Você está na página 1de 7

Nama : Meizard novaldi

NIM : 123100056

PANDANGAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di
antaranya:
• Kebebasan berbicara setiap warga negara.
• Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus
diganti.
• Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
• Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
• Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
• Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.

Pandangan Ulama tentang Demokrasi

Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham
demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi
adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung
sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang
berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja
bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak
terbatas pada para pendeta.

Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal.
Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi
kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar
demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya
menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah
kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual
yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich.

Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi
sebagai berikut:
- Tauhid sebagai landasan asasi.
- Kepatuhan pada hukum.
- Toleransi sesama warga.
- Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
- Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.Muhammad Imarah

Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak.
Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di
tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah.
Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan
merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang
tidak diatur oleh ketentuan Allah.

Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang
memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang
batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya.
Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif.

Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-
A’râf: 54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal
lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi
pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:

 Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh
akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak
seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.

 Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan
amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari
ajaran Islam.

 Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan
suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.

 Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip
Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai
kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika
suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar
mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam
masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak
bertentangan dengan nash syariat secara tegas.

 Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan
sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi


Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat
sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama
tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas
yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia
menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:

 menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.


 Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.

 Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran
dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).

 Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang
duduk di parlemen.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak
sepenuhnya sejalan dengan Islam.

Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol,
mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa
mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di
antaranya:

1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.

2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya

3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.

4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam
musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki
untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-
bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu
dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.

5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah
ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.

6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.

7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:

 Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam
sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.

 Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam
yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Kajian Konsep dan Historisitas
Islam dan Hak Asasi Manusia
Cara pandang Islam terhadap HAM tidak terelepas dari cara pandangnya terhadap status
dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat (Q.S. Al-Israa’/17 :70), (Q.S.
Al-Hijr/15 :28-29) dan fungsional (Q.S. Al-An’aam/6 :165) serta (Q.S. Al-Ahzab/33 :72). Dari
eksistensi ideal, manusia ditarik kepada kehidupan yang ideal, manusia ditarik pada kehidupan
yang riil (realitas empirik) agar ia dapat terpuji sebagai makhluk yang fungsional. Dalam kaitan
ini, ia disebut khalifah, dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, dan bukan sebagai
penguasa. Dalam satus terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai
kewajiban kepada Allah (karena itu, Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara
mematuhi hukum-hukumnya. Semua kewajiban itu merupakan amanah yang diemban (Q.S. Al-
Ahzab/33 :72), sebagai realisasi perjanjiannya dengan Allah pada awal mula penciptaannya (Q.S.
At-Taubah/9 :111).
Walaupun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban kepada penciptanya, namun
kewajiban-kewajiban ini pada gilirannya menimbulkan segala hak yang berkaitan dengan
hubungan antar sesama manusia. Kewajiban bertauhid (mengesakan Allah), misalnya, bila
dilaksanakan dengan benar, akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan
hubungan antar sesama manusia, seperti hak perasamaan, hak kebebasan dan memperoleh
keadilan. Seorang manusia mengakui hak-hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban
yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu, Islam memandang hak
asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris, tetapi
bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan).Penghargaan kepada hak asasi
manusi, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan yaitu kesadaran
kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah ini kami mencoba memaparkan konsep dasar
HAM dalam Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis .
Pandangan Al-Qur'an.
HAM yang dijamin oleh Islam seperti yang diatur dalam al-Qur'an sebagai sumber dan
dasar ajaran Islam bagi manusia. HAM dasar terdapat dalam al-Quran terdiri dari :
a) Hak atas keselamatan jiwa. Dalam Islam jiwa seseorang sangat dihormati dan
keberadaannya harus dipelihara (hifd al-nafs), sebagaiman firman Allah dalam al-Qur'an
Surat (Q.S Al-Isra'/15 :33) yaitu membunuh orang hanya dibolehkan karena ada alasan
yang benar, misalnya qishas bagi orang yang terbukti membunuh orang lain dengan
sengaja.
b) Pengamanan hak milik pribadi (Q.S. Al-Baqarah/2 :181).
c) Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi (Q.S. An-nur/24 :27)
d) Hak untuk memperoleh keadilan hukum (Q.S. :)
e) Hak untuk menolak kezhaliman (Q.S. An-Nisa'/4 :148)
f) Hak untuk melakukan al-amru bi al-ma'ruf wa al-nahyu 'an al-munkar, yang didalamnya
juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan kritik (Q.S. Al-A'raf/7 :165 dan Q.S. Al-
Baqarah/2 :110).
g) Kebebasan berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan berkumpul ini
berkaitan dengan hak asasi pada huruf (f), yakni tujuan untuk menegakkan yang ma'ruf
dan mencegah yang munkar.
h) Hak keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat al-Qur'an yang melarang
pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya adalah (Q.S. Ali
Imran/3 :100 ).
i) Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang dilakukannya.
Dengan kata lain seorang harus dianggap tidak bersalah, jika ia belum terbukti
melakukan kejahatan.
j) Hak memperoleh perlakuan yang sama dari negara dan tidak melebihkan seseorang atas
orang lain (Q.S. Al-Qashash/28 :4).

