Você está na página 1de 8

PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA

“THE NEXT LOST GENERATION”


Oleh : Sugeng Iwan*

Pendahuluan

Meningkatnya kasus gizi buruk akhir-akhir ini merupakan salah satu


indikator bahwa kehidupan masyarakat semakin sulit. Ketersediaan bahan
pangan, kondisi lingkungan yang jelek, tingkat pengetahuan yang rendah dan
merebaknya berbagai penyakit infeksi merupakan faktor yang utama yang
bisa mengakibatkan munculnya kondisi ini. Secara alamiah bayi dan anak
balita sebagai salah satu kelompok rawan akan menjadi korban pertama jika
faktor-faktor penyebab diatas muncul.

Ketersediaan bahan pangan bagi keluarga atau kemampuan keluarga


dalam mendapatkan bahan pangan mempunyai pengaruh besar terhadap
munculnya kasus gizi buruk. Namun hal ini tidak terlepas dari kondisi
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, yang pada akhirnya akan
menurunkan daya beli masyarakat.

Kasus Gizi buruk banyak ditemui pada masyarakat golongan miskin,


dimana mereka biasanya hidup di daerah kantong-kantong kemiskinan seperti
daerah-daerah kumuh di kota-kota besar dengan kepadatan penduduk yang
tinggi dan kondisi lingkungan yang jelek. Sementara di daerah pedesaan
biasanya kasus gizi buruk terjadi di daerah yang tandus pada saat musim
kering atau musim paceklik karena musim kemarau ataupun karena adanya
bencana alam.

Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu juga berperanan


menyebabkan munculnya kasus gizi buruk ini. Tidak jarang kasus ini muncul
pada keluarga dengan tingkat ekonomi yang baik. Rendahnya pengetahuan
gizi dan kualitas pengasuhan anak bisa menjadi faktor penyebab yang
dominan. Kebiasaan memberi makanan pendamping ASI yang terlalu dini
dan pemilihan bahan makanan yang sesuai bagi bayi dan balita akan
mengakibatkan anak-anak akan kekurangan gizi dalam jangka waktu yang
lama.

*Mahas iswa Program Pasc a Sarjana Univers it as Airlangga


Minat Promos i Kes ehatan dan Ilmu Perilak u
Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 1
“The Next Lost Generation”
Demikian pula dengan pola asuh balita yang dijumpai saat ini, tidak
jarang balita berada dibawah asuhan orang-orang yang tidak semestinya
seperti kakek atau nenek, saudara, kakak atau bahkan pembantu rumah
tangga yang kurang memahami dan mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan penyediaan makanan bagi bayi dan balita karena orang tua sibuk
bekerja.

Pada saat ini mengupayakan sumber daya manusia yang berkualitas


dikemudian hari mempunyai misi khusus. Hal ini berhubungan dengan akan
makin mengglobalnya keadaan, terutama pada era abad 21. Sumber daya
manusia yang berkualitas pada era ini berkonotasi bahwa mereka harus
mampu berkompetisi secara sehat dan benar di era perdagangan bebas.
Untuk itu selain iman dan takwa maka sikap profesional yaitu antara lain
kreatif, mandiri, dan mahir berkomunikasi merupakan sifat-sifat yang sejak
dini sudah harus ditanamkan atau diasahkan kepada anak-anak. Menurut
Schreiber, keberhasilan suatu bangsa 85 persen ditentukan oleh kualitas
personal manusianya, yaitu sikap mental positif, kreativitas, dan
kemandiriannya, sedangkan 15 persen ditentukan oleh kualitas teknis
manusianya.

Hasil pemantauan status gizi pada balita di Provinsi Jawa Timur pada
tahun 2005, dari 8012 balita yang disurvey terdapat 6,5% balita mengalami
Gizi Buruk dan 20% Gizi Kurang (WHO, 2007). Sementara itu gambaran
gangguan pertumbuhan balita di Jawa Timur hasil Pemantauan Status Gizi
tahun 2006 menunjukkan adanya peningkatan persentase balita yang
mengalami gangguan pertumbuhan seiring dengan bertambahnya umur balita.
Umur 0-5 bl 1,9%; 6-11 bl 7,8%; 12-23 bl 18,0%; 24-35 bl 22,2%; 36-47 bl
21,4% dan 48-59 bl 21,2%. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses
pengasuhan yang salah terhadap anak balita sejak kelahirannya. Tingginya
angka-angka kurang gizi tersebut selain karena faktor-faktor sosial ekonomi
dan faktor penyakit infeksi juga karena faktor yang berkaitan dengan pola
asuh anak balita, baik yang dilakukan oleh orang tua kandung, anggota
keluarga maupun pengasuh yang lain (Tuti Soenardi, 2006). Dengan kata
lain, pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak balita selain faktor gizi (Neti
Hernawati, 2003).

