Você está na página 1de 28

Anatomi fisiologi SISTEM SALURAN KEMIH

2.1.1. GINJAL

Ginjal adalah sepasang organ yang terletak pada retroperitoneum diselubungi fasia gerota dan sejumlah lemak. Di
dorsal; iga terbawah, kuadratus lumborum, dan muskulus psoas berada proksimal didekatnya. Hubungan ventral dari
ginjal kanan termasuk adrenal, lambung lien, pankreas, kolon dan ileum.
Arteri renalis keluar dari aorta dan hampir dua pertiga dari ginjal hanya mempunyai sistem perdarahan yang tunggal.
Arteri renalis terbagi menjadi lima cabang besar, yang merupakan end arteri yang mensuplai segmen ginjal.
Penyumbatan dari cabang arteri renalis akan menyebabkan infark segmen ginjal. Vena renalis mengosongkan isinya
kedalam vena cava inferior. Saluran limfe ginjal bermuara pada hilar trunk, dan kapsular limfatik pada nodus
periaorta infradiafragmatik. Persarafan ginjal mengandung vasomotor dan serat nyeri yang menerima konstribusi
dari segmen T4-T12. pelvis ginjal terletak dorsal dari pembuluh darah ginjal dan mempunyai epitel transisional
(Purnomo,2000).
2.1.2. URETER
Ureter terdiri dari otot yang memanjang membentuk tabung dan berjalan melalui retroperitoneum dan
menghubungkan pelvis ginjal dengan kandung kemih. Panjang normal ureter pada dewasa adalah 28–30 cm dan
diameternya sekitar 5 mm. Ureter menyalurkan urine dari ginjal menuju kandung kemih dengan peristaltik aktif.
Suplai darah dari ureter berasal dari ginjal, aorta, iliaka, mesenterik, gonad, vasal, arteri vesikalis. Serat nyeri
menghantarkan rangsangan kepada segmen T12-L1. Ureter dapat mengalami deviasi medial pada fibrosis
retroperitoneal dan deviasi lateral oleh tumor retroperitoneal atau aneurisma aorta (Hargreave,1995;
Purnomo,2000).

Gbr. 1-1: Topografi Saluran Kemih


©2003 Digitized by USU digital library 2
2.1.3. KANDUNG KEMIH
A. ANATOMI
Kandung kemih yang berfungsi sebagai reservoir urine, pada masa anak-anak secara prinsip terletak intra-abdominal
dimana dua pertiga bagian atasnya ditutupi oleh peritoneum, sedangkan pada orang dewasa kandung kemih sudah
menjadi organ-organ pelvis (ekstra peritoneal) dimana bagian atasnya saja yang ditutupi oleh peritoneum. Dalam
keadaan kosong didepan kandung kemih terdapat simpisis pubis, tetapi dalam keadaan penuh dia bisa membesar
sehingga bisa berada dibagian belakang bawah muskulus rektus abdominis. Pada laki-laki dibagian belakang
kandung kemih dipisah dengan rektum oleh dua lapisan peritoneum yang bersatu membentuk Denonvilliers fascia,
sedangkan pada perempuan kandung kemih terletak didepan uterus, servik dan vagina. Pada laki-laki, dibawah
kandung kemih terdapat prostat yang mengelilingi uretra berbentuk seperti donat, dan dibawahnya terdapat
diafragma pelvis. Pada bagian infero-lateral permukaan kandung kemih berhubungan dengan pleksus vena vesiko-
prostat, otot-otot levator ani, pembuluh-pembuluh darah obturator interna dan dengan pelvic girdle (Blandy,1983;
Schulmann,1993).
Dinding kandung kemih dibentuk seperti buah keranjang oleh serabut-serabut otot polos (detrusor) yang saling
menyilang, tersusun tidaklah dalam bentuk longitudinal atau sirkuler seperti pada dinding usus tetapi berupa suatu
sistem rangkaian helik. Pada leher kandung kemih susunan sirkuler lebih dominan yang membentuk suatu
autonomic internal spincter. Beberapa dari anyaman helik ini berlanjut melewati spingter interna dan melekat pada
jaringan ikat uretra prostatika pada daerah verumontanum, juga ada yang berlanjut pada spingter eksterna bahkan
yang lainnya berlanjut pada jaringan otot uretra itu sendiri (Tanagho,1995).
Mukosa kandung kemih terdiri atas lapisan epitel transitional yang tebal (5-8 lapis sel) dengan sel-sel basal yang
berbentuk torak. Permukaan mukosa lumen kandung kemih ini mensekresi suatu lapisan Glycosaminoglycans, yang
merupakan suatu protein yang melindungi dinding kandung kemih dari infiltrasi bakteri atau zat-zat yang bersifat
karsinogenik (Turek,1993).
Pada daerah trigonum, yang terletak dibagian posterior kandung kemih, antara muara ureter dan bladder outlet,
lapisan mukosa dan sub-mukosanya lebih tipis. Sedangkan ureter yang memasuki kandung kemih dikelilingi oleh 1-
2 cm otot detrusor yang berbentuk incomplete collar yang disebut Waldeyer’s sheath (Brown,1982; Turek,1993).
Dibawah lapisan mukosa terdapat lapisan tunika propia yang longgar, disini sering dijumpai serbukan limfosit.
Dibawah lapisan tunika propria adalah lapisan tunika muskularis yang terdiri atas otot-otot polos yang tersebar
merata, dimana pada muara ureter dan uretra otot ini lebih padat dan membentuk spingter. Lapisan paling luar
adalah lapisan serosa, yang berupa selaput tipis dan hanya terdapat pada bagian kandung kemih yang berhubungan
dengan peritoneum.
©2003 Digitized by USU digital library 3
Gbr 1-2 : Kandung kemih
Laki-laki dengan jaringan sekitar
(Brown,1982)
B. PERDARAHAN
Kandung kemih sangat kaya aliran darah yang terdiri dari tiga pedikel pada masing-masing sisi, yaitu :
arteri vesikalis superior, medialis dan inferior yang merupakan cabang dari arteri hipogastrika. Kandung kemih juga
dialiri oleh cabang-cabang kecil arteri obturator dan arteri gluteal inferior, pada wanita juga oleh arteri uterine dan
arteri vaginalis.
Aliran vena kandung kemih juga kaya akan pleksus vena, yang dialirkan kedalam vena hipogastrika. Sedangkan
aliran lymphnya dialirkan kedalam lymph nodes vesika, iliaka eksterna, iliaka interna dan iliaka komunis
(Tanango,1995).

