Você está na página 1de 5

NAMA : HARDIYAN WAHYUDI

NPM : 1006816672

JURUSAN : S-1 EKSTENSI ADMINISTRASI FISKAL

TUGAS RESUME

ASPEK PERPAJAKAN ATAS INDUSTRI

Peran minyak dan gas bumi dalam pembangunan nasional tidak dapat dipungkiri
menjadi demikian penting sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan energi,
peningkatan ekonomi, dan pengembangan industri dalam negeri. Bentuk kerjasama
antara Pemerintah dengan pihak lain dalam eksploirasi dan eksploitasi minyak dan gas
bumimengunakan bentuk kerja sama Kontrak Production Sharing (kontrak bagi hasil).
Kontak Production Sharing merupakan suatu penggabungan usaha antara pemerintah
yang diwakili oleh Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas sebagai
Badan Hukum Milik Negara dengan perusahaan lainnya untuk mengeksploitasi minyak
dan gas bumi. Ciri yang menonjol dari Kontrak Production Sharing adalah manajemen
dan kepemilikan aset berada pada pemerintah yang diwakili oleh Badan Pelaksana Hulu
Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), serta yang dibagi adalah hasil produksi setelah
dikurangi biaya operasi. Pada mulanya jasa drilling didominasi oleh perusahaan asing
(foreign drilling company). Tapi semenjak dikeluarkannya Pedoman Tata Kerja Nomor:
07/PTK/VI/2004 tentang Pengelolaan Rantai Suplai Kontrak Kerja Sama oleh BP Migas,
perusahaan lokal (national drilling company) mulai bermunculan. Ketentuan mengenai
tata cara perhitungan dan pembayaran pajak penghasilan yang terhutang oleh kontraktor
yang mengadakan kontrak production sharing dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak
dan gas bumi diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 458/KMK.012/1984.

A. Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Semenjak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak


dan Gas Bumi kontrak kerja sama yang diberlakukan adalah kontrak Bagi Hasil. Jadi
mekanismenya yaitu kontraktor yang mempunyai minat atas suatu wilayah tertentu
mengajukan penawaran kepada Pemerintah melalui Pertamina (sesuai dengan wewenang
yang diberikan kepada Pertamina oleh UU No.8/1971, yang berdasarkan UU No.22/2001
kedudukannya digantikan oleh BP Migas). Apabila telah disetujui, kontraktor itu mulai
melakukan tahap eksplorasi. Semua biaya yang dikeluarkan dalam masa eksplorasi nanti
akan diperoleh kembali melalui mekanisme cost recovery pada saat mulai produksi.
Apabila biaya dalam masa eksplorasi telah fully recovered, minyak yang diproduksi
kemudian dibagi antara Pemerintah yang diwakili Pertamina (pasca UU 21/2001 diwakili
oleh BP Migas) dan kontraktor.

Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) memiliki karakterisitik sebagai


berikut:

- Kontraktor menanggung semua resiko


- Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun termasuk 6-10 tahun untuk eksplorasi

- Pertamina/BP Migas memiliki hak atas semua alat yg digunakan oleh Kontraktor

- Kontraktor diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri (Domestic Market
Obligation)

- Semua biaya ekplorasi, pengembangan, dan operasi ditanggung oleh Kontraktor dan akan di-
recover dari produksi.

Dalam kontrak bagi hasil tidak mengatur definisi penghasilan karena yang dibagi
adalah hasil produksi seperti yang ditetapkan dalam ketentuan kontrak. Ketentuan
penghasilan untuk badan usaha yang bergerak dalam Kegiatan Usaha Hulu minyak dan
gas bumi di Indonesia untuk Kontrak Bagi Hasil yang dtandatangani sebelm tahun 1983
didasarkan pada Pasal 4 (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267 Tahun 1978 ang
mengatur bahwa pendapatan kotor adalah nilai uang yang direalisir oleh kontraktor dari
produksi bagiannya yang terjual, yang diperoleh dari:

- Minyak da/atau gas bagi pengembalian biaya produksi


- Minyak dan/atau gas yang menjadi bagian Kontraktor (contractor’s equity)
- Minyak tambahan, jika ada, yang diberikan kepada kontraktor dalam rangka pemberian
investment credit/allowance atau karena hal lain

- Minyak dan/atau gas bagian PERTAMINA yang terjual atau dijualkan oleh kontraktor
dikurangi nilai realisasi yang dibayarkan kepada PERTAMINA.

