Você está na página 1de 11

KONSEP UMUM HUBUNGAN INDUSTRIAL

DEFINISI
Hubungan industrial merupakan bidang multidisiplin yang mempelajari hubungan
Ketenagakerjaan. Hubungan industrial semakin sering disebut hubungan ketenagakerjaan karena
pentingnya hubungan-hubungan ketenagakerjaan non industrial. Banyak orang luar menyamakan
hubungan industrial dengan hubungan tenaga kerja (employee/labour relation) dan juga
mempercayai bahwa studi hubungan industrial hanya berbicara tentang serikat kerja saja, tetapi
ini anggapan yang terlalu menyederhanakan.

OVERVIEW
Hubungan industrial memiliki tiga aspek: pembentukan ilmu pengetahuan (science building),
penyelesaian masalah (problem solving) dan etika (ethical).
Dalam aspek pembentukan pengetahuan, Hubungan industrial merupakan bagian dari
ilmu sosial, dan hal itu bertujuan untuk memahami hubungan ketenagakerjaan dan institusi-
institusinya melalui penelitian dengan kualitas yang tinggi dan ketat. Dalam hal ini, studi
pembelajaran Hubungan industria berkaitan antar disiplin dengan ekonomi tenaga kerja, sosiologi
industrial, sejarah tenaga kerja dan sosial, HR manajemen, ilmu politik, hukum dan area-area
lainnya.
Dalam aspek penyelesaian masalah Hubungan industrial bertujuan untuk merancang
kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi untuk membantu hubungan ketenagakerjaan berjalan
dengan lebih baik.
Pada aspek etika, IR mengandung prisip-prinsip norma yang kentara mengenai pekerja-
pekerja dan hubungan ketenagakerjaannya, khususnya mengenai penolakan atas perlakuan
kepada pekerja sebagai komoditi yang mengedepankan pandangan bahwa pekerja-pekerja
sebagai manusia di dalam masyarakat demokrasi yang patut atas hak asasi manusia.

Istilah hubungan antar manusia mengacu kepada seluruh bidang mengenai hubungan yang ada
karena pentingnya kolaborasi antara pria dan wanita dalam proses ketenagakerjaan pada industry
modern. “itu merupakan bagian dari Manajemen yang mana difokuskan/dikaitkan dengan
manajemen perusahaan apakah operator mesin, pekerja yang punya keahlian tertentu, atau
manager. Ini berhadapan dengan hubungan antara Negara dan tenaga kerja dan karyawan atau
hubungan antara organisasi pekerja itu sendiri.

Studi Hubungan industrial menganggap bahwa pasar tenaga kerja adaleh tidak
kompetitif/bersaing secara sempurna dan maka, berbeda dari teori ekonomi pada umumnya, para
pengusaha berada dalam posisi tawar menawar yang lebih tinggi dibanding dengan para pekerja.
IR juga menganggap bahwa ada setidaknya beberapa konflik/perbenturan kepentingan yang
melekat antara pengusaha dengan pekerja (contoh: upah tinggi vs keuntungan tinggi) dan maka,
berbeda dengan pranata HR manajemen dan perilaku organisasi, konflik diperlihatkan sebagai hal
yang alami bagian dari hubungan ketenagakerjaan. Pranata IR oleh karenanya seringkali
mempelajari pengaturan institusional yang beragam yang menjadi ciri dan membentuk hubungan
kerja- mulai dari norma-norma dan struktur kekuasaan, hingga mekanisme/procedure
penyempaian suara karyawan di tempat kerja, hingga pengaturan perundingan bersama di
perusahaan, regional, maupun tingkat nasional, hingga berbagai tingkat kebijakan publik dan
rezim hukum perburuhan, hingga “varietas kapitalisme” (seperti korporatisme), demokrasi sosial,
dan neoliberalisme).

Ketika pasar tenaga kerja dipandang tidak sempurna, dan ketika hubungan ketenagakerjaan
melibatkan konflik-konflik kepentingan, maka seseorang tidak dapat mengandalkan pada pasar
atau manajer-manajer untuk selalu melayani kepentingan pekerja, dan dalam kasus-kasus yang
ekstrim untuk mencegah eksploitasi pekerja. Akademisi dan praktisi Hubungan industrial oleh
karenanya mendukung intervensi kelembagaan untuk meningkatkan pelaksanaan hubungan kerja
dan untuk melindungi hak-hak pekerja. Sifat intervensi institusional tersebut, bagaimanapun,
berbeda antara dua kubu dalam hubungan industrial. Kubu pluralis melihat hubungan
ketenagakerjaan sebagai campuran kepentingan bersama dan konflik kepentingan yang secara
hanya sebagian besar terbatas pada hubungan kerja. Di tempat kerja, oleh karena itu pluralis
mengedepankan prosedur penyampaian keluhan, mekanisme suara/aspirasi karyawan seperti
dewan kerja dan serikat pekerja, perundingan bersama, dan kemitraan pekerja-
manajemen. Dalam masalah kebijakan, pluralis mengadvokasi peraturan upah minimum, standar
kesehatan dan keselamatan kerja, standar buruh internasional, dan pekerjaan lain dan hukum
perburuhan dan kebijakan publik. intervensi kelembagaan tersebut dilihat sebagai cara untuk
menyeimbangkan hubungan ketenagakerjaan untuk menghasilkan tidak hanya efisiensi ekonomi,
tetapi juga kesataraan karyawan dan aspirasi.