Gbr 1-3 : perdarahan kandung kemih (Blandy,1983; Netter,1995))


©2003 Digitized by USU digital library 4
C. PERSYARAFAN
Kandung kemih disarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari thorakal 11 - lumbal 2, dan serabut para
simpatis yang berasal dari sakral 2-4. Serabut simpatis eferen mensarafi otot polos bladder neck dan spingter
eksterna, dimana stimulasinya menyebabkan bladder outlet menutup sewaktu terjadi ejakulasi. Sedangkan serabut
simpatis aferen yang berasal dari fundus kandung kemih adalah untuk membawa rangsang nyeri. Serabut para
simpatis eferen adalah saraf kandung kemih yang paling penting, bertanggung jawab terhadap kontraksi otot-otot
detrusor kandung kemih, saraf ini sering mengalami cedera pada penderita trauma tulang belakang yang
menyebabkan retensi urine. Serabut para simpatis aferen membawa rangsang distensi (Bahnson,1992; Turek,1993).
Muskulus spingter levetor ani eksternus disarafi oleh serabut pudendal yang bersifat volunter (somatic motor), yang
juga berasal dari segmen sakral 2-3. Jika saraf ini dirangsang akan menghambat proses berkemih oleh karena
spingter eksterna berkontraksi. Dari dua jenis reseptor adrenergik, beta reseptor terutama dijumpai pada fundus
kandung kemih, sedangkan alfa reseptor pada bladder neck dan uretra proksimal.
©2003 Digitized by USU digital library 5

Gbr 1-4 : Persyarafan dan otot kemih (Brown,1982)


2.1.4. KELENJAR PROSTAT
A. ANATOMI
Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular, yang terletak persis dibawah kandung kemih. Berat prostat
pada orang dewasa normal kira-kira 20 gram, didalamnya terdapat uretra posterior dengan panjangnya 2,5 – 3 cm.
Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika yang melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada
bagian
posterior prostat terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers berasal
dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma
prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius
yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal
spingter eksterna. Pada permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan
dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal
membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya
lebih sedikit dan fasia lebih sedikit ( Weineth,1992).
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan lateral
kiri. Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior
dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini
lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-
kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Nasar,1985; Tanango,1995).

Gbr 1-5: kelenjar prostat dan uretra (Brown,1982)


B. PEMBULUH DARAH, LIMFE DAN SARAF
Arteri prostat berasal dari arteri vesika inferior, arteri pudendalis interna arteri hemoroidalis medialis. Arteri utama
memasuki prostat pada bagian infero-lateral persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau didiatermi pada
waktu operasi prostatektomi.
Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika yang berhubungan dengan vena dorsalis
penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presakral. Oleh karena
struktur inilah sering dijumpai metastase karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis.
Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan
parasimpatis.
Aliran lymph dari prostat dialirkan kedalam lymph node iliaka interna (hipogastrika), sacral, vesikal dan
iliaka aksterna (Tanango,1995).
C. FISIOLOGI
Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang
0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma.
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat dianggap imbangannya (counterpart) dengan
payudara pada wanita. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti, tetapi pada pengebirian kelenjar
prostat jelas akan mengecil. Jadi prostat dipengaruhi oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap
androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah bagian tengah. Karena itu pada
orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang sedangkan
estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut (Blandy,1983; Ganong, 1983; Burkit 1988).
2.2. FISIOLOGI BERKEMIH
2.2.1. Pengisian Kandung Kemih.
Dinding ureter terdiri dari otot polos yang tersusun dalam serabut-serabut spiral, longitudinal dan sirkuler, tetapi
batas yang jelas dari lapisan otot ini tidak terlihat. Kontraksi peristalitik yang reguler terjadi 1-5 kali permenit yang
menggerakkan urine dari pelvis ginjal ke kandung kemih, dimana urine masuk dengan cepat dan sinkron sesuai
dengan gerakan gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding kandung kemih dan walaupun disini
tidak terdapat alat seperti spingter uretra, jalannya yang miring cenderung membiarkan ureter tertutup, kecuali
sewaktu gelombang peristaltik guna mencegah refluk urine dari kandung kemih (Ganong,1983).
Sewaktu pengisisan normal kandung kemih, akan terjadi hal-hal sebagai berikut:
• Sensasi kandung kemih harus intak
• Kandung kemih harus tetap dapat berkontraksi dalam keadaan tekanan rendah walaupun volume urine
bertambah.
• Bladder outlet harus tetap tertutup selama waktu pengisian ataupun saat terjadi peninggian tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba.
• Kandung kemih harus dalam keadaan tidak berkontraksi involunter,