Implementasi HAM dalam Islam.


Ajaran Islam tentang HAM di atas telah diaktualisasikan dalam kehidupan bermasayarakat
pada zaman Nabi Muhammad saw dan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama) seperti
tersirat dalam beberapa Sunnah dan tradisi sahabat berikut ini.
1. Petuah Rasulullah SAW kepada seorang wanita yang datang berkonsultasi kepadanya atas
anjuran Usamah :
"Dari Urwah, dari 'Aisyah yang mengatakan bahwa Usamah suatu saat menganjurkan
kepada seorang wanita untuk datang kepada Nabi. Nabi berkata, 'berapa bangsa
sebelummu telah dihancurkan, karena mereka menjatuhkan hukuman kepada
masyarakat kelas bawah, tetapi tidak menghukum anggota masyarakat kelas atas (pada
waktu mereka melakukan tindak kejahatan). Demi Tuhan yang ditangan-Nya terletak
kehidupanku, andaikata anak perempuanku Fatimah melakukannya, tentu saya potong
tangannya'."
2. Persetujuan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya:
"Dalam peristiwa perang badar, Nabi memilih suatu tempat khusus yang dianggap
pantas untuk menyerang musuh. Salah seorang sahabatnya, Hubab bin Mandhar,
bertanya kepada Nabi, apakah yang menyebabkannya memilih tempat khusus itu
karena berasal dari wahyu Tuhan. Nabi menjawab tidak. Dengan ucapan itu Hubab bin
Mandhar lantas mengajukan suatu tempat alternatif untuk memberikan serangan
terhadap musuh, karena menurut anggapannya, tempat itu secara strategis lebih baik
tempatnya. Nabi menyetujuinya"
3. Perjanjian Rasulullah dengan golongan Kristen Najran :
"Dari Muhammad Sang Nabi kepada Abu Harist, uskup Najran, pendeta-pendeta,
rahib-rahib, orang-orang yang hidup di gereja-gereja mereka dan budak-budak mereka;
semunya akan berada dibawah lindungan Allah dan nabinya; tidak ada uskup yang
diberhentikan dari keuskupannya, tidak ada rahib yang yang akan diberhentikan dari
biaranya dan tidak ada pendeta yang akan diberhentikan dari posnya, dan tidak akan
terjadi perubahan dalam hak-hak yang mereka telah nikmati sejak lama.
4. Pesan Khalifah Abu Bakar ketika mengirim ekspedisi pertama ke negri Syam:
"Hendaklah kamu bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kamu ikrarkan.
Jangan memenggal seseorangpun. Jangan bunuh anak-anak, laki-laki dan perempuan.
atau membakar pohon-pohon kurma, dan jangan tebang pohon-pohon yang
menghasilkan buah-buahan. Jangan bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta,
kecuali untuk sekedar dimakan. Mungkin sekali kamu akan bertemu dengan orang-
orang yang telah mengundurkan diri ke dalam biara-biara, maka biarkan mereka dan
kegiatan mereka dalam keadaan yang damai."
5. Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang termaktub di dalam Piagam Nabi (Kitab an-Nabi)
yang oleh beberapa ahli hukum tata Negara dianggap sebagai konstitusi tertulis
pertama di dunia yakni dokumen historis tentang aturan-aturan dasar penyelenggraan
Madinah sebagai sebuah komunitas dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Ketika hijrah ke Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah, penduduk kota itu tidaklah
homogen. Paling tidak terdapat kelompok kaum muslimin, yang terdiri dari dua bagian,
yakni Muhajirin dan Anshar, kelompok keagamaan Yahudi dan kelompok masyarakat
Arab yang menganut Paganisme.
Setibanya di Yatsrib, Nabi segera mengadakan fakta kesepakatan bersama dengan
kelompok-kelompok masyarakat yang hetrogen itu untuk menyatukan mereka ke
dalam komunitas baru, yang dinamakan dengan Madinah. Sekarang setelah beberapa
serjana melakukan studi yang mendalam terhadap teks ini, mereka dengan mudah
mensistematikan piagam ini menjadi 10 Bab dan 47 Pasal, yang di dalamnya memuat
rumusan-rumusan penting tentang hak asasi manusia.
Penegasan yang terpenting yang termaktub dalam Piagam Madinah yaitu pengakuan
terhadap pluralitas masyarakat, yang dalam hak-hak dan kewajiban adalah sama tanpa
membedakan asal-usul agama. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki otonomi ke
