Você está na página 1de 16

ARTIKEL

Pengawasan Ketenagakerjaan Ditingkatkan

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi meningkatkan pengawasan


ketenagakerjaan. Ini bisa dilihat sejak Agustus 2009 sampai sekarang sebanyak 96
kasus pelanggaran norma ketenaga-kerjaan sedang diproses di pengadilan.
Laporan khusus kali ini yang ditulis wartawan SP Siprianus Edi Hardum
membeberkan segala aspek pengawasan ketenagakerjaan sesuai peraturan yang
berlaku.

Direktur Utama PT Starindo Prima, Johan Indayung (30), dan Direktur Utama PT
Sahabat Kayu Indah Tanjung Morawa, Zamar (48), awal Agustus 2009,
dihadapkan ke meja hijau. Dua perusahaan ini bergerak dalam industri perkayuan.

Dua pengusaha ini dihadapkan ke meja hijau oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang, PPNS
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) bersama Kejaksaan
Negeri Deliserdang. Johan Indayung didakwa tidak membayar upah dan
menghalang-halangi buruh untuk berserikat. Ia dijerat dengan Pasal 93 Ayat 2
huruf d UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 143 Ayat 2
KUHP.

Sedangkan, Zamar didakwa melanggar Pasal 93 Ayat 2 huruf d UU Nomor


13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia didakwa dengan pasal tersebut, karena tidak
membayar upah buruh karena para buruh mengikuti pemilihan kepala daerah
Sumut beberapa waktu sebelumnya. Ketika para buruh menuntut, Zamar malah
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kasus kedua pengusaha ini masih
diproses di Pengadilan Tinggi Medan.

Dua pengusaha di atas merupakan sebagian kecil dari sekian banyak pengusaha
(perusahaan) dihadapkan ke meja hijau oleh PPNS, baik PPNS pemerintah daerah
maupun PPNS dari Kemnakertrans. "Yang sering menjadi persoalan adalah di
pengadilan para pengusaha yang terbukti bersalah ini menurut kita, dihukum

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 1


ringan bahkan tidak sedikit yang diputuskan bebas oleh hakim. Ini merupakan
wewenang hakim. Biarlah masyarakat yang menilai hakim-hakim seperti ini,"
kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, baru-baru ini.

Muhaimin mengatakan, sejak Agustus 2009 sampai sekarang, setidaknya


sebanyak 96 kasus pelanggaran norma ketenagakerjaan sedang diproses di
pengadilan.

Muhaimin mengatakan, keseriusan Kemnakertrans untuk miningkatkan


penegakan hukum terhadap pelanggaran norma ketenagakerjaan juga dapat dilihat
dari pembentukan Direktorat Bina Penegakan Hukum di Direktorat Jenderal
(Dirjen) Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan (Binwasnaker).
Pengawasan dilakukan untuk meningkatkan perlindungan hak-hak dasar pekerja
yang meliputi norma upah, norma Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek),
norma waktu kerja, norma anak dan perempuan serta norma keselamatan dan
kesehatan kerja (K3).

Pemerintah menunjuk PT Jamsostek sebagai Badan Penyelenggara Program


Jaminan Sosial Tenaga Kerja melalui Peraturan Pemerintah Nonor 36 Tahun
1995. Program Jamsostek wajib diikuti oleh setiap perusahaan (BUMN, joint
venture, PMA), yayasan, koperasi, perusahaan perorangan yang mempekerjakan
tenaga kerja paling sedikit 10 orang atau membayar seluruh upah per bulan paling
sedikit Rp 1.000.000 atau lebih.

