Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi
oleh tubuh yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus
dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine), dan
CO2 sebagai hasil dari proses pernapasan.
Saat ini akses masyarakat terhadap sarana sanitasi khususnya jamban,
masih jauh dari harapan. Berbagai kampanye dan program telah banyak
dilakukan, terakhir dengan pemberlakuan program Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM). Berbagai upaya tersebut sebetulnya bermuara pada
terpenuhinya akses sanitasi masyarakat, khususnya jamban. Namun akses
tersebut selain berbicara kuantitas yang terpenting adalah kualitas.
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, seorang yang normal
diperkirakan menghasilkan tinja rata-rata sehari 970 gram dan menghasilkan
air seni 970 gram. Jadi bila penduduk Indonesia dewasa saat ini 200 juta
maka setiap hari tinja yang dikeluarkan sekitar 194.000 juta gram (194.000
ton). Maka bila pengelolaan tinja tidak baik, jelas penyakit akan mudah
tersebar. Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area
pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari
segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia
merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi.
Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan
cepatnya pertambahan penduduk, jelas akan mempercepat penyebaran
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui tinja. Karena kotoran manusia
(faeces) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks.
Penyebaran penyakit yang bersumber pada faeces dapat melalui berbagai
macam jalan atau cara.
B. TUJUAN
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengelolaan tinja di daerah pemukiman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Tinja
Tinja merupakan semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh
tubuh yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Tinja (faeces) merupakan
salah satu sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Orang yang
terkena diare, kolera dan infeksi cacing biasanya mendapatkan infeksi ini
melalui tinja (faeces). Seperti halnya sampah, tinja juga mengundang
kedatangan lalat dan hewan-hewan lainnya. Lalat yang hinggap di atas tinja
(faeces) yang mengandung kuman-kuman dapat menularkan kuman-kuman
itu lewat makanan yang dihinggapinya, dan manusia lalu memakan makanan
tersebut sehingga berakibat sakit. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan
akibat tinja manusia antara lain tipus, disentri, kolera, bermacam-macam
cacing (gelang, kremi, tambang, pita), schistosomiasis, dan sebagainya.
Sumber Tinja
Manusia sebagai Individu
Manusia sebagai individu dalam hal ini adalah seorang manusia
yang hidup sendiri dalam suatu tempat tinggal terpisah dari individu yang
menempati tempat tinggal lain, atau kelompok manusia yang satu
individu dengan individu lainnya terikat dalam satu hubungan
kekeluargaan atau kekerabatan yang menempati satu tempat tinggal
sebagai satu keluarga. Tinja yang dihasilkan dari sumber ini biasanya
ditangani secara perorangan oleh individu atau keluarga yang
bersangkutan dengan menggunakan sarana pembuangan tinja berupa
jamban perorangan atau jamban keluarga.
Manusia sebagai Kelompok
Manusia sebagai kelompok adalah kumpulan manusia yang
bertempat tinggal di satu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu.
Individu dalam kelompok terikat oleh satu hubungan kemasyarakatan
yang memiliki norma kelompok yang disepakati bersama. Masalah
penanganan tinja pada kelompok ini sering bersifat sangat kompleks.
Berbagai faktor penyebab, yaitu keterbatasan penyediaan lahan,
kepentingan yang berbeda antara individu, faktor sumber daya, faktor
fisibilitas pengelolaan dan sebagainya sangat menentukan keberhasilan
penanganan tinja dari manusia sebagai kelompok ini. Penanganan tinja
dari manusia sebagai kelompok biasanya dilakukan secara kolektif
dengan menggunakan jamban umum.
Dekomposisi Tinja
Tinja dimana saja berada atau ditampung akan segera mulai
mengalami penguraian (decompotition), yang pada akhirnya akan berubah
menjadi bahan yang stabil, tidak berbau, dan tidak mengganggu.
Aktifitas utama dalam proses dekomposisi adalah :
1. Pemecahan senyawa organic kompleks, seperti protein dan urea, menjadi
bahan yang lebih sederhana dan lebih stabil;
2. Pengurangan volume dan massa (kadang – kadang sampai 80%) dari
bahan yang mengalami dekomposisi, dengan hasil gas metan, karbon
dioksida, amoniak, dan nitrogen yang dilepaskan ke atmosfer;
Bahan – bahan yang terlarut yang dalam keadaan tertentu meresap
kedalam tanah di bawahnya; dan
3. Penghancuran organisme pathogen yang dalam beberapa hal tidak
mampu hidup dalam proses dekomposisi, atau diserang oleh banyak
jasad renik didalam massa yang tengah mengalami dekomposisi.
Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi. Aktifitas
bakteri dapat berlangsung dalam suasana aerobik, yakni dalam keadaan
terdapat udara, atau anaerobic dalam keadaan tidak terdapat oksigen. Seluruh
proses dapat berlangsung secara anaerobik, seperti yang terjadi pada kakus
air (aqua privy), tangki pembusukan (septic tank), atau pada dasar lubang
yang dalam; atau secara aerobik, seperti pada dekomposisi tertentu.
Disamping itu, dekomposisi dapat terdiri lebih dari satu tahap, sebagian
aerobic dan sebagian lainnya anaerobik, tergantung pada kondisi fisik yang
ada. Sebagai contoh, proses anaerobik berlangsung dalam tangki
pembusukan, efluen cair meresap kedalam tanah melalui saluran peresapan
dan meninggalkan banyak bahan organik pada lapisan atas tanah. Bahan
organik itu diuraikan secara aerobic oleh bakteri saprofit yang mampu
menembus tanah sampai sedalam 60cm.
Proses dekomposisi berlangsung pada semua bahan organic mati yang
berasal dari tumbuhan atau hewan, terutama pada komponen nitrat, sulfat,
atau karbonat yang dikandungnya. Pada kotoran manusia yang merupakan
campuran tinja dan air seni yang relative kaya akan senyawa nitrat, proses
dekomposisi terjadi melalui siklus nitrogen. Pada siklus ini, pertama – tama,
senyawa dipecahkan menjadi amonia dan bahan sederhana lainnya.
Kemudian, diubah oleh bakteri nitrit (nitrifying bacteria) menjadi nitrit dan
nitrat. Bau merangsang yang timbul selama dekomposisi air seni disebabkan
oleh amonia yang tetrlepas sebelum berubah menjadi bentuk yang lebih
stabil. Dekomposisi dapat berlangsung sangat cepat, dari beberapa hari pada
dekomposisi mekanis yang sangat terkendali sampai dengan beberapa bulan,
bahkan hamper satu tahun pada kondisi rata – rata lubang jamban.
Pada umunya, kondisi yang terjadi pada dekomposisi tinja tidak
menguntungkan bagi kehidupan organism pathogen. Bukan hanya karena
temperatur dan kandungan airnya yang menghambat pertumbuhan organisme
pathogen itu, melainkan kompetisi antara flora bakteri dan protozoa, yang
bersifat predator dan merusak. Pathogen cenderung cepat mati apabila produk
akhir dekomposisi yang berbentuk seperti humus itu di hamparkan diluar dan
mengering. Bakteri pathogen tidak dapat hidup lebih lama dari 2 bulan pada
isi lubang jamban yang dibiarkan begitu saja. Telur cacing tambang akan
tetap hidup lebih lama, tergantung pada kelembaban dan temperature udara,
smapai 5 bulan pada iklim dingin, dan lebih pendek waktunya pada kondisi
tropis. Mereka bahkan menetas dalam kondisi ada udara, dan akan
menghasilkan larva yang dapat hidup selama beberapa minggu pada tanah
yang lembab dan berpasir. Telur ascaris dapat hidup 2 atau 3 pekan dalam
bahan yang terdapat pada lubang jamban.
Hasil akhir proses dekomposisi mengandung nutrient tanah yang
bermanfaat dan dapat memberikan keuntungan bila digunakan sebagia pupuk
penyubur tanaman (fertilizer). Kadang – kadang petani mengeluh karena
sedikitnya kandungan nitrogen pada tinja yang telah memngalami
dekomposisi. Tinja segar memang mengandung lebih banyak bahan nitrogen,
namun bahan itu tidak dapat digunakan oleh tanaman pada susunan nya yang
asli. Tanaman hanya dapat menggunaan nitrogen sebagia amonia, nitrit, atua
nitrat yang mana dihasilkan selama dekomposisi tahap lanjutan. Bila tinja
segar dihamparkan diatas tanah, kebanyakan nitrogen akan berubah menjadi
bahan padat yang menguap ke udara sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh
tanaman.
