Você está na página 1de 27

I.

Pendahuluan

Masyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,


Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Luas wilayah keseluruhan pada saat
ini, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang
perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy adalah 5.101,85 hektar.
Daerah tersebut berjarak sekitar 120 km dari Jakarta, dekat dengan zona
industri (Cilegon) dan wisata (Anyer, Carita) yang ramai dan berkembang.
Namun demikian masyarakat tersebut tetap menjalankan adat istiadat
yang diturunkan nenek moyangnya secara arif dan taat, dan hingga
sekarang masih dapat bertahan di lingkungan alamnya. Cara hidup dan
perilaku tradisional di tengah masyarakat yang berkembang menjadi unik
dan menarik.

Masyarakat Baduy memiliki beberapa kearifan tradisional yang


berkaitan dengan lingkungan hidupnya, antara lain dalam pola pertanian
yang khas dan konsep tentang hutan dan kelestariannya. Mereka
membagi dan menggolongkan hutan sesuai dengan fungsinya, yaitu hutan
untuk konservasi dan hutan untuk dimanfaatkan, sebagaimana pada
masyarakat Kasepuhan Halimun (Nugraheni & Winata, 2003), dan diduga
mereka mempunyai asal usul ataupun hubungan yang erat yang
bersumber dari kebudayaan Sunda Hindu kuno peninggalan Kerajaan
Pajajaran sekitar 600 tahun yang lalu.

Suku Baduy terdiri dari Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar
berada di antara Desa Ciboleger dan Baduy Dalam. Sedang Baduy Dalam
terdiri dari tiga perkampungan, yaitu Cibeo, Cikatawarna, dan Cikeusik
yang masing-masing desa dikepalai oleh seorang kepala adat yang
disebut Puun. Meski sama-sama suku Baduy, namun Baduy Dalam hingga
saat ini masih sangat memegang teguh peraturan adat. Termasuk
mematuhi larangan-larangan untuk tidak menggunakan kendaraan,
barang elektronik serta kemajuan teknologi lainnya.

Sementara masyarakat Baduy Luar sudah dapat menggunakan


berbagai kemajuan teknologi, seperti kendaraan, radio dan lainnya,
selama masih mengikuti aturan adat. Tetapi meskipun begitu, tetap saja
bila suatu ketika diadakan sweeping oleh ‘aparat’ baduy dalam, maka

Laporan Baduy Expedition ’08 1


yang menggunakan alat alat elektronik yang ‘berbau’ teknologi, maka
akan dikenakan hukuman yang sesuai dengan tindakan yang dilakukan.

Orang Baduy Luar dan Baduy Dalam dibedakan dari ikat kepalanya.
Khusus Baduy Dalam, ikat kepalanya hanya berwarna putih. Bila orang
Baduy luar dapat mengenakan pakaian berwarna-warni, orang Baduy
Dalam hanya diperbolehkan dua warna saja yaitu hitam dan putih.

Warga Baduy Dalam melarang orang asing (luar Indonesia)


berkunjung ke sana. Kunjungan ke sana pun umumnya dibatasi hanya
untuk satu malam, yaitu setiap hari Sabtu dan Minggu saja. Sehingga
tidak mengganggu aktivitas warga untuk ke ladang, satu-satunya mata
pencaharian yang mereka lakukan.

Dalam berkunjung ke Baduy Dalam tak boleh sembarangan.


Diperbatasan ini, kami sudah harus menyarungkan semua alat memotret.
Selain dilarang motret, saat tinggal di sini pun kami dilarang
menggunakan odol dan sabun saat mandi di sungai, serta tidak
menyalakan handphone atau alat-alat elektronik lainnya.

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–


Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak
mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan
cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Laporan Baduy Expedition ’08 2


II. Pembahasan

1. Letak Wilayah

Wilayah Baduy secara geografis terletak pada 6°27’27” – 6°30’0”


Lintang Utara dan 108°3’9” – 106°4’55” Bujur Timur (Permana, 2001).
Wilayah pemukiman yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng di
desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,
Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. dengan
ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut tersebut mempunyai
topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata
mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah
endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan).
Jenis tanah adalah latosol coklat, aluvial coklat, dan andosol. Sedangkan
curah hujan adalah 4000 mm/tahun, dan suhu rata-rata 20°C (Garna,
1993).

2. Asal Usul

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat


adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy"
merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok
masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab
yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy
yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai
dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama
kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993). Masyarakat suku
Baduy terkenal dengan kemampuan luar biasa yang mereka miliki untuk
menolak pengaruh budaya dari luar.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok


yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu

Laporan Baduy Expedition ’08 3


adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, Baduy Dalam hanya
terdiri dari 3 kampung yang masing-masing mempunyai ke-puun-nan
(kepala adat), yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Berbeda dengan
Baduy Luar yang terdiri dari belasan perkampungan kecil menyebar di
sekeliling wilayah Desa Kanekes. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala
putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal
sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar
mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,
Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.

Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat


kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di
wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes,
dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras
(Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut
berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana,
2001). Walaupun sudah sedikit terbuka dengan pengaruh budaya dari
luar, namun masyarakat Baduy Luar masih sangat kuat memegang adat
istiadat Baduy dengan ”kiblat” utama kepada ketiga kepuunan Baduy
Dalam.

Perbedaan sikap, walau tidak ekstrim, antara Baduy Luar dan Baduy
Dalam ketika merespon intervensi budaya dari luar komunitasnya, telah
memberikan perbedaan warna antara kedua kelompok tersebut.
Penggunaan paku untuk membuat rumah, misalnya, bagi Baduy luar
adalah hal yang biasa, sementara bagi Baduy Dalam penggunaan paku
tersebut merupakan hal tabu dan dilarang. Contoh lain adalah
penggunaan angkutan transportasi kendaraan bermotor; bagi orang
Baduy Luar diperbolehkan, sedangkan untuk orang Baduy Dalam tidak
boleh sama sekali.

Namun demikian, adalah hal menarik ketika keseluruhan Baduy dari


kedua kelompok sama-sama memiliki ikatan yang sangat kuat dengan
tumbuhan bambu. Hal ini dengan mudah dapat dilihat disaat kita mulai
memasuki wilayah habitat Baduy Luar. Sepanjang perjalanan akan
dijumpai sejumlah rumpun bambu yang sebagian-nya terpelihara dengan

Laporan Baduy Expedition ’08 4


baik oleh penduduk Baduy. Beruntung, letak wilayah Desa Kanekes yang
merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 –
600 m di atas permukaan laut (DPL), yang mempunyai topografi berbukit
dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%,
yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di
bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan) dengan suhu
rata-rata 20°C. Keadaan tersebut memungkinkan untuk tumbuh suburnya
rumpun bambu.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku


keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang
diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi
Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka,
Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas
bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan


pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara
sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan
pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda'
yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan
Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat
di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian
penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang
cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan
ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman.
Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai
Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu
dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan
yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan
lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal
bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah
hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada
masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang

Laporan Baduy Expedition ’08 5


mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan


pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy
adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat
terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun
menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian
dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan
Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang
dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan
leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan
di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau
Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama
asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan
wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

3. Sistem Kepercayaan

Dasar religi orang Baduy ialah penghoramatan ruh nenek moyang


dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka
itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-
konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar
supaya orang hidup menurut alur itu dalam menyejahterakan kehidupan
Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai
keturunan yang lebih muda). Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan
kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan
selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam.

Orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai keturunan yang lebih
muda itu bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan,
bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terbelihara
baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap
inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia.
Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy
tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa ‘Lojor

Laporan Baduy Expedition ’08 6


heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung’.
(panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung).

Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang
kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep
pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang
ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan.
Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa
tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun
dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat
agama Sunda Wiwitan.

Para puun itu bukan hanya pemimpin tertinggi tetapi keturunan


karuhun, yang langsung mewakili mereka di dunia. Ada beberapa konsep
yang merupakan kewajiban puun dalam rangka pikukuh, yaitu memelihara
Sasaka Pusaka Buana; memelihara Sasakan Domas atau Parahyang;
mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat; bertapa bagi
kesejahteraan dunia; berbakti kepada dewi padi dengan berpuasa pada
upacara, memuja nenek-moyang, dan membuat laksa untuk bahan pokok
seba.

Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok,


yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa para
puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu
kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan
sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti,
Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan
ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi
Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan
tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat
batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum
Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini
Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan
Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang
Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang
menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip

Laporan Baduy Expedition ’08 7


menurunkan kerabat kampung Cibeo. Para batara tingkat ketiga lain
masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.

Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala,


yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang
Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di
luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang
menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan
orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai
Cihaliwung. Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy
keturunan yang lebih muda.

Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy


itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis
keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan
patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai
masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi 13 kali
pergantian puun Sikeusik. Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun
Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi (Garna
1988).

Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu
generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di
Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun
dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para
keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung. Dalam
kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang,
sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan
para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala
marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus
yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau
penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.

Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia,


karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi
mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama
wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung

Laporan Baduy Expedition ’08 8


tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan
bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di
pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan
untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek
moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan
manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung
Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua
itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek
moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan
karuhun, yaitu Pada Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya
disebut Padawaras; Kadukujang ---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan
Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh.
Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik
mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan
Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak
terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia
melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan
memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah
bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga
benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan
keadaannya sebaliknya dengan di dunia.

Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu
(ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting
(peling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana
Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana
Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati
dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya
mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala
kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap
masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-
mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan
ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan
melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata
dari Buana luhur.

4. Sistem Pemerintahan

Laporan Baduy Expedition ’08 9


Masyarakat Baduy mengenal 2 sistem pemerintahan, yaitu sistem
nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat
Baduy. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian
rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Baduy
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang
ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat
Baduy yang tertinggi, yaitu Puun.

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy adalah Puun yang


ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun temurun,
walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga
kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya
berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan dilaksanakan


oleh Jaro. Di Baduy ada 4 macam jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada
pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan
lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah
titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka ini ada
9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut
sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro
tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai
penghubung antara masyarakat adat Baduy dengan pemerintah nasional,
yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur
atau tetua kampung (Makmur, 2001).

Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Baduy terus mengalami


kenaikan. Data jumlah kampung dan jumlah penduduk yang dikumpulkan
dari berbagai penelitian oleh Makmur (2001) dan Permana (2003b) tertera
pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut. Sedangkan pada saat penelitian
dilakukan, menurut keterangan Jaro Sami, tetua adat di kampung Cibeo
(Baduy Dalam) jumlah penduduk secara total kurang lebih telah mencapai
8 ribu orang. Penghitungan jumlah penduduk Baduy tersebut diakui sering
mengalami kesulitan karena mobilitas mereka yang cukup tinggi,
terutama penduduk Baduy Luar dan Dangka.

Laporan Baduy Expedition ’08 10


5. Interaksi Masyarakat Baduy dengan Masyarakat Luar

Masyarakat Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat


istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun
masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka
dengan dunia luar telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan
Kesultanan Banten. Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai
puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di
luar Kanekes. Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan
sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan
setempat (Garna, 1993). Sampai sekarang upacara Seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,
palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian
penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang
bukan Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter,


sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Baduy
menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para
tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi
sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes
seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Baduy semakin
meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya
merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung
dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan
untuk menginap 1 malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau
odol di sungai.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga
senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat
harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil
yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang
pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan.

Laporan Baduy Expedition ’08 11


Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan
uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

6. Mata Pencaharian Orang Baduy

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata


pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain
itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-
buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji,
serta madu hutan.

7. Pola Pertanian Tradisional Masyarakat Baduy

Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah


dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian
yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian
dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 –
3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera
yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan
biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan
menggunakan cara tebang bakar (Nair, 1993).

Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna


biasanya dibiarkan atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama
waktu perladangan dan masa bera atau masa lahan diistirahatkan adalah
sangat bervariasi, dan lama masa bera merupakan faktor kritis bagi
regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang
didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh
kembalinya tanaman tahunan atau tumbuhan asli (Nair, 1993).

Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional


zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem
perladangan berpindah tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang
lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai 2
tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan
meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari
bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut.

Laporan Baduy Expedition ’08 12


Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan periode
masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.

Namun demikian, karena wilayah Baduy yang semakin sempit


ditambah dengan pertambahan penduduk, maka lahan huma yang
tersedia juga semakin sempit sehingga dari tahun ke tahun masa bera
ladang menjadi semakin pendek, yaitu 3 sampai 5 tahun. Hal tersebut
merupakan indikator terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan daya
dukung secara ekologis. Pada saat penelitian dilakukan, wilayah Baduy
yang tersisa adalah 5.101 hektar, dengan pembagian peruntukan tanah
pertanian 2.585 ha atau 51% (709 ha atau 14% ditanami dan sisanya bera
yaitu 1.876,25 ha atau 37%); lahan pemukiman 24,5 ha atau 0,48%;
hutan tetap atau hutan lindung yang tak boleh digarap 2.492 ha atau 49%
(Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas tanah yang digunakan untuk
bertani dan luas tanah bera bervariasi dari tahun ke tahun.

Secara tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis


perladangan atau huma berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses
mengerjakannya (Garna, 1993). Keenam huma tersebut adalah:

• Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy
dalam, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.

• Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.

• Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.

• Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk

keperluan desa.

• Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.

• Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan
orang Baduy luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-
masing.

Kepemilikan lahan pertanian adalah komunal, terutama untuk


wilayah Baduy Dalam, artinya setiap warga dapat menggarap tanah di
wilayah ladang yang manapun dalam luasan yang tak dibatasi, namun

Laporan Baduy Expedition ’08 13


hanya sesuai kekuatan tenaga yang mengerjakannya. Sedangkan bagi
warga Baduy Luar, selain mengerjakan huma panamping, mereka juga
dapat menyewa lahan pertanian milik penduduk non Baduy untuk digarap
sesuai adat Baduy. Apabila lahan garapan tersebut kemudian dibeli, maka
akan menjadi Huma urang Baduy, yang sepenuhnya menjadi hak milik
orang tersebut.

