Você está na página 1de 15

Perbandingan Skor Profil Sensori Pada Anak-Anak Kecil Dengan dan Tanpa Gangguan

Spektrum Autisme

Renee L. Watling, Jean Deitz, Owen White


Kata Kunci: gangguan perkembangan anak, termasuk • terapi okupasi pediatrik • integrasi
sensori
Renee L. Watling, MS, OTR, adalah Mahasiswa Doktor, Divisi Terapi Pekerjaan, Departemen
Rehabilitasi Medis, Universitas Washington, Box 356490, Seattle, Washington 98195;
rwatling@u.wasington.edu
Jean Deitz, PhD, OTR, FAOTA, adalah Profesor, Divisi Terapi Pekerjaan, Universitas
Washington, Seattle, Washington.
Owen White, PhD, adalah Profesor, College of Education, Universitas Washington, Seattle,
Washington.
Artikel ini diterima untuk dipublikasikan, 20 September 2000.

Tujuan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan perilaku berbasis sensori pada anak-
anak kecil dengan autisme sebagaimana dilaporkan oleh orang tua mereka pada Profil Sensorik.
Faktor skor pada anak-anak dengan autisme dibandingkan dengan anak-anak tanpa autisme.
Metode.
Kuesioner profil sensori telah diselesaikan oleh orang tua dari 40 anak autis berumur 3
sampai 6 tahun dan orang tua dari 40 anak tanpa autis berusia 3 sampai 6 tahun.
Hasil.
Kinerja anak-anak dengan autisme berbeda secara signifikan dibanding anak-anak tanpa
autisme pada 8 dari 10 faktor. Ditemukan perbedaan pada beberapa faktor antara lain sensory
seeking, emosional reaktif, low endurance / tone, sensitivitas oral, kurang perhatian, /
distraktibilitas, poor registration, motorik halus / perseptual, dan lainnya.
Kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak dengan autisme memiliki defisit dalam
berbagai kemampuan pemrosesan sensori yang diukur dengan Profil Sensory. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk mereplikasi temuan ini, untuk menilai kemungkinan dasar pemrosesan
sensori pada sub-kelompok, dan untuk membedakan kemampuan pemrosesan sensori pada anak-
anak cacat lain dengan anak-anak autisme.

Watling, R. L., Deitz, J., & White, O. (2001). Perbandingan Profil Sensori puluhan anak
kecil dengan dan tanpa gangguan spektrum autisme.
Kemampuan merespon sensasi dengan respon fisik dan emosional yang tepat tergantung
pada integrasi yang efektif antara persepsi dan informasi sensorimotor. Piaget (1952)
menggambarkan perkembangan persepsi pada anak usia dini seperti rangkaian tahapan, yang
masing-masing menciptakan landasan untuk selanjutnya. Ayres (1972) menjelaskan proses
integrasi sensori sebagai "organisasi sensasi untuk menggunakan "(hal. 1), yang menyatakan
bahwa integrasi informasi sensori yang diperlukan bagi seorang anak untuk berinteraksi secara
efektif dengan dunianya. Anak-anak yang tidak menjalani tahapan perkembangan persepsi dan
kemampuan integrasi sensori yang matang sering menampilkan respon emosional dan fisik yang
maladaptif terhadap rangsangan lingkungan (Ayres, 1979; DeGangi, 1991; Murray & Anzalone,
1991; Williamson & Anzalone, 1997).
Abnormalitas sensori dan persepsi adalah biasa pada orang dengan autisme. Berdasarkan
tinjauan penelitian, laporan secara langsung, dan perhitungan klinis, antara 30% dan 100% anak
dengan gangguan spectrum autisme diyakini memiliki kelainan sensori-persepsi dalam beberapa
bentuk (Dawson & Watling, 2000). Di antaranya adalah defensif taktil (Grandin, 1995; McKean,
1994), hipersensitivitas pendengaran (Grandin, 1992; Williams, 1994), hipersensitivitas
penciuman (Stehli, 1991), dan kelebihan sensorik (Williams, 1994). Hiporeaktivitas dan
hipereaktivitas rangsangan sensorik (Wing & Wing, 1971), tanggapan terhadap beberapa
rangsangan sensorik yang tidak tepat (Goldfarb, 1961; Hermelin & O'Connor, 1970; Lovaas,
Schreibman, Koegel, & Rehm, 1971), dan kesalahan modulasi input sensorik (Ornitz, 1974) juga
dijelaskan.
