Você está na página 1de 5

Tatalaksana Pemberian Obat Pada Demam Tifoid

Obat yang Digunakan


Kloramfenikol dan penisilin masih tetap merupakan pilihan pertama untuk penderita
demam tifoid, yang mana pasien biasanya menjadi tidak panas dalam 3-5 hari.

• Kloramfenikol
Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri dan
mempunyai efek yang kecil terhadap fungsi metabolisme lainnya, bersifat
bakteriostatik dan kadang-kadang bakterisid pada konsentrasi obat yang tinggi. Pada
umumnya bakteri Gram-negatif dihambat oleh konsentrasi 2-5 μg/ml. Penderita yang
mendapat pengobatan dengan kloramfenikol memperlihatkan efek terapinya setelah
beberapa jam pemberian, berupa hilangnya kuman Salmonella dari darah. Perbaikan
klinis sering merupakan bukti dalam 48 jam dan panas serta tanda-tanda lainnya
penyakit akan hilang dalam 3-5 hari pengobatan. Kepustakaan lain menyatakan 7
hari, tetapi pengobatan tetap dilanjutkan minimal 10-14 hari, atau dilanjutkan 5-7 hari
setelah ada perbaikan.
Dosis kloramfenikol yang digunakan pada penderita demam tifoid sangat bervariasi,
dosis mulai dari 30-50 mg/kgBB/hari sampai 50-100 mg/kgBB/hari (maksimum 2
gr/hari) dibagi 4 dosis selama 14-21 hari. Di Bagian Anak FK Unpad/RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung digunakan 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10-14
hari. Untuk neonatus (< 2 minggu) dapat diberikan 25 mg/kgBB/hari. Pengobatan
umumnya secara oral, pada kasus yang berat diberikan secara intravena. Untuk anak
malnutrisi, pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Pengobatan dengan
kloramfenikol, kemungkinan relaps lebih tinggi dan tidak mencegah berkembangnya
karier kronik. Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama karena
murah dan mudah didapat.
Anemia aplastik sebagai akibat kloramfenikol jarang terjadi, kejadiannya satu di
antara 24000-40000 penderita yang memakai kloramfenikol. Dari hasil penelitian di
Cina tahun 1957, didapatkan lebih dari 30 kasus yang tercatat dengan ANLL
dihubungkam dengan penggunaan kloramfenikol. Periode dari sejak pertama kali obat
diminum sampai terjadinya anemia berkisar dari 2 bulan sampai 8 tahun.
Pemberian kloramfenikol pada neonatus dapat menyebabkan sindrom Grey disertai
muntah, flatulensi, hipotermia, syok, serta adanya kolaps. Adapun larangan
pemberian kloramfenikol ditujukan pada anak dengan kolelitiasis dan atau disfungsi
kandung empedu.

• Tiamfenikol
Tiamfenikol merupakan bentuk penyempurnaan dari kloramfenikol dengan struktur
yang sama, sejak 10 tahun terakhir ini mulai banyak digunakan terutama di negara
Eropa tetapi tidak beredar di Amerika. Tiamfenikol mempunyai daya penetrasi yang
lebih baik sehingga mencapai kadar bakterisid yang lebih baik pula. Untuk
pengobatan demam tifoid dapat digunakan dosis 50 mg/kgBB/hari pada minggu
pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya. Dibandingkan
dengan kloramfenikol, tiamfenikol mempunyai risiko lebih rendah untuk terjadinya
anemia aplastik.
• Ampisilin dan Amoksisilin
Ampisilin dan amoksisilin merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan termasuk
golongan antibiotik penisilin. Antibiotik ini mempunyai mekanisme kerja antibakteri
berupa kerusakan dinding sel bakteri dengan menghambat sintesis peptidoglikan yang
terdapat pada dinding sel. Ampisilin stabil dalam asam dan lebih aktif terhadap
bakteri Gram-negatif, sedangkan amoksisilin serupa dengan ampisilin tetapi
absorbsinya lebih baik dan memberikan kadar darah yang lebih tinggi.
Ampisilin memberikan respons klinis yang lebih lambat dengan kegagalan
pengobatan dan kejadian relaps masih lebih banyak bila dibandingkan degnan
kloramfenikol. Panas akan turun dan gejala klinis membaik dalam waktu 3-5 hari
pengobatan. Pemberian per oral 100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis, selama 2
minggu (maksimum 8 gr/hari). Amoksisilin digunakan sebagai alternatif pengobatan
bila ditemukan resistensi terhadap kloramfenikol. Sama baiknya dengan
kloramfenikol, merupakan alternatif terpilih untuk demam tifoid, tanpa karier dan
angka relaps 2%. Dosis amoksisilin adalah 40-100 mg/kgBB/hari, diberikan 3 kali
selama 20-24 hari, untuk penderita yang resisten terhadap kloramfenikol, untuk karier
kronik dapat diberikan dosis tinggi secara intravena. Ampisilin dan amoksisilin
merupakan obat yang kurang mempunyai toksisitas langsung, kebanyakan efek
samping berat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas. Reaksi alergi dapat berupa
syok anafilaksis, urtikaria, panas, pembengkakan sendi, pruritus hebat, dan gangguan
pernapasan, serta berbagai ruam kulit lainnya. Sedangkan reaksi toksisitas disebabkan
oleh iritasi langsung karena suntikan i.m. atau i.v. dalam konsentrasi yang sangat
tinggi berupa nyeri setempat, indurasi, tromboplebitis, atau degenerasi saraf yang
disuntik secara tidak sengaja. Pemberian dosis besar per oral dapat menyebabkan
gangguan saluran pencernaan terutama mual, muntah dan diare.

