Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Sekuens dan komposisi nukleotida masing – masing asam nukleat virus bersifat khusus.
Banyak genom virus telah disekuensi. Sekuens dapat diperlihatkan hubungan genetic di antara
isolate, termasuk hubungan tak jelas antara virus yang dianggap tidak terkait erat. Jumlah gen
dalam virus dapat diperkirakan dari frame bacaan terbuka yang dideduksi dari sekuens asam
nukleat.
Asam nukleat virus dapat ditandai dengan isi G = C-nya. Genom virus DNA dapat
dianalisis dan dibandingkan menggunakan endonulease terstriksi, enzim yang memecah DNA
pada sekuens nukleotida tertentu. Masing – masing genom akan menghasilkan berbagai pola
fragmen DNA yang khas setelah pemecahan dengan enzim tertentu. Dengan menggunakan
salinan DNA yang diklon secara molecular dari RNA, peta restriksi juga dapat dibuat untuk genom
virus RNA. Uji reaksi rantai polymerase dan teknik hibridasi molecular (DNA ke DNA, DNA ke
RNA, atau RNA ke RNA) memungkinkan studi transkripsi genom virus di dalam sel yang
terinfeksi serta perbandingan keterkaitan virus – virus yang berbeda.
Selubung Lipid Virus
Sejumlah virus yang berbeda mempunyai selubung lipid sebagai bagian strukturnya
(missal, virus Sindbis). Lipid diperoleh ketika nukleokapsid virus melakukan proses budding
melalui membrane selular pada proses maturasi. Budding terjadi hanya di tempat protein spesifik
virus telah dimasukkan ke dalam membrane sel pejamu. Proses budding sangat bervariasi
bergantung pada cara replikasi virus dan struktur nukleokaspid.
Komposisi fosfolipid yang khusus dari suatu selubung virion ditentukan oleh jenis khusus
membran sel yang terlibat dalam proses budding. Misal, herpesvirus bertunas melalui membran
inti sel pejamu, dan komposisi fosfolipid virus yang dimurnikan menunjukan adanya lipid pada
membrane inti. Perolehan suatu membrane yang mengandung lipid merupakan langkah integral
dalam morfogenesis virion pada beberapa golongan virus.
Selalu terdapat protein virus yang mengalami glikosilasi yang menonjol dari selubung dan
terpajan di permukaan luar partikel virus. Ada protein yang tidak terglikosilasi berasal dari virus di
bawah selubung yang menyatukan partikel.
Virus yang mengandung lipid sensitive terhadap pengobatan dengan eter dan pelarut
organic lain, yang menunjukan bahwa gangguan atau hilangnya lipid menyebabkan hilangnya
kemampuan menginfeksi. Virus yang tidak mengandung lipid umumnya resistan terhadap eter.
Glikoprotein Virus
Selubung virus mengandung glikoprotein. Kebalikan dengan lipid pada membrane virus,
berasal dari sel pejamu, glikoprotein merupakan selubung yang disandikan virus. Namun,
karbohidrat yang ditambahkan pada glikoprotein virus sering kali menunjukan sel pejamu tempat
tumbuhnya virus.
Glikoprotein permukaan pada virus berselubung melekatkan partikel virus ke sel target
dengan cara berinteraksi dengan reseptor selular. Glikoprotein tersebut juga sering terlibat dalam
langkah fusi membrane pada infeksi. Glikoprotein juga merupakan antigen virus yang penting.
Karena posisinya dipermukaan luar virion, glikoprotein sering kali terlibat dalam interaksi partikel
virus dengan antibody penetralisir. Glikosilasi yang luas dapat mencegah neutralisasi efektif
partikel virus oleh antibody spesifik. Struktur tiga dimensi dari region yang menonjol keluar pada
kedua glikoprotein membrane virus influenza (hemaglutinin, neuraminidase) berhasil diperoleh
dengan kristalografi sinar-x. studi seperti ini memberikan gambaran mengenai struktur antigenic
dan aktivitas fungsional glikoprotein virus.