2.2.2. Pengosongan Kandung Kemih.


Kandung kemih hanya mempunyai dua fungsi yaitu untuk mengumpulkan (pengisian) dan mengeluarkan
(pengosongan) urin menurut kehendak. Aktifitsas sistem saraf untuk kedua sistem ini adalah berbeda. Proses
berkemih adalah suatu proses yang sangat komplet dan masih banyak membingungkan. Berkemih dasarnya adalah
suatu reflek spinal yang dirangsang dan dihambat oleh pusat-pusat di otak, seperti halnya perangsangan defekasi,
dan penghambatan ini volunter. Urine yang masuk kedalam kandung kemih tidak menimbulkan kenaikan tekanan
intra vesikal yang berarti, sampai kandung kemih benar-benar terisi penuh. Seperti otot
©2003 Digitized by USU digital library 8
polos lainnya otot-otot kandung kemih juga mempunyai sifat elastis bila diregangkan. Pengosongan kandung kemih
melibatkan banyak faktor, tetapi faktor tekanan intra vesikal yang dihasilkan oleh sensasi rasa penuh adalah
merupakan pertama untuk berkontraksinya kandung kemih secara volunter. Selama berkemih otot-otot perineal dan
muskulus spingter uretra eksternus mengalami relaksasi, sedangkan muskulus detrusor mengalami kontraksi yang
menyebabkan urin keluar melalui uretra. Pita-pita otot polos yang terdapat pada sisi uretra tampaknya tidak
mempunyai peranan sewaktu berkemih, dimana fungsi utamanya diduga untuk mencegah refluk semen kedalam
kandung kemih sewaktu ejakulasi (Ganong,1983).
Mekanisme pengeluaran urine secara volunter, mulainya tidak jelas. Salah satu peristiwa yang mengawalinya adalah
relaksasi otot diafragma pelvis yang menyebabkan tarikan otot-otot detrusor kebawah untuk memulai kontraksinya.
Otot-otot perineal dan spingter eksterna berkontraksi secara volunter yang mencegah urine masuk kedalam uretra
atau menghentikan aliran saat berkemih telah dimulai. Hal ini diduga merupakan kemampuan untuk
mempertahankan spingter eksterna dalam keadaan berkontraksi, dimana pada orang dewasa dapat menahan kencing
sampai ada kesempatan untuk berkemih. Setelah berkemih uretra wanita kosong akibat gravitasi, sedangkan urine
yang masih ada dalam uretra laki-laki dikeluarkan oleh beberapa kontraksi muskulus bulbo kavernosus
(Tanagho,1995;Turek,1993).
Pada orang dewasa volume urine normal dalam kandung kemih yang mengawali reflek kontraksi adalah 300-400
ml. Didalam otak terdapat daerah perangsangan untuk berkemih di pons dan daerah penghambatan di mesensefalon.
Kandung kemih dapat dibuat berkontraksi walau hanya mengandung beberapa milliliter urine oleh perangsangan
volunter reflek pengosongan spiral. Kontraksi volunter otot-otot dinding perut juga membantu pengeluaran urine
dengan menaikkan tekanan intra abdomen. Pada saat kandung kemih berisi 300-400 cc terasa sensasi kencing dan
apabila dikehendaki atas kendali pusat terjadilah proses berkemih yaitu relaksasi spingter (internus dan eksternus)
bersamaan itu terjadi kontraksi otot detrusor buli-buli. Tekanan uretra posterior turun (spingter) mendekati 0 cmH2O
sementara itu tekanan didalam kandung kemih naik sampai 40 cmH2O sehingga urin dipancarkan keluar melalui
uretra (Rochani, 2000).
2.2.3. Retensi Urin.
Penyebab retensio urine dapat dibagi menjadi 3 kelompok (Rochani,2000) :
1. Supra Vesika
Penyebab supra vesikal adalah hal-hal yang disebabkan karena persarafan kandung kemih misalnya trauma
medula spinalis, atau kerusakan syaraf-syaraf sympatis dan para sympatis akibat trauma operasi atau
neuropati DM. Obat-obatan anticholinergike, smooth muscle relaksasi. Symphatikomimetik dapat
menyebabkan retensi urine.
2. Vesika.
Penyebab vesikal adalah kelainan-kelainan kandung kemih yang diakibatkan obstruksi lama atau infeksi
kronis yang menyebabkan fibrosis buli-buli sehingga kontraksi buli-buli melemah.
3. Infra Vesikal
Penyebab infra vesikal adalah penyebab mekanik seperti :
A. Klep uretra posterior kongenital
B. Meatus stenosis kongenital
C. Striktur uretra
D. Batu uretra
E. Prostat hipertropi