Pekerjaan di huma serang yang hanya terdapat di wilayah Baduy


Dalam, yang merupakan huma adat milik bersama dikerjakan secara
bersama-sama pula, baik oleh masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy
Luar. Pekerjaan di huma serang dilakukan dalam satu hari karena
dikerjakan oleh banyak orang dan sarat dengan berbagai upacara adat.
Menurut Anas, salah seorang penduduk Cibeo, pekerjaan di huma serang
tersebut mengawali pekerjaan di huma lainnya.

A. Kalender Pertanian

Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat


Baduy mempunyai jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan
didasarkan kepada letak benda astronomi tertentu, seperti kemunculan
bintang tertentu dan letak matahari. Adapun patokan bintang yang
digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan bintang
Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih
banyak dipakai karena lebih jelas terlihat (Permana, 2001). Kemunculan
bintang kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena
masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan
pertanian. Dalam ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus
dengek ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti
wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah laju
turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke utara, ketika
bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati
penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang
kidang kita mulai menggunakan alat pertanian (kujang)” (Permana, 2001)

Adapun alat pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali,


dan prinsip pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin
mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang

Laporan Baduy Expedition ’08 14


panjang dan kujang (parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi
dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan sepotong kayu.
Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah
terlarang.

Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah


kalender yang berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun
dibagi menjadi 12 bulan. Menurut Narja, seorang penduduk kampung
Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut: Kapat, Kalima,
Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit
Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan
dalam proses perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan
bulan-bulan akhir masa berladang dan masa panen disebut pula masa
Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai bentuk
larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya
tidak diterima.

B. Tahap Pengolahan Ladang

Pengolahan ladang di Baduy dapat dibagi menjadi beberapa tahap.


Kegiatan pertanian padi tersebut merupakan bagian sakral dari kehidupan
sehari-hari masyarakat Baduy, sehingga setiap kegiatan pada masing-
masing tahapan dilakukan dengan upacara adat (Permana, 2001).
Tahapan pengolahan ladang tersebut adalah sebagai berikut.

1) Narawas

Narawas adalah merintis, memilih lahan untuk dikerjakan menjadi


huma pada tahun tersebut, oleh setiap kepala keluarga. Lahan yang dipilih
untuk dijadikan huma biasanya berupa reuma (bekas huma yang
diberakan cukup lama) ataupun hutan sekunder. Lahan yang dipilih oleh
sebuah keluarga biasanya ditandai dengan cara meletakkan batu, batu
asahan, ataupun menanam koneng (kunyit). Selama proses memilih lahan
maka mereka mengikuti pantangan untuk tidak berbicara kasar, kentut,
memakai baju yang bersih dan memakai ikat kepala.

2) Nyacar

Laporan Baduy Expedition ’08 15


Nyacar berarti menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil
yang tumbuh tanpa ditanam, serta memotong beberapa dahan pohon
besar agar lahan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Kegiatan ini
dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dan biasanya dilakukan pada
bulan Kalima (bulan urutan kedua pada kalender Baduy).

3) Nukuh

Nukuh berarti mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil


tebangan pada proses sebelumnya (nyacar). Pada proses ini hasil
tebangan dikeringkan secara alami dengan sinar matahari, dan setelah
kering kemudian dikumpulkan menjadi onggokan untuk kemudian dibakar
pada proses berikutnya Apabila pada lahan yang dijadikan huma terdapat
pohon yang besar (tua usianya), maka penebangan tidak boleh dilakukan
sembarangan, dan biasanya tidak dilakukan pada saat nyacar, melainkan
menunggu sampai proses nukuh. Penebangan diawali dengan upacara
adat (pembacaan mantera dan pemberian sesaji) yang dilakukan oleh
puun dengan maksud agar makhluk halus penghuni pohon tersebut tidak
marah karena tempatnya diganggu manusia.

4) Ngaduruk

Ngaduruk atau ngahuru adalah proses membakar sisa daun dan


ranting pepohonan yang dibersihkan pada saat nyacar dan dikumpulkan
pada saat nukuh. Saat ngaduruk juga berpatokan dengan kehadiran
bintang kidang. Dalam istilah mereka : “kidang ngarangsang kudu
ngahuru”, yaitu pada saat bintang kidang bercahaya terang waktu subuh,
yang umumnya terjadi pada tanggal ke 18 bulan katujuh, adalah waktu
yang tepat untuk membakar. Selama pembakaran yang dilakukan untuk
setiap onggokan, api selalu dijaga agar tak merambat dan menimbulkan
kebakaran hutan. Setelah selesai membakar, maka mereka akan selalu
memastikan bahwa api telah benar-benar mati sebelum meninggalkan
huma. Abu bekas pembakaran dibiarkan di ladang sebagai pupuk sambil
menunggu hujan tiba.