Sebaliknya, kubu yang terinspirasi Marxis melihat konflik kepentingan majikan-karyawan


sebagaimana antagonis yang tajam dan sangat tertanam dalam sistem sosio-politik-ekonomi. Dari
perspektif ini, mengejar suatu hubungan kerja yang seimbang memberi bobot terlalu banyak untuk
kepentingan pengusaha, dan sebagai gantinya reformasi structural yang mendalam diperlukan
untuk mengubah hubungan kerja antagonis yang tajam yang melekat dalam kapitalisme. Oleh
karenanya serikat buruh yang militan sering didukung.

SEJARAH INDUSTRIAL RELATION


Hubungan industrial berakar pada revolusi industri yang menciptakan hubungan kerja modern
dengan pemijahan pasar tenaga kerja bebas dan organisasi industri skala besar dengan ribuan
pekerja upah. Sebagai masyarakat yang bergumul dengan perubahan-perubahan ekonomi dan
sosial besar-besaran, masalah ketenagakerjaan muncul. Upah rendah, jam kerja yang panjang,
kerja monoton dan berbahaya, dan praktek-praktek pengawasan kasar/abuse menyebabkan
pergantian karyawan yang tinggi, pemogokan kerja, dan ancaman ketidakstabilan sosial. Secara
intelektual, hubungan industrial dibentuk pada akhir abad ke-19 sebagai jalan tengah antara
ekonomi klasik dan Marxisme, dengan mana Sidney Webb dan Beatrice Webb Industri Demokrasi
(1897) menjadi kunci karya intelektual. Sehingga Hubungan Industrial menolak ekon klasik.

Secara institusional, hubungan industrial ditemukan oleh John R. commons ketika ia membuat
program hubungan akademi pertamanya di Universitas Wisconsin di tahun 1920. Dukungan dana
awal untuk bidang tersebut dating dari John D. Rockefeller, jr yang mana mendukung hubungan
pekerja-manajemen yang progresif pasca serangan berdarah di tambanga batubara Rockefeller di
Colorado. Di Inggris, Industrialis progresif, Montague Burton, diberikan kedudukan di Hubungan
Industrial di Leeds, Cardiff dan Cambridge pada tahun 1930, dan sebagai sebuah ilmu telah
disahkan pada tahun 1950 dengan pendirian Oxford School oleh Alan Flanders dan Hugh Clegg.

Hubungan industrial dibentuk dengan orientasi penyelesaian masalah (problem solving) yang kuat
yang mana menolak solusisolusi dari seorang Ekonom klasik Laissez faire untuk masalah-
masalah tenaga kerja dan solusi dari Marxist untuk revolusi massal. Ini adalah pendekatan yang
mendasari Undang-undang New deal di Amerika serikat seperti UU hubungan kerja nasional dan
Fair Labor Standards Act. Contrast

PANDANGAN-PANDANGAN TEORI
Akademisi-akademisi hubungan industrial menjelaskan tiga perspektif teori besar atau framework
yang mana kontras dengan pengertian dan analisa mereka mengenai hubungan-hubungan
tempat kerja. Tiga pandangan tersebut secara umum diketahui sebagai unitarism, pluralist dan
radical. Masing-masing menawarkan sebuah persepsi particular tentang hubungan-hubungan
ketenagakerjaan dan oleh karenanya akan menafsirkan peristiwa-peristiwa sebagai konflik tempat
kerja, peran dari serikat dan peraturan kerja sangat beragam dan berbeda. Pandangan radical
terkadang dikaitkan sebagai “conflict model” meskipan hal ini sesuatu yang ambigu, seperti
penganut pluralism juga cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang melekat pada tempat
kerja. Teori radikal sangat di kenal dengan teori Marxist meskipun mereka tidak terbatas pada
kosala.

TEORI UNITARISM
Dalam teori unitarism, Organisasi dianggap sebagai sesuatu yang terintegrasi harmoni secara
keseluruhan dengan idealnya sebagai satu keluarga yang bahagia, dimana manajemen dan
anggota lainnya dari staff kesemuanya memiliki satu tujuan yang sama, menekankan kerjasama
yang saling menguntungkan. Lebih jauh lagi, Unitarism memiliki pendekatan paternalistic dimana
meminta loyalitas dari semua karyawan, mengutamakan tingkatan manajerial dalam penekanan
dan penerapannya.
Akibatnya serikat pekerja dianggap tidak perlu karena loyalitas antara karyawan dan organisasi
dianggap eksklusif dimana tidak bisa ada dua sisi industry. Konflik dianggap sebagai sesuatu
yang masalah mengganggu dan hasil patologis dari para agitator, gesekan antar personal dan
gangguan komunikasi

