Você está na página 1de 7

Budaya

Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

Rangkuman:
Indonesia sebagai Negara kepulauan terluas di dunia memiliki potensi kelautan yang
begitu besar. Sejarah juga mencatat bagaimana nenek moyang nusantara dulu
menggantungkan hidupnya pada laut. Budaya laut yang dulu pernah menjadi ikon kebanggaan
negeri khatulistiwa ini kini lenyap. Menjadikan negeri ini kehilangan jati dirinya dan tidak
dapat menerima fitrahnya sebagai negeri bahari. Padahal laut adalah masa pdepan yang begitu
gemilang apabila kita tidak hanya menjadi pemilik atau tuan rumah tetapi juga menjadi
penguasa. Untuk itu diperlukan kerja sama dari berbagai pihak yang kondusif dan terintegrasi
dengan baik untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara maritim yang kuat dan mandiri.
Indonesia merupakan Negara kepulauan. Lebih dari 17.000 pulau yang tersebar berikrar
untuk berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Laut yang
tampak memisahkan antar pulau justru dianggap sebagai pemersatu bangsa yang harus dijaga
sebagai wilayah kekuasaan. Laut mendominasi hingga hampir dua pertiga wilayah kedaulatan
NKRI. Itu artinya selama ini kita berpijak di atas seonggok tanah yang kita sebut pulau di
tengah lautan yang luas. Maka sudah sepantasnya Indonesia menjadi bangsa pelaut, bangsa
yang mengangkat harkat dan martabat bangsanya dengan cara menyingsingkan lengan baju
mencari kemuliaan di tengah lautan.
Indonesia menyandang predikat Negara maritim dalam waktu yang cukup lama. Pelaut
nusantara telah menorehkan prestasinya dalam mengarungi samudera pasifik dan samudera
hindia. Pada abad ke-13 para pelaut bugis sebagaimana tercatat dalam kisah Sawerigading
dalam naskah La Galigo terus melakukan ekspedisi lautnya hingga ke Madagaskar. Maka
tidak mengherankan bila Ferdinand Magellan merekrut beberapa anak buah kapalnya dari
para pelaut nusantara dalam perjalanan ekspedisi keliling dunia pada 1519 – 1522.
Kesuksesan dalam perdagangan international pun tercatat dalam banyak jurnal sejarah.
Misalkan Sungai Berantas, Sungai Solo, Sungai Musi, dan Sungai Kampar yang pernah
menjadi tempat singgahnya kapal-kapal untuk bongkar muat. Posisi geografis Indonesia yang
strategis memberikan keuntungan tersendiri untuk pelayaran dan perdagangan mulai masa
Kerajaan Jepara, Majapahit, Mataram, Sriwijaya, dan juga kerajaan-kerajaan yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke.
Dalam bukunya ‘Al – Quran dan Lautan’, Agus S. Djamil menuliskan bahwa seorang
pelaut bugis bernama Amanna Gappa pada 1676 menyusun sebuah hukum laut berupa
kumpulan peraturan pelayaran dan perdagangan. Sebuah prestasi terukir dari pelaut nusantara
dalam pasal-pasal dengan tujuan agar para pelaut memiliki kode etik pelayaran, tata krama,
dan peraturan kelautan yang sehat. Tidak hanya itu, gemilang peradaban laut pada masa nenek
moyang kita diabadikan oleh kapal pinisi yang terkenal dan kapal samudraraksa yang telah
dibuat replikanya dan mampu membawa anak-anak nusantara menyusuri tapak tilas jalur
ekspedisi petualangan nenek moyang menaklukan lautan.
Budaya pelaut yang sarat akan wawasan bahari terus tergerus zaman dan terlupakan.
Warisan watak pemberani dan haus akan tantangan dari nenek moyang terhapus oleh
modernisasi global. Sikap kepemimpinan dan kerjasama tidak lagi dimiliki oleh pemuda-
pemuda kita. Cerminan masyarakat kita yang terbelakang dan terpuruk dalam keputusasaan
sangat jauh berbeda dengan pelaut-pelaut nusantara yang ulet, cekatan, dan pantang