Penghitungan Virus
A. METODE FISIS
Uji berbasis asam nukleat kuantitatif seperti reaksi rantai polymerase dapat menentukan
jumlah salinan genom virus dalam suatu sampel. Genom infeksius maupun noninfeksius
dapat dideteksi. Variasi sekuens virus dapat mengurangi deteksi dan penghitungan virus
dengan metode tersebut.
Sejumlah uji serologi seperti radioimmunoassay (RIA) dan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) dapat distandardisasi untuk menghitung jumlah virus dalam
suatu sampel. Uji – uji tersebut tidak membedakan partikel infeksius dengan nonifeksius dan
kadang – kadang mendeteksi protein virus yang tidak dibentuk menjadi partikel.
Virus – virus tertentu mengandung protein (hemaglutinin) yang mampu mengaglutinasi
sel darah merah manusia atau beberapa hewan. Uji hemaglutinasi adalah metode yang mudah
dan cepat untuk menghitung jenis virus ini. Partikel infektif maupun noninfektif
menghasilkan reaksi tersebut; oleh karena itu, hemaglutinasi mengukur kuantitas total virus
yang ada.
Partikel virus dapat dihitung secara langsung pada mikroskop electron dengan
membandingkan suspensi standar partikel lateks dengan ukuran kecil yang sama. Namun,
sediaan virus yang relative terkonsentrasi diperlukan untuk prosedur tersebut, dan partikel
virus infeksius tidak dapat dibedakan dengan yang noninfeksius.
B. METODE BIOLOGI
Tujuan akhir uji biologi bergantung pada pengukuran kematian hewan, infeksi hewan,
atau efek sitopatik pada biakan jaringan pada serangkaian dilusi virus yang sedang diuji.
Titer diekspresikan sebagai 50% dosis infeksius (ID50), yang berbanding terbalik dengan
dilusi virus yang menimbulkan efek pada 50% sel –sel atau hewan – hewan yang diinokulasi.
Uji yang tepat perlu menggunakan subjek uji yang banyak.
Uji yang paling sering digunakan untuk virus infeksius adalah uji plak. Lapisan tunggal
sel pejamu diinokulasi dengan pengenceran virus yang cocok dan setelah adsorpsi di
tambahkan medium yang mengandung agar atau karboksimatilulosa untuk mencegah
penyebaran virus di seluruh biakan. Setelah beberapa hari, sel yang hanya menyebar ke sel –
sel sekitar, menimbulkan area kecil infeksi, atau plak. Dalam keadaan terkontrol, plak
tunggal dapat berasal dari satu partikel virus yang infeksius, disebut unit pembentuk plak
(PFU). Efek sitopatik sel –sel yang terinfeksi dalam plak dapat dibedakan dengan sel yang
tidak terinfeksi pada lapis tunggal dengan atau tanpa pewarnaan yang sesuai, dan plak
biasanya dapat dihitung secara makroskopis. Rasio jumlah partikel infeksius terhadap jumlah
total partikel sangat bervariasi, dari yang mendekati satu sampai kurang dari satu per 1000.
Virus – virus tertentu, misal herpes, dan vaksinia, membentuk bercak bila diinokulasi
ke dalam membrane korioalantois embrio telur. Virus – virus tersebut dapat dihitung dengan
menghubungkan jumlah bercak yang dihitung dengan dilusi virus yang diinokulasi.
KEAMANAN LABORATORIUM
Banyak virus merupakan pathogen bagi manusia, dan infeksi yang didapat dalam
laboratorium dapat terjadi. Prosedur laboratorium sering membahayakan jika tidak mengikuti
prosedur yang tepat. Di antara bahan – bahan berbahaya yang lazim yang mungkin memajankan
petugas terhadap resiko infeksi adalah sebagai berikut :
1) Aerosol. Dihasilkan akibat homogenisasi jaringan yang terinfeksi, sentrifugasi vibrasi
ultrasonic, peralatan dari kaca yang pecah.
2) Ingesti. Akibat memakai mulut saat menggunakan pipet, makan atau merokok dalam
laboratorium, pencucian tangan yang tidak bersih.