Program Jamsostek kepesertaannya diatur secara wajib melalui UU 3 / 1992


tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Adapun, program Jamsostek
terdiri dari Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian, dan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

"Peserta Jamsostek yang aktif bergabung ini hanya sekitar 9% dari jumlah tenaga
kerja aktif sekitar 30 juta pekerja," kata Dirut Jamsostek Hotbonar Sinaga.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 2


Kecelakaan Kerja

Menurut Dirjen Binwasnaker, I Gusti Made Arka, mulai tahun 2010,


Kemnakertrans, melalukan penarikan pekerja anak dari pekerjaan terburuk di
perusahaan-perusahaan. Hal ini dilakukan untuk mendukung program keluarga
harapan (PKH) yang telah ditetapkan menjadi prioritas nasional melalui program
terpadu bersama Kementerian Pendidikan Nasional, Bappenas, Kementerian
Sosial, dan instansi swasta lainnya, dalam rangka memfasilitasi pekerja anak ke
bangku pendidikan formal dan pelatihan keterampilan.

Sejak tahun 2008 sampai sekarang, kata Arka, jumlah pekerja anak yang ditarik
dan difasilitasi ke bangku sekolah formal dan tempat pendidikan keterampilan
sebanyak 3.000 setiap tahun. Untuk tahun 2010 penarikan pekerja anak dilakukan
di 13 provinsi dan 50 kabupaten/kota untuk 3.000 pekerja anak.

Data Kemnakertrans menyebutkan, sektor konstruksi berada pada daftar teratas


tingkat kecelakaan kerja secara nasional, yakni 32% dari seluruh kecelakaan kerja
yang terjadi pada 2008 sebanyak 58.600 kasus. Angka kecelakaan kerja sektor
konstruksi yang cukup besar itu hanya mempekerjakaan kurang lebih 4,5 juta
orang pekerja atau hanya sebesar 5% dari jumlah pekerja secara nasional.

Sementara Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N),


Harjono mengatakan, pada 2008 setiap 100.000 orang pekerja, yang meninggal
karena kecelakaan industri ada 14 orang dan sembilan orang mengalami kematian
akibat kecelakaan lalu lintas dari rumah ke kantor atau sebaliknya. "Di Malaysia,
kecelakaan kerja yang dialami pekerja di jalan raya dari rumah ke kantor atau
sebaliknya hanya enam orang dan di Thailand hanya enam orang," kata Harjono.

Tak Ada Jalur

Menurut Muhaimin, beberapa kendala yang dihadapi pemerintah dalam upaya


revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan adalah, pertama, masih terbatasnya
kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan. Untuk mengawasi sekitar

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 3


207.813 perusahaan dibutuhkan 3.463 orang pengawas, namun yang tersedia
hanya 2.089 orang pengawas.

Kedua, adalah tidak terdapat jalur instruktif ke daerah yang berakibat pelaksanaan
pengawasan ketenagakerjaan di masing-masing provinsi, kabupaten dan kota,
berbeda-beda. Pemerintah pusat tidak dapat mengatur posisi penempatan
pengawas ketenagakerjaan walaupun seorang pengawas ketenagakerjaan ditunjuk
dan diberhentikan oleh Menakertrans, karena status kepegawaian pengawas
adalah pegawai daerah.

Ketiga, terjadi disfungsi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan. Kondisi


tersebut diperburuk dengan adanya penempatan pengawas ketenagakerjaan di luar
unit pengawasan ketenagakerjaan, dan sebaliknya pegawai yang bukan pengawas
ketenagakerjaan ditempatkan pada unit pengawasan yang bukan kompetensinya.
Akibatnya, sistem manajemen pengawasn ketenagakerjaan tidak berjalan secara
optimal baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengendaliannya.

Oleh karena itu, ke depan, kata Muhaimin, pihaknya terus berkoordinasi dengan
pemerintah daerah, melakukan pengawasan terhadap semua perusahaan.
Penyelegaraan pengawasan ketenagakerjaan akan ditingkatkan melalui formula
konsultatif dengan perusahaan-perusahaan.

Untuk menambah kekurangan pegawai pengawas, kata dia, sekarang beberapa


gubernur/bupati dan wali kota telah berkomitmen untuk menambah pegawai
pengawas melalui diklat biaya APBD, seperti yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Sumatera Selatan,
Kepulauan Riau, Kabupaten Bekasi (Jawa Barat), Kabupaten Sidoarjo, Malang,
dan Pasuruan (Jawa Timur) serta menyusul provinsi lainnya, seperti Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, Sumatrera Utara, Maluku, dan Jawa Tengah.