b. Mengolah Lumpur
Karena lumpur akan memasuki perpipaan, pompa lumpur, dll,
maka dilakukan upaya untuk memeperlancarkan jalannya lumpur didalam
menjalani proses selanjutnya. Karaktristik lumpur dibuat lebih ”uniform”,
sama jenis, lembut, agar tidak menyumbat peralatan instalasi. Beberapa
proses ini biasanya berhasil baik :
Sludge Grinding, dengan peralatan mekanis bongkahan lumpur yang
besar atau panjang dipotong menjadi partikel kecil, atau digerus.
Jangan sampai lumpur ini menyumbat atau merangkak didalam pipa,
pompa, dll.
Sludge Blending, mencampur bermacam-macam komposisi lumpur
yang terdiri dari endapan kimiawai atau biologi, menjadi suatu
adukan yang uniform, agar memudahkan aliran bagian hilir instalasi.
Apalagi kalau lumpur ini harus mengalami suatu “waktu inap” yang
tertentu. Adukan yang uniform memudahkan terselenggaranya
operasional ini.
Dua jenis jamban tipe utama yang paling memenuhi ketujuh persyaratan
tetrsebut diatas adalah jamban cubluk dan jamban air.
Jamban Cubluk
Pada tanah yang mudah runtuh, dinding lubang perlu diperkuat dengan
pasangan bata, batu kali, atau anyaman bamboo. Lantai jamban harus dibuat dari
bahan yang kuat, tahan lama, kedap air dengan permukaan yng keras, dan mudah
dibersihkan. Bahan untuk lantai dapat berupa beton bertulang atau susunan kayu
yang diisi dengan campuran semen. Rumah jamban perlu dibuat dengan
memperhatikan persyaratan yang menyangkut factor ukuran, ventilasi,
pencahayaan, serta kebersihan. Bahan untuk rumah jamban disesuaikan dengan
biaya yang tersedia. Dindingnya dapat dibuat dari pasangan bata, kayu, atau
bamboo. Atapnya dapat dibuat dari genting, sirap, atau ilalang,
Jamban Air
Jamban air terdiri dari sebuah tangki berisi air, di dalamnya terdapat pipa
pemasukan tinja yang tergantung pada lantai jamban. Tinja dan air seni jatuh
melalui pipa pemasukan ke dalam tangki dan mengalami dekomposisi anaerobik,
seperti pada tangki pembusukan. Lumpur hasil dekomposisi, yang hanya
mengandung sekitar 25% dari volume tinja yang dimasukkan, akan berakumulasi
dalam tangki dan harus dipindahkan secara berkala.
Ukuran tangki jamban air bervariasi sesuai dengan jumlah orang yang
akan menggunakan. Kapasitas tangki untuk jamban air keluarga sebaiknya tidak
kurang dari 1 m3 untuk periode pengurasan enam tahun atau lebih. Untuk jamban
umum, kapasitas tangki dapat dibuat dengan pedoman angka 115 liter per orang
dikalikan jumlah maksimum pemakai. Kedalaman cairan dalam tangki dapat
dibuat antara 1,0 dan 1,5 m. Efluen limbahan dari tangki yang potensial
mengandung bakteri pathogen serta telur cacing parasit harus diresapkan ke dalam
tanah melalui sumur atau parit peresapan.
Jamban Leher Angsa
Jamban leher angsa atau jamban tuang siram yang menggunakan sekat air
bukanlah jenis instalasi pembuangan tinja yang tersendiri, melainkan lebih
merupakan modifikasi yang penting dari slab atau lantai jamban biasa. Lantai
dengan sekat air dapat dipasang diatas lubang pada jamban cubluk atau diatas
tangki air pada jamban air.
Jamban leher angsa terdiri dari lantai beton biasa yang dilengkapi leher
angsa. Slab itu dapat langsung dipasang diatas lubang galian, lubang hasil
pengeboran, atau tangki pembusukan. Satu sampai tiga liter air cukup untuk
menggelontor tinja kedalam lubang. Dengan adanya sekat air pada leher angsa,
lalat tidak dapat mencapai bahan yang terdapat pada lubang jamban, dan bau tidak
dapat keluar dari lubang itu.