3) Penetrasi kulit. Akibat tusukan jarum, peralatan dari kaca yang pecah, kontaminasi
tangan oleh wadah yang bocor, penanganan jaringan yang terinfeksi, gigitan binatang.
4) Percikan ke dalam mata
Praktik keamanan hayati yang baik meliputi hal berikut ini :
1) Pelatihan dan penggunaan teknik – teknik aseptik.
2) Larangan menyedot dengan pipet.
3) Tidak makan, minum, atau merokok dalam laboratorium.
4) Menggunakan peralatan pelindung diri (pakaian, sarung tangan, masker, dll) yang tidak
digunakan di luar laboratorium.
5) Sterilisasi bahan – bahan buangan percobaan.
6) Penggunaan helm biosafety
7) Imunisasi jika tersedia vaksin yang sesuai. Peringat tambahan dan fasilitas penahan
khusus (keamanan hayati tingkat 4) diperlukan bila petugas bekerja dengan agen – agen
yang berisiko tinggi seperti filovirus dan virus dan virus rabies.
Stabilitas virus penting dalam pembuatan vaksin. Vaksin polio oral yang tidak distabilkan
harus disimpan pada temperature beku untuk menjaga potensinya. Namun, dengan penambahan
garam untuk stabilisasi virus, potensi dapat dipertahankan selama berminggu – minggu pada
temperature ambien bahkan pada temperature tinggi di daerah tropis.
pH
Virus biasanya stabil antara pH 5,0 dan 9,0. beberapa virus (missal, enterovirus) resistan
terhadap keadaan asam. Semua virus dihancurkan dengan keadaan basa. Pada reaksi
hemaglutinasi, variasi kurang dari satu satuan pH dapat memengaruhi hasil.
Radiasi
Ultraviolet, sinar X, dan partikel berenergi tinggi menginaktifkan virus. Dosis bervariasi
untuk virus – virus berbeda. Infektivitas merupakan sifat paling radiosensitive karena replikasi
memerlukan ekspresi kandungan genetic keseluruhan. Partikel iradiasi yang tidak mampu
bereplikasi masih mampu menunjukan beberapa fungsi spesifik pada sel pejamu.
Inaktivasi Fotodinamik
Virus dapat dipenetrasi sampai beberapa tingkat oleh zat warna vital seperti toluidin biru,
merah netral, dan proflavin. Pewarnaan ini berikatan dengan asam nukleat virus sehingga virus
menjadi rentan terhadap terhadap inaktivasi oleh cahaya yang dapat dilihat. Merah netral sering
digunakan untuk mewarnai uji plak sehingga plak terlihat dengan mudah. Lempeng pengujian
harus dilindungi dari cahaya terang setelah ditambahkan merah netral; meskipun demikian,
terdapat risiko virus progeny akan menjadi inaktif dan perkembangan plak akan terhenti.
Kerentanan Eter
Kerentanan terhadap eter dapat digunakan untuk membedakan virus – virus yang memiliki
selubung dengan yang tidak terselubung. Sensitivitas eter kelompok virus berbeda.
Detergen
Detergen nonionic, missal Nonider p40 dan Triton X-100 melarutkan kandungan lipid pada
amembran virus. Protein virus dalam selubung dilepaskan (undenatured). Detergen anionic,
missal, sodium dodeksil sulfat, juga melarutkan selubung virus; selain itu, detergen mengganggu
kaspid menjadi polipeptida terpisah.
Formaldehid
Formaldehid menghancurkan infektivitas virus dengan bereaksi dengan asam nukleat. Virus
dengan genom untai-tunggal lebih mudah diinaktifkan daripada virus dengan genom untai-ganda.
Formaldehid mempunyai efek samping yang minimal terhadap antigenesitas protein dan oleh
karena itu sering digunakan dalam pembuatan vaksin virus yang tidak diaktifkan.
Antibiotik & Agen Antibakteri Lain
Antibiotic antibacterial dan sulfonamid tidak mempunyai efek pada virus. Namun, telah
tersedia beberapa obat antivirus.