5) Nyoo Binih

Laporan Baduy Expedition ’08 16


Tahap penanaman dan pemeliharaan huma diawali dengan kegiatan
nyoo binih, ngaseuk, ngirab sawan, dan ngored. Awal penanaman sesuai
dengan datangnya musim hujan dan berpatokan pada posisi bintang
kidang. Pertanda awal mulai penanaman adalah apabila bintang kidang
mencapai titik zenith atau titik puncak pada waktu subuh, yang
diistilahkan sebagai kidang muhunan.

Nyoo binih adalah kegiatan mempersiapkan benih yang dilakukan 1


hari sebelum penanaman atau ngaseuk. Kegiatan tersebut dimulai dengan
menurunkan benih padi dari lumbung, yang dilakukan oleh para wanita.
Pelaku harus mengenakan selendang putih, sabuk putih, dan rambutnya
disanggul, dan melakukan kegiatan tersebut dengan suasana hening dan
khidmad, tanpa bercakap-cakap, dan dengan mengucapkan mantra
tertentu. Kegiatan menurunkan benih dari lumbung, yang dipimpin oleh
istri girang seurat, dimaknai sebagai membangunkan Nyi Pohaci, yaitu
dewi pelindung pertanian dari tidurnya.

Setelah menurunkan padi maka padi tersebut diletakkan di tempat


yang lapang untuk diinjak-injak dengan telapak kaki di atas tampah agar
butir-butirnya terlepas dari tangkai padi, kemudian benih tersebut
disimpan di dalam bakul. Pada malam hari salah satu dari bakul tersebut,
yang secara simbolis mewakili bakul-bakul lainnya dibawa ke tengah
lapangan untuk diberi mantra oleh para tetua kampung (baris kolot)
diiringi serombongan pemain angklung yang semuanya pria dan
disaksikan oleh seluruh warga. Benih pada bakul tersebut biasanya
kemudian ditaman di huma serang yang merupakan huma komunal
masyarakat Baduy.

6) Ngaseuk

Kata ngaseuk berarti menugal atau menanam dengan tugal, yaitu


dengan cara membuat lubang kecil dengan sepotong kayu atau bambu
yang diruncingkan ujungnya, dan menanam benih padi ke dalamnya.
Kegiatan penugalan tersebut dilakukan para pria dewasa, dan
penanamannya dibantu oleh anggota keluarga lainnya.

Laporan Baduy Expedition ’08 17


7) Ngirab Sawan

Arti ngirab sawan secara harafiah adalah membuang sampah atau


penyakit. Dalam kegiatan tersebut dilakukan pembersihan ranting dan
daun atau tanaman lain (gulma) yang mengganggu pertumbuhan padi.
Kegiatan lain yang berhubungan dengan ngirab sawan adalah
‘pengobatan’ padi, yang dilakukan dengan cara berpantun atau
membacakan pantun, dan menebarkan ramuan ‘obat padi’. Ramuan
tersebut terdiri dari campuran daun mengkudu (Morinda citrifolia), jeruk
nipis, beuti lajo, karuhang, gembol, areuy beureum, hanjuang, dan kelapa
muda. Semua bahan tersebut ditumbuk halus, dicampurkan dengan abu
dapur, dan disebarkan ke seluruh lahan. Pengobatan tersebut adalah
tindakan pemupukan tanaman, dan dilakukan sebanyak 10 kali selama
pertumbuhan padi.

8) Ngored dan Meuting

Ngored adalah membersihkan atau menyiangi rumput dan gulma lain


yang timbuh di antara tanaman padi, 2 sampai 4 kali setiap bulan selama
pertumbuhan padi. Adapun meuting adalah kegiatan menginap di saung
huma atau gubug yang dibangun di huma dengan jangka waktu tertentu
dalam rangka mengurus dan memelihara tanaman.

9) Mipit

Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu
musim, dan dilakukan di huma serang. Pemetikan padi secara simbolis
yang pertama tersebut dilakukan oleh istri dari girang seurat. Padi
kemudian diikat dengan tali kulit pohon teureup pada bagian tangkainya
menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan di saung huma
serang, dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan
di leuit atau lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang
selesai, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma puun, kemudian
dilanjutkan dengan panen di huma tangtu, dan akhirnya di huma tuladan
dan huma panamping.