Sedangkan untuk menurunkan angka kecelakaan kerja sebesar 50% sampai zero
accident, Kemnakertrans melaksanakan tiga tahapan program kerja. Pertama
sosialisasi, aturan-aturan dan kewajiban bagi para pengelola. Kemudian, kedua,
adalah tahapan pembinaan dan peringatan. "Bila kedua hal itu telah dilakukan,

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 4


namun perusahaan tidak juga menaati peraturan K3 maka akan diambil
penindakan yang melibatkan aparat penegak hukum lainnya," tegas Muhaimin.

Menurut Muhaimin, upaya sosialiasi penerapan K3 harus melibatkan pekerja dan


masyarakat secara langsung. Agar pekerja sadar mengenai pentingnya
mengenakan peralatan pelindung diri, seperti helm, sepatu, dan sebagainya.
"Tujuan dasar dari K3 adalah mencegah atau mengurangi kecelakaan kerja,
penyakit akibat kerja dan terjadinya kejadian berbahaya lainnya. Dengan berbagai
upaya kita berharap tahun 2015 bisa terwujud Indonesia Berbudaya K3," katanya.

Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) Harjono


mengatakan, kecelakaan kerja tidak hanya membuat kerugian langsung, tapi juga
ada kerugian tidak langsung. "Kerugian langsung dan juga tidak langsung dari
kelalaian dalam menjaga keselamatan kerja sangat merugikan produktivitas
pekerja dan perusahaan," uajrnya.

Menurut Harjono, apabila program nasional tentang budaya K3 yang diintensifkan


mulai 2010 hingga 2014 dapat terealisasi, maka pada 2015 diprediksi sebanyak
Rp 50 triliun kerugian akibat kecelakaan kerja itu dapat terselamatkan.

Arka menambahkan, kebijakan revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan akan


dilaksanakan beberapa pilar pendekatan, yaitu, optimalisasi kapasitas perangkat
dan lembaga pengawasan ketenagakerjaan di pusat dan daerah. Optimalisasi
dukungan peran serta masyarakat, yaitu: pekerja, pengusaha, organisasi pekerja
organisasi pengusaha, organisasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat, serta masyarakat pada umumnya sebagai fungsi kontrol sosial untuk
mendukung pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan.

Optimalisasi dukungan pemerintah daerah, baik dalam bentuk dukungan


kebijakan maupun dukungan anggaran, untuk kelancaran pengawasan
ketenagakerjaan di daerah. Tahun 2010, kata Arka, beberapa provinsi telah
menganggarkan APBD untuk Diktat Pengawas Ketenagakerjaan seperti Provinsi
Jawa Barat sebanyak 90 orang, Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 25 orang, dan
Provinsi Kepulauan Riau sebanyak 30 orang.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 5


Muhaimin menambahkan, pada masa mendatang peranan pengawas
ketenagakerjaan memiliki peranan penting dalam skala nasional ataupun kerja
sama internasional. Hal ini terkait isu global bahwa perdagangan beberapa jenis
komoditi yang mensyarakatkan sertifikasi penerapan sertifikasi K3 di perusahaan.
"Penerapan labour standart yang ketat akan menjadi perthatian dalam kerja sama
perdagangan Internasional. "Hal ini seiring dengan komitmen internasional di
bidang K3 yang disepakati pada Konferensi ASEM tahun 2008 di Bali, di mana
Indonesia dan Singapura ditetapkan untuk menjadi project leader K3, " kata
Muhaimin.