TEORI PLURALIST
Dalam pluralism organisasi dianggap sebagai terdiri dari bagian-bagian kelompok yang kuat dan
berbeda , masing-masing dengan loyalitas sendiri yang sah dan dengan menetapkan tujuan
mereka sendiri dan para pemimpin masing-masing. Secara khusus, kedua sub-kelompok
dominan dalam perspektif pluralistik adalah manajemen dan serikat pekerja. Akibatnya, peran
manajemen akan kurang bersandar terhadap penegakan dan pengawasan dan lebih ke arah
persuasi dan koordinasi. Serikat pekerja dianggap sebagai wakil yang sah dari karyawan, konflik
ditangani oleh perundingan bersama dan tidak selalu dipandang sebagai sesuatu yang buruk, dan
jika dikelola, sebenarnya bisa disalurkan ke arah evolusi dan perubahan positif.

TEORI RADIKAL
Pandangan ini terhadap hubungan industrial melihat pada sifat dari masyarakat kapitalis, di mana
ada pembagian mendasar kepentingan antara modal dan tenaga kerja, dan melihat hubungan
kerja terhadap sejarahnya. Perspektif ini melihat ketimpangan kekuasaan dan kekayaan ekonomi
sebagaimana akar dalam sifat sistem ekonomi kapitalis. Oleh karena itu Konflik dipandang tak
terelakkan dan pembentukan serikat pekerja merupakan respon alami pekerja terhadap
eksploitasi mereka dengan modal. Sementara mungkin ada masa-masa kesepakatan, pandangan
Marxis akan mengarah bahwa lembaga-lembaga dari peraturan yang disepakati bersama akan
meningkat daripada posisi dari batasan manajemen sebagaimana mereka menganggap
kelanjutan dari kapitalisme daripada melawan hal itu.

HUBUNGAN INDUSTRIAL DEWASA INI


Dengan banyak tanda-tandanya, hubungan industrial saat ini berada dalam situasi krisis. Secara
akademis, posisinya terancam pada satu sisi oleh dominasi ekonomi mainstram dan perilaku
organisasi, dan di sisi lain oleh pasca modernisasi. Dalam alur pembuatan kebijakan, penekanan
hubungan industrial pada intervensi kelembagaan dikalahkan oleh penekanan neoliberal pada
promosi laissez faire tentang pasar bebas. Dalam prakteknya, serikat buruh sedang menentang
dan lebih sedikit perusahaan yang memiliki fungsi hubungan industrial.
Oleh karena itu jumlah program akademik dalam hubungan industrial menyusut, dan
cendekiawan meninggalkan bidang ini untuk bidang lain, terutama manajemen sumber daya
manusia dan perilaku organisasi. Pentingnya bekerja, bagaimanapun, adalah lebih kuat dari
sebelumnya, dan pelajaran dari hubungan industrial tetap penting. Tantangan bagi hubungan
industrial adalah untuk membangun kembali hubungan ini dengan kebijakan akademis yang lebih
luas dan dunia bisnis.

SUMBER : WIKIPEDIA
1. ^ Ackers, Peter (2002) “Reframing Employment Relations: The Case for Neo-
Pluralism,” Industrial Relations Journal . Kaufman, Bruce E. (2004) The Global Evolution of
Industrial Relations: Events, Ideas, and the IIRA , International Labour Office.
2. ^ Kaufman, The Global Evolution of Industrial Relations.
3. ^ Budd, John W. and Bhave, Devasheesh (2008) “Values, Ideologies, and Frames of
Reference in Industrial Relations,” in Sage Handbook of Industrial Relations, Sage.
4. ^ Befort, Stephen F. and Budd, John W. (2009) Invisible Hands, Invisible Objectives:
Bringing Workplace Law and Public Policy Into Focus, Stanford University Press.
5. ^ Budd, John W. (2004) Employment with a Human Face: Balancing Efficiency, Equity, and
Voice, Cornell University Press.
6. ^ Kaufman, The Global Evolution of Industrial Relations.
7. ^ Ackers, Peter and Wilkinson, Adrian (2005) “British Industrial Relations Paradigm: A
Critical Outline History and Prognosis,” Journal of Industrial Relations.
8. ^ Ackers, “Reframing Employment Relations.” Kaufman, The Global Evolution of Industrial
Relations. Whalen, Charles J. (2008) New Directions in the Study of Work and
Employment: Revitalizing Industrial Relations as an Academic Enterprise, Edward Elgar.
Pranata Hukum Ketenagakerjaan di Perusahaan

Pranata hukum ketenagakerjaan di perusahaan berarti peraturan-peraturan atau perjanjian yang


berlaku dan applicable dalam lingkup perusahaan. Pranata hukum ketenagakerjaan di
perusahaan idealnya mengatur 2 hal yang utama yaitu:
1. Ketentuan normatif
2. Syarat kerja

ketentuan normatif adalah segala hal yang sudah diatur dalam peraturan perundang undangan.
Sedangkan syarat kerja adalah hal-hal yang belum diatur dalam peraturan per UU an. contoh dari
ketentuan normatif adalah mengenai waktu kerja yang oleh UU telah ditetapkan sebagai 40 jam
per minggu, sedangkan contoh syarat kerja misalnya besaran uang pisah (yang mana belum
diatur detail dalam UU) atau hal-hal lain yang sifatnya detail dan teknis. Ketentuan normatif sudah
diatur dalam Peraturan perUUan, sedangkan syarat kerja perlu diatur dalam Peraturan internal
Perusahaan yang akan dibahas dalam paragraf selanjutnya.