Pada umumnya, senayawa ammonium empat gugus tidak efektif melawan virus. Senyawa
yodium organic juga tidak efektif. Konsentrasi klorin yang lebih besar diperlukan untuk
menghancurkan virus daripada untuk membunuh bakteri, terutama bila ada protein asing. Misal,
penanganan klorin pada tinja yang adekuat untuk mengainaktifkan bail tifoid tidak adekuat untuk
menghancurkan virus polioomielitis yang ada dalam tinja. Alkohol, seperti isopropanol dan etanol,
relative tidak efektif melawan virus – virus tertentu, terutama picornavirus.
Metode Umum untuk Menginaktifkan Virus untuk Berbagai Tujuan
Virus – virus dpat diinaktifkan untuk berbagai alasan : untuk mensterilisasi peralatan dan
perlengkapan laboratorium, disinfeksi permukaan atau kulit, membuat keamanan air minum, dan
membuat vaksin virus yang diinaktifkan. Berbagai Metode dan kimiawi digunakan untuk tujuan
tersebut.
Sterilisasi dapat dikerjakan dengan uap (steam) dalam tekanan, panas kering, etilen oksida,
dan radiasi gama. Disinfektan permukaan meliputi natrium hipoklorit, glutaraldehid, formaldehid,
dan asam perasetat. Disinfektan kulit meliputi klorheksidin, 70% etanol, dan iodofor. Pembuatan
faksin dapat meliputi penggunaan formaldehid, β-propiolakton, psoralen + radiasi ultraviolet, atau
detergen (vaksin subunit) untuk menginaktifkan virus vaksin.
REPLIKASI VIRUS : TINJAUAN
Virus memperbanyak diri hanya di dalam sel yang hidup. Sel pejamu harus menyediakan
energi dan mesin sintetik serta precursor dengan berat molekul rendah untuk sintesis protein virus
dan asam nukleat. Asam nukleat virus membawa spesifitas genetic untuk menyandikan semua
makromolekuler spesifik virus dengan sangat terorganisir.
Agar virus bereplikasi, protein virus harus disintesis dengan mesin penyintesis protein sel
pejamu. Oleh karena itu, genom virus harus mampu menghasilkan mRNA yang dapat digunakan.
Berbagai mekanisme telah diidentifikasi sehingga memungkinkan RNA virus berhasil
berkompetensi dengan mRNA selular untuk menghasilkan sejumlah protein virus yang adekuat.
Gambaran khas multiplikasi virus adalah, segera setelah berinteraksi dengan sel pejamu,
virion penyebab infeksi pecah dan infektivitas yang dapat diukur hilang. Fase siklus pertumbuhan
ini disebut periode eklips; lamanya bervariasi bergantung pada virus tertentu mapunun sel
pejamu, dan diikuti dengan interval penumpukan cepat partikel virus progeny yang infeksius.
Periode eklips sebenarnya adalah salah satu aktivitas sisntesis yang giat karena sel dituntun untuk
memnuhi kebutuhan virus “pembajak”. Pada beberapa kasus, segera setelah asam nukleat virus
memasuki sel pejamu, metabolisme selular dialihkan semata – mata untuk sintesis partikel virus
baru dan sel akan dihancurkan. Pada kasus lain, proses metabolic sel pejamu tidak berubah secara
signifikan, meskipun sel menyintesis protein dan asam nukleat virus, serta sel tidak dimatikan.
Setelah sintesis asam nukleat virus dan protein virus, komponen membentuk virion infeksius
baru. Hasil virus infeksius per sel mempunyai rentang yang luas, dari Jumlah yang paling ringan
sampai lebih dari 100.000 partikel. Durasi siklus replikasi virus juga sangat bervariasi, dari 6 – 8
(picornavirus) sampai lebih dari 40 jam (beberapa herpesvirus).
Tidak semua infeksi menimbukkan virus progeny baru. Infeksi produktif terjadi pada sel
permitif dan menyebabkan produksi virus yang infeksius. Infeksi abortif gagal menghasilkan
progeny infeksius, karena sel mungkin bersifat tidak permidif dan tidak mampu