Você está na página 1de 15

AKAL PEREMPUAN

DALAM PERSPEKTIF HADITS NABI:


Studi atas Hadits Misoginis

Oleh:
H. SUWENDI, M.Ag

Pendahuluan
Agama telah mendudukkan akal sebagai manâtut al-taklîf atau tempat
bergantung bagi pengamalan keagamaan seseorang. Yang dibebani untuk
mengamalkan ajaran agama adalah semua manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, yang memiliki akal. Bagi orang yang tidak berakal, akan terlepas dari
beban-beban agama ini.1 Dengan kemampuan akal inilah, semua pengamalan
ajaran agama itu akan dipertanggungjawabkan pada hari yang ditentukan (yaum
al-hisab). Hal ini dinyatakan dalam QS. al-Qiyamah [75]: 36,
َ ‫ان أَ ْن يُ ْت َر‬
.‫ك ُسدًى‬ ُ ‫أَيَحْ َسبُ اإْل ِ ْن َس‬
Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban)?” (QS. al-Qiyamah [75]: 36)
Kata akal berasal dari bahasa Arab (‘aqala) artinya “mengikat” dan
“menahan”. Orang yang berakal adalah orang yang dapat menahan amarahnya,
mengendalikan hawa nafsunya sehingga karenanya dapat mengambil sikap dan
tindakan bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapinya. 2
Kata “akal” tidak ditemukan dalam al-Quran. Namun, bentuk kata kerja
(fiil mudlari) ditemukan kurang lebih 50 kali yang tersebar di berbagai surat. Al-
Quran juga mempergunakan kata yang menunjukkan arti berfikir seperti nazhara
(terdapat 120 ayat), tafakkara (terdapat 18 ayat), faqiha (terdapat 20 ayat), dan
tadabbara (terdapat 100 ayat), dan lain-lain. Orang-orang yang berfikir atau berakal
sering juga disebut sebagai ulul albab dan al-Quran memberikan pujian kepada
ulul albab (disebutkan 14 kali) yang tidak terbatas kepada kaum pria saja, tetapi
juga kaum perempuan. Hal ini lebih tegas disebutkan dalam QS. Ali Imran [3]:
191-195, yang menjelaskan tentang identitas ulu al-bab itu.3

1
Dalam hadits Nabi dinyatakan:
‫الص يِب ِّ َحىَّت حَيْتَلِ َم (رواه‬
َّ ‫ب َعلَى َع ْقلِ ِه َحىَّت َيْب َرأَ َو َع ِن النَّائِ ِم َحىَّت يَ ْس َتْي َق َظ َو َع ِن‬ ٍ َ‫رفِ ع الْ َقلَم عن ثَال‬
ِ ‫ َع ِن الْم ْجُن و ِن الْم ْغلُ و‬:‫ث‬
ْ َ ْ َ َْ ُ َ ُ
)‫أمحد َوأبو َداود واحلاكم‬
Artinya: “Beban agama tidak dikenakan kepada tiga kelompok: orang gila yang akalnya tidak berperan sehingga dia
sembuh; orang tidur hingga dia bangun; dan anak-anak sampai dia baligh”.
Ketiga kelompok yang terbebaskan dari tuntutan agama ini pada dasarkan disebabkan oleh tidak
berfungsinya akal secara wajar.
2
Hasan Sadiliy dkk, Ensiklopedi Indonesia, jilid 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), hal. 98.
3
Redaksi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
ِ ‫ض ربَّنَا ما خلَ ْقت ه َذا ب‬ ِ َّ ‫الَّ ِذين ي ْذ ُكرو َن اللَّه قِياما و ُقع ودا وعلَى جنُوهِبِم ويَت َف َّكرو َن يِف خ ْل ِق‬
‫ك‬َ َ‫اطاًل ُس ْب َحان‬ َ َ َ َ َ َ ِ ‫الس َم َوات َواأْل َْر‬ َ ُ ََ ْ ُ َ َ ً ُ َ ً َ َ ُ ََ
ِ ِ ِ ِ ِ
‫ َربَّنَا إِنَّنَا مَس ْعنَا ُمنَاديًا يُنَ ادي لإْلِ ميَ ان أَ ْن‬.‫ص ا ٍر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ْ‫ني م ْن أَن‬ َ ‫َخَز ْيتَ هُ َو َما للظَّالم‬ َ ‫َّك َم ْن تُ ْدخ ِل الن‬
ْ ‫َّار َف َق ْد أ‬ َ ‫ َربَّنَا إِن‬.‫اب النَّا ِر‬َ ‫فَقنَا َع َذ‬
ِ ِ
‫ك َواَل خُتْ ِزنَا‬ َ ‫ َربَّنَا َوءَاتِنَا َما َو َع ْدَتنَا َعلَى ُر ُس ل‬.‫وبنَا َو َكف ِّْر َعنَّا َس يِّئَاتِنَا َوَت َو َّفنَا َم َع اأْل َْب َرا ِر‬
َ ُ‫آمنَّا َربَّنَا فَ ا ْغف ْر لَنَا ذُن‬
ِ ِ
َ َ‫ءَامنُ وا ب َربِّ ُك ْم ف‬
ٍ ‫ض ُك ْم ِم ْن َب ْع‬ ِ ِ ِ
ُ ‫يع َع َم َل َعام ٍل مْن ُك ْم م ْن ذَ َك ٍر أ َْو أُْنثَى َب ْع‬ ِ ِ ِ‫َّك اَل خُتْل‬ ِ
َ ‫َي ْو َم الْقيَ َام ِة إِن‬
‫ض‬ ُ ‫اب هَلُ ْم َربُّ ُه ْم أَيِّن اَل أُض‬ َ ‫اس تَ َج‬
ْ َ‫ ف‬.‫ف الْم َيع َاد‬ ُ
‫َّات جَتْ ِري ِم ْن‬ ٍ ‫فَالَّ ِذين ه اجروا وأُخ ِرج وا ِمن ِدي ا ِر ِهم وأُوذُوا يِف س بِيلِي وقَ اَتلُوا وقُتِلُ وا أَل ُ َكفِّر َّن عْنهم س يِّئاهِتِم وأَل ُْد ِخلَنَّهم جن‬
َ ُْ َ ْ َ َ ُْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َُ َ َ
.‫اب‬ِ ‫حَتْتِها اأْل َْنهار َثوابا ِمن ِعْن ِد اللَّ ِه واللَّهُ ِعْن َدهُ حسن الثَّو‬
َ ُُْ َ ْ ًَ َُ َ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya
barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-
orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada

1
Ulama tafsir Indonesia, seperti Hamka,4 Mahmud Yunus,5 dan Tafsir
Departemen Agama,6 sepakat menfasirkan ulul albab dengan orang-orang yang
berfikir, baik laki-laki maupun perempuan. Ini berarti bahwa baik laki-laki
maupun perempuan, keduanya dapat berfikir, mengingat, memahami,
mempelajari, dan mengamalkan, bahkan, mampu berfikir tentang alam raya ini.
Namun demikian, dalam sumber ajaran agama masih dijumpai hadis-hadis
yang cenderung misoginis yang menyatakan bahwa akal perempuan itu kurang
dibandingkan dengan akal yang dimiliki laki-laki, sehingga pantas di kemudian
hari kaum perempuan menjadi ‘masyarakat’ dominan di neraka. Hadits semacam
ini telah diterima oleh umat Islam sehingga menjadi pandangan masyarakat
tersendiri. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh J. Frueck, dijelaskan bahwa
doktrin sangat memberikan pengaruh terhadap budaya masyarakat. Ia tidak
hanya mampu memisahkan budaya, tetapi juga dapat memisahkannya. 7
Tampaknya, hadits misoginis itu telah menjadi landasan fatwa bagi
sebagian ulama. Ibn Hajar al-Haitami (1909 H), misalnya, sempat berfatwa bahwa
belajar tulis-menulis bagi anak perempuan adalah makruh, dibenci oleh agama.
Alasannya, kemampuan tulis menulis adalah ibarat pisau yang sangat tajam,
siapapun yang terkena akan terluka. Sementara itu, ujar Ibn Hajar dengan bias
kelelakiannya menyatakan kaum perempuan adalah manusia yang kurang
mampu mengendalikan diri. Oleh karenanya, kemampuan tulis menulis bagi
mereka akan sangat berbahaya bagi siapapun yang menjadi sasarannya.8
Padahal, dalam catatan sejarah banyak kaum perempuan yang sangat
menonjol pengetahuannya dalam berbagai ilmu, bahkan menjadi rujukan tokoh
laki-laki. Misalnya, isteri Nabi, Aisyah, Sakinah binti Husain bin Ali, Syaikhah
Syuhrah, guru imam Syafii, Rabiah Adawiyah, guru para sufi, dan lain-lain.
Bahkan, terdapat tiga nama perempuan yang menjadi guru tokoh mazhab, yaitu
saudara Salahuddin al-Ayyubi (Mu’nisat al-Ayyubiyah bin al-Malik al-Adil),
Syamiat al-Taimiyah, dan Zainab bint Abdul Latif al-Baghdadi, 9 al-Syifa, kepala
pasar kota Madinah, Khadijah bin Khuwalaid, isteri pertama Nabi SAW yang
sukses di bidang bisnis, dan lain-lain.
Sangat dimungkinkan, pandangan-pandangan inferiror semacam di atas
yang didukung oleh budaya masyarakat patriakhi mengakibatkan grafik kuantitas
perempuan ‘terpelajar’ dari satu generasi ke generasi berikutnya kian menurun.
Ruth Roded telah mencatat bahwa jika pada generasi sahabat Nabi tercatat ada
1.232 sahabat perempuan yang aktif di dunia ilmu (periwayatan hadits), maka
angka itu pada zaman tabiin tercatat hanya tinggal 150 orang, dan pada zaman

iman (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami
dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul
Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-
Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku
masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada
sisi-Nya pahala yang baik."
4
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 4, (Jakarta: Pustaka, 1988), hal. 194-197.
5
Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), hal. 101.
6
Departemen Agama, Tafsir al-Quran al-karim, jilid 2, (Jakarta: Menara Kudus/Citra Utama, 1996),
hal.102-103.
7
J. Fuek, “The Role of Traditionalism in Islam”, dalam Merlin L. Swartz, ed., Studies on Islam
(Oxford: Oxford University Press, 1981), hlm. 99.
8
Ibn Hajar Al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), hal. 62. Dikutip dalam
Masdar F. Masudi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Pemberdayaan, (Bandung: Mizan, 2000),
Edisi revisi, hal. 63.
9
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran, (Yogyakarta: LkiS, 1999), cet.
Ke-1, hal, 57.

2
tabiut tabiin lebih sedikit lagi, yaitu 50 orang sampai akhirnya tidak tercatat satu
nama pun.10
Oleh karena itu, hadis-hadis semacam itu perlu diteliti kebenarannya.
Terlebih lagi dalam konteks dunia kependidikan yang nyata-nyata menjadikan
persoalan akal sebagai domain wacana yang dikembangkannya. Dengan
diketahuinya landasan teologis mengenai akal perempuan ini secara jernih maka
pada gilirannya pengembangan wacana kependidikan perempuan menjadi lebih
jelas. Di samping itu, kajian terhadap hadits-hadits misoginis dapat pula
dimaksudkan untuk memperoleh pandangan budaya baru yang mendukung
terciptanya relasi laki-laki dan perempuan yang adil secara gender, sehingga
keberagamaan umat menjadi dewasa dan sesuai dengan yang dicita-citakan al-
Quran.

Teks Hadits
Di antara teks hadits yang menyatakan tentang akal perempuan adalah
sebagai berikut.
‫ص َّدقْ َن َوأَ ْكثِ ْر َن ااِل ْس تِ ْغ َف َار فَ ِإيِّن‬ ِ ‫ال يا معش ر الن‬ َّ ِ َّ َّ َ ‫ول اللَّ ِه‬ ِ ‫َعن رس‬
َ َ َ ْ َ َ َ َ‫ص لى اللهُ َعلَْي ه َو َس ل َم أَنَّهُ ق‬
َ َ‫ِّس اء ت‬ َُْ
‫ول اللَّ ِه أَ ْكَث َر أ َْه ِل النَّا ِر قَ َال‬ َ ‫ت ْام َرأَةٌ ِمْن ُه َّن َج ْزلَ ةٌ َو َما لَنَا يَا َر ُس‬
ِ َ‫رأَيتُ ُك َّن أَ ْكَث ر أَه ِل النَّا ِر َف َق ال‬
ْ َ َْ
‫ت يَا‬ ِ ٍّ ُ‫ات ع ْق ٍل و ِدي ٍن أَ ْغلَب لِ ِذي ل‬ ِ ِ‫تُكْثِر َن اللَّعن وتَ ْك ُف ر َن الْع ِش ري وما رأَيت ِمن نَاق‬
ْ َ‫ب مْن ُك َّن قَال‬ َ َ َ ‫ص‬ َ ْ ُ ْ َ ََ َ َ ْ َ َ ْ ْ
‫ص ا ُن الْ َع ْق ِل فَ َش َه َادةُ ْام َرأََتنْي ِ َت ْع ِد ُل َش َه َاد َة َر ُج ٍل‬ َ َ‫صا ُن الْ َع ْق ِل َوالدِّي ِن ق‬
َ ‫ال أ ََّما نُ ْق‬
ِ َ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّه َو َما نُ ْق‬ َُ
ِ
‫ص ا ُن ال دِّي ِن (رواه‬ َ ‫ض ا َن َف َه َذا نُ ْق‬ َ ‫ص لِّي َو ُت ْفط ُر يِف َر َم‬ َ ُ‫ث اللَّيَ ايِل َما ت‬ُ ‫ص ا ُن الْ َع ْق ِل َومَتْ ُك‬ َ ‫َف َه َذا نُ ْق‬
11
)‫البخاري و مسلم‬
Artinya: “Hai kaum perempuan, bersedekahlah dan perbanyalah memohon ampunan
karena aku melihat kamu sekalian menjadi sebagian besar penghuni neraka. Lalu salah satu
seorang perempuan di antara mereka yang cerdas dan kritis bertanya: “Wahai rasulullah,
mengapa kami menjadi sebagian besar penghuni neraka?” Rasulullah menjawab: “kamu
sekalian banyak melaknat (mendoakan buruk terhadap orang lain) dan tidak berterima
kasih atas kebaikan suami. Saya tidak melihat perempuan-perempuan yang kurang akal
dan agamanya yang bisa mengalahkan laki-laki yang berakal, selain kamu.” Perempuan
yang kritis itu bertanya lagi: “Apa kekurangan akal dan agama perempuan itu?”
Rasulullah menjawab: “Adapun kekurangan akalnya adalah kesaksian dua orang
perempuan itu sama dengan kesaksian satu orang laki-laki. Ituilah kekurangan akal itu,
dan perempuan itu (haid) berhari-hari dengan tidak shalat dan tidak berpuasa di bulan
Ramadhan. Inilah kekurangan agama itu.”(HR. Bukhari Muslim)