Respon abnormal terhadap rangsangan sensorik dapat membedakan anak kecil dengan
autisme dengan anak-anak dengan perkembangan yang khas dan anak-anak dengan
keterbelakangan mental. Misalnya, Dahlgren dan Gillberg (1989) menemukan bahwa sensitivitas
terhadap rangsangan pendengaran pada masa bayi adalah diskriminator kuat antara anak dengan
dan tanpa autisme (N=26). Mayes dan Calhoun (1999) memeriksa kriteria diagnostik untuk
autisme dan menemukan bahwa 100% sampel mereka (N = 24) menunjukkan karakteristik
somatosensori dan menyarankan bahwa elemen ini harus dimasukkan sebagai bagian dari kriteria
diagnostik. Baru-baru ini, Baranek (1999) menemukan perbedaan yang signifikan dalam perilaku
sensorimotor bayi usia 9 bulan sampai 12 bulan dalam studi perbandingan kelompok anak
dengan autisme, anak-anak dengan keterbelakangan mental, dan anak-anak dengan
perkembangan yang khas. Studi ini memberikan bukti bahwa kelainan sensori-persepsi adalah
lazim pada antara kecil dengan autisme. Banyak penelitian di daerah ini, namun lemah secara
metodologis, dan dibutuhkan lebih banyak data untuk menentukan prevalensi, sifat, dan
karakteristik dari defisit sensori-persepsi pada orang-orang dengan gangguan spektrum autisme.
Occupational therapist sering mengukur pemprosesan sensori yang komprehensif karena
pengolahan yang salah bisa berdampak negatif pada kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari
(DeGangi, 1991; Dunn, 1997; Murray & Anzalone, 1991; Williamson & Anzalone, 1997).
Metode penilaian yang sekarang terdiri dari observasi klinis, kuesioner informal, dan wawancara
orang tua. Pendekatan ini kurang terstandarisasi dan data yang normatif diperlukan untuk
membangun interpretasi yang konsisten dari kemampuan pemrosesan sensori. Suatu profil
sensori (Dunn, 1999), 125 item laporan kuesioner orang tua, merupakan penilaian proses sensori
yang pertama kali tersedia dengan data normatifnya yang telah dilaporkan.
Sampai saat ini, dua studi menggunakan profil sensori pada anak-anak dengan autisme
telah dilaporkan dalam literatur. Dalam studi pendahuluan (N = 32) menggunakan versi
percobaan profil sensori, Kientz dan Dunn (1997) menemukan bahwa anak usia 3 tahun sampai
13 tahun dengan autisme berbeda (p <.000) dengan anak usia 3 tahun hingga 10 tahun dengan
perkembangan khas. Analisis univariat mengungkapkan bahwa 84 dari 99 item pada versi
percobaan dicatat adanya perbedaan antara kelompok-kelompok dalam studi ini, namun tidak
ada item spesifik pada profile sensori dianggap lazim untuk anak-anak autis. Dalam studi
berikutnya, Ermer dan Dunn (1998) mengidentifikasi 46 item dan 4 faktor profil sensori yang
terdiskriminasi pada anak-anak dengan gangguan spektrum autisme (N = 38), anak dengan
attention deficit hyperactivity disorder (N = 61), dan anak-anak tanpa cacat (n = 1.075). Keempat
factor tersebut adalah sensory seeking, oral motor, kurang perhatian / distraktibilitas, dan motorik
halus / perseptual. Penulis menyimpulkan bahwa profil sensori merupakan alat yang efektif
untuk membedakan anak-anak dalam tiga kelompok ini dan bahwa anak-anak dengan autisme
menunjukkan pola yang spesifik terhadap respon sensorik yang diidentifikasi oleh profil sensori.
Penelitian oleh Kientz dan Dunn (1997) dan Ermer dan Dunn (1998) memberikan awal
yang sangat baik dalam menilai perbedaan proses sensori antara anak-anak dengan dan tanpa
autisme. Penelitian tambahan diperlukan untuk terus mengembangkan pengetahuan di bidang ini.