Artikel ini ingin menyoroti masalah gizi kurang pada bayi dan balita yang
belakangan ini kasusnya semakin meningkat seiring dengan semakin
memburuknya tingkat kehidupan ekonomi masyarakat. Selain itu kami juga
Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 2
“The Next Lost Generation”
ingin mengingatkan kembali peranan orang tua dan masyarakat dalam
mengasuh anak, yang dalam kondisi bagaimanapun anak tetap harus
mendapat perhatian dan dipersiapkan baik jasmani maupun rohani demi
kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Anak, dan Kebutuhan Untuk Tumbuh Kembang.

Anak adalah pewaris, penerus, dan calon pengemban bangsa. Secara


lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan penanaman modal sosial
ekonomi suatu bangsa. Dalam arti individual, anak bagi orang-tuanya
mempunyai nilai khusus yang penting pula. Dalam kedua aspek tersebut yang
diharapkan adalah agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya
sehingga kelak menjadi orang dewasa yang sehat secara fisis, mental, dan
psikososial sebagai sumber daya manusia yang berkualitas.

Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan kurun waktu yang


sangat penting dan kritis: tumbuh kembang fisik, mental, dan psikososial
berjalan demikian cepatnya sehingga keberhasilan tahun-tahun pertama
untuk sebagian besar menentukan hari depan anak. Kelainan/penyimpangan
apapun apabila tidak diintervensi secara dini dengan baik pada saatnya, dan
tidak terdeteksi secara nyata mendapatkan perawatan yang bersifat purna
yaitu promotif, preventif, dan rehabilitatif.

Telah diketahui bahwa periode balita merupakan periode kritis. Apabila


lingkungan menunjang maka anak tersebut akan mulus melalui periode kritis
ini dan ia bahkan mendapatkan nilai tambah, namun sebaliknya apabila
lingkungannya tidak mendukung maka tumbuh kembang anak akan
terhambat. Dengan berpandangan secara prospektif positif dapatlah
dikatakan bahwa periode kritis ini merupakan masa/tahun-tahun keemasan
dan dengan demikian sudah selayaknya dimanfaatkan secara maksimal, ia
memberikan peluang untuk optimalisasi tumbuh kembang serta peluang untuk
memperbaiki kerusakan yang terjadi sebelumnya.

Dengan mengacu kepada konsep dasar tumbuh kembang maka secara


konseptual pengasuhan adalah upaya dari lingkungan agar kebutuhan-
kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (’asah, asih, dan asuh’)
terpenuhi dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal. Namun praktiknya tidaklah sesederhana itu

Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 3


“The Next Lost Generation”
karena praktik ini berjalan secara informal, sering dibumbui dengan hal-hal
yang tanpa disadari dan tanpa disengaja dan lebih diwujudkan oleh suasana
emosi rumah tangga sehari-hari yang terjadi interaksi antara orang-tua dan
anaknya serta anggota keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan inter
dan intra personal orang-orang di sekitar anak tersebut dan anak itu sendiri
sangat memberi warna pada praktik pengasuhan anak.

a. Kebutuhan fisik biomedis (Asuh).


meliputi pangan / gizi dan perawatan kesehatan dasar, antara lain
imunisasi, pemberian ASI : ketiadaan pemberian Air Susu Ibu (ASI),
penimbangan bayi / anak secara teratur, pengobatan jika sakit, papan /
pemukiman yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan yang baik,
sandang, kesegaran jasmani, rekreasi, dll.

b. Kebutuhan Sosial / Kasih Sayang (Asih):

Pada tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat dan mesra antara ibu
/ pengganti ibu dan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin
tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental, maupun psikososial.
Peran dan kehadiran ibu / pengganti ibu sedini mungkin untuk selama-
lamanya akan menjalin rasa aman bagi bayi. Adanya kontak fisik
(kulit/mata) menyentuh/mendekap dan memandang saat memberi ASI
serta pemberian ASI sedini mungkin setelah bayi lahir akan berdampak
positif dalam tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial
emosi yang disebut “sindrom deprivasi mama”. Kasih sayang dari orang
tuanya (ayah/ibu) akan menciptakan ikatan yang erat (bounding) dan
kepercayaan dasar (basic trust).

c. Kebutuhan Stimulasi Mental (Asah).

Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan


dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (asah) ini mengembangkan
perkembangan mental psikososial, kecerdasan, ketrampilan, kemandirian,
kreativitas, agama, kepribadian, moral etika, dan produktifitas.

Keluarga dan Peranannya Dalam Pengasuhan Anak.