• Trimetoprim dan Sulfametoksazol


Trimetoprim adalah sebuah antimetabolit yang mempengaruhi sintesis asam folat,
sebuah penghambat dihidrofolat reduktase yang sangat selektif pada organisme
rendah menghambat asam dihidrofolat reduktase pada bakteri. Sulfametoksazol dapat
diberikan baik secara oral ataupun intravena. Trimetoprim terabsorbsi baik dari usus
serta terdistribusi luas dalam cairan tubuh dan jaringan. Trimetoprim dan
sulfametoksazol masing-masing mempunyai sifat sebagai bakteriostatik, tetapi
apabila dikombinasi akan bersifat bakterisida. Dalam tahun 1986, kombinasi
trimetoprim sulfametoksazol tampil sebagai obat terpilih untuk demam tifoid,
terutama digunakan pada penderita yang alergi atau adanya dugaan kuat kuman S.
typhi resisten terhadap kedua obat tersebut (ampisilin dan kloramfenikol).
Respon penggunaan obat trimetoprim dan sulfametoksazol tidak sebaik respons
terhadap ampisilin dan kloramfenikol, tetapi dapat menghasilkan banyak perbaikan
klinis yang cepat walaupun tetap lebih lambat bila dibandingkan dengan
kloramfenikol.
Dosis peroral yang digunakan untuk TMP 10-12 mg/kgBB/hari dan SMZ 50-60
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau TMP 185 mg/m2/hari dan SMZ 925 mg/m2/hari,
dibagi 2 dosis dua kali sehari selama 14 hari.
Pemberian TMP-SMZ secara intravena, memerlukan 125 ml cairan pelarut untuk 80
TMP. Anak yang menerima antibiotik ini secara intravena harus hati-hati dengan
memonitor pemasukan cairan.
Pengobatan kurang dari 14 hari akan meninggalkan risiko relaps. Relaps tampaknya
jarang terjadi pada pengobatan TMP-SMZ dibandingkan dengan kloramfenikol.
Trimetoprim-sulfametoksazol dapat memberikan efek samping berupa efek obat anti
folat, terutama anemia megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia. Hal ini dapat
dicegah dengan pemberian asam folinat secara bersamaan 6-8 mg/hari. Di samping
itu kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol dapat menyebabkan semua reaksi yang
tidak diharapkan dan berhubungan dengan sulfonamid. Kadang-kadang juga timbul
mual dan muntah, panas, vaskulitis, kerusakan ginjal atau gangguan susunan saraf.

• Golongan Sefalosporin
Multi drug resistant Salmonella typhi (MDRST) adalah istilah yang diberikan pada
kuman Salmonella typhi yang resisten terhadap tiga antibiotik oral pilihan pertama,
yaitu kloramfenikol, ampisilin, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Dari laporan
resistensi terhadap kloramfenikol, wabah besar pertama demam tifoid yang
disebabkan oleh kuman MDRST telah terjadi di Meksiko tahun 1972. sejak itu
terdapat banyak kejadian wabah di seluhur belahan dunia, MDRST telah muncul
sebagai masalah yang utama di Asia Selatan. Masalah ini juga didukung oleh
sejumlah kasus MDRST yang terjadi pada anak dengan angka kesakitan dan kematian
yang tinggi dibandingkan kuman yang sensitif terhadap obat. Baru-baru ini generasi
ke-3 sefalosporin telah dipertimbangkan sebagai obat utama pada MDRST pada anak
dengan hasil memuaskan (>90%).
Di bawah ini akan dibahas beberapa obat-obatan dari golongan sefalosporin yang
digunakan dalam pengobatan MDRST. Sefalosporin merupakan antibiotik yang
menyerupai penisilin, tetapi resisten terhadap beta-laktamase serta aktif terhadap
bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif.
Mekanisme kerja sefalosporin analog dengan yang diterangkan untuk penisilin, yaitu
menghambat sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Penggunaan sefalosporin
pada demam tifoid dimulai pada generasi ke-3 sehubungan dengan sifatnya yang
lebih aktif untuk melawan bakteri Gram-negatif. Seftriakson, sefotaksim, sefiksim,
dan sefoperason adalah yang sering digunakan sebagai alternatif pengobatan pada
MDRST, yang mana keberhasilannya mencapai lebih dari 90% serta angka relaps 0-
48.
Lama pengobatan dengan sefalosporin generasi ke-3 masih kontroversial, banyak
yang menganjurkan 7-10 hari atau minimal 3 hari setelah ada tanda-tanda perbaikan.
Hasil suatu penelitian mengatakan bahwa penggunaan sefiksim peroral sama
efektifnya dengan penggunaan seftriakson intravena. Efek samping penggunaan
sefalosporin berupa nyeri hebat setelah suntikan intramuskular dan tromboflebitis
setelah suntikan intravena berulang. Reaksi toksik lainnya meliputi anafilaksis,
urtikaria, ruam kulit, panas, eosinofilia, granulositopenia, dan anemia hemolitik.
Pemberian peroral dapat menimbulkan diare, mual, muntah, dan peningkatan SGOT.
Sedangkan reaksi alergi dapat berupa anakfilasis. Sefalosporin terutama diekskresi
oleh filtrasi glomerulus dan diekskresi tubulus ke dalam urin yang mana kadarnya
dapat mencapai 200-2000 ug/ml. Obat penghambat tubulus (misalnya probenesid)
dapat sangat meningkatkan kadar serum. Pada gagal ginjal, dosis harus diturunkan
karena ekskresi sefalosporin mungkin jelas akan terganggu serta kadar jaringan dan
cairan yang tinggi dapat menimbulkan efek toksik.