Mengingat kemungkinan bahwa kemampuan pemrosesan sensori dapat bervariasi pada berbagai
usia atau tahap-tahap perkembangan, langkah berikutnya dalam penyelidikan adalah untuk
menguji kemampuan pemrosesan sensori anak-anak dengan dan tanpa autisme dalam kelompok
usia yang berbeda. Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan skor faktor profil sensori anak
usia 3 tahun hingga 6 tahun dengan dan tanpa autisme dan untuk membandingkan pola skor
faktor kedua kelompok. Pertanyaan penelitian selanjutnya yang dibahas:
1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara skor anak autis atau pervasive
developmental delay dan anak-anak yang yang secara khas berkembang pada faktor
profil sensori yang menunjukkan area pengolahan sensori yang telah dijelaskan dalam
literatur yang sering tidak mencukupi pada orang-orang dengan autisme (yaitu, sensory
seeking, emosional reaktif, sensitivitas oral, Kurang perhatian / distraktibilitas, poor
registration, sensitivitas sensori)?
2. Dapatkah pola perilaku berbasis sensori diidentifikasi dalam skor faktor profil sensori
anak kecil yang autis?
Metode
Sampel
Sebuah desain perbandingan kelompok digunakan untuk menggambarkan perilaku
berbasis sensorik dari 40 anak dengan gangguan spektrum autisme dan 40 anak tanpa cacat.
(Sampel termasuk anak-anak dengan autisme atau pervasive developmental delay. Untuk
meminimalkan kalimat rumit, teks merujuk kepada) "anak-anak autis." Orang tua dari kedua
kelompok anak-anak usia antara 36 bulan dan 83 bulan (3 tahun, 0 bulan dan 6 tahun, 11 bulan)
ikut berpartisipasi. Setiap anak autis disesuaikan dengan anak tanpa cacat terhadap variabel usia
dan jenis kelamin. Desain penelitian juga berusaha untuk mencocokkan anak-anak pada etnis,
namun, semua anak dalam penelitian itu Kaukasia. Tiga anak dengan autisme yang awalnya
direkrut untuk penelitian ini dieliminasi selama proses penyaringan karena adanya
ketidakmampuan untuk menemukan anak yang sesuai tanpa cacat. Orang tua dari dua anak tanpa
cacat pada permulaan studi ini tidak menyelesaikan semua langkah (yaitu, tidak mengembalikan
formulir persetujuan atau menyelesaikan wawancara demografis), dan anak-anak ini diganti
dalam sampel terakhir. Kategori umur dikelompokkan tiap 6 bulan mulai usia 3 tahun sampai 6
tahun, 11 bulan. Perbedaan usia rata-rata antara dua kelompok kurang dari 1 bulan untuk semua
kategori umur di bawah 6,5 tahun. Untuk kategori umur 6,6 tahun hingga 6,11tahun, perbedaan
usia rata-rata adalah 1,4 bulan. Dibandingan dengan prevalensi data yang teridentifikasi menurut
rasio jenis kelamin untuk autisme adalah 4 anak laki-laki untuk 1 anak perempuan (Bryson,
1996), distribusi jenis kelamin peserta penelitian ini adalah 7 anak laki-laki untuk 1 anak
perempuan. Kriteria inklusi untuk anak-anak dengan autisme adalah (a) usia dalam kisaran
tertentu dan (b) diagnosis gangguan spektrum autisme (misalnya, autisme, pervasive
developmental delay). Kriteria inklusi untuk kelompok pembanding adalah (a) usia dalam
kisaran tertentu, (b) tidak ada diagnosis kondisi medis yang mungkin mempengaruhi
perkembangan (misalnya, attention deficit hyperactivity disorder, Sindrom Down, cerebral
palsy), dan (c) tidak ada saudara kandung dengan gangguan spektrum autisme. Orang tua anak-
anak dengan dan tanpa gangguan spektrum autisme diambil dari tiga lokasi yang mewakili baik
masyarakat perkotaan dan pinggiran kota: pusat diagnostik, terapi klinik berbasis rumah sakit,
dan sekolah. Pada pusat diagnostik, terapis kerja yang telah berpartisipasi dalam tim diagnostik
menghubungi orang tua dengan telpon. Terapis menjelaskan studi dan kemudian mengirimkan
surat dan formulir izin kepada orang tua yang tertarik untuk berpartisipasi. Kuesioner penelitian
dikirim ke orang tua ketika para peneliti menerima formulir persetujuan yang telah diisi. Di
klinik terapi, terapis bekerja dengan anak autis yang telah dinjelaskan mengenai penelitian pada
orang tuanya dan telah dikirimkan surat dan formulir persetujuan. Pada saat menerima formulir
persetujuan yang telah selesai, terapis mengirimkan kuesioner penelitian. Di sekolah, guru
mengirimkan surat bersampul dan persetujuan pada orang tua dengan menempatkannya dalam
tas anak masing-masing. Kuesioner penelitian dikembalikan melalui tas anak setelah orangtua
menyelesaikan formulir persetujuan ke sekolah. Semua formulir diberi kode numerik untuk
memungkinkan pemantauan dengan tetap menjaga kerahasiaan.