Pranata hukum ketenagakerjaan di perusahaan mencakup eksternal dan juga internal. Maksud
dari eksternal adalah Peraturan Per UU an sebagaimana dalam UU No 1o tahun 2004.Sedangkan
maksud dari Internal yaitu Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja (PK). Peraturan Eksternal dan Internal dalam lingkup perusahaan dapat diurutkan
berdasarkan mana yang tertinggi sebagaimana berikut:
lihat Pasal 54 ayat 2, Pasal 124 ayat 2 dan 3, Pasal 127 ayat 1 UU 13 2003 yang secara implisit
mengemukakan hal ini:
1. Peraturan Per UU an
2. Perjanjian Kerja Bersama
3. Peraturan Perusahaan (jika ada)
4. Perjanjian Kerja

Dengan adanya tata urutan tersebut maka peraturan yang teratas merupakan acuan dalam
pembuatan peraturan-peraturan yang ada dibawahnya. Sedangkan Peraturan yang ada di bawah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya. Apabila memang demikian,
maka peraturan yang diberlakukan adalah yang lebih tinggi hirarkinya (sesuai dengan asas lex
superior derogat legi inferiori). setelah ini marilah kita lihat pembahasan demi pembahasan
tentang Pranata hukum ketenagakerjaan di perusahaan.

Peraturan
Per-UU-an

Perjanjian
Kerja Bersama
Pranata Hukum
Ketenagakerjaan
Di Perusahaan
Peraturan
Perusahaan

Perjanjian
Kerja
PERATURAN PER UNDANG-UNDANGAN
Adalah suatu keharusan bahwa seluruh Peraturan di internal perusahaan harus mengikuti
peraturan per UU an. Bilamana berbeda maka perbedaannya itu mengandung kualitas yang lebih
baik dari peraturan per UU an. Contohnya: jika didalam UU 13/2003 dijelaskan bahwa Hak cuti
diberikan 12 hari setelah 12 bulan kerja berturut-turut maka Peraturan internal perusahaan
mempunyai 2 opsi yaitu mengatur sesuai dengan UU atau memberi kualitas lebih baik misal
dengan memberi 14 hari cuti bagi karyawan dengan masa kerja diatas 5 tahun,dst.

Pertanyaan mendasar: sampai dimanakah lingkup Peraturan Per UU an? Berdasarkan Undang-
undang No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka hirarki
peraturan Per UU an dapat kita urutkan sebagai berikut:
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah

Ke-enam aturan diatas itulah yang menjadi acuan bagi Peraturan internal Perusahaan. Sesuai
dengan asas lex superior derogat legi inferiori bahwa peraturan yang diatas menjadi acuan bagi
yang di bawahnya, dan peraturan yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
yang ada diatasnya. Apabila terjadi pertentangan, maka yang berlaku adalah peraturan yang lebih
tinggi.

Dalam persoalan ketenagakerjaan, peraturan per UU an yang bisa dibilang cukup major adalah
Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. UU ini mengatur perlindungan hak
dan kewajiban antara Pengusaha dan Pekerja. Ruang lingkup dari UU 13/2003 adalah tidak
hanya pada saat hubungan kerja terjadi melainkan masa sebelum kerja, masa kerja dan masa
setelah kerja. Didalamnya mengatur tentang kesempatan kerja bagi tenaga kerja, pelatihan kerja,
hubungan kerja, pemutusan tenaga kerja dan seterusnya. Namun pada dasarnya ketentuan-
ketentuan tersebut tentu tidak bisa diterapkan begitu saja di tingkat Perusahaan karena sifatnya
yang begitu umum dan tidak dapat mengatur hal-hal yang terlampau teknis detail pelaksanaan.
Ketentuan-ketentuan lebih detail yang sifatnya umum tersebut di terbitkan lagi dalam peraturan
pelaksana.