dalam, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan hubungan ke luar yang
harus dilakukan atas nama Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw sebagai
kesatuan komunitas. Nabi Muhammad diangkat sebagai pemimpin komunitas ini,
tetapi beliau tidaklah menjadi seorang autokrat karena hukum Tuhan diatas segala-
galanya dan setiap pengambilan keputusan dilakukan dengan prinsip musyawarah.
Karena masyarakatnya sangat majemuk, maka dalam komunitas Madinah diberlakukan
berbagai subsistem hukum. Dalam arti kaum muslimin tunduk kepada hukum Islam,
sementara kaum Yahudi tunduk kepada hukum Taurat dan penganut paganisme tunduk
kepada hukum adat mereka.
Kebebasan menjalankan ibadah keagamaan dengan sendirinya dijamin dalam teks
Piagam Madinah. Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya Islam menegaskan bahwa
keyakinan keagamaan tidak dapat dipaksakan terhadap seseorang, meskipun dakwah
wajib dijalankan. Hak milik, hak kebebasan pribadi, hak untuk mendapat jaminan
keselamatan pribadi dan kelompok semuanya dijamin dalam piagam, demikian pula
hak untuk ikut serta dalam pembelaan komunitas, jika diserang oleh kelompok
diluarnya. Dengan demikian, partisipasi dalam penyelenggaraaan kehidupan ekonomi,
sosial dan politik terbuka bagi semua orang.
Kebanyakan kaum Muslimin merasakan akibat penerapan standar ganda dibidang hak asasi
manusia, sejak terjadinya peristiwa yang disebut sebagai serangan kaum teroris terhadap gedung
World Trade Center di New York pada tanggal 11 September 2001. Kita dapat memahami
penegasan berbagai pihak bahwa perang melawan teroris bukanlah ditujukan kepada kaum
Muslimin, karena terorisme dapat dilakukan oleh pemeluk agama apa saja di muka bumi ini.
Namun akses negatif terhadap perang terhadap terorisme yang dirancang Amerika Serikat itu
kini lebih banyak dirasakan oleh kaum Muslimin dibandingkan dengan pemeluk agama lain.
Akibatnya, tidak jarang hak asasi manusia mereka abaikan, bahkan dilanggar secara sewenang-
wenang. Berbagai bentuk sikap prejudis, rasialis, xenophobia dan Islamophobia kini seakan-
akan muncul lagi dalam percaturan politik antar bangsa. Fenomena ini sangat ironis terjadi di
tengah abad yang justru di awal kelahirannya memberikan banyak harapan terhadap
penghormatan dan penegakan hak asasi manusia. Dominasi pemberitaan media massa sering
pula dimanfaatkan untuk membangun persepsi buruk terhadap umat Islam yang tidak berdaya
melakukan bantahan dan klarisifikasi atas berita-berita seperti itu.
Bagi kita Muslimin Indonesia, adalah tugas dan kewajiban kita untuk menunjukkan
kepada dunia, bahwa Islam adalah cinta damai dan agama yang menghormati hak asasi manusia,
betapapun kini kita menghadapi kenyataan-kenyataan pahit yang menyesakkan dada. Kita
berkewajiban merealisasikan apa yang ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa "kalian adalah sebaik-
baik umat (khairah ummah) yang kami tonjolkan kepada semua umat manusia karena kalian
selalu mengajak manusia kerah kebaikan dan mencegah kemungkaran dan kalian beriman
kepada Allah’ (Q.S Ali Imran : 110). Perjuangan kerah itu memang tidak mudah, panjang dan
berliku-liku. Namun kaum Muslimin tetap tidak boleh putus asa menghadapi segala kenyataan.
Di awal tahun baru ini, masih ada secerca harapan untuk membangun hari depan yang lebih baik.
Penutup.
Hak-hak asasi manusia memperoleh landasan dalam Islam melalui ajarannya yang paling
utama, yaitu Tauhid (mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam Islam lebih
dipandang dalam perspektif theosentris. Walau demikian, ajaran tauhid tersebut berimplikasi
pada keharusan prinsip persamaan, persaudaraan dan keadilan antar sesama manusia, dan prinsip
kebebasan manusia. Prinsip tersebut telah menjadi landasan bagi pembentukan peradaban
masyarakat Muslim awal, sehingga menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan barat.
Wallu a'lam bi al-shawab.

Você também pode gostar