10) Dibuat

Laporan Baduy Expedition ’08 18


Istilah dibuat dalam pertanian Baduy adalah memotong atau
memanen padi dengan mempergunakan etem atau ani-ani, yang biasanya
dilakukan oleh kaum wanita. Pelaksanaannya adalah setelah upacara
mipit dan harus dilakukan segera. Apabila terlambat maka hama walang
sangit (kungkang) akan muncul. Kegiatan tersebut dilakukan oleh seluruh
keluarga, dan selama kegiatan tersebut sampai dengan padi menjadi
kering dijemur, seluruh anggota keluarga menginap di huma.

11) Ngunjal

Ngunjal adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung


untuk kemudian disimpan dalam leuit atau lumbung. Padi yang telah
beberapa hari dikeringkan atau dilantay, disimpan dengan cara
menumpuk secara teratur (dielep). Sebelum diangkut ke kampung, tali
pengikat padi diganti dengan tali baru. Pengangkutan hasil padi dilakukan
secara bertahap oleh seluruh keluarga. Para pria mengangkutnya dengan
cara mengikat padi menjadi dua ikatan besar dan kemudian dipikul
dengan menggunakan bambu, sedangkan para wanita membawa padi
dengan cara menggendong dengan menggunakan kain.

12) Nganyaran

Nganyaran adalah kegiatan upacara memakan atau mencicipi nasi


baru, atau nasi pertama kali hasil dibuat di huma serang. Upacara
nganyaran dimulai dengan mengambil 5 ikat padi dari leuit huma serang.
Padi tersebut kemudian dibawa ke saung lisung, yaitu tempat menumbuk
padi yang digunakan secara komunal, untuk ditumbuk oleh 5 orang
wanita, yaitu para istri dari puun, girang seurat, jaro tangtu, baresan, dan
bekas puun. Alu penumbuk padi sebelumnya diusap dengan ludah
masing-masing penumbuknya. Beras hasil tumbukan disimpan dalam
bakul tempat nasi dan ditutup dengan kain putih yang diberi wewangian,
dibawa ke rumah girang seurat untuk dibuat nasi tumpeng. Keesokan
harinya, nasi tumpeng yang telah siap dibawa ke rumah puun untuk diberi
mantra dan doa, kemudian di alun-alun nasi tumpeng tersebut dibagi-
bagikan kepada seluruh warga yang hadir. Sebelum pulang ke rumah
masing-masing, warga mengambil beberapa bulir padi hasil panen dari
huma serang yang disediakan di depan golodog bale. Jika padi masih

Laporan Baduy Expedition ’08 19


banyak tersisa setelah diambil para warga, maka hal tersebut merupakan
suatu pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah Baduy akan
berlimpah. Selanjutnya padi hasil pertanian mereka adalah terlarang
untuk dijual atau diperdagangkan.

C. Lumbung Padi Orang Baduy

Lumbung padi biasa disebut leuit oleh orang Baduy. Leuit merupakan
simbol ketahanan pangan bagi orang Baduy Dalam maupun Baduy Luar.
Ketahanan pangan sangat penting mengingat hubungan dengan dunia
luar sangat dibatasi. Oleh karena itu, orang Baduy berusaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.

Padi yang dihasilkan dari huma merupakan sumber pangan utama


orang Baduy. Setelah lima bulan ditanam, padi siap dipanen dan
kemudian disimpan dalam lumbung. Lumbung padi berbentuk panggung
yang ditopang oleh empat kayu penyangga atau tihang. Tingginya sekitar
satu meter dari atas tanah. Tihang menyangga bilik leuit, tempat
menyimpan padi, yang terbuat dari anyaman bambu.

Pintu lumbung ada di bagian abig-abig, posisinya di atas bilik dekat


dengan atap. Pintu berukuran kecil sekitar 40 x 50 cm. Atap lumbung
terbuat dari daun sago kirai (sejenis palem) yang dianyam. Supaya kuat,
atap ditahan dengan gapit yang terbuat dari belahan bambu. Ukuran leuit
bervariasi tergantung pada luas huma yang dikelola. Masyarakat Baduy
biasanya membangun leuit dengan kapasitas 500-1.000 ikat padi.
Umumnya bilik lumbung berukuran panjang 1,5 meter, lebar 1,5 meter,
dan tinggi empat meter. Leuit dengan ukuran seperti di atas bisa
menampung padi sekitar 500-600 ikat. Seikat padi setara dengan tiga
kilogram beras.

Lumbung padi orang Baduy didesain khusus supaya mampu


menyimpan padi dalam jangka waktu yang lama serta bebas gangguan
tikus. "Leuit mampu menyimpan padi sampai seratus tahun," menurut
Alim (53) Kepala Kampung (Jaro) Cikeusik, Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, tentang keunggulan lumbung padi
masyarakat Baduy. Supaya padi bisa tahan lama, lumbung selalu dirawat

Laporan Baduy Expedition ’08 20


secara rutin. Atap merupakan bagian lumbung yang paling sering diganti
supaya tidak bocor. "Biasanya hatep diganti setiap tiga tahun sekali,"
ujarnya.