Peraturan per UU an yang menyangkut ketenagakerjaan terlampau banyak untuk dibahas satu
persatu disini, lihat list beberapa Peraturan Per UU an yang berkaitan dengan masalah
ketenagakerjaan: http://www.box.net/shared/0kyrr4hguk

PERJANJIAN KERJA BERSAMA


Menurut definisinya, unsur-unsur dari Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut PKB) adalah:
1. Perjanjian,
2. Hasil perundingan,
3. Antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
4. Dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha
5. Yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Karena sifatnya yang perjanjian, maka PKB adalah suatu kesepakatan yang didalamnya ada lebih
dari satu pihak sebagai pembuatnya. Hal inilah yang membuat kedudukan PKB lebih tinggi dari
pada PP atau peraturan perusahaan yang dibuat sepihak oleh perusahaan (walaupun harus tetap
mempertimbangkan saran dari wakil pekerja). Sebagaimana unsur-unsur tadi, Pihak-pihak yang
terlibat adalah Pihak serikat atau beberapa serikat dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Muatan dari PKB adalah syarat-syarat kerja yaitu hal-hal yang tidak diatur didalam Peraturan Per
UU an sebagaimana dijelaskan di atas. Pada prakteknya saya menemukan bahwa didalam PKB
sering juga dicantumkan hal-hal yang sebenarnya sudah diatur dalam peraturan per UU an. Ada
sisi positif dan negative dari hal ini.
Sisi positifnya:
1. Penegasan agar para pihak menjadi lebih aware akan peraturan tersebut,
2. Memudahkan karyawan yang membaca karena tidak perlu lagi membaca peraturan per UU
an, sedangkan PKB dibuat dalam buku saku yang dibawa kemana-mana.

Sisi negatifnya yaitu:


1. Secara teori tentu tidak sesuai karena pada dasarnya PKB hanya mengatur syarat kerja.
2. Terjadi pengulangan, artinya yang sudah ada di peraturan per-UU-an dicantumkan lagi di
PKB, padahal asasnya adalah setiap orang diasumsikan tahu mengenai Peraturan per-UU-
an.
3. Jika suatu waktu terjadi perubahan pada peraturan per-UU-an tersebut maka otomatis
harus dilakukan perubahan juga pada PKB karena sudah tidak relevan. Hal ini agak repot
dalam implementasinya.

Melihat dari sisi positif dan negatifnya tentu saya rasa jalan terbaiknya adalah mengikuti best
practice oriented mana yang dirasa nyaman oleh para pihak.

PKB adalah salah satu sarana dalam pelaksanaan hubungan Industrial di perusahaan (lihat Pasal
103 UU 13/2003). PKB dibuat untuk maksimal 2 tahun dan dapat diperpanjang selama 1 tahun.
Team perunding PKB adalah 9 orang dari masing-masing pihak baik wakil pekerja maupun wakil
pengusaha dengan kuasa penuh.

Proses pembuatan PKB secara umum biasanya dimulai dengan pertukaran draft dari pengusaha
dan dari Serikat Pekerja. Hal tersebut dilakukan sebelum dilakukan perundingan untuk member
kesempatan kepada para pihak mempelajari draft yang diberikan. Tahap perundingan PKB itu
sendiri dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Waktu yang dibutuhkan tergantung dari
substansi dari PKB itu sendiri. Semakin banyak perbedaan dari kedua pihak, semakin lama
perundingannya. Detail pembuatan PKB akan dijelaskan di artikel lain.

PERATURAN PERUSAHAAN
Menurut definisinya, unsur-unsur dari Peraturan Perusahaan (selanjutnya disebut PP) adalah:
1. Peraturan,
2. Dibuat secara tertulis,
3. Oleh Pengusaha,
4. Memuat syarat kerja

Berbeda dengan PKB yang sifatnya perjanjian, PP sifatnya adalah peraturan. Tentu sudah
seharusnya bahwa peraturan tidak dibuat berdasarkan kesepakatan melainkan oleh satu pihak
saja. Walaupun begitu dalam pembuatan PP tetap Pengusaha wajib memperhatikan saran dan
pertimbangan dari wakil Pekerja sesuai dengan Pasal 3 Kepmen 48 tahun 2004 .

Dengan adanya perbedaan yang mendasar antara PKB dan PP (red: antara perjanjian dan
peraturan) maka Peraturan pun memberikan perlakuan yang berbeda kepada keduanya. Jika kita
perhatikan tata cara pembuatannya, PKB yang sudah final harus didaftarkan sedangkan PP
yang sudah final harus disahkan (lihat pasal 112 dan 133 UU 13/2003 Jo Pasal 7 dan 26
Kepmen 48 tahun 2004) . Ini berarti peran atau intervensi dari Dinas terkait pada PP akan lebih
dalam dibanding PKB. Dalam proses pengesahan PP, tentu pihak Dinas terkait akan memastikan
bahwa setiap Pasal dalam PP sudah sesuai dengan peraturan per UU an yang berlaku.
Sedangkan dalam PKB, Dinas terkait hanya menerima pendaftarannya karena sekali lagi
ditegaskan bahwa PKB sifatnya adalah Perjanjian dan kita ketahui bahwa hakikatnya perjanjian
itu adalah privat sehingga tidak ada intervensi dari pihak luar walaupun itu adalah Pemerintah,
terkecuali dalam pelaksanaan dari PKB itu sendiri yang memuat semangat tripartit.