• Aztreonam
Aztreonam merupakan antibiotik beta-laktam selain golongan penisilin ataupun
sefalosporin yang mempunyai efek terhadap Salmonella typhi. Aztreonam
mempunyai aktivitas antimikroba seperti antibiotik beta-laktam, mengikat protein
pengikat penisilin, merusak sintesis dinding sel bakteri, dan menyebabkan kematian
kuman, sangat resisten terhadap hidrolisis oleh kebanyakan beta-laktamase.
Antibiotik ini mempunyai aktivitas yang luar biasa secara invitro terhadap kuman
aerob dan anaerob Gram-negatif. Dari hasil penelitian, aztreonam tampaknya
memuaskan sebagai obat alternatif pada penderita demam tifoid atau kasus resisten
terhadap kloramfenikol atau bila penggunaan kloramfenikol merupakan
kontraindikasi. Aztreonam juga digunakan bila ditemukan penderita dengan riwayat
alergi terhadap penggunaan obat penisilin atau sefalosporin.
Hasil penelitian didapatkan lama perawatan dan penurunan tanda-tanda klinis terjadi
secara bersama-sama, tidak ditemukan adanya relaps. Leukopenia yang berat dan
neutropenia yang berat telah diobservasi pada satu pasien yang diobati dengan
aztreonam. Dari hasil penelitian dengan dosis 150 mg/kgBB/hari pada anak demam
tifoid, aztreonam memperlihatkan lama pengobatan yang sama dengan kloramfenikol.
Perbaikan klinis terjadi dalam waktu yang sama pula. Kultur darah didapatkan hasil
steril dalam waktu yang sama setelah pengobatan.

• Quionolon
Quinolon adalah antimikroba sintesis yang merupakan derivat dari asam
piridonkarboksilat. Efek bakterisidal diperoleh dengan cara menghambat aktivitas
enzim DNA girase. Spektrum antibiotiknya sangat besar, meliputi kuman Gram-
positif dan negatif, termasuk kuman yang telah resisten terhadap antibiotik golongan
beta-laktam dan aminoglikosida. Quinolon dapat diberikan peroral dan
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan kecuali otak. Mekanisme resistensi
obat quinolon pada suatu populasi kuman masih sulit untuk diterangkan. Quinolon
telah digunakan pada penderita dengan keadaan karier Salmonella typhi. Efek
samping yang terjadi akibat penggunaan obat ini adalah rendah berupa mual, muntah,
anoreksia, rasa tidak enak, nyeri gastrointestinal, dan diare; efek pada sistem saraf
dapat berupa nyeri kepala, mabuk, gangguan tidur; efek pada sistem sirkulasi bisa
berupa hipotensi, reaksi hipersensitivitas. Sedangkan kontraindikasi pemberian
quinolon adalah untuk penderita yang hipersensitif terhadap quinolon, lesi pada
sistem saraf, anak/remaja yang sedang tubuh, dan wanita hamil.
Dari hasil penelitian terhadap penderita demam tifoid, didapatkan data bahwa
quinolon memiliki daya hambat yang luar biasa terhadap kuman Salmonella typhi.
Pengobatan selama 7 hari didapatkan penurunan demam dalam 2-7 hari
(kloramfenikol 2-6 hari), serta terbukti efektif dalam mengobati penderita yang
kambuh setelah pengobatan kloramfenikol. Dosis pada dewasa diberikan antara
2x200 mg sampai 3x300 mg yang mana tidak seorang pun mengalami relaps atau
kekambuhan, sehingga obat ini merupakan salah satu obat alternatif yang baik pada
pengobatan demam tifoid dan sekaligus dapat mencegah penularan lebih lanjut dari
penyakit ini di kalangan masyarakat.

Você também pode gostar