2.3 PEMBESARAN PROSTAT JINAK


BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
2.3.1. Insiden.
Pembesaran prostat jinak (BPH) merupakan penyakit pada laki-laki usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai.
Karena letak anatominya yang mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat akan menekan lumen uretra yang
menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih. Signifikan meningkat dengan meningkatnya usia. Pada pria
berusia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka
tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan
(Sjamsuhidajat, 1996).
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria
berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan
diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh
penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun
atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita BPH.
Dengan semakin membaiknya pembangunan dinegara kita yang akan memberikan dampak kenaikan umur harapan
hidup, maka BPH akan semakin bertambah. Oleh karena itu BPH harus dapat dideteksi oleh para dokter, dengan
mengenali manifestasi klinik dari BPH dan dapat dikelola secara rasional sehingga akan memberikan morbiditas dan
mortalitas yang rendah dengan biaya yang optimal (Rahardjo,1997).
2.3.2. Patofisiologi.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita
harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah,
dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan karena hipersensitivitas otot detrusor berarti
bertambahnya frekwensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor
gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini
diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinik.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin
didalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat
akan terjadi kemacatan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka
pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila
tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan spingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks.
Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan
ginjal dipercepat bila terjadi infeksi
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemorroid.
Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluks
dapat terjadi pielonefritis (Sjamsuhidajat ,1997).
2.3.3. Etiologi
Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penilitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat
mengugkapkan dengan jelas etiologi terjadinya BPH. Dianggap adanya ketidak seimbangan hormonal oleh karena
proses ketuaan. Salah satu teori ialah teori Testosteron (T) yaitu T bebas yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron
(DHT) oleh enzim 5 a reduktase yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor
DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam
inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein. Teori yang disebut diatas
menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase (Rahardjo,1997).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah :
• Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
• Meningkatkan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
• Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi
sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Purnomo,2000;Rahardjo, 1997).

. 3-1.a: A. Prostat normal ; 1.uretra 2.kelenjar periuretra 3.kelenjar prostat,


B. Hiperplasi prostat ; 1.uretra yg terjepit 2.periuretra yang hiperplasi
lenjar asli prostat yang tertekan menjadi seperti simpai (simpai prostat)

Gbr 3.1.b: Serabut otot yang tertekan membentuk surgical capsule.


2.3.4. Gejala Klinik
Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi kalau neoplasma telah menekan lumen
urethra prostatika, urethra menjadi panjang (elongasil), sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran
pembesaran noduler ini tidaklah berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan yang lain dengan
kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya sedikit, karena dapat ditoleransi dengan baik.
Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS (Internasional Prostate Symptom Score)
diklasifikasi dengan skore 0-7 penderita ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat (Rahardjo,1997).
Ada juga yang membagi berdasarkan derajat penderita hiperplasi prostat berdasarkan gambaran klinis:
(Sjamsuhidajat,1997)
- Derajat I : Colok dubur ; penonjolan prostat, batas atas mudah diraba,
dan sisa volume urin <50 ml
- Derajat II : Colok dubur: penonjolan prostat jelas,

batas atas dapat dicapai, sisa volume urin 50-100 ml


- Derajat III: Colok dubur; batas atas prostat tidak dapat diraba,

sisa volume urin>100 ml


- Derajat IV : Terjadi retensi urin total.

Pada penderita BPH dengan retensi urin pemasangan kateter merupakan suatu pertolongan awal, selain
menghilangkan rasa nyeri juga mencegah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan karena adanya bendungan air kemih
( Sarim,1987).
Gejala klinik yang timbul disebabkan oleh karena dua hal:
1. Obstuksi.
2. Iritasi.

Gejala-gejala klinik ini dapat berupa (Brown, 1982; Blandy, 1983 ; Burkit, 1990; Forrest,1990; Weinerth,1992 :
• Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan pancaran dan kaliber aliran
urine, oleh karena lumen urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra mengecil dan tahanan di dalam
urethra meningkat, sehingga kandung kemih harus
memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan urine.
• Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode laten, sebelum kandung kemih
dapat menghasilkan tekanan intra-vesika yang cukup tinggi.
• Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih, jika kandung kemih tidak dapat
mempertahankan tekanan yang tinggi selama berkemih, aliran urine dapat berhenti dan dribbling (urine
menetes setelah berkemih) bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan
valvasa menauver sewaktu berkemih.
• Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal mengosongkan urine secara sempurna,
sejumlah urine tertahan dalam kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih (frequency) dan
sering berkemih malam hari (nocturia).
• Infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala, karena akan menambah obstruksi akibat
inflamasi sekunder dan oedem.
• Residual urine juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung kemih.
• Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan pembuluh darahnya menjadi rapuh.
• Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga dapat menyebabkan refluk vesikoureter
dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis.
• Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure) dan gejala-gejala uremia berupa
mual, muntah, somnolen atau disorientasi, mudah lelah dan penurunan berat badan.

2.3.5. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan phisik diagnostik yang paling penting untuk BPH adalah colok dubur (digital rectal examination). Pada
pemeriksaan ini akan dijumpai pembesaran prostat teraba simetris dengan konsistensi kenyal, sulkus medialis yang
pada keadaan normal teraba di garis tengah, mengalami obliterasi karena pembesaran kelenjar. Oleh karena
pembesaran kelenjar secara longitudinal, dasar kandung kemih (kutub/pole atas prostat) terangkat ke atas sehingga
tidak dapat diraba oleh jari sewaktu colok dubur.

Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus dicurigai suatu karsinoma. Franks pada
tahun 1954 mengatakan: BPH terjadi pada bagian dalam kelenjar yang mengelilingi urethra prostatika sedangkan
karsinoma terjadi di bagian luar pada lobus posterior (Jonhson,1988; Burkit,1990).
Kelenjar prostat Normal Kelenjar prostat Hiperplasia,

ada pendorongan prostat kearah rektum


Kelenjar prostat Karsinoma,

teraba nodul keras


Gbr. 3-2A : Digital Rectal Examination , Kelenjar Prostat Normal, Hiperplasia, Karsinoma.

Gbr. 3-2B : Potongan horizontal kelenjar prostat normal, Hipertrofi, Karsinoma.


2.3.6. Pemeriksaan Pencitraan.
Ultrasonografi dapat dilakukan secara trans-abdominal atau trans-rektal (TRUS). Cara ini dianggap sebagai
pemeriksaan yang baik oleh karena ketepatannya dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak ada bahaya radiasi
dan juga relatif murah. Selain untuk mengetahui pembesaran prostat pemeriksaan ultrasonografi dapat pula
menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu.
Dengan USG trans-rektal dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar
prostat dapat pula dilakukan dengan USG supra pubik. Payaran CT atau MRI jarang dilakukan.
Dengan pemeriksaan radiologi seperti foto polos perut dan pielografi intra vena dapat diperoleh keterangan
mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih. Kalau dibuat
foto setelah miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar
kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran
sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi
ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan
sistogram retrograd (Rahardjo,1997; Sjamsuhidajat,1997).
2.4. KATETER (Pernomo,2000).
2.4.1. JENIS KATETER.
Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat pemakaian, sistem pengunci dan jumlah
percabangannya
2.4.1.1. Ukuran Kateter.
Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini merupakan ukuran diameter luar
kateter. 1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 mm atau 1 mm = 3 Fr. Jadi kateter yang berukuran 18 Fr artinya
diameter luar kateter itu adalah 6mm. Kateter yang mempunyai ukuran sama belum tentu mempunyai diameter
lumen yang sama karena perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter itu.

Gbr. 4.1 : Ukuran Kateter, Charriere (Ch);diameter merupakan 1/3 ukuran


Ch. (gambar dicetak dengan ukuran asli tepat)
2.4.1.2. Bahan Kateter .
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless) dan karet (lateks), latek dengan lapisan silikon (siliconized) dan
silikon. Perbedaan bahan
©2003 Digitized by USU digital library 15
kateter menentukan biokompatibilitas kateter di dalam buli-buli, sehingga akan mempengaruhi pula daya tahan
kateter yang terpasang di buli-buli.

2.4.1.3. Bentuk, Sifat dan Sistem Kateter.


Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks), bentuknya lurus dan tanpa ada
percabangan. Contoh kateter jenis ini adalah kateter Robinson dan kateter Nelaton (Gbr 4-2).

Gbr. 4-2 : Kateter tanpa percabangan, A. Kateter Nelaton, B. Kateter


dengan ujung lengkung
Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping. Kateter ini dipakai jika usaha kateterisasi dengan
memakai kateter berujung lurus mengalami hambatan yaitu pada saat kateter masuk ke uretra pars bulbosa yang
berbentuk huruf “S”, adanya hiperplasi prostat yang sangat besar, atau hambatan akibat sklerosis leher buli-buli.
Dengan bentuk ujung yang lengkung dan ramping kateter ini dapat menerobos masuk kedalam hambatan tadi.
Contoh kateter ini adalah kateter Tiemann (Gbr. 4-2).
Self retaining catheter : yaitu kateter yang dapat dipakai menetap dan ditinggalkan di dalam saluran kemih
dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dimungkinkan karena ujungnya melebar jika ditinggalkan di dalam buli-buli.
Kateter jenis ini antara lain adalah kateter Malecot, kateter Pezzer, dan kateter Foley (Gbr 4-3).
Kateter Foley adalah kateter yang dapat ditinggalkan menetap untuk jangka waktu tertentu karena di dekat,
ujungnya terdapat pelebaran berupa balon yang diisi dengan air sehingga mencegah kateter terlepas keluar dari buli-
buli.
2.4.1.4. Jumlah Cabang Kateter.
Sesuai dengan percabangannya kateter ini dibedakan dalam 3 jenis, yaitu :
• Tidak bercabang, untuk pemakaian sebentar (nelaton kateter).
􀂃Kateter cabang 2 (two way catheter) : selain lumen untuk mengeluarkan urine juga terdapat lumen untuk
memasukkan air guna mengisi balon.
􀂃Kateter cabang 3 (three way catheter) terdapat satu lumen lagi yang berfungsi untuk mengalirkan air
pembilas (irigan) yang dimasukkan melalui selang infus. Kateter ini biasanya dipakai setelah operasi
prostat untuk mencegah timbulnya bekuan darah.

Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui urtetra. Istilah kateterisasi sudah dikenal
sejak zaman hipokratas yang pada waktu itu menyebutkan tentang tindakan instrumentasi untuk mengeluarkan
cairan dari tubuh. Bernard memperkenalkan kateter yang terbuat dari karet pada tahun 1779, sedangkan Foley
membuat kateter menetap pada tahun 1930. kateter Foley ini sampai saat ini masih dipakai secara luas di dunia

sebagai alat untuk mengeluarkan urin dari buli-buli.


Gbr. 4-3.a : Foley kateter yang sering dipakai pada pemakaian Kateter Menetap

Gbr. 4-3 : Kateter self retaining yang dapat ditinggalkan di dalam


bulu-buli, A. Kateter Foley, B. Kateter Pezzer, C. Kateter Malecot dua sayap, dan D. Kateter Malecot empat sayap.
2.4.2. TUJUAN KATETERISASI.
Tindakan kateterisasi ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun tujuan terapi. Kateterisasi yang dipasang
untuk tujuan diagnostik secepatnya dilepas setelah tujuan selesai, sedangkan pada yang ditujukan untuk terapi tetap
dipertahankan hingga tujuan ini terpenuhi.
Tindakan diagnosis antara lain adalah :
1. Kateterisasi pada dewasa untuk memperoleh contoh urin guna pemeriksaan kultur urin. Tindakan ini
diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya kontaminasi sampel urin oleh bakteri komensal yang
terdapat disekitar kulit vulva atau vagina pada wanita, preputium pada pria.
2. Mengukur residu urin (sisa) yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi.
3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi antara lain : sistografi atau pemeriksaan adanya
refluk vesiko-ureter melalui pemeriksaan voiding cysto-urethrography (VCUG).
4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
5. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar dan sebagai gambaran perfusi jaringan.

Tindakan kateterisasi untuk tujuan terapi antara lain:


1. Draenase dari buli-buli pada keadaan obstruksi infra-vesika baik yang disebabkan oleh hiperplasi prostat
maupun oleh benda asing (bekuan darah) yang menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli (neurogenik bladder, inkontinensia).
3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada prostatektomi, vesikolitotomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
5. Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB).
6. Memasukkan obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik untuk buli-buli.
2.4.3. KATETERISASI

2.4.3.1. Persiapan Kateterisasi.


Tindakan katerisasi merupakan tindakan invasif dan dapat menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika
dikerjakan dengan cara yang keliru akan menimbulkan kerusakan saluran uretra yang permanen. Oleh karena itu
sebelum menjalani tindakan ini pasien harus diberi penjelasan dan menyatakan persetujuannya melalui surat
persetujuan tindakan medik (informed Consent).
Setiap pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu :
􀂃Pesangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan disinfeksi secukupnya memakai bahan yang
tidak menimbulkan ritasi pada kulit genitalia dan jika perlu diberi profilaksis antibiotika sebelumnya.
􀂃Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien.
􀂃Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif untuk melakukan drainase urine yaitu
untuk orang dewasa ukuran 16F – 18F. Dalam hal ini tidak diperkenankan mempergunakan kateter logam
pada tindakan kateterisasi pada pria karena akan menimbulkan kerusakan uretra.
􀂃Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai sistem tertutup yaitu dengan dengan
menghubungkan kateter pada saluran penampung urine (urinbag).
􀂃Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan definitip terhadap penyebab
retensi urine. Perlu diingat bahwa makin lama kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit
berupa infeksi atau cedera uretra.
©2003 Digitized by USU digital library 18

Gbr 4-4 : Kateter Foley dengan 2 cabang dan 3 cabang, perhatikan


jumlah lubang pada dinding kateter
2.4.3.2. Teknik Kateterisasi
A. Kateter Uretra.
Pada Wanita
Tidak seperti pada pria, teknik pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra
wanita lebih pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra karena terdapat
stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks. Untuk itu
mungkin perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.
Pada Pria
Urutan teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
􀂃Desinfeksi pada penis dan daerah di sekitarnya, daerah genitalia dipersempit dengan kain steril.
􀂃Masukkan pelicin/ jelly kedalam uretra 2-3 cc
􀂃Kateter dimasukkan kedalam orifisium uretra eksterna.
􀂃Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah bulbo-membranasea (yaitu daerah
sfingter uretra eksterna) akan terasa tahanan; dalam hal ini pasien diperintahkan untuk mengambil
nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus didorong hingga masuk
ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urine dari lubang kateter.
􀂃Sebaliknya kateter terus didorong masuk ke buli-buli lagi hingga percabangan kateter menyentuh
meatus uretra eksterna.
􀂃Balon kateter dikembangkan dengan 5 – 10 ml air steril.
􀂃Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung (urinbag).
􀂃Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal. Fiksasi kateter yang
tidak betul, (yaitu yang mengarah ke kaudal) akan menyebabkan terjadinya penekanan pada uretra
bagian penoskrotal sehingga terjadi nekrosis. Selanjutnya di tempat ini akan timbul striktura uretra atau
fistel uretra

Kesulitan dalam memasukkan Kateter


Kesulitan memasukkan kateter pada pasien pria dapat disebabkan oleh karena kateter tertahan di uretra
pars bulbosa yang bentuknya seperti huruf “S”, ketegangan dari sfingter uretra eksterna karena pasien merasa
kesakitan dan ketakutan, atau terdapat sumbatan organik di uretra yang disebabkan oleh batu uretra, striktur uretra,
kontraktur leher buli-buli, atau tumor uretra.
Ketegangan sfingter uretra eksterna dapat diatasi dengan cara :
􀂃Menekan tempat itu selama beberapa menit dengan ujung kateter sampai terjadi relaksasi sfingter dan
diharapkan kateter dapat masuk dengan lancar ke buli-buli.
􀂃Pemberian anestesi topikal berupa campuran lidokain hidroklorida 2% dengan jelly 10 – 20 ml yang
dimasukkan per-uretram, sebelum dilakukan kateterisasi.
􀂃Pemberian sedativa perenteral sebelum kateterisasi.