Instrumen
Versi penelitian dari profil sensori (Dunn & Westman, 1995) digunakan dalam penelitian
ini. 125 item dan10 faktor yang termasuk dalam versi ini adalah identik dengan kuesioner yang
telah diterbitkan (Dunn, 1999), kecuali pada perubahan gramatikal dalam susunan kata-kata item.
10 faktor profil sensori adalah mencari sensori, emosional reaktif, daya tahan rendah / nada,
sensitvitas oral, kurang perhatian, poor registration, sensitivitas sensorik, sedentari, motorik
halus / perseptual, dan lainnya. Untuk menyelesaikan profil sensori, orang tua menggunakan 5
poin skala Likert mulai dari selalu hingga tidak pernah untuk merekam frekuensi tiap perilaku
yang ditampilkan anak. Setiap orang tua menyelesaikan kuesioner secara independen. Penyidik
primer bersedia menjawab pertanyaan melalui telpon. Penyelidik primer menghubungi orang tua
masing-masing melalui telepon 1 minggu setelah orang tua menerima profile sensori untuk
menjawab pertanyaan terkait dengan kuesioner atau prosedur penelitian dan untuk
mengumpulkan data demografis.

Analisis Data
Kuesioner profil sensori yang lengkap diberi skor menurut pedoman yang disajikan pada
tahun1996 oleh AmericanOccupational Therapy Association Annual Conference(Ermer & Dunn,
1996) dan kemudian diumumkan dalam Pengguna Profil Sensory, Manual AOS (Dunn, 1999).
Setiap respon orang tua diubah menjadi nilai numerik yang sesuai dengan frekuensi setiap
perilaku (misalnya, 1 = biasa, 5 = tidak pernah). Dengan konversi ini, perilaku yang terjadi
sering memperoleh nilai rendah. Item profil sensori dituliskan seperti perilaku yang tidak
diinginkan. Misalnya, seorang anak yang menerima nilai 1 untuk sering berputar sendiri
sepanjang hari, menurut laporan orang tua , selalu menunjukkan perilaku ini, sedangkan anak
yang menerima nilai 5 tidak pernah menampilkan perilaku ini. Dengan demikian, skor rendah
merupakan hal yang tidak diinginkan karena mereka menunjukkan seorang anak yang memiliki
kesulitan pemprosesan sensori, dan nilai tinggi merupakan yang diinginkan karena mereka
menunjukkan respon yang sesuai dengan rangsangan sensorik.
Skor faktor dihitung dengan mengkonversi respon orang tua terhadap nilai-nilai numerik,
memasukkan skor item ke faktor grid (Dunn, 1996), dan menghitung jumlah untuk masing-
masing faktor. Analisis data dilakukan dengan Microsoft Excel 97 (Microsoft Corporation,
1997), Data Desk 6.0 (Data Keterangan, 1997), dan Paket Statistik untuk Ilmu Sosial 9.0.0 untuk
Windows (SPSS, 1998). Karena pertanyaan utama penelitian melibatkan beberapa perbandingan,
1 untuk masing-masing dari 10 faktor, kemungkinan membuat kesalahan Tipe I meningkat. Oleh
karena itu, tingkat kesalahan ditetapkan pada p≤ 0,005 (dua sisi), menggunakan penyesuaian
Bonferroni dimana tingkat kesalahan yang diinginkan (dalam hal ini, p = .05) dibagi dengan
jumlah perbandingan (Godfrey, 1985).
