Você está na página 1de 4

Agar Ibadah Diterima di Sisi 

Alloh

Syarat Diterimanya Amal Ibadah Semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima
bila memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu
‘alaihi wassalam). Kedua syarat ini terangkum dalam firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang
artinya: “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya.” (QS: Al Kahfi: 110).

Beramal sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah
diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah maksudnya mengikhlashkan
ibadah hanya untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata.

Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, yang artinya: ”(Tidak demikian) dan bahkan
barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya
pahala pada sisi Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (QS: Al-Baqoroh: 112).

Menyerahkan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala berarti mengikhlashkan seluruh ibadah
hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti
syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama (persaksian tiada
sesembahan yang benar kecuali Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata). Sebab persaksian ini
menuntut kita untuk mengikhlashkan semua ibadah kita hanya untuk Alloh Subhanahu wa
Ta’ala saja. Sedang syarat kedua (mutaba’ah) adalah konsekuensi dari syahadat kedua
(persaksian Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya).

Ikhlash dalam Ibadah Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh
Subhanahu wa Ta’ala semata. Walaupun seseorang beribadah siang dan malam, jika tidak
ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
yang artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka
mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS: Al
Bayyinah: 5)

Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya, kemanakah maksud hati
tatkala ia beribadah, apakah untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala, ataukah untuk selain Alloh
Subhanahu wa Ta’ala. Perhatikanlah jenis amal-amal berikut:

Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya supaya dilihat makhluk atau
karena tujuan duniawi. Amalan seperti ini hangus, tidak bernilai sama sekali dan pelakunya
pantas mendapat murka Alloh. Amalan yang ditujukan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan
disertai riya’ dari sejak awalnya, maka nash-nash yang shohih menunjukkan amalan seperti ini
bathil dan terhapus. Amalan yang ditujukan bagi Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan disertai niat
lain selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan karena
menghendaki harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang pahalanya dan tidak sampai
batal dan tidak sampai terhapus amalnya.

Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala kemudian terbesit
riya’ di tengah-tengah, maka amalan ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut terbersit
sebentar dan segera dihalau maka riya’ tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’
tersebut selalu menyertai amalannya maka pendapat terkuat diantara ulama menyatakan bahwa
amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana pendapat Hasan Al Bashri. Namun
dia tetap berdosa karena riya’nya tersebut dan tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’)
terhapus. Sedang amal yang ikhlash karena Alloh kemudian mendapat pujian sehingga dia
senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak berpengaruh apa–apa terhadap amalnya.

Beribadah Hanya Dengan Syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam


Ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan sesuatu yang diridhoi
Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dan engkau tidak akan mengetahui apa yang diridhoi Alloh
Subhanahu wa Ta’ala kecuali setelah Alloh kabarkan atau dijelaskan Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam.

Dan seluruh kebaikan telah diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tidak tersisa
sedikit pun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan sesuatu karena menganggap
ini baik, padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga
tatkala ditanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” lalu ia menjawab, “Bukankah ini sesuatu
yang baik? Mengapa engkau melarang aku dari melakukan yang baik?” Saudaraku, bukan akal
dan perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. Apakah engkau merasa lebih taqwa dan
sholih ketimbang Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya:“Barangsiapa yang melakukan satu
amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR: Muslim)

Apakah Ibadah kita telah sesuai dengan tatacara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam
beberapa hal berikut ini:

Sebabnya. Ibadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan sebab yang tidak disyari’atkan,
maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat
tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam
Mi’roj Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud
adalah ibadah tetapi karena dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan syari’at maka sholat
karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.

Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang
menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari’at dalam jenisnya.
Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.

Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja menambah bilangan raka’at sholat
zhuhur menjadi lima roka’at, maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai
dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita tahu kesalahan orang-
orang yang berdzikir dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan tertentu,
baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka tidak mendapatkan apa-apa
kecuali capek dan murka Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Kaifiyah (caranya). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara membasuh tangan dan
muka saja, maka wudhunya tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.
Waktunya. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari pertama bulan
Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari’at menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari
tasyriq saja.

Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka tidak sah i’tikafnya.
Sebab tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.

Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat ini, yaitu kita menjadikan ibadah yang kita
lakukan semata-mata hanya untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan kita beribadah hanya dengan
syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam setiap tarikan
nafas dan detik-detik kehidupan kita, semoga dengan demikian kita semua menjadi hamba-Nya
yang bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu a’lam bish showaab.

Você também pode gostar