indonesia yang singgah ke
Singapura.6

Sebagai syarat pelaksanaan perjanjian, pemerintah Singapura meminta Indonesia


untuk menyepakati adanya Defense Cooperation Agreement (DCA). Hanya saja, DCA dinilai
berpotensi menjadi ancaman negara dan dinilai merugikan Indonesia karena memberikan
peluang bagi Singapura untuk ‘mengobok-obok’ kedaulatan RI. Berikut akar dari
permasalahan tersebut Pasal 3 (b) DCA menyebutkan, Angkatan Udara Singapura diijinkan
untuk melakukan test flight, pengecekan teknis, dan latihan terbang di daerah Alpha-1 serta
diijinkan untuk melakukan latihan militer di daerah Alpha- 2. Sebaliknya, militer Indonesia
dalam perjanjian itu tidak diperbolehkan berlatih di wilayah Singapura. Pasal tersebut juga
menyebutkan, Angkatan Laut Singapura dengan dukungan Angkatan Udara Singapura dapat
melaksanakan latihan menembak peluru kendali sampai dengan empat kali latihan dalam
setahun di Area Bravo. Dengan pasal ini Singapura sangat leluasa untuk melakukan manuver
militer di wilayah Indonesia, seperti melakukan tes kelaikan terbang, pengecekan teknis dan
latihan terbang, menembak dengan peluru tajam dan menembak dengan peluru kendali
(rudal).

Keinginan Singapura untuk menggunakan wilayah laut Indonesia sebagai latihannya,


yang wilayahnya memanjang mulai Provinsi Kepulauan Riau, mulai dari Bintan, Karimun,
Selat Karimata, Pulau Natuna menuju perairan Cina Selatan, sangat potensial mengganggu
kedaulatan. Daerah tersebut merupakan Chekpoints di Corong Barat Nusantara yang
memiliki nilai srategis dalam skala global, baik ekonomi maupun militer. Apabila perjanjian
itu jadi dilaksanakan, secara otomatis Singapura akan mendapatkan hak kontrol atas
Chekpoints di Corong Barat. Klausul ini dirasa sangat tidak adil bagi Indonesia karena
wilayah tersebut merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan Indonesia.
Penggunaan wilayah tersebut dapat memungkinkan Singapura untuk mengetahui kekuatan
pertahanan Indonesia.

Pasal 3 (c) menyatakan personel dan perlengkapan angkatan bersenjata dari negara
lain yang melaksanakan latihan bersama Angkatan Bersenjata Singapura di wilayah udara
dan perairan Indonesia akan diberlakukan sama seperti perlakuan pada personil dan
perlengkapan Angkatan Bersenjata Singapura. Dalam naskah perjanjian tidak disebutkan
negara-negara yang bisa diajak berlatih bersama. Artinya, DCA membuka peluang bagi
6
Newsletter Media dan Reformasi sektor Keamanan, Edisi III/06/2008, Hal 7

7
negara-negara sekutu Singapura untuk melakukan latihan militer di wilayah Indonesia.
Apabila perjanjian DCA tersebut tetap dilaksanakan, secara otomatis melanggar prinsip
kedaulatan Negara (state sovereignty principle). Umumnya, perjanjian merupakan
kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun, dalam hal ini perjanjian
tersebut hanya menguntungkan pemerintah Singapura. Dengan DCA kita secara de facto dan
de jure memberikan ruang lebar bagi Singapura untuk mengeksplorasi wilayah kedaulatan
kita untuk suatu kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain, bukan hanya dengan
Indonesia.

Sumber: Litbang KOMPAS

Você também pode gostar