2
menyerah. Produktifitas bangsa ini menurun tajam hilang menjadi sikap konsumtif karena
teknologi yang membuat kita terlena.
Kini bangsa pelaut tidak lagi menguasai lautannya sendiri. Kita berhenti pada tingkatan
pemilik lautan tetapi membiarkan bangsa-bangsa lain mengeruk mutiara keuntungan dari
dalamnya. Negara kepulauan Filipina yang jauh lebih kecil dari Indonesia mendapatkan
pendapatan devisa negara sebesar US$ 700 dari hasil pengolahan rumput laut yang 65%
bahan baku rumput lautnya didapatkan dari Sulawesi. Riau yang memiliki jutaan barel
minyak bumi, masyarakatnya tidak bisa merasakan keuntungan yang terus digali oleh
perusahaan-perusahaan asing yang secara de facto menguasai ladang-ladang minyak di sana
untuk dipasok ke San Fransisko.
Paradigma kita selama ini tentang laut sangat memprihatinkan. Bahwa laut adalah jahat,
tempat menakutkan, akhir perjalanan, dan tidak ada yang bisa dilakukan di laut. Orientasi kita
sebagai generasi bangsa terus berkiblat pada teknologi dan industri negara-negara Eropa yang
terbatas pada daratan. Maka bukanlah hal yang mengherankan jika Indonesia banyak
kehilangan pulaunya (pulau Sipidan dan Ligitan, red), kasus sengketa ambalat, dan jutaan ton
ikan dicuri oleh nelayan-nelayan dari Thailand, Cina dan Jepang. Tidak ada yang disalahkan
kecuali diri kita sendiri yang telah melupakan hakikat kita sebagai bangsa pelaut dan Negara
kepulauan terluas di dunia.
Paranoid terhadap lautan membuat kita tidak bisa memajukan dunia maritime Indonesia.
Daniel Mohamad Rosyid (guru besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS) mengatakan bahwa
potensi ekspor ikan tuna Indonesia mencapai 25% dari total produksi dunia atau 160.000 ton
per tahunnya, sedangkan kita selama ini hanya mengirimkan sekitar 5000 ton saja tiap
tahunnya. Hal ini tentunya belum termasuk total sumber daya perikanan Indonesia yang
diperkirakan mencapai 6,2 juta ton per tahunnya yang sampai saat ini masih dimanfaatkan
sebesar 62% saja (Pulitbang Oseanologi LIPI).
Begitu luas laut kita dan begitu banyak karunia yang bisa kita ambil untuk merubah
nasib bangsa kita. Mulai dari bahan tambang dan mineral, minyak dan gas bumi, sarana
trasnportasi, budidaya perikanan, ladang rumput laut, pertahanan nasional, dan konservasi laut
serta wisata bahari yang notabene sampai sekarang belum termanfaatkan secara optimal. Kita
juga bisa mendapatkan energi alternatif dari laut kita yang ramah lingkungan dan memiliki
efisiensi serta efektivitas yang tinggi untuk mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar
fosil dan untuk mengatasi kesenjangan distribusi keperluan energy di negeri kita.
Sayangnya di Indonesia sendiri belum ada penelitian siginifikan tentang konversi
energy laut baik itu angin, pasang surut, ombak, atau panas laut. Proyek PLTO dengan