Selain perawatan secara fisik, lumbung dilindungi oleh puun (tetua


adat) dengan mantra- mantra. Di bawah lantai lumbung biasanya
digantung perupuyan (semacam tungku terbuat dari batok kelapa yang
diisi abu dari tungku masak untuk membakar gaharu (cendana). Asap
gaharu berbau wangi sebagai penghormatan kepada Sang Hyang Asri
(Dewi Sri). "Sesajian ini untuk merawat padi supaya tetap baik," tutur
Sanip (28), seorang warga Baduy Luar. Hama padi yang dianggap paling
mengganggu adalah tikus. Orang Baduy menangkal tikus dengan
memasang gelebeg pada lumbung. Gelebeg merupakan papan kayu
berbentuk bundar dengan diameter sekitar 50 cm. Dipasang di atas empat
tiang penyangga tepat di bawah lantai lumbung. Bentuk gelebeg yang
bulat dengan diameter yang cukup besar menyebabkan tikus tidak bisa
naik ke lumbung padi.

Pembuatan lumbung tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Peran


puun sangat besar dalam proses pembuatan leuit. Kesalahan
penghitungan pembuatan lumbung padi dipercaya akan membawa
malapetaka bagi kampung. Lokasi dan waktu pembuatan dihitung
berdasarkan peredaran bulan, ujar Ayah Mursid (33), Wakil Jaro Cibeo.
"Lumbung harus dibangun di luar kampung karena takut kampung
terbakar," katanya menambahkan.

Untuk membuat lumbung diperlukan bambu apus untuk rangka atap.


Kayu kikacang untuk tiang penyangga, daun kirai untuk atap. Daun aren
bisa juga digunakan untuk atap. Paku besi tidak boleh digunakan untuk
menyatukan sambungan kayu. Orang Baduy Dalam menggunakan kayu
sebagai kancing antarsambungan kayu. Masyarakat Baduy yang memiliki
kepercayaan Sunda Wiwitan dikenal pula memiliki filosofi: pondok teu
meunang disambung, nu panjang teu meunang dipotong (yang pendek
tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong). Maknanya,
orang Baduy pada dasarnya menerima alam sebagaimana adanya.

Laporan Baduy Expedition ’08 21


Kompleks lumbung biasanya berjarak sekitar 20 meter dari kampung.
Dibatasi oleh kebun dengan pohon-pohon besar serta aliran sungai kecil.
Pembangunan leuit biasa dilakukan secara gotong royong maupun satu
keluarga. Jika dibangun satu keluarga, membutuhkan waktu sekitar
sebulan. Padi di lumbung merupakan cadangan pangan sampai panen
berikutnya. Masyarakat Baduy selalu menyisakan padi di lumbung sekitar
200-300 ikat. Ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan hasil
panen berikutnya yang kurang baik. Cadangan padi diambil sedikit demi
sedikit tiap beberapa hari sekali. Ibu-ibu warga Baduy menumbuk seikat
padi pada pagi hari sebelum berangkat ke huma.

Padi ditumbuk dengan lesung besar yang diletakkan di pinggir


permukiman. Dalam satu kampung, hanya ada satu lesung yang
digunakan secara bersama-sama. Lesung diletakkan dalam saung lisung,
yaitu bangunan mirip rumah tanpa dinding, berlantai tanah, dan beratap
daun kirai.

Setiap warga Baduy boleh memiliki lumbung lebih dari satu. Jumlah
lumbung disesuaikan dengan luas huma yang diolah oleh tiap keluarga.
Semakin luas huma, jumlah lumbung padi semakin banyak. Menurut Dr
Ayatrohaedi (65), antropolog dari Universitas Indonesia, jumlah lumbung
sering diartikan sebagai simbol kekayaan oleh orang luar Baduy. Tetapi,
masyarakat Baduy tidak memiliki konsep tingkatan sosial yang
membedakan masyarakat berdasarkan harta. Setiap warga diposisikan
sederajat dari segi ekonomi.

Kesetaraan ini tercermin pada pitutur (nasihat) yang sering


diucapkan oleh puun pada berbagai upacara adat. Judistira Garna dalam
bukunya Orang Baduy menuliskan, "Supaya tak terlalu tinggi
rendahkanlah, hendaknya sama rata. Bila ada yang rendah, mohon
hendaklah ditinggikan, supaya tetap tegar, tetaplah kekal, demikianlah ciri
buktinya."