Menurut Muhaimin, Kemnakertrans juga menggagas pada tahun 2015 Indonesia


memasuki budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) mengubah pola
masyarakat terutama masyarakat industri dari unsafety behavior menjadi safety
behavior. Langkah yang telah diambil dengan menandatangani MoU antara
Menakertrans Muhaimin Iskandar dengan BP Migas dalam rangka penerapan
norma K3 di sektor Pertambangan.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 6


ANALISIS ARTIKEL

Artikel ini termasuk dalam materi Undang-Undang No 1 tahun 1970


Tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang No 13 tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Analisis artikel yang berjudul “Pengawasan Ketenagakerjaan
Ditingkatkan” adalah sebagai berikut:

Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan


upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan
budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian
secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha
mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses
produksi baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah
Indonesia merdeka menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja
yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja.
Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi
dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis
kecelakaannya. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang
dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-
pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU
No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja
atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat
dan martabat serta nilai-nilai agama.
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah
peraturan perundangan-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja
sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBl
No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi kemajuan dan
perkembangan yang ada.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 7


Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik
di  darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada
di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja
dimulai dari perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan,
pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan,
barang produk tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat
menimbulkan bahaya kecelakaan.
Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada
pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya
personil pengawasan, sumber daya manusia K3 serta sarana yang ada. Oleh
karena itu, masih diperlukan upaya untuk memberdayakan lembaga-lembaga K3
yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan kerjasama dengan mitra
sosial guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan
baik.

Berdasarkan artikel yang berjudul “Pengawasan Ketenagakerjaan


Ditingkatkan” dideskripsikan berbagai contoh kasus sejak Agustus 2009 sampai
sekarang sebanyak 96 kasus pelanggaran norma ketenagakerjaan sedang diproses
di pengadilan. Direktur Utama PT Starindo Prima, Johan Indayung (30), dan
Direktur Utama PT Sahabat Kayu Indah Tanjung Morawa, Zamar (48), awal
Agustus 2009, dihadapkan ke meja hijau. Dua perusahaan ini bergerak dalam
industri perkayuan.

Dua pengusaha ini dihadapkan ke meja hijau oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang,
PPNS Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) bersama
Kejaksaan Negeri Deliserdang. Johan Indayung didakwa tidak membayar upah
dan menghalang-halangi buruh untuk berserikat. Ia dijerat dengan Pasal 93 Ayat 2
huruf d UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 143 Ayat 2
KUHP.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 8


Sedangkan, Zamar didakwa melanggar Pasal 93 Ayat 2 huruf d UU Nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia didakwa dengan pasal tersebut, karena
tidak membayar upah buruh karena para buruh mengikuti pemilihan kepala daerah
Sumut beberapa waktu sebelumnya. Ketika para buruh menuntut, Zamar malah
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kasus kedua pengusaha ini masih
diproses di Pengadilan Tinggi Medan.

Menurut UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 186


disebutkan bahwa:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama
4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
Dua pengusaha di atas merupakan sebagian kecil dari sekian banyak
pengusaha (perusahaan) dihadapkan ke meja hijau oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS), baik PPNS pemerintah daerah maupun PPNS dari Kemnakertrans.
Oleh karena itu Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi meningkatkan
pengawasan ketenagakerjaan.
Keseriusan Kemnakertrans untuk meningkatkan penegakan hukum
terhadap pelanggaran norma ketenagakerjaan juga dapat dilihat dari penerapan
UU Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja terutama penerapan Bab IV
Pengawasan pasal 5 :
(1) Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini,
sedangkan para pegawai pengawas kerja ditugaskan menjalankan pengawasan
langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya.
(2) Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan
kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan
perundangan.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 9