3
Oscillating Water Column di Parangracuk milik BPPT pun belum memuaskan karena
kapasitas listrik yang dihasilkan tidak ekonomis dibandingkan dengan biaya instalasi. Bahkan
penelitian besarnya energi atau daya ombak untuk sebagaian besar pantai belum pernah
dilakukan. Berbeda dengan California, Kanada, Portugal, Norwegia, Amerika Serikat, Cina,
Jepang, Australia, dan Inggris yang sudah bisa merasakan keuntungan dari PLTO. Untuk
Indonesia sendiri PTLO begitu menjanjikan karena ombak dengan tinggi 1,5 meter dan
periode 10 detik yang menghasilkan gelombang pecah setinggi 1,5 meter bisa memberikan
tenaga sebesar 35.000 HP sedangkan Indonesia diliputi lautan penuh ombak. Listrik yang
dihasilkan dapat disalurkan ke desa-desa pesisir terpencil atau untuk penerangan lokal
prasarana laut seperti pelabuhan atau mercusuar. Tentunya hal ini sangat sesuai dengan
kebijakan pemerintah tentang listrik masuk desa.
Tabel 1. Perbandingan Kontribusi Sektor Kelautan Beberapa Negara
Luas Kontribusi Sektor Kelautan
Panjang Terhadap GDP
No Nama Negara Perairan
Pantai (km)
(km2)
(%) Nilai
1 Amerika Serikat 19.000 32 US$ 280 miliar (1995)
2 Korea Selatan 2.713 37 US$ 147 miliar (1992)
3 RRC 32.000 3 juta 48,4 US$ 174 miliar (1999)
4 Indonesia 81.000 5,8 juta 20 US$ 18,9 miliar (1998)
5 Jepang 34.386 54 US$ 214 miliar (1992)
Sumber: Kusumastanto, 2002
Tidak diragukan lagi laut adalah masa depan yang cerah untuk bangsa kita dan tidak
boleh kita sia-siakan apalagi kita biarkan bangsa asing menguasainya. Titik cerah sudah kita
dapatkan dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Eksplorasi Kelautan (sekarang
Kementrian Kelautan dan Perikanan) oleh mantan Presiden Bapak Abdurrahman Wahid pada
tahun 1999 yang pada hari yang sama pada tahun 1980 dilakukan pewacanaan Indonesia
sebagai Negara maritim. Ini merupakan langkah strategis sekaligus harapan untuk
memulihkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tidak ada keraguan lagi
untuk para pengambil keputusan melakukan pergeseran paradigma pembangunan nasional
yang selama ini berbasis daratan pada pembangunan nasional berbasis kelautan. Sesuai
dengan ajakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Dr. Ir. Rokhmin Dahuri untuk
mengelola laut kita dengan baik dan bermanfaat secara ekologi, sains, ekonomi, dan sosial
politik.
Konsistensi pemerintah dalam mengelola laut sebagai wilayah kedaulatan dirasa oleh
penulis selama ini masih kurang. Meskipun Kementrian Kelautan dan Perikanan telah
dibentuk, namun ini memang kebutuhan mendasar untuk melakukan proses perubahan dalam

4
kebijakan pembangunan nasional. Satu pertanyaan besar adalah apakah sebuah departemen
mampu memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan yang begitu besar tanpa keterkaitan
dan koordinasi dengan institusi Negara lainnya? Oleh karena itu diperlukan sebuah keputusan
dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk melakukan kebijakan kelautan (ocean
policy) sebagai arus utama dalam sektor ekonomi untuk pembangunan nasional tanpa harus
meninggalkan potensi ekonomi lainnya. Dimana kebijakan ini akan dituangkan dalam visi
bersama semua level institusi Negara.
Beberapa alasan mengapa ocean policy perlu dilakukan karena sektor kelautan
merupakan sektor yang tertinggal dilihat dari rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya dan
teknologi, tingkat kemiskinan dan keterbelakangan kelompok nelayan jauh labih rendah
dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya, peluang kerja yang rendah, minat investasi
yang kurang karena membutuhkan jumlah pendanaan yang besar dan memiliki resiko yang
tinggi walaupun juga menjanjikan keuantungan yang menarik. Dan 60% penduduk Indonesia
adalah masyarakat pesisir yang berdesakan mencari rejeki di sepertiga wilayah Indonesia
yang tidak lain adalah daratan tempat kita tinggal.
Kita jangan hanya bangga menjadi negara swasembada pangan dan kebutuhan pertanian
dengan pola pikir pertanian – domestik dalam potensi Indonesia sebagai Negara agraris yang
mengandalkan daratan seluas 20% wilayah territorial NKRI. Hasil pertanian yang melimpah
tidak akan menyejahterakan masyarakat tanpa adanya kemampuan untuk memperdagangkan
hasil panen dan olahannya seperti yang dialami para petani kita yang produknya kalah saing
dengan produk asing. Apalagi wilayah daratan itu terus terancam dengan berbagai proyek
pembangunan properti, pusat pembelanjaan, dan perkantoran. Kemampuan pola pikir
antarpulau dan lintas lautan harus kita asah untuk mengoptimalkan wilayah sebesar 80%
berupa lautan yang berada pada urat nadi pelayaran serta perekonomiaan dunia.
Tidak berlebihan jika Indonesia dikatakan sebagai Negara terunik di dunia.
Geografisnya yang khas berada di antara dua samudera dan dua benua, kawasan laut yang
jauh leblih luas dibanding daratan, dan heterogenitas etnis yang tinggi terangkum dalam
bhineka tunggal ika. Sehingga kita tidak bisa mengambil acuan dari bangsa manapun dalam
pembangunan dunia maritim kita. Semangat kreatifitas, inovasi, dan kepeloporan mutlak
dibutuhkan dari para penerus peradaban bangsa ini. Kerja sama para cendekiawan dari segala
disiplin ilmu harus mulai dilakukan dalam tim sukses pembangunan nasional Indonesia untuk
keunggulan kemaritiman kita. Sehingga mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat
dan mandiri bukan lagi sekedar khayalan.