8. Rumah Dalam Arsitektur Baduy Dalam

Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman


mengandalkan naluri, termasuk dalam upaya menyesuaikan serta

Laporan Baduy Expedition ’08 22


menyelaraskan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak teknik
atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup "tinggi" dan
mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.
Kecenderungan tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur
vernakular suku Baduy Dalam di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya
bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan
naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari
gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat
dalam penataan eksterior dan interiornya.

Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-


selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak
diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup
menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka
memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha
mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh,
disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan
didirikan di atasnya.

Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan


dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan
permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah
kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur
atau kemiringan tanahnya. Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk
jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa
rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit
atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun
dengan cara dipaseuk. Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk
menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan
lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang
digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu
yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah
mengering.

Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan


palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu
konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy

Laporan Baduy Expedition ’08 23


termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat
fleksibel dan elastis. Rumah panggung Bangunan rumah tinggalnya
berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti
kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki
ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang
penyangganya relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya
lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar
kedudukannya stabil.

Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di


lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang
penyangga, batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak
longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai
untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang
sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.

Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah


posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap
menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis
atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak.
Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di
kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap
tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih
panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.

Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang
ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman
bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal.
Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal
ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak
pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka
sendiri. Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam
menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya
dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk
menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan
penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk

Laporan Baduy Expedition ’08 24


mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau
ditarik dari samping luar bangunan. Ruangan Inti

Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas,


dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu.
Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang
tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang
digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan
sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu
membentuk huruf L terbalik atau siku.

Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan
yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan
penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi
sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya. Mereka tidak
memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas
tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan
disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah
sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-
rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.

Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan


atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir
seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang
bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun
hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan
suami-istri dan kepala keluarga. Melalui kegiatan bergotong royong
seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar
sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120
meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang
seluruh komponennya.

Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala


keluarga. Saat pelaksanaan program, seluruh warga turun bergotong
royong, bahu-membahu membantu tanpa pamrih. Mereka
menyumbangkan bahan bangunan, komponen rumah, atau tenaganya.
Hal itu merupakan bentuk kebersamaan kolektif yang masih kuat dan

Laporan Baduy Expedition ’08 25


dipelihara di kalangan suku Baduy Dalam hingga kini. Henry H Loupias
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Seni Universitas Pasundan dan Direktur Pusat
Penelitian dan Pengembangan Seni Nusantara.

III. Penutup/Kesimpulan

Masyarakat Baduy yang tinggal di Desa Kanekes adalah sekelompok


masyarakat yang memilih untuk hidup mengikuti tradisi nenek
moyangnya sehingga sering disebut sebagai masyarakat tradisional.
Namun Masyarakat Baduy bukanlah masyarakat yang terpencil ataupun
terbelakang sebagaimana dianggap oleh berbagai pihak, baik dari segi
lokasi maupun interaksi mereka dengan kelompok masyarakat lainnya.

Luas wilayah yang sempit dan jumlah penduduk yang terus


bertambah menyebabkan rasio antara penduduk dan luas wilyah menjadi
tidak seimbang sehingga keberlanjutan dari praktek perladangan
berpindah yang tetap dilakukan sebagaimana cara nenek moyang Baduy
tersebut patut dipertanyakan. Tanda-tanda ketidakberlanjutan sistem
pertanian mereka tampak pada kesuburan tanah yang menurun dan pada
masa bera yang makin singkat, yaitu 7-10 tahun menjadi 3-5 tahun.

Pembagian hutan secara tradisional yang mereka lakukan relevan


dengan konsep konservasi hutan menurut ilmu pengetahuan modern.
Sesuai dengan awal mula tugas yang dibebankan kepada mereka, mereka
tetap menjaga kelestarian hutan dan daerah aliran sungai beserta mata
airnya dengan mengikuti pikukuh adat yang ketat. Akan tetapi, hutan di
wilayah Baduy banyak pula mengalami gangguan dan perambahan dari
pihak luar. Faktor tersebut ikut berpengaruh besar pada degradasi lahan
yang terjadi.

Laporan Baduy Expedition ’08 26


Menghadapi berbagai permasalahan lingkungan hidup, orang Baduy
yang pada prinsipnya cinta damai dan tidak pernah menggunakan
kekerasan, berada pada pihak yang lemah dan termarjinalkan. Mengikuti
kepercayaan mereka, maka nampaknya persoalan kehidupan tersebut
akan dibawa ke kawasan spiritual. Mereka akan patuh kepada cara
pemecahan masalah atas arahan tetua adat (puun dan jaro). Dengan
demikian eksistensi mereka di masa depan sangat tergantung kepada
mereka sendiri, kecuali ada usaha persuasi dan pendekatan dari pihak
luar yang dapat mereka terima.

Laporan Baduy Expedition ’08 27

Você também pode gostar