Hasil
Dari 40 anak dengan autisme dalam penelitian ini, 39 mengikuti program prasekolah
umum atau TK, dan 1 tidak bersekolah. Dari 39, 30 berada di kelas inklusif dan 9 di kelas
mandiri. Tiga puluh enam anak-anak tanpa autisme bersekolah (27 umum, 9 swasta), dan 4 tidak
sekolah. Dua belas anak dengan autisme menerima terapi berbicara-berbahasa di sekolah; 4
menerima layanan swasta; dan 18 menerima keduanya. Sembilan anak dengan autisme berbasis
sekolah menerima jasa terapi okupasi; 7 menerima layanan swasta, dan 18 meterima keduanya.
Sepuluh anak dengan autisme minum obat pada saat penelitian. Meskipun tiga dari anak-anak
tanpa autisme telah menerima terapi bicara-bahasa sebelum penelitian, tidak satupun dari mereka
menerima layanan khusus atau minum obat pada saat penelitian.
Orang tua kedua kelompok anak melaporkan riwayat kecacatan keluarga yang
serupa. Riwayat keluarga dianggap positif jika (a) orang tua anak, bibi, paman, sepupu, atau
kakek-nenek autis, cacat belajar, atau attention deficit disorder atau (b) attention deficit disorder
pada saudara anak ini , cacat belajar, atau keterlambatan perkembangan. Dua belas anak autis
dan 10 tanpa autisme memenuhi kriteria riwayat keluarga positif cacat. Tiga keluarga di masing-
masing kelompok melaporkan bahwa mereka tidak tahu riwayat keluarga mereka.
Riwayat perkembangan diperoleh dari laporan orang tua untuk menentukan perbedaan
kelompok dalam pencapaian umum. Anak-anak di kedua kelompok mencapai motor milestone
pada usia yang sama, dengan perbedaan rata-rata 4 bulan usia duduk dan perbedaan rasio 2 bulan
untuk usia berjalan. Namun, perbedaan kelompok besar terjadi di toilet training. Pada saat
pengumpulan data, hanya 20 (50%) anak dengan autisme mencapai toilet independen.
Sebaliknya, 36 (90%) dari anak-anak tanpa autisme telah menguasai keterampilan.
Skor profil sensori antara kelompok dibandingkan dengan memeriksa kinerja masing-
masing kelompok pada masing-masing faktor. Gambar 1 menyajikan grafik untuk kelompok
skor faktor masing-masing. Grafik menunjukkan skor terendah dan tertinggi yang diterima serta
jumlah anak dari masing-masing kelompok yang menerima skor dalam kisaran yang ditentukan.
Pada faktor emosional reaktif, 67,5% anak-anak dengan autisme menunjukkan perilaku sensorik
lebih sering daripada anak-anak tanpa autisme. Pada daya tahan rendah / faktor nada, anak-anak
dengan autisme memperoleh skor dari rentang yang panjang, sedangkan 77,5% anak-anak tanpa
autisme dikelompokkan di skala tertinggi terakhir. Pada poor registration factor yang rendah,
62,5% anak-anak tanpa autisme memperoleh skor yang lebih tinggi daripada anak-anak dengan
autisme. Pada faktor lainnya, 65% anak-anak dengan autisme memiliki skor lebih rendah
daripada anak-anak tanpa autisme.
Tabel 1 menampilkan statistik deskriptif dan temuan terkait dengan pertanyaan penelitian
pertama: Apakah ada perbedaan yang signifikan antara anak-anak dengan dan tanpa autisme
pada factor skor profil sensori? Sebagai kelompok, anak-anak autis cenderung memiliki skor
lebih rendah daripada anak-anak tanpa autisme. Selain itu, skor anak-anak dengan autisme
tersebar lebih luas di berbagai kemungkinan skor. Perbedaan skor antara kelompok yang
signifikan pada 8 dari 10 faktor, dengan tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditemui untuk
sensitivitas sensori dan sedentary factor.
