Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ALIRAN REKONSTRUKSIONISME
Pendahuluan
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran
perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran
rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman
yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan
kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama
dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang
berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang scrasi
dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam
kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal.
Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu
konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar
sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu
tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar
ummat manusia.
Tokoh-tokoh Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930,
ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam
aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg
2. Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam
hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral,
akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang
merupakan kecenderungan man usia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) ten tang
pengertian "nilai" tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural
yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis.
Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh
Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Ke-
mudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai
dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu
belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat
praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pad a prinsip-prinsip dari praktek-
praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam
arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian
berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah
Tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran un sur
keindahan universal yang abadi, maha indah dan Tuhan.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan
intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan
pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi pada abad
IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama
scholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu
di alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari
kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh
Thomas Aquinas yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang hams
berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan
iman.
3. Pandangan Epistemologis
Kajian epsitemologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme
(progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita
alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini
tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan
suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi
membentuk pengetahun, dan akal di bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang
sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan
self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya
bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai
ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self
evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan
guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki
hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian
yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal
pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pernikirannya adalah silogisme.
Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan
(condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.