Kritik Sanad Hadis

10
Ruth Roded, Kembang Peradaban, terjemahan dari Women in Islamic Biographical, (Bandung: Mizan,
1995), hal. 38, 86, 110.
11
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab “al-Haidl”, bab “Tark al-Haidl asl-Shaum”, hadits ke-298, juz 1,
hal. 116; dan kitab “al-shaum” bab “al-Haidl Tatruk al-Shaum wa al-Shalah”, hadits ke-1850, juz 2, hal. 689.
Lihat juga Muslim, Shahih Muslim, kitab “al-imam”, bab “nuqshan al-iman bi naqsh al-tha’at”, hadits nomor
132, juz 1, hal. 55-56. Mengenai pencarian matan hadits, penulis telah melakukan penelusuran (searching)
dengan menggunakan beberapa CD (compack disk) hadits, di antaranya “Program al-Bayan” yang menyajikan
program hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dan “Program Maktabah al-Alfiyah li
al-Sunnah al-Nabawiyah” yang menyajikan lebih dari 1.000 literatur, terutama kitab-kitab hadits. Dalam
penelusuran tersebut, digunakan kata ‫عقل‬ (akal) sebagai term induk pelacakan hadits. Dari term ‫عقل‬ ini
ditemukan lebih dari 610 kata yang tersebar di beberapa matan hadits. Dari 610 hadits tersebut, ternyata tidak
semuanya menjelaskan tentang akal perempuan. Dalam pengamatan penulis, khusus mengenai topik akal
perempuan agaknya hanya terdapat pada teks matan hadits di atas dan beberapa matan hadits lain dengan
pola-pola redaksi yang hampir sama dengan teks matan tersebut. Sementara teks lainnya berkaitan dengan
membaca al-Quran, lepasnya kewajiban agama, pelaksanaan shalat Nabi, dan lain-lain.

3
Matan hadits di atas, tampaknya diriwayatkan oleh enam kitab hadits
dalam jalur yang berbeda-beda dengan menggunakan teks matan yang sangat
mirip dengan teks matan di atas. Beberapa teks matan tersebut dapat dilihat pada
lampiran. Adapun skema para perawi adalah sebagai berikut.

Skema Sanad hadis


Rasulullah

Abu Sa’id Al-Khudri (1) Ibnu ‘Umar (1) Abu Hurairah (1)

‘Iyad ibn Abdullah (3) Abdullah ibn Dinar (3) Dzakwan (2)

Zaid bin Aslam (3) Yazid Ibn al-Had (3) Suhail (5)

M. Ibn Ja’far (3) Haiwah (2) Laits ibn Said (2) Ibn Mudlar (2) ‘Abdul ‘Aziz (5)

Sa’id (2) Ibn Wahb (2) M. Ibn Rumh (2) Ibn Wahb (2) Huraim (6)

Al-Bukhari Ibn Ma’ruf (3) Muslim Ibn Majah Ibn ‘Amr (3) Al-Tirmidzi

Ahmad Abu Dawud

Dari skema sanad di atas dapat dijelaskan bahwa saahabat yang


meriwayatkan hadis itu ada tiga orang, yakni Abu Sa’id al-Khudri, ‘Abdullah ibn
‘Umar dan Abu Hurairah. Hadis yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri hanya
diriwayatkan oleh satu orang imam, al-Bukhari, dengan mata rantai sanad yang
terdiri atas ‘Iyad ibn ‘Abdullah – Zaid ibn Aslam – Muhammad bin Ja’far – Sa’id
ibn Abi Maryam. Di samping itu, hadis di atas juga diriwayatkan oleh al-Tirmizi
dengan jalur sanad Dzakwan – Suhail – ‘Abdul Aziz – Huraim ibn Mis’ar.
Adapun hadis yang bersumber dari Abdullah ibn Umar diriwayatkan oleh
empat orang imam: Muslim, Ibn Majah, Abu Dawud dan Ahmad bin Hambal.
Imam Muslim dan Ibn Majah meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Umar itu dengan jalur
sanad yang sama yang terdiri dari ’Abdullah ibn Dinar – Yazid ibn Al-Had – Lais
bin Sa’id – Muhammad ibn Rumh. Sedangkan Abu Dawud dan Ahmad ibn
Hambal masing-masing meriwayatkan dengan jalur yang diparuh terakhirnya
berbeda dengan jalur yang digunakan oleh dua orang imam yang disebutkan
sebelumnya itu. Setelah Yazid ibn al-Had, Abu Dawud menggunakan jalur yang
terdiri atas Bakhr ibn Mudlar – ‘Abdullah ibn Wahb – Ahmad ibn ‘Amr ibn as-
Sarh. Sedangkan Ahmad bin Hambal, setelah Muhammad bin al-Had,
menggunakan jalur Haiwah ibn Syuraih – ‘Abdullah ibn Wahb – Harun ibn
Ma’ruf.
Dalam kaidah hadis, disebutkan bahwa al-shahabah kulluhum ‘udul, para
sahabat itu adil, dengan pengertian mereka tidak mungkin berdusta dalam
meriwayatkan hadis dari Nabi. Dengan demikian, penilaian ta’dil dan tajrih untuk
menentukan apakah periwayatan mereka itu diterima atau ditolak, tidak perlu
dilakukan. Oleh karena itu, periwayatan mereka, termasuk ketiga sahabat itu,

4
diterima dan ke-tsiqahanya ditempatkan dalam peringkat (rutbah) yang pertama
(dalam bagan itu ditunjukkan dengan angka satu dalam kurung).
Penilaian ta’dil dan tajrih dalam studi hadis hanya dilakukan terhadap para
periwayat pasca sahabat. Dari penilaian itu diketahui bahwa sebagian besar
periwayat yang terdapat dalam lima jalur sanad yang meriwayatkan hadis
memiliki ke-tsiqah-an, seperti yang dalam bagan ditunjukkan dengan angka dalam
kurung, yang berada pada peringkat kedua (siqah sabat, ‘adil dan dabit serta bisa
dipastikan kuat periwayatannya) dan peringkat ketiga (siqah, ‘adil dan dabit). Di
antara para periwayat hadis itu hanya ada tiga orang yang peringkatnya berada di
bawah mereka. Ketiganya terdapat dalam jalur sanad al-Tirmizi, dengan dua di
antaranya menduduki peringkat kelima; dan satu yang lainnya menduduki
peringkat keenam. Dua orang yang menduduki peringkat kelima itu adalah Suhail
yang dinilai sebagai sangat jujur (shaduq), tetapi di akhir hayatnya kemampuannya
menghafal hadis berubah; dan Abdul Aziz yang dinilai sebagai shaduq, tetapi dia
meriwayatkan hadis dari buku-buku catatan ulama lain dan dia salah dalam
periwayatanya itu. Sedang satu orang yang menduduki peringkat enam adalah
Huraim ibn Mis’ar yang dinilai sebagai maqbul, diterima hadisnya.
Dengan demikian, dari bagan dan penjelasan singkat di atas bisa diketahui
bahwa hadis yang menyebutkan kurangnya akal dan agama perempuan itu dalam
aspek silsilat al-sanad dinilai sahih. Kesahihan hadis itu menurut hirakhi hadis-
hadis sahih yang dikemukakan al-Nawawi berada pada tingkatan yang pertama,
karena diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang kitab
himpunan hadis keduaannya diakui sebagai kitab hadis yang paling sahih dan
otoritatif dibandingkan dengan himpunan-himpunan kitab hadis yang lain. 12 Jika
dilihat dari jumlah periwayatnya, yang dari kalangan sahabat Nabi terdiri dari
tiga, dan dari kalangan generasi berikutnya meningkat lebih dari tiga, maka hadis
itu termasuk hadis mustafid yang derajat kesahihannya berada satu tingkat di
bawah hadis mutawatir.13 Oleh karena itu, apa yang diungkapkan oleh hadis itu
bisa , kalau tidak harus, diterima sebagai fakta sejarah yang benar-benar terjadi di
masa Nabi.