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua, "Dapatkah
pola diidentifikasi dalam skor faktor profil sensori anak-anak dengan autisme? " Dua puluh tujuh
anak dengan autism memperoleh skor yang lebih rendah dibandingkan anak tanpa autisme pada
faktor emosional reaktif, dan 26 menerima nilai lebih rendah di faktor lainnya. Banyak anak autis
(n = 16) memiliki skor lebih rendah dari anak-anak dengan perkembangan khas pada faktor low
registration. Pada kebanyakan kasus, anak-anak ini juga memiliki skor yang lebih rendahbaik
pada emosional reaktif, faktor lainnya, atau keduanya. Selanjutnya, kami menetapkan sejumlah
factor-faktor dimana masing-masing anak dengan autisme memiliki skor lebih rendah daripada
anak-anak tanpa autisme. Untuk anak-anak dengan autisme, jumlah ini berkisar dari 0 sampai 6
faktor, dengan 34 (85%) anak yang menerima skor lebih rendah daripada anak-anak tanpa
autisme pada minimal 1 faktor. Dari 34 jumlah tersebut, 6 memiliki skor lebih rendah dari anak
tanpa autisme pada 1 faktor, 11 pada 2 faktor, 5 pada 3 faktor, 6 pada 4 faktor, 4 pada 5 faktor,
dan 2 pada 6 faktor.

Diskusi
Temuan utama dari studi ini adalah bahwa skor anak-anak dengan autisme secara
signifikan berbeda dari anak-anak tanpa autisme pada 8 faktor profil sensorik: sensory seeking,
emosional reaktif, low endurance / tone, sensitivitas oral, kekurangan perhatian / distraktibilitas,
poor registration, motorik halus / perseptual, dan lainnya. Temuan ini konsisten dengan literatur
yang menggambarkan hiposensitivitas dan hipersensitivitas pada rangsangan sensorik (faktor
low registration), kepekaan pada stimulus auditori dan visual (faktor sensitivitas sensori),
pemilihan kebiasaan makan (faktor sensitivitas oral), kurang perhatian dan keterampilan bermain
(kurangnya perhatian / faktor distraktibilitas), variabilitas terhadap respon emosional yang
rendah(faktor emotional reaktivitas), hiperaktivitas (faktor sensory seeking),dan berbagai respon
abnormal persepsi lainnya (faktor lain) pada anak-anak dengan autisme atau pervasif
developmental delay (lihat Baranek, Foster, & Berkson,1997; O'Neill & Jones, 1997; Wing &
Wing, 1971). Perbedaan yang signifikan pada skor faktor profil sensori anak usia 3 tahun hingga
6 tahun dengan dan tanpa autisme menguatkan pendapat bahwa pemrosesan sensori merupakan
hal yang penting dalam membedakan antara kelompok-kelompok ini. Temuan ini juga
mendukung penggunaan profil sensori untuk mengidentifikasi kecenderungan pemrosesan
sensori pada kelompok umur ini.
Sebagai kelompok, anak-anak dengan autisme juga memiliki skor yang cenderung untuk
menyebar lebih luas melewati kisaran skor yang ditetapkan dari skor anak-anak tanpa autisme,
menunjukkan bahwa kelompok ini mungkin tidak homogen. Penyebaran skor ini jelas pada low
endurance/ tone, sensitivitas oral, sensitivitas sensorik, dan faktor motorik halus / perseptual
(lihat Gambar 1). Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun banyak anak-anak dengan autisme
dapat membahayakan pemrosesan sensori, pengolahan sensorik dari beberapa anak autis
mungkin mirip dengan anak-anak tanpa autisme. Hasil yang tidak konsisten ini menunjukkan
aspek individual setiap anak dan mengingatkan setiap terapis bahwa setiap anak dapat ataupun
tidak menunjukan perbedaan dari kelompok dia berasal. Oleh karena itu, para dokter harus tetap
objektif dalam mengkaji anak dengan autisme dan melakukan evaluasi secara menyeleruh pada
kemampuan proses sensori untuk menentukan apakah ada gangguan dalam proses tersebut.
Temuan penting lainnya adalah bagaimana cara mempola skor rendah untuk kelompok
anak dengan autism didistribusikan melalui faktor profil sensori. Sebagian besar anak-anak ini
mempunyai nilai yang lebih rendah pada faktor emosional reaktif dibanding anak-anak tanpa
autisme. Sejumlah besar anak-anak dengan autisme juga memiliki skor yang lebih rendah
daripada anak tanpa autisme pada faktor poor registration. Sebagian anak dengan autisme yang
mempunyai nilai rendah ini disarankan untuk diambil bersama, ketiga faktor mungkin sangat
berguna dalam membedakan antara anak dengan dan tanpa autisme pada usia antara 3 sampai 6
tahun.