Beberapa jenis jamban yang cocok untuk situasi khusus adalah jamban
kompos, jamban kimia, jamban kolam dan jamban gas bio. Kakus kompos
digunakan didaerah yang penduduknya yang suka membuat kompos dari
campuran tinja dan sampah organik di jamban yang digunakannya.
1. Galilah lubang sesuai dengan ukuran yang diperlukan. Dasar lubang harus
selalu diatas permukaan air tanah.
2. Sebelum slab atau lantai diletakkan diatasnya, tutuplah dasar lubang setinggi
50 cm dengan potongan rumput, dan daunan yang kecil, sampah daun, kertas,
dan sebagainya.
3. Tempatkanlah slab dan rumah jamban sedemikian rupa sehingga dipindahkan
secara berkala ke tempat lain.
4. Selain tinja manusia, masukkan juga sampah daun – daunan yang dihasilkan
setiap hari ke dalam lubang, kemudian kotoran sapi, tanah atau jerami yang
terkena rembesan air seni. Bahan yang disebut terakhir penting karena air
seni kaya akan nitrogen nutrient utama bagi tanaman.
5. Kurang lebih seminggu sekali masukkanlah kedalam lubang beberapa
kilogram guntingan rumput dan daun – daunan yang berstektur halus.
6. Apabila isi lubang telah mencapai ketinggian 50 cm dibawah permukaan
tanah, galilah sebuah lubang baru pada jarak 1,5 – 2 m dari lubang itu dan
slab serta rumah jamban dipindahkan keatasnya. Lubang pertama ditutup,
pertama – tama dengan guntingan rumput dan daun – daunan setinggi 15 cm
kemudian tanah setebal 35 cm.
7. Apabila lubang kedua penuh, lubang pertama dibuka dan komposnya
dikeluarkan. Kompos ini bersifat stabil dan akan menjadi pupuk bagus yang
dapat segera digunakan di kebun atau disimpan.
Volume lubang tergantung pada kebutuhan akan pupuk dan jumlah orang
yang akan menggunakan jamban. Proporsi volume tinja yang dapat ditambahkan
pada volume sampah, agar pembuatan kompos berlangsung memuaskan, kira –
kira 1 : 5.
Jamban kimia terdiri dari sebuah tangki logam yang berisi larutan soda
kaustik. Tempat duduk atau tempat jongkok dengan penutupnya ditempatkan
langsung diatas tangki. Tangki dilengkapi dengan pipa ventilasi yang ujunganya
menjorok sampai ke atas atap rumah. larutan soda kaustik yang dimasukkan
tersusun dari 11,3 kg soda kaustik dilarutkan dalam 50 liter air untuk tiap tempat
duduk atau tempat jongkok. Tinja yang tertampung dalam tangki akan dicairkan
dan disterilkan oleh bahan kimia itu, yang akan menghancurkan pula bakteri
pathogen dan telur cacing. Untuk memudahkan pengoperasiannya, tangki
biasanya dilengkapi dengan pengaduk yang akan membantu menghancurkan
bahan padat dan mempercepat penghancurannya oleh bahan kimia. Setelah
beberapa bulan penggunaan, bahan kimia yang telah digunakan serta cairan yang
dihasilkan dibuang atau dialirkan keluar, dan dipindahkan ke kolam pembuangan
rembes air. Untuk sarana transportasi kapal, pesawat udara, kereta api, bus dan
sebagainya jamban kimia dapat dibuat dengan kapasitas kira – kira 40 liter agar
dapat dipindah – pindahkan.
1. Air kolam tidak boleh digunakan untuk keperluan sehari – hari seperti
mandi, cuci dan minum.
2. Kolam harus selalu penuh dengan air.
3. Kolam harus cukup luas, selalu mendapatkan sinar matahari dan tidak
terdapat pohon rindang didekatnya.
4. Letak jamban harus sedemikan rupa sehingga tinja selalu jatuh ke air.
5. Ikan yang diperoleh dari kolam terssebut tidak boleh dimakan mentah
atau setengah masak.
6. Aman dalam pemakaiannya.
7. Tidak terdapat sumur air minum yang terletak dibawah kolam atau yang
sejajar dengan jarak kurang dari 15 meter.
