Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Konfigurasi politik pada orde lama membawa indonesia berda dalam Pencarian
dukungan dan pengakuan kemerdekaan RI. Dan Era Soekarno merupakan suatu rezim
pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk hukum-hukum konservatif dan
pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.
Pada periode ini (1945-1965), pendahulum politik bebas aktif lebih condong bergerak
kekiri dengan garis poros Pyongyang-Peking-Pnompenh-Jakarta dengan konfrontasinya
Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan barat dengan jargon “Go to hell with
your aid” dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB. Landasan pemikiran
Soekarno ialah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya
kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan barat serta PBB dalam
pemikiran Soekarno ialah representasi Imperialisme dan kolonialisme.
a. Aktif mencari dukungan dari negara lain, terbukti banyak negara yang mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia.
b. Indonesia dengan negara lain mendirikan gerakan Non-Blok.
c. Soekarno membuka Poros Pyongyang-Peking-Pnompenh-Jakarta.
d. Penolakan bantuan keuangan dari barat.
e. Bergabung sekaligus keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB.
f. Landasan Utama RI ialah menolak perluasan Imperialisme dan kembalinya
kolonialisme.
g. Akhir dari babak orde lama ialah dengan dikeluarkannya supersemar karena tragedi
pemberontakan G 30 SPKI.
1
1.2. Masa Orde Baru (Soeharto)
Orde baru menjalankan polugri Indonesia berbeda dengan Soekarno. Soeharto dan
Orde barunya tidak tidak menolak hubungan negara-negara barat, dan saat bersamaan juga
berusaha untuk menjaga indepedensi politik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan
bahwa Indonesia melalui ASEAN. Disamping itu Indonesia mendaftarkan kembali menjadi
anggota PBB pada tanggal 19 september 1966 dan mengumumkan bahwa Indonesia
“Bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB (barat) dan melanjutkan partisipasi
dalam kegiatan-kegiatan PBB.
2
Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi mengalami kedua aspek
outside-in dan inside-outseperti dipaparkan diatas. Sampai derajat tertentu misalnya,
conditionality yang diterapkan IMF berkenaan dengan bantuan keuangan pada masa krisis
ekonomi berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perjalanan
demokratisasi di Indonesia. Dalam kaitannya dengan konteks inside-out, politik luar negeri
Indonesia sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan
dari perubahan politik secara masif yang mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian
tersebut. Pemerintahan Habibie, yang menggantikan Suharto, merupakan salah satu contoh
tepat untuk menggambarkan pertautan antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri
dari sebuah pemerintahan di masa transisi.
Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi
perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih
besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari
kalangan domestik. Hubungan Habibie dengan lembaga International Monetary Fund (IMF)
dapat dijadikan ilustrasi yang menarik dalam hal ini. Sebelumnya, IMF mendesak Suharto
untuk menghentikan proyek pembuatan pesawat Habibie yang berbiaya tinggi pada bulan
Januari 1998, tepat ketika suhu politik dan keberlangsungan pemerintahan Suharto sedang
dipertanyakan. Akan tetapi, belakangan ketika ia berkuasa, Habibie mendapatkan kembali
1
Dewi Fortuna Anwar, “The Habibie presidency”, dalam Forrester, G (ed), Post-Suharto Indonesia: renewal or
chaos?(Crawford House Publishing: Bathurst, 1999), hal.4.
3
kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga
tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi
sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar2.
Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik
tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan
untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi
keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri,
sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.
Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie
mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana
ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor
Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan
menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final
atas masalah Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan
akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember
1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan
memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat
tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right
of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa
hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum
baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya.
Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan
pemerintahan Habibie sendiri3.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal.
2
Adam Schwarz, A nation in waiting (Allen-Unwin: New South Wales, edisi kedua, 1999), hal. 373.
3
Tulisan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer,”East Timor – looking back on 1999”, Australian
Journal of International Affairs, vol.54/1 (2000), hal.5
4
Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi
referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua,
kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara
dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu 4. Habibie kehilangan legitimasi
baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai
gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden
Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang
berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum5.
4
Marcus Mietzner, “From Suharto to Habibie: the Indonesian armed forces and political Islam during
transition” dalam Forrester, G. (ed), Post Suharto Indonesia: renewal or chaos?(Bathurst: Crawford House
Publishing, 1999).
5
http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca…341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument
5
2. Pengambilan Kebijakan Oleh Politik Domestik Dalam Suatu
Pengambilan Kebijakan Polugri Dalam Konsep Dan Suatu Contoh
Kasus.
Jadi saya mengambil contoh kasus gagalnya perjanjian ekstradisi yang dilakukan
Indonesia-Singapura tahun 2007 dikarenakan opini publik (Konsep ke 9 dari multi trak
diplomacy) yang mengatakan bahwa perjanjian itu sangat-sangat merugikan indonesia. Hal
ini berawal dari masyrakat umum dan para peneliti dan pendidik yang beranggapan apabila
kesepakatan itu direalisasikan akan merugikan Indonesia dan tanggapan ini berlanjut hingga
kemeja DPR-RI yang pada akhirnya kesepakatan ini digagalkan. Berikut informasi tentang
perjanjian Ekstradisi tersebut.
Perjanjian bilateral dan yang lebih luas lagi perjanjian internasional adalah hal
mendasar bagi sebuah negara. Setiap negara melalui perjanjian ini dapat menggambarkan apa
yang diinginkan dari perjanjian tersebut, pengaturan bermacam aktivitas bersama dan adanya
ruang terhadap penyelesaian suatu masalah. Salah satu bentuk kerjasama itu, antara lain,
Defence Cooperation Agreement (DCA) yang ditandatangani 27 April 2007. Bentuk
perjanjian kerjasama bilateral antara Indonesia-Singapura ini bermula dari adanya
6
kesepakatan untuk melakukan ekstradisi para koruptor dari Indonesia yang singgah ke
Singapura.6
Pasal 3 (c) menyatakan personel dan perlengkapan angkatan bersenjata dari negara
lain yang melaksanakan latihan bersama Angkatan Bersenjata Singapura di wilayah udara
dan perairan Indonesia akan diberlakukan sama seperti perlakuan pada personil dan
perlengkapan Angkatan Bersenjata Singapura. Dalam naskah perjanjian tidak disebutkan
negara-negara yang bisa diajak berlatih bersama. Artinya, DCA membuka peluang bagi
6
Newsletter Media dan Reformasi sektor Keamanan, Edisi III/06/2008, Hal 7
7
negara-negara sekutu Singapura untuk melakukan latihan militer di wilayah Indonesia.
Apabila perjanjian DCA tersebut tetap dilaksanakan, secara otomatis melanggar prinsip
kedaulatan Negara (state sovereignty principle). Umumnya, perjanjian merupakan
kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun, dalam hal ini perjanjian
tersebut hanya menguntungkan pemerintah Singapura. Dengan DCA kita secara de facto dan
de jure memberikan ruang lebar bagi Singapura untuk mengeksplorasi wilayah kedaulatan
kita untuk suatu kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain, bukan hanya dengan
Indonesia.