Secara naluriah setiap orang tua pasti akan melindungi anaknya, terlebih
apabila anak masih dalam usia balita dan dianggap masih belum mandiri dan
belum memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan
menjaga dirinya dari penyakit. Dalam konteks ini akan terasa aneh jika
Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 4
“The Next Lost Generation”
seorang anak balita yang seharusnya masih sangat tergantung dengan
pengasuhan orang tuanya justru malah banyak yang mengalami gangguan
gizi seiring dengan bertambahnya usia. Dengan logika sederhana seharusnya
dengan bertambah usia, anak akan tumbuh semakin kuat dan mandiri serta
semakin jauh dari masalah gizi dan kesehatan pada umumnya.

Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) Keluarga adalah unit terkecil


dari masyarakat yang terdiri atas kepala Keluarga dan beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan
saling ketergantungan. Secara prinsip keluarga adalah unit terkecil
masyarakat,terdiri atas dua orang atau lebih, adanya ikatan perkawinan dan
pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga, di bawah asuhan seorang
kepala rumah tangga, berinteraksi diantara sesama anggota keluarga, setiap
anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, menciptakan,
mempertahankan suatu kebudayaan.

Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal,


sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi
tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola
perilaku dari keluarga, kelompok, dan masyarakat.

Berbagai peranan yang terdapat didalam keluarga adalah sebagai berikut:


1. Peranan Ayah.
Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperanan sebagai pencari
nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala
keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota
masyarakat dari lingkungannya.

2. Peranan Ibu.
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk
mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dani pendidik anak-anaknya,
pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu
dapat berperan sebaai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
Peran Ibu dalam mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia dan
pembangunan sangat penting, karena besarnya peran ibu dalam
melahirkan kehidupan dan memelihara kehidupan yang dilahirkannya.
Pengaruh Ibu terhadap kehidupan seorang anak telah dimulai selama dia
hamil, selama masa bayi, dan berlanjut terus sampai anak itu memasuki
usia sekolah.

Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 5


“The Next Lost Generation”
3. Peranan Anak.
Anak-anak melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkat
perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

Saat ini di masyarakat telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial budaya


berkaitan dengan peranan ayah dan ibu berkaitan dengan fungsinya di dalam
keluarga. Isu-isu kesetaraan gender yang mulai digulirkan sejak saat era R.A
Kartini sampai dengan saat ini mengakibatkan semakin banyak wanita yang
ikut terlibat secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga,
dan lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah. Sehingga hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya kualitas pola asuh terhadap sang anak.
Disisi lain sosok ayah belum tentu telah siap menggantikan ataupun
membantu peran ibu dalam mengasuh anak baik dari segi psikologis, fisioligis
maupun sosial. Dalam situasi demikian untuk memenuhi kebutuhan
pengasuhan anak muncullah sosok-sosok yang lain seperti kakek, nenek,
kakak, saudara, bahkan mungkin seorang pengasuh anak profesional (baby
sister). Namun demikian sosok pengasuh ini dalam banyak hal kenyataannya
tidak sebaik apabila pengasuhan dilakukan oleh orang tua kandung, walaupun
keberadaannya dalam konteks saat ini sangat dibutuhkan untuk membantu
dalam pengasuhan anak. Dengan kata lain sosok pengasuh anak berfungsi
untuk “membantu” orang tua kandung, sedangkan “fungsi utama” pengasuhan
anak bagaimanapun juga merupakan peran dan tanggung jawab orang tua
kandung.

Bagi orang tua kandung (ayah dan ibu) yang mempunyai pekerjaan
ataupun kegiatan rutin diluar rumah harus kompak berbagi tugas. Seorang
ibu tidak tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan suami dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab di rumah. Adanya persamaan
persepsi dan komunikasi yang baik dalam hal pembagian tugas dan tanggung
jawab ini merupakan kunci, sehingga diperoleh suatu kerja sama yang baik
dalam melaksanakan peran ayah dan ibu sebagai orang tua.

Adanya pembagian tanggung jawab pengasuhan anak dan mengurus


rumah tangga antara Anda dan suami, berdampak positif bagi si kecil.
Dengan keterlibatan suami dalam mengurus dan mengasuh si kecil maka
akan tercipta pula hubungan yang erat dan hangat antara ayah dan anak. Hal
ini akan membawa pengaruh yang baik pula bagi proses tumbuh kembang
anak.

Keterlibatan ayah dan ibu yang bersama-sama dalam mengasuh anak


akan membuat pertumbuhan dan perkembangannya semakin sehat.
Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 6
“The Next Lost Generation”
Pengasuhan juga lebih seimbang bila pekerjaan kedua orang tua berada pada
tingkat yang sejajar. Oleh karena itu sebetulnya, keberadaan ibu di dunia
kerja bukan alasan rendahnya kualitas pengasuhan ibu.