Temuan pada perbandingan kedua kelompok anak tersebut pada faktor sensory seeking
dan emosional reaktif cukup menarik, meskipun tidak diharapkan, kedua faktor memiliki
gambaran validitas yang baik karena diukur berdasarkan sensori dan item yang masuk pada
faktor-faktor ini mirip dengan perilaku sensori seperti yang digambarkan dalam literatur. Namun,
temuan ini berlawanan dengan Ermer dan Dunn (1998) yang melaporkan insiden lebih rendah
pada anak-anak dengan autisme pada faktor sensory seeking. Perbedaan data ini dikumpulkan
dari dua sampel yang berbeda dengan kepentingan penelitian dalam upaya untuk meneliti ulang
temuan-temuan dari penelitian awal. Selanjutnya, dokter harus berhati-hati ketika menafsirkan
nilai pada profil sensori yang hanya atas dasar temuan awal. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk melihat apakah ada faktor profil sensori yang dapat membedakan antara anak muda
dengan dan tanpa autisme berdasarkan kemampuan pemprosesan sensori. Meski begitu,
ditemukan bahwa 85% skor anak dengan autisme lebih rendah daripada anak-anak tanpa autisme
pada sekurang-kurangnya 1 faktor yang menunjukkan bahwa dokter harus melakukan penilaian
lebih lanjut pada setiap anak dari 3 sampai 6 tahun yang mempunyai skor 1 atau lebih pada
faktor profile sensori yang lebih rendah daripada anak-anak tanpa autisme pada penelitian ini.
(Lihat Tabel 1 untuk skor faktor rendah dan tinggi pada masing-masing kelompok.)
Pola skor yang rendah pada anak dengan autisme diteliti sebagai usaha untuk
mengidentifikasi subgrup yang ada. Delapan anak dengan autisme memiliki skor yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak tanpa autisme pada sensitivitas oral, reaktifitas emosional dan
faktor-faktor lainnya. Dengan pola yang sama, tujuh anak dengan autisme memiliki skor rendah
pada inatensi/distracbility, reaktifitas emosional dan faktor lainnnya. Dua anak dengan autisme
memiliki skor yang lebih rendah pada sensitifitas oral dan faktor perhatian. Lebih lanjut,anak-
anak dengan autisme memiliki skor yang lebih rendah dari anak tanpa autisme dengan low
endurance n=5, sensory seeking n=5 dan sensitifitas sensori n=5 juga selalu memiliki skor yang
lebih rendah baik pada reaktifitas emosional dan faktor-faktor lainnya. Penemuan-penemuan ini
mengisyaratkan adanya subgroup dari anak dengan autisme yang memiliki profil pemoresesan
sensor yang berbeda. Karena sampel yang kecil, penemuan-penemuan ini tidak bisa di telaah
lebih lanjut. Penyelidikan lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih besar diperlukan
untuk menentukan apakah subgroup yang disebut diatas dapat diidentifikasi dengan
menggunakan dasar pemrosesan sensori tingkah laku.
Dari 40 anak dengan autisme yang ada pada studi ini, 6 tidak memiliki skor yang lebih
rendah dari anak tanpa autisme. Kami mengajukan analisis untuk menjelaskan apakah anak-anak
ini memang berbeda dari grup. Analisis dari data yang belum diolah menunjukan bahwa
bebarapa orang tua dari 6 anak ini tidak menyediakan respon data yang ekstrim tinggi atau batas
bawah dari skala Likert. Dua kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. Pertama, orang tua secara
akurat menyediakan data mengenai perilaku anak mereka,dan skornya ternyata menunjukan
dalam kisaran skor yang ditunjukan pada anak tanpa autisme. Walaubegitu, observasi klinis pada
dua dari enam anak ini, mengisyaratkan bahwa laporan dari orang tua tidak sesuai dengan
tingkah laku dalam seting klinis. Walapun kemungkinan tetap ada bahwa beberapa anak dengan
autisme tidak menunjukan perilaku sensori yang ekstrim, bisa juga ketidaksesuaian ini
disebabkan intensitas dari beberapa perilaku anak-anak ini tidak dilaporkan dengan baik oleh
orang tuanya. Kemungkinan yang kedua adalah, beberapa orang tua melaporkan perilaku yang
ekstrim karena mereka mengharapkan anak mereka memang berbeda. Pertanyaan sehubungan
dengan akurasi dari orang tua menekankan pentingnya menggabungkan antara observasi dan
penilaian yang baik dengan hasil kuisioner orang tua seperti profil sensori.