Sebagaimana halnya PKB, PP juga memuat syarat kerja. Dalam hal PP ingin mengatur hal-hal
yang tercantum dalam Peraturan per UU an sesuai dengan Pasal 2 ayat 3 pada Kepmen 48
Tahun 2004, maka muatannya haruslah lebih baik. Secara gramatikal berarti tidak boleh ada
pengulangan, kalaupun ada harus kualitas atau muatannya lebih baik.
Masa berlaku dari PP adalah paling lama 2 tahun dan setelah itu wajib di perbaharui. Dengan
keberadaan Peraturan Perusahaan, bukan tidak mungkin didalam suatu perusahaan diberlakukan
juga Perjanjian Kerja Bersama (lihat Pasal 111 ayat 4). Dan apabila keduanya memang
diberlakukan maka kedudukan yang lebih tinggi adalah PKB karena sifatnya yang perjanjian. Dan
seperti PKB, bahwasannya PP juga adalah salah satu sarana untuk pelaksanaan Hubungan
Industrial didalam Perusahaan.

PERJANJIAN KERJA
Perjanjian kerja adalah Perjanjian antara Pekerja dengan Pengusaha/Pemberi kerja yang memuat
syarat kerja, hak dan kewajiban.

Perjanjian Kerja (PK) berada di hirarki terbawah dalam struktur Peraturan di Perusahaan. Artinya
muatannya tidak boleh bertentangan dengan PP atau PKB namun tidak masalah jika muatannya
lebih baik. PK berada di hirarki yang terbawah karena para pihak yang membuatnya adalah
Pengusaha dengan Pekerja secara individual.

Syarat sah dari PK yang ditentukan oleh UU 13/2003 adalah diadopsi dari ketentuan 1320 BW.
Artinya syarat sah PK yaitu: sepakat, cakap, ada objek tertentu dan tidak bertentangan dengan
hukum atau kesusilaan.

UU 13/2003 membagi PK menjadi 2 jenis yaitu Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Untuk detailnya bias dilihat di Pasal 50 s/d 66 di
UU 13/2003.

Satu catatan mengenai hal ini yaitu tentang pasal 59 ayat 7 tentang berubahnya PKWT menjadi
PKWTT. Dalam pasal tersebut disebutkan bawah “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 4, ayat 5 dan ayat 6
maka demi hukum menjadi Perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.

Ayat ini dapat menimbulkan kerugian bagi pihak Pekerja karena berubahnya PKWT menjadi
PKWTT didalam pasal ini membutuhkan syarat akumulatif. Dengan kata lain, baru berubah
menjadi PKWTT apabila telah terlanggarnya semua ayat tersebut. Sehingga jika pengusaha baru
melanggar satu ayat atau beberapa saja maka tidak ada konsekuensi apapun baginya. Padahal
kesemua ayat yang disebutkan tadi memuat hal-hal yang sangat penting yaitu:
Pasal 7 ayat 1 à jenis pekerjaan untuk PKWT
Pasal 7 ayat 2 à bahwa PKWT tidak bisa untuk jenis pekerjaan yang sifatnya tetap
Pasal 7 ayat 4 à Jangka waktu PKWT
Pasal 7 ayat 5 à Prosedur perpanjangan PKWT
Pasal 7 ayat 6 à Pembaharuan PKWT

STANDARD OPERATION PROCEDURE (SOP)


Standard Operation Procedure atau disingkat SOP merupakan suatu aturan yang juga berlaku di
dalam lingkup Perusahaan. Masalah mengenai SOP memang tidak diatur dalam peraturan per
UU an namun menurut hemat saya SOP memiliki peran yang cukup penting untuk memastikan
bagaimana PKB atau PP atau PK diterapkan dengan baik. Artinya bahwa SOP adalah sebuah
peraturan pelaksana dan prosedur kerja dari ketiga hal tersebut (namun tidak terbatas sampai
disitu, karena SOP yang dibahas disini adalah SOP dalam arti sempit).

SOP memungkinkan agar sebuah proses bisa menjadi traceable (terlacak). Artinya ketika ada
suatu permasalahan maka dapat dicari dimana letak atau penyebab utamanya. Selain itu SOP
pun membuat suatu proses menjadi auditable dimana kita bisa melakukan audit atasnya untuk
memberikan perbaikan-perbaikan kedepannya. Dengan adanya SOP diharapkan Perusahaan
memiliki panduan atau guide dalam melaksanakan suatu proses dengan baik. Keberadaan SOP
pun didalam suatu perusahaan merupakan sebuah syarat dipenuhinya sertifikasi tertentu seperti
ISO.
Banyak saya temukan persepsi yang salah mengenai SOP baik itu dari sisi perusahaan maupun
dari pekerja atau serikat pekerja. Sering dikatakan bahwa SOP adalah peraturan perusahaan.
Jika kita berbicara mengenai hukum ketenagakerjaan, maka yang dimaksud adalah peraturan
perusahaan atau PP yaitu Peraturan Perusahaan sebagaimana Pasal 1 UU 13/2003 yaitu
Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh Pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja. Padahal
sebenarnya SOP adalah peraturan pelaksana atau prosedur kerja dari PP.