Kemnakertrans membentuk Direktorat Bina Penegakan Hukum di
Direktorat Jenderal (Dirjen) Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan
(Binwasnaker). Pengawasan dilakukan untuk meningkatkan perlindungan hak-hak
dasar pekerja yang meliputi norma upah, norma Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
(Jamsostek), norma waktu kerja, norma anak dan perempuan serta norma
keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Banyak perusahaan di Indonesia, khususnya perusahaan menengah dan
kecil masih menilai program K3 merupakan beban yang harus dihindari karena
untuk menerapkannya dibutuhkan investasi yang tidak sedikit, sehingga sering
terjadi kecelakaan kerja yang kadang menyebabkan pekerja tewas. Jika terjadi
kasus kecelakaan kerja, terlebih hingga menyebabkan pekerja tewas akan
menimbulkan persoalan tidak hanya bagi keluarga pekerja tersebut tetapi juga
bagi perusahaan yang harus mengurus asuransi, ganti rugi dan juga harus
menghadapi tuntutan dari keluarga korban.
Padahal, kasus tersebut bisa dihindari jika perusahaan mau menerapkan
standar operasional prosedur dalam mempekerjakan para buruh dengan
memperhatikan K3. Pandangan bahwa kecelakaan kerja adalah suatu takdir dari
yang Maha Kuasa tidak sepenuhnya benar. Sekarang ini sudah banyak konsep
atau teori yang mengupas tentang masalah kecelakaan kerja. Di Indonesia, setiap
kejadian kecelakaan kerja wajib dilaporkan kepada Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Kemenakertrans) selambat- lambatnya 2 (dua) x 24 jam setelah
kecelakaan tersebut terjadi. Ada dua undang-undang yang mewajibkan laporan itu
yakni, UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan UU No 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Kecelakaan kerja yang wajib dilaporkan adalah kecelakaan kerja yang
terjadi di tempat kerja maupun kecelakaan dalam perjalanan yang terkait dengan
hubungan kerja. Tujuan dari kewajiban melaporkan kecelakaan kerja agar pekerja
mendapatkan haknya dalam bentuk jaminan dan tunjangan. Kemudian agar dapat
dilakukan penyidikan dan penelitian serta analisis untuk mencegah terulangnya
kecelakaan serupa.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 10


Peran Pemerintah

Program K3 sebenarnya menguntungkan bagi perusahaan dan pekerja


namun masih banyak perusahaan yang belum menerapkannya karena
ketidaktahuan dan persoalan biaya. Untuk itulah, dibutuhkan peran pemerintah
yang lebih besar untuk menyosialisasikan K3 kepada perusahaan maupun pekerja.
Meski demikian sosialisasi yang saat ini gencar dilakukan ke berbagai kawasan
industri hanya akan mengatasi persoalan ketenagakerjaan dalam jangka pendek
karena suatu program yang dibuat terburu-buru dan instan tidak akan mencapai
hasil maksimal.
Pemerintah disarankan untuk mulai membangun kesadaran tentang
pentingnya K3 mulai dari dasar yakni pendidikan, caranya dengan memasukkan
program K3 dalam kurikulum pendidikan pada lembaga pendidikan tertentu.
Kemudian pemerintah juga harus tegas kepada perusahaan untuk menerapkan K3.
Pelatihan tentang K3 bagi perusahaan dan pekerja juga harus digencarkan agar
diperoleh pemahaman yang sama tentang pentingnya K3.
Untuk meningkatkan pelaksanaan program K3, maka fungsi pengawasan
harus juga ditingkatkan dan sudah saatnya pemerintah memasukkan unsur serikat
pekerja dalam fungsi pengawasan. Dengan adanya sinergi tersebut diyakini bisa
menekan angka kecelakaan kerja yang terjadi di Indonesia.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 11


UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT DENGAN ARTIKEL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003


TENTANG KETENAGAKERJAAN
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-
nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengupahan
Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha
wajib membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau
mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 12


d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan
kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h.pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan
pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
(satu) hari.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 13


(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama
4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1970


TENTANG KESELAMATAN KERJA

BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 5
1. Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini
sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan
menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini
dan membantu pelaksanaannya.
2. Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan
kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan
perundangan.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 14


BAB VII
KECELAKAAN
Pasal 11
1. Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat
kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga
Kerja.
2. Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud
dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 15


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Pengawasan Ketenagakerjaan Ditingkatkan. [serial online].


http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=1437. (diakses
pada tanggal 31 Maret 2011)

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Peraturan dan Perundang-undangan Hiperkes | 16

Você também pode gostar