8. Tidak terdapat tanaman yang tumbuh diatas permukaan air kolam.
Jamban gas bio terdiri dari rumah jamban, tangki pencerna, penampung
gas, dan system perpipaan untuk menyalurkan gas bio dari tangki pencerna ke
penampungan gas dan dari penampungan gas ke tempat pemakaian gas (kompor,
alat penerangan dan sebagainya). Ke dalam tangki pencerna, setiap hari
dimasukkan tinja, sampah organic yang berupa sampah daun, dan kotoran
kandang. Dalam tangki pencerna, bahan isian yang merupakan campuran bahan
organic akan mengalami dekomposisi secara anaerobic dan menghasilkan gas bio.
Gas bio adalah campuran berbagai gas yang dihasilkan dari suatu proses
fermentasi bahan organic oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen.
Metode ini memenuhi semua criteria sanitasi dan keindahan bagi sarana
pembuangan tinja. Dengan metode itu, kontaminasi tanah dan air permukaan
dapat dihindari. Buangan yang potensial berbahaya diupayakan untuk tidak
dicapai oleh lalat, tikus dan hewan peliharaan. Dengan demikian mekanisme
penularan penyakit saluran pencernaan dapat dicegah.
Penangkap Lemak
Limbah cair dari dapur besar, seperti dapur hotel, rumah sakit, dan kantor,
kemungkinan mengandung banyak lemak yang dapat masuk ke tangki
pembusukan bersama – sama dengan efluen dan dapat menyumbat pori – pori
media penyaringan pada bidang peresapan. Dalam keadaan demikian, bak
penangkap atau perangkap lemak dapat dipasang diluar gedung, pada saluran
limbah cair gedung. Penangkap lemak itu berupa tangki pengapungan kecil
dengan inlet yang masuk kebawah permukaan cairan, dan outlet yang ujungnya
dipasang di dekat dasar. Pengoperasian penangkap lemak berdasarkan prinsip
bahwa limbah cair yang masuk lebih panas daripada cairan yang sudah ada dalam
bak dan didinginkan oleh nya. Akibatnnya, kandungan lemak akan membeku dan
naik ke permukaan, yang nantinya akan diambil secara berkala. Oleh karena itu,
penangkap lemak harus dibuat sedemikian rupa untuk mempermudah
pemeriksaan dan pembersihan. Penangkap lemak tidak perlu dibuat untuk
penanganan limbah cair dari perumahan atau instalasi kecil lainnya.
Volume aliran limbah cair rata – rata per hari tergantung pada konsumsi
air rata – rata didaerah yang bersangkutan. Pada umumnya, daerah pedesaan lebih
rendah daripada daerah perkotaan. Untuk daerah pedesaan, angka volume aliran
limbah cair rata – rata per hari sebesar 100 liter / orang. Untuk tangki pembusukan
perumahan yang terdiri dari satu ruangan, kapasitas efektif sebaiknya tidak kurang
dari 1900 liter.
Bentuk Tangki
Benntuk tangki penting karena berpengaruh pada kecepatan aliran yang
melaluinya, kedalaman akumulasi lumpur, dan ada atau tidaknya sudut mati.
Tangki menjadi kecil yang menimbulkan aliran langsung dari inlet ke outlet, dan
mempersingkat waktu penahan. Tangki yang terlalu dangkal menyebabkan ruang
bebas lumpur menjadi terlalu kecil dan penampang melintang efektif tangki
terkurangi. Tangki yang terlalu lebar membentuk kantung mati dalam ukuran
yang besar di sudut – sudut tangki karena gerakan air menjadi kecil. Tangki yang
terlalu sempit meningkatkan kecepatan aliran dan mengurangi efisiensi
sedimentasi. Menurut hasil penelitian, tidak ada perbedaan kinerja antara tangki
berbentuk empat persegi panjang dengan tangki berbentuk silinder yang besarnya
dan kapasitas penampungan lumpurnya sama. Tangki berbentuk empat persegi
panjang harus dibuat dengan panjang dua sampai tiga kali lebar tangki, kedalaman
cairan 1,2 – 1,7 m. Ruang bebas di atas permukaan air biasanya di buat setinggi
30 cm.
Penempatan Tangki
Tangki pembusukan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
memudahkan penyaluran limbah cair dari rumah ke system pembuangan efluen.