Jika kita menyamakan SOP dengan Peraturan Perusahaan (PP) otomatis pembuatan atau
perancangan beserta perubahan dari SOP akan mengikuti peraturan Kepmen 48 tahun 2004.
Padahal sekali lagi ditegaskan bahwa SOP itu adalah prosedur kerja dimana yang menentukan
adalah mutlak Pengusaha.

Yang menjadi masalah adalah ketika terjadi fenomena bahwa pelaksanaan SOP itu malah
merugikan Karyawan. Disisi lain SOP tersebut:
- Tidak bertentangan dengan PKB atau PP
- Pembuatannya mutlak sepihak pengusaha

Sehingga Pekerja berada dalam kedudukan yang lemah untuk menentang pemberlakuan SOP.
Inilah salah satu penyebab ditentangnya SOP, terutama yang berhubungan dengan masalah
Hubungan Industrial.

Sumber hukum:
UU. No. 13 Tahun 2003 : Ketenagakerjaan
KEPMEN No. 48 Tahun 2004
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan


Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial. Untuk pertama kali dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial
pada setiap Pengadilan Negeri di setiap ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi Propinsi
yang bersangkutan.

Yuridiksi Pengadilan Hubungan Industrial Perkara yang dapat ditangani oleh Pengadilan
Hubungan Industrial adalah: Pada tingkat pertama Pengadilan Hubungan Industrial:
- Perselisihan Hak dan Perselisihan pemutusan hubungan kerja Pada tingkat pertama dan
terakhir:
- Perselisihan kepentingan dan Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.

Susunan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial


1. Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
a. Hakim c. Panitera Muda, da
b. Hakim Ad-Hoc’ d. Panitera pengganti
2. Susunan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Mahkamah Agung Terdiri Dari:
a. Hakim Agung
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung dan
c. Panitera Pengangkatan Dan Pemberitahuan Hakim Ad-Hoc Hakim

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung. Untuk pertama kalinya pengangkatan hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang masing-
masing dari unsur organisasi pengusaha dan pekerja/buruh.

Hakim Ad-Hoc berasal dari organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh. Sebelum
diusulkan oleh Mahkamah Agung kepada Presiden harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab dibanding ketenagakerjaan.

Syarat-syarat Hakim Ad-Hoc :


- Warga Negara Indonesia
- Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
- Berumur paling rendah 30 tahun
- Berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter
- Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
- Berpendidikan serendah-rendahnya S1 (Strata satu) kecuali bagi hakim Ad-Hoc pada
Mahkamah Agung berpendidikan Sarjana Hukum dan
- Berpengalaman di bidang hubungan industrial minimum 5 tahun

Larangan Merangkap Jabatan Agar Hakim Ad-Hoc dapat bekerja secara profesional, maka Hakim
Ad-Hoc dilarang merangkap jabatan. Larangan merangkap jabatan meliputi:
- Anggota Lembaga Tinggi Negara - Pengacara
- Kepala Daerah/ Kepala Wilayah - Mediator
- Anggota lembaga legislatif tingkat daerah - Konsiliator
- Anggota TNI/ POLRI - Arbiter
- Pegawai Negeri Sipil - Pengurus SP/SB atau pengurus
- Pengurus Partai Politik organisasi usaha
Pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hakim Ad-Hoc bukan hakim karir, dan oleh karena itu masa
jabatan dibatasi yaitu untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan. Disamping dibatasi oleh masa jabatan, Hakim Ad-Hoc dapat
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
- Meninggal dunia
- Permintaan sendiri
- Sakit jasmani atau rohani terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan
- Telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung

Hakim Ad-Hoc Mahkamah Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan
alasan:
- Tidak cakap dalam menjalankan tugas
- Penggantian anggota atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pengusaha atau
organisasi pekerja/buruh yang mengusulkan
- Telah selesai masa tugasnya

Hakim Ad-Hoc dapat pula diberhentikan secara tidak dengan hormat dari jabatan dengan alasan:
- Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
- Terus-menerus selama 3 (tiga) bulan melalaikan kewajibannya tanpa alasan yang sah
- Melanggar sumpah dan janji Pengawasan

Hakim Ad-Hoc Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Mahkamah Agung mengawasi pelaksanaan
tugas Hakim Ad-Hoc dan Hakim Ad-Hoc sesuai dengan kewenangannya. Pengawasan tidak
menghilangkan atau mengurang kebebasan Hakim Ad-Hoc dan Hakim Ad-Hoc di dalam
memeriksa dan memutus perkara. Pengawasan ditujukan agar Hakim Ad-Hoc dan Hakim Ad-Hoc
bekerja lebih profesional, jujur, dan adil. Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri
dan Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan teguran dan petunjuk.

Tidak Ada Upaya Banding Pada Pengadilan Tinggi Berbeda dengan perkara perdata dan perkara
pidana, dalam perkara perselisihan hubungan industrial tidak ada upaya banding. Hal ini
dimaksudkan agar perkara perselisihan hubungan industrial akan cepat memperoleh kekuatan
hukum tetap atau final. Upaya Kasasi Pada Mahkamah Agung Tidak semua perkara perselisihan
hubungan industrial yang diputus pada pengadilan tingkat pertama dapat diajukan kasasi pada
Mahkamah Agung.