Pembagian tanggung jawab bersama ini akan berhasil tidak saja oleh
komunikasi dan kesepakatan kedua orang tua, tetapi juga bergantung pada
beberapa hal, seperti sikap setuju dan sikap mendukung yang ditunjukkan
ayah kepada ibu yang bekerja, sikap dan fleksibilitas tempat bekerja, dan
sistem pendukung misalnya pengasuh anak, nenek, kakek, atau kerabat yang
dilibatkan dalam pengasuhan anak. Selain itu seluruh komponen masyarakat
bersama dengan pemerintah harus memberikan apresiasi yang positif dalam
hal pengasuhan anak. Masalah pengasuhan anak bukanlah hal yang mudah
dan bisa diremehkan begitu saja, namun harus diposisikan sebagai hal yang
sangat menentukan sebagai cetak biru (blue print) bagi kemajuan bangsa
pada masa yang akan datang.

Secara teoritis hal-hal yang tersebut diatas bukanlah hal sulit untuk
dilaksanakan walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Ibnu Fajar, dkk. pada tahun 2007 di kota
Malang tentang peran ibu dalam kontrol sumber daya keluarga kaitannya
dengan status gizi anak balita menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar
(76%) ibu mempunyai peran yang tinggi dalam hal yang berkaitan dengan
makanan, mulai dari perencanaan, penyusunan menu, pembelian dan
pemberian makanan pada anak ternyata tidak diimbangi dengan peran
dibidang kesehatan (non makanan) atau perawatan dan pengasuhan anak
termasuk didalamnya masalah jaminan pelayanan kesehatan. Dalam
penelitian tersebut hanya 8,3% ibu yang mempunyai peranan yang tinggi di
bidang non makanan. Hal bisa dijelaskan bahwa masyarakat belum
menganggap aspek perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan promotif
sebagai suatu hal yang penting, walaupun kedua faktor tersebut (makanan
dan non makanan) merupakan faktor yang menentukan (asuh).

Sekali lagi masyarakat harus disadarkan akan arti penting proses


pengasuhan anak ini. Bahwa untuk kemajuan bangsa dan negara, untuk
kualitas hidup yang lebih baik, ditengah-tengah dunia yang semakin
mengglobal, agar bangsa kita bisa hidup sejajar dengan bangsa-bangsa yang
lain didunia ini perlu dipersiapkan dengan sedini dan sebaik mungkin. Jangan
sampai pada saatnya nanti bangsa ini menjadi bangsa yang lemah, hanya
menjadi penonton ditengah-tengah kancah kehidupan dunia, hanya mampu

Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 7


“The Next Lost Generation”
bersikap konsumtif dengan produktifitas dan kualitas yang rendah yang pada
akhirnya “siap” untuk terjajah dalam segala hal.

Sebagai bagian akhir dan kesimpulan dari artikel ini bahwa proses
pengasuhan anak merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan status gizi
dan kesehatan dari anak balita. Dalam kondisi yang bagaimanapun kelompok
sasaran ini harus mendapatkan prioritas perhatian dan penanganan, baik dari
orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ketiga unsur ini harus bekerja sama
secara sinergis dan berkelanjutan sesuai fungsi dan peranan masing-masing
untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam bahasa agama jika seorang
anak merupakan “amanah” maka dia harus “diamankan”, jika seorang anak
merupakan “titipan” Tuhan maka dalam pengasuhannya tidak boleh sekedar
“dititip-titipkan”.

Kita sebagai orang-tua telah banyak berbuat kesalahan dan kekhilafan.


Kesalahan kita yang paling besar adalah kita khilaf memenuhi kebutuhan anak kita.
Kebutuhan lain seperti beli baju, sepeda, kendaraan, dan lain-lain dapat kita tunda,
tetapi kebutuhan anak kita tidak bisa ditunda. Tulangnya sedang tumbuh,
darahnya sedang terbentuk, dan otaknya sedang berkembang, kepadanya kita
tidak bisa berkata besok, tetapi hari ini. Demikian bunyi tulisan Gabriela Mistral ,
seorang pujangga Chili yang telah memenangkan hadiah Nobel.

Dan harus disadari pula bahwa proses ini tidak berjalan dalam waktu
yang singkat bahkan mungkin hasilnya baru akan terlihat 20 – 30 tahun lagi
ketika mereka dalam “masa usia emas” atau “masa usia produktif”. Kita
berharap jangan sampai anak-anak Indonesia yang ada pada saat ini menjadi
“The next lost generation”.

Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 8


“The Next Lost Generation”

Você também pode gostar