Kritik Matan Hadis


Hadits di atas terdapat dialog antara Nabi dengan para sahabiyat. Di antara
materi dialog yang sering menimbulkan pemahaman mengenai inferioritas
perempuan adalah pernyataan Nabi bahwa kesaksian dua orang perempuan yang
sama dengan kesaksian seorang laki-laki merupakan tanda kurangnya akal
perempuan. Pada level fiqh, pernyataan ini dijadikan acuan oleh sebagian besar
ulama untuk memberlakukan ketentuan 2:1 dalam seluruh kesaksian perempuan.
Sedangkan pada level teologis, pernyataan ini dianggap sebagai statement ilahiyah
yang meneguhkan supremasi laki-laki atas perempuan. Sementara itu, di tingkat
realitas sosial pernyataan ini menjadi argumen ampuh untuk menomorduakan
dan meminggirkan perempuan dari kehidupan yang dianggap memerlukan ‘akal’
lebih banyak.
Rasulullah SAW sebagai utusan Allah sifat-sifat unggulan, di antaranya
shidiq (jujur dan dapat dipercaya) dalam ucapannya. Oleh karena itu, sabda
Rasulullah SAW di atas dapat ditelaah lebih lanjut dari beberapa aspek.
Pertama, audien yang diajak bicara oleh Rasulullah dalam hadits di atas
adalah kelompok perempuan Madinah, yang kebanyakan mereka adalah
kelompok Anshar. Mengenai struktur sosiologis masyarakat Anshar ini, Umar bin
Khatab menyatakan: “Ketika kami datang kepada orang-orang Anshar, kami
12
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawâ’id al-Tahdits min Funûn Mushthalah al-Hadîts, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, tth), hal. 82.
13
Ibid., hal. 112. Penjelasan tentang silsilat al-sanad hadits ini dapat dilihat pada Hamim Ilyas, dkk,
Perempuan Tertindas?: Kajian Hadits-Hadits ‘Misoginis’, (Yogyakarta: PSW IAIN Yogyakarta-The Ford
Foundation), cet. Ke-1, 2003, hal. 35-38.

5
dapati mereka adalah kaum yang didominasi oleh isteri-isteri mereka. Maka, istri-
isteri kami lalu mengikuti perilaku mereka”. 14 Dari keterangan ini dinyatakan
bahwa kaum perempuan Mekkah (Muhajirin) sebelum hijrah ke Madinah
(Anshar) didominasi oleh suami-suami mereka. Setelah mereka pindah ke
Madinah suasana menjadi terbalik. Oleh karena itu, Umar menyampaikan kepada
Rasul dan ditanggapi dengan senyum.15
Kondisi kaum perempuan Makkah memang berbeda dengan kaum
perempuan Madinah. Siti Aisyah, dalam salah satu hadits, menyatakan bahwa ia
mengagumi perempaun Anshar yang suka menuntut ilmu.16
Di samping itu, hadits ini dikemukakan Nabi pada momentum hari raya
Ied. Seperti biasa, pada hari raya Ied Nabi memberikan nasihat kepada kaum
muslim, termasuk perempuan. Pribadi Nabi yang menghormati perempuan teralu
mulia untuk menyampaikan sesuatu yang menyakiti perempuan pada saat hari
raya. Dengan melihat konteks itu, akan lebih tepat jika pernyataan Nabi itu
dipahami sebagai nasihat untuk kaum perempuan dan sama sekali bukan
mencerminkan sikap merendahkan perempuan. Ini diperkuat dengan bunyi hadits
yang didahului dengan nasihat agar kaum perempuan banyak bersedekah dan
beristighfar agar mereka tidak termasuk kelompok perempuan ahli neraka.
Inilah yang melatarbelakangi sabda Rasulullah SAW kepada mereka. Sabda
Rasulullah merupakan rasa kekaguman beliau terhadap perempuan Anshar.
Hadits di atas dipahami seakan-akan Rasulullah menyatakan “Hai kuam
perempuan, Tuhan telah menganugerahkan kepada kalian kemampuan untuk
meluluhkan hati kaum laki-laki yang kuat perkasa, padahal kalian lemah. Oleh
karena itu, bertaqwalah kepada-Nya dan jangan kalian gunakan kemampuan itu
kecuali dalam kebaikan”.17
Kedua, kaliamat ‫ص ا ُن الْ َع ْق ِل َوال دِّي ِن‬
َ ‫( نُ ْق‬kurangnya akal dan agama)
mengandung banyak interpretasi. Sebab, dalam hadits di atas, letak kekurangan
akal perempuan adalah di bidang kesaksian. Adapun kekurangan di bidang
apapun tidak akan mengikis kemampuan intelektual dan kesanggupan
perempuan untuk menanggung seluruh tanggung jawabnya, misalnya mengasuh
anak. Mengapa para pria sejak dulu sampai sekarang mempercayakan kaum
perempuan untuk mengasuh anak, belanja, mengatur keuangan, dan lain-lain, jika
benar perempuan itu kurang akal? Bila benar, mungkin saja para pria tidak akan
menyerahkan kepada kaum perempuan untuk mengasuh anak atau mengatur
belanja. Apalagi tanggung jawab pengasuhan dan mengatur urusan rumah tangga
merupakan tanggung jawab yang berat.
Jika perempuan itu tidak sempurna dalam kemampuan berfikir, tentu
Imam Abu Hanifah, misalnya, tidak akan mengizinkan perempuan untuk menjadi
hakim agama. Bahkan, Rasulullah sendiri pun semestinya tidak akan bersabda:
‫ف ِد ْينَ ُك ْم ِم ْن هَ ِذ ِه ْال ُح َمي َْرا ِء‬
َ ْ‫ُخ ُذ ْوا نِص‬
Artinya: Ambillah separuh agama kalian dari Aisyah ini”.
Semua itu terjadi dalam catatan sejarah yang benar-benar terjadi. Sejarah
telah membuktikan bahwa orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad
sebagai Nabi dan rasul adalh perempuan, Khadijah. Al-Quran sebagai kitab suci,
pertama kali dihimpun oleh seorang perempuan untuk dijaga dan dipelihara,
yakni Hafsah bint Umar bin Khatab.
14
Al-Bukhari, jilid 3, Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Sya’b, tth), hal. 36-37.
15
Baca Zaitunah Subhan, op.cit., hal. 58-59.
16
Dalam Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), jilid 7, hal. 29
disebutkan:
‫ال يتعلم العلم مستحي وال مستكرب وقالت عائشة نعم النساء نساء األنصار مل مينعهن احلياء أن يتفقهن يف الدين‬
17
Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah, Tahrir al-Mar`ah fi ‘Ashr al-Risalah, (Kuwait: Dar al-Qalam,
1990), juz 1, hal. 275.