Dengan diterbitkannya Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1983, maka


untuk Production Sharing Contract yang ditandatangani setelah tahun 1983 definisi
penghasilan berdasarkan pada pasal 5 (2) keputusan Menteri Keuangan Nomor 458
Tahun 1984 bahwa penghasilan bruto ialah nilai uang yang direalisir Kontraktor dari
produksi bagiannya yang terjual.

Dampak perubahan tarif pajak

Tarif pajak

pre-1984 1984 1991 1994 2001

Corporate tax 45% 35% 35% 30% 30%

Deviden tax (20%) 11% 13% 13% 14% 14%

Total Income Tax 56% 48% 48% 44% 44%

Production sharing

Production sharing pre-1984 1984 1991 1994 2001

Government share 65,91% 71,15% 71,28% 73,22% 73,22%

Contractor share 34,09% 28,85% 28,85% 26,78% 26,78%


B. Aspek Perpajakan

Seperti telah dikemukan di atas, khusus bagi Foreign Drilling Company (FDC),
guna menghitung penghasilan kena pajak, dilakukan dengan menggunakan Norma
Perhitungan Khusus sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 628/KMK.04/1991 Tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Netto Bagi
Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Kegiatan Usaha Di Bidang Pengeboran Minyak
Dan Gas Bumi Serta Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Oleh Wajib
Pajak Sendiri, untuk menentukan Penghasilan Neto (deem profit) sebesar 15% dari
penghasilan bruto. Atas penghasilan neto tersebut, Foreign Drilling Company (FDC)
dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan Pasal 17. Demikian juga dengan angsuran pajak Penghasilan
Pasal 25. bagi FDC, penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dibayarkan
setiap bulannya dilakukan dengan langkah berikut:

- Menghitung PPh terutang dengan mengalikan tarif pajak progresif sesuai Pasal 17 Undang-
undang ajak Penghasilan dengan penghasilan kena pajak yang dihitung dengan meggunakan
Norma Penghitungan Khusus untuk menentukan Penghasilan neto dan kemudian Ph terutang
disetahunkan dan dibagi 12 (dua belas).
- Apabila FDC memperoleh penghasilan lainnya selain dari usaha pengeboran maka
penghasilan kena pajak terdiri atas penghasilan dari usaha pengeboran dikalikan dengan
Norma Penghitungan Khusus untuk menentukan Penghasilan Neto dan Penghasilan neto
dari kegiatan usaha lainnya.

Dalam Pasal 16 Undang-undang Pajak penghasilan, penghasilan kena pajak


dihasilkan dari peredaran bruto setelah dikurangi biaya-biaya yang dapat dikurangkan
(deductible expenses) dan kerugian yang dapat dikompensasikan (loss carryforwards).
Bagi NDC, penghasilan dari kegiatan pengeboran merupakan objek pemotongan PPh
pasal 23 dan dikenakan tarif 15% dari perkiraan penghasilan neto sebesar 40% dari
penghasilan bruto. Dan merupakan pembayaran Ph dimuka yang dapat dikreditkan atas
PPh yang terutan di akhir tahun.

Berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No 10Tahun 2000, Pasal 33
(3) disebutkan Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang
pertambangan migas sehubungan dengan kontrak bagi hasil, dikenakan pajak berdasarkan
Ordonansi PPs 1925 dan PBDR 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya. Dan
dalam Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang No 10 Tahun 2000, Pasal 33 A ayat (4) UU
Pajak Penghasilan 1994 disebutkan bahwa Wajib Pajak yang menjalankan usaha di
bidang pertambangan migas berdasarkan kontrak bagi hasil yang masih berlaku pada saat
berlakunya undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak
bagi hasil tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak dimaksud.

Tapi semenjak diterbitkannya Surat Menteri Keuangan Nomor: S-


443a/MK.012/1982 Tentang interpretasi dari Kepmen 267/KMK.012/1978, sejak 1978,
Kontrantor Production Sharing membayar sendiri PPh terutang. Hal ini dikenal sebagai
“Uniformity Principle” di mana biaya-biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak
harus diartikan sama dengan biaya yang dihitung berdasarkan Kontrak PSC.

Sumber : http://rubahpertapa.wordpress.com/2010/02/19/aspek-perpajakan-pada-industri-
pengeboran-migas-dan-kontrak-bagi-hasil/

Você também pode gostar