Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Pendahuluan
Suku Baduy terdiri dari Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar
berada di antara Desa Ciboleger dan Baduy Dalam. Sedang Baduy Dalam
terdiri dari tiga perkampungan, yaitu Cibeo, Cikatawarna, dan Cikeusik
yang masing-masing desa dikepalai oleh seorang kepala adat yang
disebut Puun. Meski sama-sama suku Baduy, namun Baduy Dalam hingga
saat ini masih sangat memegang teguh peraturan adat. Termasuk
mematuhi larangan-larangan untuk tidak menggunakan kendaraan,
barang elektronik serta kemajuan teknologi lainnya.
Orang Baduy Luar dan Baduy Dalam dibedakan dari ikat kepalanya.
Khusus Baduy Dalam, ikat kepalanya hanya berwarna putih. Bila orang
Baduy luar dapat mengenakan pakaian berwarna-warni, orang Baduy
Dalam hanya diperbolehkan dua warna saja yaitu hitam dan putih.
1. Letak Wilayah
2. Asal Usul
Perbedaan sikap, walau tidak ekstrim, antara Baduy Luar dan Baduy
Dalam ketika merespon intervensi budaya dari luar komunitasnya, telah
memberikan perbedaan warna antara kedua kelompok tersebut.
Penggunaan paku untuk membuat rumah, misalnya, bagi Baduy luar
adalah hal yang biasa, sementara bagi Baduy Dalam penggunaan paku
tersebut merupakan hal tabu dan dilarang. Contoh lain adalah
penggunaan angkutan transportasi kendaraan bermotor; bagi orang
Baduy Luar diperbolehkan, sedangkan untuk orang Baduy Dalam tidak
boleh sama sekali.
3. Sistem Kepercayaan
Orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai keturunan yang lebih
muda itu bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan,
bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terbelihara
baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap
inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia.
Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy
tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa ‘Lojor
Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang
kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep
pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang
ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan.
Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa
tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun
dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat
agama Sunda Wiwitan.
Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu
generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di
Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun
dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para
keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung. Dalam
kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang,
sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan
para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala
marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus
yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau
penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu
(ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting
(peling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana
Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana
Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati
dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya
mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala
kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap
masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-
mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan
ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan
melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata
dari Buana luhur.
4. Sistem Pemerintahan
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Baduy semakin
meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya
merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung
dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan
untuk menginap 1 malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau
odol di sungai.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga
senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat
harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil
yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang
pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan.
• Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy
dalam, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.
keperluan desa.
• Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan
orang Baduy luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-
masing.
A. Kalender Pertanian
1) Narawas
2) Nyacar
3) Nukuh
4) Ngaduruk
5) Nyoo Binih
6) Ngaseuk
9) Mipit
Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu
musim, dan dilakukan di huma serang. Pemetikan padi secara simbolis
yang pertama tersebut dilakukan oleh istri dari girang seurat. Padi
kemudian diikat dengan tali kulit pohon teureup pada bagian tangkainya
menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan di saung huma
serang, dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan
di leuit atau lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang
selesai, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma puun, kemudian
dilanjutkan dengan panen di huma tangtu, dan akhirnya di huma tuladan
dan huma panamping.
10) Dibuat
11) Ngunjal
12) Nganyaran
Lumbung padi biasa disebut leuit oleh orang Baduy. Leuit merupakan
simbol ketahanan pangan bagi orang Baduy Dalam maupun Baduy Luar.
Ketahanan pangan sangat penting mengingat hubungan dengan dunia
luar sangat dibatasi. Oleh karena itu, orang Baduy berusaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.
Setiap warga Baduy boleh memiliki lumbung lebih dari satu. Jumlah
lumbung disesuaikan dengan luas huma yang diolah oleh tiap keluarga.
Semakin luas huma, jumlah lumbung padi semakin banyak. Menurut Dr
Ayatrohaedi (65), antropolog dari Universitas Indonesia, jumlah lumbung
sering diartikan sebagai simbol kekayaan oleh orang luar Baduy. Tetapi,
masyarakat Baduy tidak memiliki konsep tingkatan sosial yang
membedakan masyarakat berdasarkan harta. Setiap warga diposisikan
sederajat dari segi ekonomi.
Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang
ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman
bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal.
Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal
ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak
pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka
sendiri. Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam
menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya
dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk
menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan
penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk
Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan
yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan
penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi
sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya. Mereka tidak
memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas
tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan
disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah
sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-
rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
III. Penutup/Kesimpulan