6
Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah memaparkan sebuah penelitian
komprehensif yang dilakukan oleh Turman dan Melis tentang perbedaan karakter
laki-laki perempuan. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa pada saat yang
bersamaan diketahui bahwa faktor kelelakian dan keperempuanan itu berkaitan
erat dengan faktor-faktor pengetahuan yang didaat melalui pendidikan dan
pengajaran, baik di rumah maupun di luar rumah. Pengaruh faktor-faktor tersebut
lebih kuat daripada faktor-faktor jasmani. Ini menunjukkan bahwa kondisi
lingkungan dan faktor sosial memiliki pengaruh sangat kuat dibanding pengaruh
faktor jasmani.18
Menurut ahli psikologi, setiap kasus lemah otak yang dibawa ke klinik jiwa
biasanya tidak sanggup memusatkan perhatian, gelisah, dan tidak sanggup tinggal
tenang. Bahkan, seolah-olah setiap aktovitasnya tanpa dipikir sama sekali,
kendatipun gerakan tanpa pikir itu juga terdapat pada mereka yang normal dan
cerdas. Di antara sebab psikologis adalah perasaan menyesal yang timbul dari rasa
kurang mampu mencapai tingkat yang diinginkan (lack of achievment) karena
keterbelakangan atau kelemahan kemampuan akalnya. Kenyatakan psikologis ini
ternyata tidak hanya hanya dialami oleh kaum perempuan semata, tetapi juga
kaum laki-laki pun demikian.19
Pernyataan kurang akal yang berimplikasi pada kesaksian ini pun
sesungguhnya mengandung problem tersendiri. Sebagian besar ulama
menggeneralisasi kesaksian ini pada semua persoalan. Padahal, jika kita cermati
seluruh ayat tentang kesaksian antarmanusia ternyata hanya terdapat 5 (lima) ayat
al-Quran pada 4 (empat) topik. Pertama, kesaksian dalam pencatatan utang
piutang, yaitu QS. al-Baqarah [2]: 282.20 Kedua, kesaksian mengenai perzinahan,

18
Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah, op.cit., hal. 290.
19
Abdul Aziz al-Qussy, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/Mental, jilid 2, (Jakarta: Bulan Bintang, tth.), hal. 76.
ِ ِ ِ ِ‫ياأَيُّها الَّ ِذين ءامنُوا إِذَا تَ َدايْنتُم بِ َدي ٍن إِىَل أَج ٍل مس ًّمى فَا ْكتُبوه ولْيكْتُب بينَ ُكم َك ات‬
‫ب أَ ْن‬ٌ ‫ب َك ات‬ َ ْ‫ب بالْ َع ْدل َواَل يَأ‬ ْ َْ ْ َ َ ُ ُ َُ َ ْ ْ َ ََ َ َ َ
20
ٌ
ِ ِ ِ
‫س مْنهُ َش ْيئًا فَِإ ْن َك ا َن الَّذي َعلَْي ه احْلَ ُّق َس ف ًيها‬ ِ َّ ِ ِ ِ َّ ِ
ْ ‫ب َولْيُ ْمل ِل الذي َعلَْيه احْلَ ُّق َولْيَتَّق اللهَ َربَّهُ َواَل َيْب َخ‬ ْ ُ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ اللَّهُ َفْليَكْت‬ َ ُ‫يَكْت‬
‫استَ ْش ِه ُدوا َش ِه َيديْ ِن ِم ْن ِر َج الِ ُك ْم فَ ِإ ْن مَلْ يَ ُكونَا َر ُجلَنْي ِ َفَر ُج ٌل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫أَو‬
ْ ‫يع أَ ْن مُي َّل ُه َو َف ْليُ ْمل ْل َوليُّهُ بِالْ َع ْدل َو‬
ُ ‫ض عي ًفا أ َْو اَل يَ ْس تَط‬ َ ْ
‫الش َه َداءُ إِذَا َما ُدعُ وا َواَل تَ ْس أ َُموا أَ ْن‬ ِ ِ ُّ ‫ان َّن َترض و َن ِمن‬ ‫مِم‬ ِ
ُّ ‫ب‬ َ ْ‫ُخ َرى َواَل يَأ‬ ْ ‫الش َه َداء أَ ْن تَض َّل إِ ْح َدامُهَا َفتُ َذ ِّكَر إِ ْح َدامُهَا اأْل‬ َ ْ َ ْ ْ َ‫َو ْامَرأَت‬
ً‫َّه َاد ِة َوأ َْدىَن أَاَّل َتْرتَابُوا َوأ َْدىَن أَاَّل َتْرتَابُوا إِاَّل أَ ْن تَ ُك و َن جِت َ َارة‬ ِ ِ ِ ُ ‫تَكْتُبوه صغِريا أَو َكبِريا إِىَل أَجلِ ِه ذَلِ ُكم أَقْس‬
َ ‫ط عْن َد اللَّه َوأَْق َو ُم للش‬ َ ْ َ ً ْ ً َ ُُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ب َواَل َش ِهي ٌد َوإ ْن َت ْف َعلُوا فَإنَّه‬ ٌ ‫ض َّار َك ات‬ َ ُ‫َش ِه ُدوا إ َذا َتبَ َاي ْعتُ ْم َواَل ي‬ ْ ‫وها َوأ‬َ ُ‫اح أَاَّل تَكْتُب‬
ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم ُجن‬ َ ‫َحاض َر ًة تُد ُيرو َن َها َبْينَ ُك ْم َفلَْي‬
ِ ٍ ِ ِ ٌ ‫فُس‬.
‫يم‬ٌ ‫وق ب ُك ْم َو َّات ُقوا اللَّهَ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم اللَّهُ َواللَّهُ ب ُك ِّل َش ْيء َعل‬ ُ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak
ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”

7
yaitu QS. al-Nisa [4]: 1521 dan QS. al-Nur [24]: 4.22 Ketiga, kesaksian dalam wasiat,
yaitu QS. al-Maidah [5]: 106.23 Dan keempat, kesaksian dalam rujuk, yaitu QS. al-
Thalaq [65]: 2.24
Jika lebih dicermati, akan tampak bahwa dari kelima ayat tersebut ternyata
hanya ada satu ayat yang secara jelas menyebut perbedaan kesaksian laki-laki dan
perempuan, yakni tentang pencatatan utang piutang (QS. al-Baqarah [2]: 282).
Sementara ayat-ayat yang lainnya tidak ada pernyataan khusus bahwa kesaksian
perempuan setengah dari kesaksian laki-laki.
QS. al-Baqarah [2]: 282 ini hanya berkaitan dengan masalah keuangan.
Banyak penafsir modern yang simpatik terhadap hak-hak perempuan menyatakan
bahwa ayat ini tidak menunjukkan inferioritas perempuan. Perempuan pada masa
itu tidak mempunyai pengalaman yang memadai dalam masalah keuangan, dan
karena itu dua saksi perempuan dianjurkan oleh al-Quran. Sehingga, jika terjadi
kelupaan (karena kurangnya pengalaman), maka salah satu orang dapat
mengingatkan yang lain. Karena laki-laki mempunyai pengalaman yang cukup
maka pengingat semacam itu tidak perlu bagi mereka.25
Demikian juga diungkapkan oleh Muhammad Asad, “ketentuan bahwa
dua perempuan dapat dijadikan pengganti bagi satu saksi laki-laki tidak memberi
cerminan apapun mengenai kemampuan moral atau intelektual perempuan. Ini
jelas berkaitan dengan fakta bahwa perempuan kurang akrab dengan prosedur-
prosedur bisnis dibandingkan laki-laki, dan karena itu lebih mungkin melakukan
kesalahan dalam hal ini”.26 Muhammad Abduh, seorang teolog Mesir terkemuka,
juga memegang pandangan serupa.27