Perkara yang dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung adalah sehubungan dengan
perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sedangkan untuk perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, apabila
telah diputus pada pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri, maka putusannya bersifat final dan tetap.

Hukum Acara Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum
Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Sidang Majelis Hakim Sidang majelis hakim
terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim dengan pertimbangan tertentu menyatakan sidang
tertutup. Majelis hakim terdiri atas 1 (satu) sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) Hakim Ad-Hoc
sebagai anggota majelis. Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan Majelis Hakim
oleh Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Hakim harus sudah menetapkan tanggal sidang. Dalam hal
pihak penggugat atau kuasanya setelah dipanggil secara patut tidak datang untuk sidang pertama
dan kedua maka gugatannya dapat dinyatakan gugur oleh Majelis Hakim, tetapi berhak
mengajukan kembali gugatannya. Apabila pihak tergugat atau kuasanya tidak hadir dalam sidang
pertama dan kedua, maka gugatan dapat diterima dan Majelis dapat memutus perkara
berdasarkan bukti yang ada. Pemanggilan Saksi Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi
ahli untuk hadir guna didengar keterangannya. Setiap orang yang dipanggil sebagai saksi
berkewajiban untuk memenuhi penggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah.
Disamping berwenang untuk memanggil saksi dan saksi ahli, Majelis Hakim guna penyelesaian
perselisihan berwenang pula untuk meminta keterangan dari siapapun tanpa syarat termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Pengambilan Putusan
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada,
kebiasaan dan rasa keadilan. Dalam memeriksa perkara perselisihan hubungan industrial Majelis
Hakim tidak hanya mempertimbangkan kebenaran formal tetapi harus pula mempertimbangkan
kebenaran kebenaran material. Majelis Hakim berkewajiban menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial paling lama 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal sidang pertama.
Putusan Majelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka. Putusan mempunyai kekuatan hukum
tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam tenggang waktu
14 (empat belas) hari kerja. Bagi pihak yang hadir pada sidang ketentuan mengenai tenggang
waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal sidang, sedangkan bagi pihak yang tidak
hadir dihitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putus. Permohonan kasasi harus sudah
disampaikan pada Mahkamah Agung paling lama 14 (empet belas) hari kerja sejak tanggal
permohonan kasasi.

Penyelesaian di Tingkat Kasasi Seperti halnya Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama,
Majelis Hakim pada Kasasi terdiri 1 (satu) orang Hakim Agung dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc.
Majelis hakim harus sudah memutuskan perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
kepentingan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.

PERLU UNDANG-UNDANG BARU PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di Perusahaan


Swasta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan. Undang-undang
yang baru diperlukan karena beberapa alasan :
Pertama: Sejak diberlakukannya Undang-Undang No 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, maka Putusan P4P yang semula bersifat final, menjadi dapat diajukan gugatan
pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang selanjutnya dapat dimohonkan
Kasasi pada Mahkamah Agung. Proses ini membutuhkan waktu relatif lama dan
karenanya tidak sesuai untuk diterapkan dalam kasus ketenagakerjaan yang
memerlukan penyelesaian yang cepat, karena berkaitan dengan proses produksi dan
hubungan kerja. P4D/P4P selama ini dikenal sebagai quasi-peradilan atau peradilan
semu. “Quasi” karena institusi ini bukan lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
dan “Peradilan” karena institusi ini mempunyai kewenangan “memutus” perkara-perkara
dalam hubungan industrial. Dalam kelembagaan P4D/P4P ini duduk wakil-wakil dari
Pemerintah, berdasarkan hal itu maka putusannya kemudian dikategorikan menjadi
putusan pejabat tata usaha negara, yang dapat menjadi objek Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Kedua: Adanya kewenangan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menunda atau
membatalkan putusan P4P atau biasa disebut hak Veto Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Hak Veto ini dianggap merupakan campur tangan pemerintah dan tidak
sesuai lagi dengan paradigma yang berkembang dalam masyarakat, dimana peran
pemerintah seharusnya sudah harus dikurangi. Ketiga: Undang-undang Nomor 22
Tahun 1957 mengatur bahwa hanya satu serikat pekerja yang dapat menjadi pihak
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dengan berlakunya Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang dijiwai oleh
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi yang telah diratifikasi oleh Indonesia maka terbuka kesempatan untuk
setiap pekerja/buruh membentuk/mengikuti organisasi yang disukainya.

Saat ini telah banyak serikat pekerja yang mandiri yang terdaftar menurut UU No. 21 tahun 2000.
Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 yang mensyaratkan pihak yang
berperkara harus satu serikat pekerja/serikat buruh, menjadi tidak sesuai dengan paradigma baru
di bidang HI mengenai kebebasan berseikat dam meningkatkan demikratisasi di tempat kerja.
Menurut UU No 22 tahun 1957 pekerja/buruh perseorangan hanya dapat ber”perkara” di hadapan
pengadilan umum dengan beracara secara perdata.

Você também pode gostar