Implikasi dari Pelaksanaan Terapi Pekerjaan
Hasil dari penelitian ini mendukung kebutuhan untuk mengukur kemampuan
pemprosesan sensori pada anak-anak dengan autisme selama evaluasi terapi pekerjaan. Profil
sensory dapat menjadi alat yang berharga dalam mencapai tujuan ini. Walaubagaimanapun
informasi yang diperoleh dari profil sensori mungkin tidak konsisten dibandingkan dengan
laporan dari orang tua pada pemprosesan sensori. Oleh karena itu, dokter harus konsisten
memberikan laporan kepada orang tua mengenai pengamatan klinis dan situasi terstruktur di
mana kemampuan pemrosesan sensori dapat dinilai. Pengamatan klinis, penilaian standar selama
bertingkah laku, dan pengamatan terhadap pola bermain dapat berguna.
Profil sensori tidak memberikan informasi diagnostik, dan pada penelitian ini pola nilai
profil sensori tidak berbeda antara anak-anak autisme dengan anak-anak kelompok diagnostik
lain yang sering menunjukkan nilai pemprosesan sensori yang menurun. Selanjutnya, penelitian
ini tidak meneliti kemampuan profil sensori untuk membedakan anak-anak dengan dan tanpa
autisme. Oleh karena itu, dokter harus berhati-hati untuk mendiagnosis ketika anak-anak
menunjukkan pola perilaku sensori yang mirip dengan anak-anak yang didiagnosis autisme
dalam penelitian ini. Lebih lanjut, penelitian diperlukan untuk menentukan apakah pola perilaku
yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah khas untuk anak-anak dengan autisme dan untuk
menentukan apakah nilai profil sensori membedakan antara anak dengan dan tanpa gangguan
spektrum autisme.
Keterbatasan
Keterbatasan pada penelitian ini adalah jumlah sampel yang kecil dalam penelitian ini
dan fakta bahwa sampel hanya mewakili satu wilayah dari negara ini. Meskipun keterbatasan
mungkin membatasi temuan ini untuk disebarkanluaskan, kesamaan anak-anak dalam dua
kelompok ini memperkuat desain dan meningkatkan keyakinan, bahwa hasil yang relevan ketika
menggunakan profil sensori pada anak-anak dengan autisme. Penelitian selanjutnya dapat
diperkuat dengan memasukan uji umur mental dan kelompok kontrol anak dengan
keterlambatan perkembangan.

Kesimpulan
Temuan penelitian ini mendukung pemprosesan sensori pada anak yang berusia 3 sampai 6 tahun
dengan dan tanpa autisme. Perbedaan yang signifikan pada perilaku yang berkaitan dengan
sensory registration,sensitivitas sensori,sensory seeking, reaktivitas emosional, sensitivitas oral,
distractibilitas, dan tingkah laku berbasis sensori lain. Tepat 50% anak dengan autisme memiliki
nilai yang lebih rendah daripada anak-anak tanpa autisme pada faktor reaktivitas emosional dan
faktor lainnya, faktor sensori profil bisa membantu dalam mengidentifikasi penurunan
pemprosesan sensori pada anak autis. Walaubagaimanapun dokter harus berhati-hati untuk
menggunakan profil sensori dalam kombinasi dengan pengamatan klinis dan cara pengukuran
tingkah laku pemprosesan sensori yang lain untuk memastikan berbagai macam perilaku pada
anak-anak yang dinilai. Penelitian tambahan dengan kelompok yang lebih besar diperlukan untuk
memahami sepenuhnya sifat dan prevalensi disfungsi pemprosesan sensori pada anak autis.

Você também pode gostar