‫وت َحىَّت‬ِ ‫اح َش ةَ ِمن نِس ائِ ُكم فَاستَ ْش ِه ُدوا علَي ِه َّن أَربع ةً ِمْن ُكم فَ ِإ ْن َش ِه ُدوا فَأَم ِس ُكوه َّن يِف الْبي‬
ِ ‫والاَّل يِت ي أْتِني الْ َف‬
ُُ ُ ْ ََ ْ ْ َ ْ ْ َ ْ َ َ
21
ْ َ
ِ َّ
‫ت أ َْو جَيْ َع َل اللهُ هَلُ َّن َسبياًل‬ُ ‫اه َّن الْ َم ْو‬َّ
ُ ‫َيَت َوف‬.
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu
(yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita
itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.
ِ َ‫ات مُثَّ مَل يأْتُوا بِأَربع ِة شه َداء ف‬
ِ َ‫والَّ ِذين يرمو َن الْمحصن‬
‫ك‬َ ِ‫ني َج ْل َد ًة َواَل َت ْقَبلُوا هَلُ ْم َش َه َاد ًة أَبَ ًدا َوأُولَئ‬ِ
َ ‫وه ْم مَثَان‬
ُ ‫اجل ُد‬
ْ َ َ ُ ََ ْ َْ َ ْ ُ ُ َْ َ َ
22

ِ
‫ ُه ُم الْ َفاس ُقو َن‬.
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
‫اخ َر ِان ِم ْن‬ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ‫ياأَيُّها الَّ ِذين ءامنُ وا َش هادةُ بينِ ُكم إِذَا حض ر أَح َد ُكم الْم و‬
َ َ‫ني الْ َوص يَّة ا ْثنَ ان ذَ َوا َع ْدل مْن ُك ْم أ َْو ء‬ َ ‫تح‬ ُ ْ َ ُ َ َ َ َ ْ َْ َ َ ََ َ َ َ
23

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َّ
‫َص َابْت ُك ْم ُمصيبَةُ الْ َم ْوت حَتْب ُس و َن ُه َما م ْن َب ْع د الصَّاَل ة َفُي ْقس َمان بالله إن ْارَتْبتُ ْم اَل نَ ْش رَت ي‬ ‫يِف‬ َ ‫َغرْيِ ُك ْم إ ْن أَْنتُ ْم‬
ِ ‫ضَر ْبتُ ْم اأْل َْر‬
َ ‫ض فَأ‬
ِ‫ِ مِث‬ ِ ِ
َ ‫بِه مَثَنًا َولَ ْو َكا َن َذا ُق ْرىَب َواَل نَكْتُ ُم َش َه َاد َة اللَّه إِنَّا إِ ًذا لَم َن اآْل‬.
‫ني‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat,
maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama
dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi
itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu:
"(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang),
walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".
24
‫الش َه َاد َة لِلَّ ِه‬
َّ ‫يم وا‬ ِ ِ ٍ
ُ ‫َش ه ُدوا َذ َو ْي َع ْدل مْن ُك ْم َوأَق‬
ِ ْ ‫وف وأ‬ ٍ
َ ‫وه َّن َْع ُر‬ ُ ْ
ٍ ‫فَ ِإ َذا بلَ ْغن أَجلَه َّن فَأَم ِس ُكوه َّن مِب َع ر‬
‫وف أَو فَ ا ِرقُ مِب‬
ُْ ُ ْ َُ َ َ
ِ
‫ظ بِِه َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل ِخ ِر َو َم ْن َيت َِّق اللَّهَ جَيْ َع ْل لَهُ خَمَْر ًجا‬
ُ ‫وع‬ ِ
َ ُ‫ذَل ُك ْم ي‬.
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka
dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.
25
Asghar Ali Engineer, “The Rights of Women in Islam” diterjemahkan oleh Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: LSPPA, 2000), cet. ke-2, hal.97.
26
Muhammad Assad, “The Message of The Quran” (Gibralter, 1980), hal. 63.
27
Al-Manar, jilid 3, hal. 124 sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam
Islam, hal. 97.

8
ِ ‫الدِّي‬
Ketiga, kata ‫ن‬ ‫صا ُن‬
َ ‫( نُ ْق‬kekurangan agama) adalah suatu hal yang terbatas,
yaitu kekurangan shalat dan puasa pada hari-hari haid dan nifas. Dispensasi ini
diberikan oleh agama, bahkan diwajibkan. Tidak shalat atau tidak puasa adalah
karena ketaatan kepada ajaran agama. Lalu, menghapa hal itu harus dijadikan
sebagai alasan kekurangan keberagamaan perempuan? Dr. Hibbat Rauf Izzat
menyebut kekurangan ini sebagai nuqshân nau’i, sebagai lawan dari nuqshân al-
fithri (kekurangan yang bersifat fitrah). Nuqshân nau’i adalah kekurangan tentatif.28
Kekurangan tersebut adalah kekurangan yang bersifat temporer, tidak sepanjang
hidup, melainkan terjadi dalam beberapa waktu yang rekatif pendek. Di samping
itu, haid tidak terjadi selama masa hamil dan haid akan berhenti sama sekali pada
saat menopause.
Kekurangan ini bukanlah keinginan atau hasil upaya perempuan. Bahkan,
perempuan mukminah yang merasa kurang karena terhalang melaksanakan shalat
dan puasa, pada saat tersebut dapat menggantinya, misalnya dengan zikir, doa,
dan istighfar. Siti Aisyah pernah melaksanakan haji sebagai pengganti kewajiban
melakukan jihad, padahal jihad merupakan amalan utama. Ia juga mengganti
shalat dan umrah dengan memperbanyak shalat sunat setelah suci dari haid atau
nifas. Aisyah berkata: “Ya Rasul, apakah orang-orang pulang dengan memperoleh
dua pahala, sedang saya hanya satu pahala”.29
Prof. Abdul Halim yang dikutip oleh Asghar Ali Engineer menolak hadits
di atas dengan mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa diterima karena tidak
masuk akal dan tidak sejalan dengan al-Quran.30
Menurut Husein Muhammad, peminat studi jender dan keislaman,
menyatakan bahwa pandangan hadits di atas memberi kesan kuat bahwa agama
melakukan pembedaan (distingsi, diskriminasi) antarmanusia. Padahal, ini
bertentangan dengan prinsip agama sendiri, al-musâwah bain al-nâs, kesetaraan
antar manusia, yang merupakan konsekwensi logis dari prinsip tauhid. 31
Oleh karena secara kodrati akal perempuan tidak dibedakan dengan laki-
laki, maka kesaksian, kualitas kesaksian perempuan tidak boleh selalu dipandang
lebih rendah dibanding laki-laki. Jika perempuan memiliki kualifikasi ‘akal’ yang
tidak diragukan, kesaksiannya tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, sangat
wajar jika Ibn Al-Qayyim menyatakan bahwa kesaksian perempuan seperti Ummu
Darda dan Ummu Athiyah lebih kuat daripada kesaksian seorang laki-laki. 32
Melihat realitas yang demikian, ‘kurang akal’ dalam matan hadits di atas
tidak bisa kita pahami bahwa dari sono-nya perempuan itu ditakdirkan untuk
selalu lebih bodoh, tidak kuat ingatan, kurang akurat dalam kesaksiannya, dan
sebagainya. ‘Kurang akal’ lebih merupakan dampak yang tidak terhindarkan oleh
sebagian besar perempuan karena mereka harus mengikuti sistem sosial dan
budaya yang membatasi mereka untuk memaksimalkan potensinya.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, terdapat kesimpulan bahwa ternyata hadits yang
menyatakan bahwa kemampuan akal perempuan itu kurang dibanding dengan
akal laki-laki itu memiliki derajat hadits yang dibenarkan dengan pendekatan
kritik sanad. Hadits itu telah diriwayatkan oleh sejumlah kitab-kitab hadits yang
cenderung otoritatif. Meskipun demikian, secara kritik matan, hadits tersebut
memiliki sejumlah kelemahan. Di samping bertentangan dengan semangat
kesamaan dan kesetaraan yang digaungkan oleh al-Quran, kandungan hadits
28
KH. Husein Muhammad, “Pengatar Kelemahan dan Fitnah Perempuan” dalam Abdul Moqsith
Ghazali, et.al, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hal. xiv.
29
Bukhari Muslim, Shahih Bukhari Muslim, hal. 62
30
Asghar Ali Engineer, op.cit., hal. 112.
31
KH. Husein Muhammad, op.cit., hal. xiii.
32
Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah, op.cit., hal. 280

