Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Pendahuluan
Hasil pemantauan status gizi pada balita di Provinsi Jawa Timur pada
tahun 2005, dari 8012 balita yang disurvey terdapat 6,5% balita mengalami
Gizi Buruk dan 20% Gizi Kurang (WHO, 2007). Sementara itu gambaran
gangguan pertumbuhan balita di Jawa Timur hasil Pemantauan Status Gizi
tahun 2006 menunjukkan adanya peningkatan persentase balita yang
mengalami gangguan pertumbuhan seiring dengan bertambahnya umur balita.
Umur 0-5 bl 1,9%; 6-11 bl 7,8%; 12-23 bl 18,0%; 24-35 bl 22,2%; 36-47 bl
21,4% dan 48-59 bl 21,2%. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses
pengasuhan yang salah terhadap anak balita sejak kelahirannya. Tingginya
angka-angka kurang gizi tersebut selain karena faktor-faktor sosial ekonomi
dan faktor penyakit infeksi juga karena faktor yang berkaitan dengan pola
asuh anak balita, baik yang dilakukan oleh orang tua kandung, anggota
keluarga maupun pengasuh yang lain (Tuti Soenardi, 2006). Dengan kata
lain, pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak balita selain faktor gizi (Neti
Hernawati, 2003).
Artikel ini ingin menyoroti masalah gizi kurang pada bayi dan balita yang
belakangan ini kasusnya semakin meningkat seiring dengan semakin
memburuknya tingkat kehidupan ekonomi masyarakat. Selain itu kami juga
Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 2
“The Next Lost Generation”
ingin mengingatkan kembali peranan orang tua dan masyarakat dalam
mengasuh anak, yang dalam kondisi bagaimanapun anak tetap harus
mendapat perhatian dan dipersiapkan baik jasmani maupun rohani demi
kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Pada tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat dan mesra antara ibu
/ pengganti ibu dan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin
tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental, maupun psikososial.
Peran dan kehadiran ibu / pengganti ibu sedini mungkin untuk selama-
lamanya akan menjalin rasa aman bagi bayi. Adanya kontak fisik
(kulit/mata) menyentuh/mendekap dan memandang saat memberi ASI
serta pemberian ASI sedini mungkin setelah bayi lahir akan berdampak
positif dalam tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial
emosi yang disebut “sindrom deprivasi mama”. Kasih sayang dari orang
tuanya (ayah/ibu) akan menciptakan ikatan yang erat (bounding) dan
kepercayaan dasar (basic trust).
Secara naluriah setiap orang tua pasti akan melindungi anaknya, terlebih
apabila anak masih dalam usia balita dan dianggap masih belum mandiri dan
belum memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan
menjaga dirinya dari penyakit. Dalam konteks ini akan terasa aneh jika
Pengasuhan Anak Dalam Keluarga 4
“The Next Lost Generation”
seorang anak balita yang seharusnya masih sangat tergantung dengan
pengasuhan orang tuanya justru malah banyak yang mengalami gangguan
gizi seiring dengan bertambahnya usia. Dengan logika sederhana seharusnya
dengan bertambah usia, anak akan tumbuh semakin kuat dan mandiri serta
semakin jauh dari masalah gizi dan kesehatan pada umumnya.
2. Peranan Ibu.
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk
mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dani pendidik anak-anaknya,
pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu
dapat berperan sebaai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
Peran Ibu dalam mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia dan
pembangunan sangat penting, karena besarnya peran ibu dalam
melahirkan kehidupan dan memelihara kehidupan yang dilahirkannya.
Pengaruh Ibu terhadap kehidupan seorang anak telah dimulai selama dia
hamil, selama masa bayi, dan berlanjut terus sampai anak itu memasuki
usia sekolah.
Bagi orang tua kandung (ayah dan ibu) yang mempunyai pekerjaan
ataupun kegiatan rutin diluar rumah harus kompak berbagi tugas. Seorang
ibu tidak tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan suami dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab di rumah. Adanya persamaan
persepsi dan komunikasi yang baik dalam hal pembagian tugas dan tanggung
jawab ini merupakan kunci, sehingga diperoleh suatu kerja sama yang baik
dalam melaksanakan peran ayah dan ibu sebagai orang tua.
Pembagian tanggung jawab bersama ini akan berhasil tidak saja oleh
komunikasi dan kesepakatan kedua orang tua, tetapi juga bergantung pada
beberapa hal, seperti sikap setuju dan sikap mendukung yang ditunjukkan
ayah kepada ibu yang bekerja, sikap dan fleksibilitas tempat bekerja, dan
sistem pendukung misalnya pengasuh anak, nenek, kakek, atau kerabat yang
dilibatkan dalam pengasuhan anak. Selain itu seluruh komponen masyarakat
bersama dengan pemerintah harus memberikan apresiasi yang positif dalam
hal pengasuhan anak. Masalah pengasuhan anak bukanlah hal yang mudah
dan bisa diremehkan begitu saja, namun harus diposisikan sebagai hal yang
sangat menentukan sebagai cetak biru (blue print) bagi kemajuan bangsa
pada masa yang akan datang.
Secara teoritis hal-hal yang tersebut diatas bukanlah hal sulit untuk
dilaksanakan walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Ibnu Fajar, dkk. pada tahun 2007 di kota
Malang tentang peran ibu dalam kontrol sumber daya keluarga kaitannya
dengan status gizi anak balita menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar
(76%) ibu mempunyai peran yang tinggi dalam hal yang berkaitan dengan
makanan, mulai dari perencanaan, penyusunan menu, pembelian dan
pemberian makanan pada anak ternyata tidak diimbangi dengan peran
dibidang kesehatan (non makanan) atau perawatan dan pengasuhan anak
termasuk didalamnya masalah jaminan pelayanan kesehatan. Dalam
penelitian tersebut hanya 8,3% ibu yang mempunyai peranan yang tinggi di
bidang non makanan. Hal bisa dijelaskan bahwa masyarakat belum
menganggap aspek perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan promotif
sebagai suatu hal yang penting, walaupun kedua faktor tersebut (makanan
dan non makanan) merupakan faktor yang menentukan (asuh).
Sebagai bagian akhir dan kesimpulan dari artikel ini bahwa proses
pengasuhan anak merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan status gizi
dan kesehatan dari anak balita. Dalam kondisi yang bagaimanapun kelompok
sasaran ini harus mendapatkan prioritas perhatian dan penanganan, baik dari
orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ketiga unsur ini harus bekerja sama
secara sinergis dan berkelanjutan sesuai fungsi dan peranan masing-masing
untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam bahasa agama jika seorang
anak merupakan “amanah” maka dia harus “diamankan”, jika seorang anak
merupakan “titipan” Tuhan maka dalam pengasuhannya tidak boleh sekedar
“dititip-titipkan”.
Dan harus disadari pula bahwa proses ini tidak berjalan dalam waktu
yang singkat bahkan mungkin hasilnya baru akan terlihat 20 – 30 tahun lagi
ketika mereka dalam “masa usia emas” atau “masa usia produktif”. Kita
berharap jangan sampai anak-anak Indonesia yang ada pada saat ini menjadi
“The next lost generation”.