5
‘Blue print’ sebagai rancangan tindakan pembangunan nasional berbasis kelautan
tentunya telah dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari pemetaan wilayah lautan dan kepulauan
RI, pertahanan dan keamanan perairan Indonesia, termasuk juga kajian teknologi dan sains
untuk pengembangan kelautan, serta undang-undang kelautan nusantara. Namun yang belum
dirasakan kehadirannya adalah pendidikan nasional berwawasan kelautan. Hal ini sangat
diperlukan untuk memberdayakan seluruh elemen masyarakat sesuai dengan kapasitas dan
kemampuannya. Mengajak masyarakat sadar lautan dengan edukasi dan sosialisasi wawasan
bahari khususnya pada generasi muda untuk menimbulkan rasa ketertarikan dan peduli laut.
Mengingat anak bangsa adalah agen of change sebagai kader-kader bangsa yang akan
menjadi pemimpin di segala lini kehidupan nantinya.
Langkah strategis untuk memenuhi kewajiban dalam mengoptimalkan pemanfaatan
kelautan untuk kedaulatan bangsa adalah menanamkan budaya melaut kepada khalayak
penduduk Indonesia. Usaha ini bisa disiasati dengan memberdayakan peran serta lembaga
sosial keagamaan atau non pemerintah lainnya untuk menghasilkan kader pelaut bangsa yang
berprinsip kuat, memiliki kecerdasan spiritual, berjiwa kepemimpinan, dan mengabdi kepada
tanah airnya. Peringatan Hari Kelautan Nasional dirasa penulis perlu untuk dipertimbangkan
pemerintah sebagai salah satu senjata membawa masyarakat Indonesia pergi ‘melaut’.
‘Melaut’ untuk sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim,
perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan. Sehingga laut dalam era otonomi
daerah di tengah maraknya pasar bebas bisa mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur.
Menanamkan budaya laut pada masyarakat bisa juga memanfaatkan media. Misalkan
saja penerjemahan kisah Sawerigading dalam naskah La Galigo yang memuat kisah-kisah
petualanan pelaut nusantara dan wawasan kelautan. Sama halnya dengan penerjamahan novel
‘Nelayan di Lautan Utara’ yang memberikan nuansa bahari dengan gaya bahasanya yang khas
dan menarik. Upaya-upaya seperti ini hendakanya dilakukan oleh siapa saja yang merasa
peduli dan sadar lautan serta memiliki kemampuan untuk melakukannya. Pendekatan bisa
dilakukan dengan menyisipkan cerita cinta dan persahabatan ala remaja agar memberikan
ketertarikan pada geberasi muda untuk membacanya. Dan dalam jangka waktu panjang
diharapkan dapat memberikan stimulus kepada mereka merubah pola pikir daratan yang
cenderung tertutup (inland minded) menjadi pola pikir yang terbuka dan luas menyibak
cakrawala nusantara.

6
Biodata

Judul Naskah : Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut


NAMA PENULIS : Aris Bagoes Maladhi
Tempat & Tanggal Lahir : Jember, 11 Januari 1989
Nama Perguruan Tinggi : ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
Nama Fakultas, Jurusan : Fakultas Teknologi Kelautan, Teknik Kelautan
Domisili (Alamat Surat) : Perum. Bumi Mangli Permai CB.17 Jember, Jawa Timur
Alamat Email : arismaladhi@ymail.com
Telepon :-
Ponsel : 085649387602

Você também pode gostar