9
tersebut bertentangan dengan logika manusia yang wajar dan kenyataan-
kenyataan historis yang telah terjadi.
Dengan menelaah terhadap hadits-hadits misoginis bahwa potensi akal
perempuan itu kurang dibanding laki-laki, sebagaimana yang dieksplroasi di atas,
pengembangan wacana pendidikan perempuan menjadi lebih jernih dan dapat
disikapi secara dewasa. Demikian.

10
DAFTAR PUSATA

Abu Syuqah, Abdul Halim Muhammad, Tahrir al-Mar`ah fi ‘Ashr al-Risalah, Kuwait:
Dar al-Qalam, 1990, juz 1.
al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, tth., jilid
7.
Al-Bukhari, jilid 3, Shahih al-Bukhari, Kairo: al-Sya’b, tth.
al-Qussy, Abdul Aziz, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/Mental, jilid 2, Jakarta: Bulan
Bintang, tth.
Departemen Agama, Tafsir al-Quran al-karim, jilid 2, Jakarta: Menara Kudus/Citra
Utama, 1996.
Engineer, Asghar Ali, “The Rights of Women in Islam” diterjemahkan oleh Farid
Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta:
LSPPA, 2000, cet. ke-2.
Ghazali, Abdul Moqsith, et.al, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan,
Yogyakarta: LkiS, 2002.
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 4, Jakarta: Pustaka, 1988.
Ilyas, Hamim, et.al, Perempuan Tertindas?: Kajian Hadits-Hadits ‘Misoginis’,
Yogyakarta: PSW IAIN Yogyakarta-The Ford Foundation, 2003, cet. Ke-1.
Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, Jakarta: Hidakarya Agung, 1993.
Masudi, Masdar F. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih
Pemberdayaan, Bandung: Mizan, 2000, Edisi revisi.
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawâ’id al-Tahdits min Funûn Mushthalah al-
Hadîts, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth.
Ruth Roded, Kembang Peradaban, terjemahan dari Women in Islamic Biographical,
Bandung: Mizan, 1995.
Sadiliy, Hasan, et.al, Ensiklopedi Indonesia, jilid 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1990.
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran,
Yogyakarta: LkiS, 1999, cet. Ke-1.

11
‫‪LAMPIRAN:‬‬
‫صحيح مسلم ج‪ 1 :‬ص‪86 :‬‬
‫‪ 79‬حدثنا حممد بن رمح بن املهاجر املصري أخربنا الليث عن بن اهلاد عن عبد اهلل بن دينار‬
‫عن عبد اهلل بن عمر عن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أنه قال مث يا معشر النساء تصدقن‬
‫وأكثرن االستغفار فإين رأيتكن أكثر أهل النار فقالت امرأة منهن جزلة ومالنا يا رسول اهلل أكثر‬
‫أهل النار قال تكثرن اللعن وتكفرن العشري وما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذي‬
‫لب منكن قالت يا رسول اهلل وما نقصان قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتني تعدل شهادة‬
‫رجل فهذا نقصان العقل ومتكث الليايل ما تصلي وتفطر يف رمضان فهذا نقصان الدين وحدثنيه‬
‫أخربنا بن وهب عن بكر بن مضر عن بن اهلاد هبذا اإلسناد مثله‬

‫صحيح البخاري ج‪ 1 :‬ص‪116 :‬‬


‫‪ 298‬حدثنا سعيد بن أيب مرمي قال أخربنا حممد بن جعفر قال أخربين زيد هو بن أسلم عن‬
‫عياض بن عبد اهلل عن أيب سعيد اخلدري قال مث خرج رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يف‬
‫أضحى أو فطر إىل املصلى فمر على النساء فقال يا معشر النساء تصدقن فإين أريتكن أكثر أهل‬
‫النار فقلن ومب يا رسول اهلل قال تكثرن اللعن وتكفرن العشري ما رأيت من ناقصات عقل‬
‫ودين أذهب للب الرجل احلازم من إحداكن قلن وما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول اهلل قال‬
‫أليس شهادة املرأة مثل نصف شهادة الرجل قلن بلى قال فذلك نقصان من عقلها أليس إذا‬
‫حاضت مل تصل ومل تصم قلن بلى قال فذلك من نقصان دينها‬