Apabila system pembuangan efluen menggunakan system saluran bawah tanah,
lokasi tangki harus menjamin tersedianya tanah yang cukup luas untuk
pembuangan efluen, peletakan saluran dengan kemiringan cukup, dan kedalaman
setiap titik maksimum 75 cm. Tangki tidak boleh tertanam dalam tanah lebih dari
30 – 45 cm karena perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala. Lubang pemeriksa
harus dibuat sampai ke permukaan tanah, namun harus dicegah masuknya air
permukaan dan air hujan ke dalam tangki. Tangki harus ditempatkan lebih rendah
dan pada jarak sekurang – kurangnya 15 meter dari sumur dan sumber penyediaan
air bersih lain karena ada kemungkinan terjadi kebocoran , terutama di sekitar
pipa inlet dan outlet.
Konstruksi Tangki
Tangki biasanya dibuat dari beton yang menjamin dan kerapatan air yang
memadai. Dasar dan tutup tangki dibuat dari beton. Dinding dibuat dari pasangan
batu bata, batu pecah, atau blok semen, dengan spasi dan plesteran sisi dalam
tangki dari campuran semen dan pasir (1:3). Campuran beton yang digunakan
harus terdiri dari semen, pasir, kerikil (1:2:4) dengan kandungan 23 liter air per
sak (43 kg) semen. Dinding dan tulang beton memadai. Ukuran lubang pemeriksa
yang berbentuk bujur sangkar panjang sisinya minimum 50 cm dan untuk yang
berbentuk bulat diameter 61 cm.
Pembuangan Tangki
Efluen tangki pembusukan tidak boleh dibuang ke saluran terbuka atau
dibuang ke atas tanah untuk mengairi tanaman atau ke kolam ikan tanpa izin
pejabat kesehatan setempat. Untuk daerah pedesaan dan masyarakat kecil, metode
yang dapat dipilih untuk mengolah dan membuang efluen terbatas pada :
a. Metode pengenceran;
b. Metode yang menggunakan sumur peresapan;
c. Metode yang menggunakan saluran peresapan;
d. Metode yang menggunakan parit penyaring;
e. Metode yang menggunakan pasir peyaring; dan
f. Metode yang menggunakan penyaring tetes.
1. Sifat tanah;
2. Kedalaman permukaan air tanah;
3. Tingkat permeabilitas tanah;
4. Jarak system pembuangan efluen dari sumur dan sumber penyediaan air lain;
5. Volume dan kecepatan aliran air permukaan yang ada untuk pengenceran (di
sungai, kolam, dan badan air lain);
6. Penggunaan air permukaan (untuk penyediaan air, memancing, mandi, dan
sebagainya);
7. Luas tanah yang tersedia untuk pembuangan efluen;
8. Jarak antar rumah;
9. Kecenderungan arah angin;
10. Tanaman penutup yang ada di tanah; dan
11. Kemungkinan perluasan system pada masa yang akan datang.
Pembuangan Efluen Melalui Saluran Peresapan
Bak Pembagi
Saluran Peresapan
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Tinja berpotensi besar sebagai media penularan penyakit, terutama
penyakit saluran pencernaan. Oleh karena itu, berbagai faktor teknis dan non
teknis harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam perencanaan sarana
pembuangan tinja. Pembuangan tinja dengan sistem jamban banyak
digunakan oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah karena
bersifat sederhana dan bukan merupakan tipe permanen.
Teknik pembuangan tinja dengan sistem aliran air (pengenceran,
kolam pembuangan, sumur peresapan, dan tangki pembusukan) dapat
diterapkan di daerah di mana terdapat persediaan air dan aliran air yang
cukup besar.
2. SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Pembuangan tinja sebaiknya dilakukan dengan baik dan memperhatikan
kondisi lingkungan sekitar sehingga tidak mencemari lingkungan
sekitarnya seperti badan air dan tanah.
2. Sebaiknya limbah tinja jangan dibuang ke badan air seperti sungai atau
waduk, karena dapat menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang
mengkonsumsi air di sungai atau waduk tersebut.
3. Pemeliharaan sarana pembuangan tinja seharusnya dilakukan secara terus
menerus sejak mulai digunakan sampai akhir periode penggunannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hindarko,S. 2003. Mengolah Air Limbah Sungai Tidak Mencemari Orang Lain.
Jakarta. ESHA.