‫صحيح البخاري ج‪ 2 :‬ص‪531 :‬‬


‫‪ 1393‬حدثنا بن أيب مرمي أخربنا حممد بن جعفر قال أخربين زيد عن عياض بن عبد اهلل عن‬
‫أيب سعيد اخلدري رضي اهلل عنه مث خرج رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يف أضحى أو فطر‬
‫إىل املصلى مث انصرف فوعظ الناس وأمرهم بالصدقة فقال أيها الناس تصدقوا فمر على النساء‬
‫فقال يا معشر النساء تصدقن فإين رأيتكن أكثر أهل النار فقلن ومب ذلك يا رسول اهلل قال‬
‫تكثرن اللعن وتكفرن العشري ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل احلازم من‬
‫إحداكن يا معشر النساء مث انصرف فلما صار إىل منزله جاءت زينب امرأة بن مسعود تستأذن‬
‫عليه فقيل يا رسول اهلل هذه زينب فقال أي الزيانب فقيل امرأة بن مسعود قال نعم ائذنوا هلا‬
‫فأذن هلا قالت يا نيب اهلل إنك أمرت اليوم بالصدقة وكان عندي حلي يل فأردت أن أتصدق به‬
‫فزعم بن مسعود أنه وولده أحق من تصدقت به عليهم فقال النيب صلى اهلل عليه وسلم صدق‬
‫بن مسعود زوجك وولدك أحق من تصدقت به عليهم‬
‫‪12‬‬
‫صحيح ابن خزمية ج‪ 2 :‬ص‪101 :‬‬
‫‪ 1000‬أنا أبو طاهر نا أبو بكر نا أمحد بن عبدة ثنا عبد العزيز يعين بن حممد الدراوردي‬
‫غن سهيل عن أبيه عن أيب هريرة مث أن النيب صلى اهلل عليه وسلم خطب الناس فوعظهم مث‬
‫قال يا معشر النساء إنكن أكثر أهل النار فقالت امرأة جزلة ومب ذاك قال بكثرة اللعن وكفركن‬
‫العشري وما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذوي األلباب وذوي الرأي منكن قالت‬
‫امرأة ما نقصان عقولنا وديننا قال شهادة امرأتني منكن بشهادة رجل ونقصان دينكن احليضة‬
‫متكث إحداكن الثالث أو األربع ال تصلي‬

‫صحيح ابن حبان ج‪ 13 :‬ص‪54 :‬‬


‫‪ 5744‬أخربنا احلسن بن سفيان حدثنا حممد بن حيىي الذهلي حدثنا بن أىب مرمي حدثنا حممد‬
‫بن جعفر بن أىب كثري أخربين زيد بن اسلم عن عياض بن عبد اهلل عن أىب سعيد اخلدري قال مث‬
‫خرج رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يف اضحى أو فطر اىل املصلى فصلى مث انصرف فقام‬
‫فوعظ الناس وامرهم بالصدقة قال أيها الناس تصدقوا مث انصرف فمر عي النساء فقال يا معشر‬
‫النساء تصدقن فإين أراكن أكثر أهل النار فقلن ومل ذلك يا رسول اهلل قال تكثرون اللعن‬
‫وتكفرن العشري ما رأيت من ناقصات عقل ودين اذهب للب الرجل احلازم من إحداكن يا‬
‫معشر النساء فقلن له ما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول اهلل قال أليس شهادة املرأة مثل نصف‬
‫شهادة الرجل قلن بلى قال فذاك نقصان عقلها أو ليست إذا حاضت املرأة مل تصل ومل تصم‬
‫قلن بلى قال فذاك نقصان دينها مث انصرف رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فلما صار اىل‬
‫منزله جاءت زينت امرأة عبد اهلل بن مسعود تستاذن عليه فقيل يا رسول اهلل هذه زينت تستاذن‬
‫عليك فقال أي الزيانب قيل امرأة عبد اهلل بن مسعود قال نعم ائذنوا هلا فأذن هلا فقالت يا نيب‬
‫اهلل انك امرتنا اليوم بالصدقة وكان عندي حلي فأردت أن أتصدق فزعم بن مسعود أنه وولده‬
‫أحق من تصدقت به عليهم فقال النيب صلى اهلل عليه وسلم صدق زوجك وولدك أحق من‬
‫تصدقت به عليهم‬

‫املستدرك على الصحيحني ج‪ 4 :‬ص‪645 :‬‬


‫‪ 8783‬حدثنا أبو أمحد بكر بن حممد الصرييف مبرو من أصل كتابه ثنا عبد الصمد بن الفضل‬
‫ثنا قبيصة بن عقبة ثنا سفيان عن منصور عن زر عن وائل بن مهانة التيمي عن عبد اهلل بن‬
‫مسعود رضي اهلل عنه قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم مث يا معشر النساء تصدقن ولو‬

‫‪13‬‬
‫من حليكن فإنكن أكثر أهل جهنم فقالت امرأة ليست من علية النساء ومب يا رسول اهلل حنن‬
‫أكثر أهل جهنم قال ألنكن تكثرن اللعن وتكفرن العشري وما رأيت من ناقصات عقل ودين‬
‫أغلب للب الرجل منكن هذا حديث صحيح على شرط الشيخني ومل خيرجاه وقد رواه جرير‬
‫عن منصور عن األعمش بزيادة ألفاظ فيه‬

‫املسند املستخرج على صحيح اإلمام مسلم ج‪ 1 :‬ص‪158 :‬‬


‫‪ 239‬حدثنا أبو بكر بن خالد ثنا أمحد بن إبراهيم بن ملحان ثنا حيىي بن بكري ثنا الليث عن‬
‫يزيد بن اهلاد عن عبد اهلل بن دينار عن عبد اهلل بن عمر عن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬
‫أنه قال يا معشر النساء تصدقن وأكثرن من االستغفار فإين رأيتكن أكثر أهل النار قالت امرأة‬
‫منهن جزلة ما لنا يا رسول اهلل قال تكثرن من اللعن وتكفرن العشري ما رأيت من ناقصات‬
‫عقل ودين أغلب لذي اللب منكن قالت يا رسول اهلل وما نقصان قال أما نقصان العقل‬
‫فشهادة امرأتني تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل ومتكث الليايل فال تصلي وتفطر يف‬
‫رواه مسلم عن حممد بن رمح عن ليث‬ ‫رمضان فهذا نقصان الدين‬

‫‪ 240‬وحدثنا أبو علي بن الصواف ثنا إسحاق بن احلسن احلريب ثنا يعقوب بن حممد ثنا عبد‬
‫العزيز بن حممد ثنا يزيد بن اهلاد عن عبد اهلل بن دينار عن ابن عمر وابن أيب حازم عن يزيد بن‬
‫اهلاد عن عبد اهلل بن دينار عن ابن عمر أن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال تصدقن يا‬
‫رواه مسلم عن عن ابن وهب عن بكر‬ ‫معشر النساء وأكثرن االستغفار فذكر حنو ضعيف‬
‫بن مضر عن يزيد بن اهلاد‬

‫‪ 241‬حدثناه حممد بن إسحاق ثنا أمحد بن حممد بن عبد السالم ثنا حممد بن عمرو بن خالد‬
‫احلراين ثنا أيب ثنا بكر بن مضر عن يزيد عن عبد اهلل بن دينار عن ابن عمر عن النيب صلى اهلل‬
‫عليه وسلم حنوه‬

‫املسند املستخرج على صحيح اإلمام مسلم ج‪ 1 :‬ص‪159 :‬‬


‫‪ 242‬حدثنا عبد اهلل إجازة ثنا إمساعيل بن عبد اهلل ح وحدثنا أبو حممد بن حيان ثنا ابن‬
‫اجلارود ثنا إمساعيل بن عبد اهلل ثنا ابن أيب مرمي أنبأ حممد بن جعفر عن زيد بن أسلم عن عياض‬
‫بن عبد اهلل عن أيب سعيد قال خرج النيب صلى اهلل عليه وسلم يف فطر أو أضحى املصلى فصلى‬
‫مث انصرف رواه مسلم عن احللواين وأيب بكر بن إسحاق عن ابن أيب مرمي‬

‫‪14‬‬
15

Você também pode gostar