Pemakaian kateter menetap akan mengundang timbulnya beberapa penyulit jika pasien tidak merawatnya dengan
benar. Karena itu beberapa hal yang perlu dijelaskan pada pasien adalah :
􀂃Pasien harus banyak minum untuk menghindari terjadinya enkrustasi pada kateter dan tertimbunnya
debris/kotoran dalam buli-buli.
􀂃Selalu membersihkan nanah, darah dan getah/sekret kelenjar periuretra yang menempel pada meatus
uretra/kateter dengan kapas basah.
􀂃Jangan mengangkat/ meletakkan kantong penampung urine lebih tinggi dari pada buli-buli karena dapat
terjadi aliran balik urine ke buli-buli.
􀂃Jangan sering membuka saluran penampung yang dihubungkan dengan kateter karena akan mempermudah
masuknya kuman.
􀂃Mengganti kateter setiap 2 minggu sekali dengan yang baru.

Penyulit yang bisa terjadi pada tindakan kateterisasi


􀂃Kateterisasi yang kurang hati-hati (kurang kesabaran) dapat menimbulkan lesi dan pendarahan pada uretra
apalagi jika mempergunakan kateter logam. Tidak jarang pula kerusakan uretra terjadi karena balon kateter
sudah dikembangkan sebelum ujung kateter masuk ke dalam buli-buli.
􀂃Tindakan kateterisasi dapat mengundang timbulnya infeksi.
􀂃Fiksasi kateter yang keliru akan menimbulkan nekrosis uretra di bagian penoskrotal dan dapat menimbulkan
fistula, abses, ataupun striktura uretra.
􀂃Kateter yang terpasang dapat bertindak sebagai inti dari timbulnya batu saluran kemih.
􀂃Pemakian kateter dalam jangka waktu lama akan menginduksi timbulnya keganasan pada buli-buli.
B. Kateterisasi Suprapubik (Sistostomi)
Kateterisasi suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang pada buli-buli melalui insisi
suprapubik dengan tujuan untuk mengeluarkan urine.
Kateterisasi ini biasanya dikerjakan pada :
􀂃Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
􀂃Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra misalkan pada reptur uretra atau dugaan adanya
reptur uretra dengan retensi urine.
􀂃Jika ditakutkan akan terjadi kerusakan uretra pada pemakaian kateter uretra yang terlalu lama.
􀂃Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
􀂃Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR Prostat.

Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka atau dengan perkuatan
(trokar) sistostomi.

B.1. Sistostomi Tertutup (DenganTrokar)


Sistostomi trokar tidak boleh dikerjakan pada : tumor buli-buli, hematuri yang belum jelas sebabnya,
riwayat pernah menjalani operasi daerah abdomen/ pelvis, buli-buli yang ukurannya kecil (contracted bladder), atau
pasien yang mempergunakan alat prostesis pada abdomen sebelah bawah. Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi
lokal dan mempergunakan alat trokar.
Alat-alat dan bahan yang digunakan
􀂃Kain kasa steril, alat dan obat untuk disinfeksi (yodium povidon).
􀂃Kain steril untuk mempersempit lapangan operasi.
􀂃Semprit beserta jarum suntik untuk pembiusan lokal dan jarum yang telah diisi dengan aquadest steril untuk
fiksasi balon kateter.
􀂃Obat anestesi lokal.
􀂃Alat pembedahan minor antara lain pisau, jarum jahit kulit, benang sutra (zeyde), dan pemegang jarum.
􀂃Alat trokar dari Campbel atau trokar konvensional (Gbr. 4-5).
􀂃Kateter Foley (yang ukurannya tergantung pada alat trokar yang digunakan). Jika mempergunakan alat
trokar konvensional harus disediakan kateter Naso-gastrik (NG tube) no 12.
􀂃Kantong penampung urine (urobag).

Teknik Pelaksanaan.
Sebelum menjalani tindakan, pasien dan keluarganya harus sudah mendapatkan penjelasan tentang semua
aspek mengenai tindakan yang akan dijalaninya, dan kemudian menulis dalam surat persetujuan untuk dilakukan
tindakan medik (informed consent).

Langkah-langkah sistostomi trokar.


1. Disinfeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan lidokain 2% mulai dari kulit, subkutis hingga ke fasia.
4. Insisi kulit suprapubik di garis tengan pada tempat yang paling cembung ± 1 cm, kemudian diperdalam
sampai ke fasia.
5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit 10 cc untuk memastikan tempat
kedudukan buli-buli.
6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya tahanan dari fasia dan otot-otot detrusor
(Gbr. 4-6).
7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-buli akan keluar urine memancar melalui
sheath trokar.
8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator (penusuk) dan sheath dikeluarkan dari buli-
buli sedangkan bagian slot kateter setengah lingkaran tetap ditinggalkan (Gbr. 4-7).
9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah lingkaran, kemudian balon dikembangkan
dengan memakai aquadest 10 cc. Setelah diyakinkan balon berada di buli-buli, slot kateter setengah
lingkaran dikeluarkan dari buli-buli dan kateter dihubungkan dengan kantong penampung (urobag). (Gbr.
4-8).
10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi ditutup dengan kain kasa steril. (Gbr. 4-
9).

Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell dapat pula dipakai alat trokar konvensional, hanya saja pada
langkah ke 8, karena alat ini tidak dilengkapi dengan slot kateter setengah lingkaran maka kateter yang dipakai
adalah kateter lambung (NG tube) nomer 12 F. Kateter ini setelah dimasukkan kedalam buli-buli pangkalnya harus
dipotong untuk mengeluarkan alat trokar dari bulu-buli.
Di klinik-klinik yang menyediakan alat sistofiks (cystocath) alat trokar sebagai penusuknya sudah
menempel dengan kantong penampung. Alat ini hanya dipakai sekali (disposible).

Penyulit:
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun
setelah pemasangan kateter sistostomi adalah :
􀂃Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.
􀂃Mencederai rongga/organ peritoneum.
􀂃Menimbulkan perdarahan.
􀂃Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik akan menimbulkan infeksi, enkrustasi
kateter, timbul batu saluran kemih, degenerasi maligna mukosa buli-buli, dan terjadi refluks vesiko-ureter.

Menusukkan alat trokar


Ke dalam buli-buli
Gbr. 4-6 : Menusukkan trokar ke dalam buli-buli.
Setelah yakin trokar masuk
Di buli-buli, obturator dilepas
dan hanya slot kateter setengah

lingkaran dilepaskan
Gbr. 4-7 : Trokar masuk di buli-buli. Kateter dimasukkan melalui
Tuntunan slot kateter setengah lingkaran, kemudian balon kateter
dikembangkan dan slot kateter

setengah lingkaran dicabut


Gbr. 4-8 : Memasukkan kateter melalui tuntunan slot kateter
setengah lingkaran
Kateter difiksasi
pada kulit
Gbr. 4-9 : Kateter difiksasikan pada kulit.

B.2. Sistostomi Terbuka


Sistostomi terbuka dikerjakan jika terdapat kontraindikasi pada tindakan sistostomi trokar atau tidak tersedia alat
trokar.
Dianjurkan melakukan sistostomi terbuka jika terdapat jaringan sikatriks/ bekas operasi di suprasimfisis, sehabis
mengalami trauma di daerah panggul yang mencederai uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada buli-buli
yang tidak mungkin dilakukan tindakan peruretra. Tindakan ini dikerjakan dengan memakai anestesi lokal atau
anestesi umum. Teknik
1. Disifeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
4. Insisi vertikal pada garis tengah ± 3,5 cm di antara pertengahan simfisis dan umbilikus.
5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba yang merupakan pertemuan fasia yang
membungkus muskulus rektus kiri dan kanan. Meskulus rektus kiri dan kanan dipisahkan sehingga terlihat
jaringan lemak, buli-buli dan peritoneum. Buli-buli dapat dikenali karena warnanya putih banyak terdapat
pembuluh darah.
6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk memudahkan memegang buli-buli.
7. Dilakukan fisasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara dua tempat yang telah difiksasi.
9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau tajam hingga keluar urine, yang
kemudian (kalau perlu) diperlebar dengan klem. Urine yang keluar dihisap dengan mesin penghisap.
10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya : tumor, batu, adanya perdarahan, muara ureter atau
penyempitan leher buli-buli.
11. Pasang kateter Foley ukuran 20 F – 24 F pada lokasi yang berbeda dengan luka operasi.
12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan seromuskularis.
13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi lapis. Balon kateter dikembangkan dengan
aquadest 10 cc dan difiksasikan ke kulit dengan benang sutra.

Prostat adalah kelenjar eksokrin pada sistem reproduksi pria. Fungsi utamanya adalah untuk
mengeluarkan dan menyimpan sejenis cairan yang menjadi dua pertiga bagian dari air mani. Kelenjar
prostat memproduksi cairan seminal dan sekresi lain yang membuat saluran uretra terjaga
kelembabannya. Pada waktu lahir, kelenjar tersebut kecil dan tumbuh
bersamaan dengan semakin tingginya produksi androgen meningkat pada masa puber. Pada saat
dewasa, kelenjar prostat masih stabil sampai umur 50 tahun yang selanjutnya mulai terjadi
pembesaran.7,15
BPH adalah pertumbuhan berlebihan sel-sel prostat yang tidak ganas.BPH kadang tidak
menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang, pada akhirnya akan mendesak uretra
yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada penderita. 5,15
BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan cepat. Tanda klinis
terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur / digital
rectal examination (DRE). BPH prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal, ukuran dan
konsistensi prostat perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak
berhubungan dengan derajat obstruksi. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba
keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2. 4,8,16
2.2. GEJALA DAN TANDA
a. Gejala Umum BPH :8,9
1. Sering kencing
2. Sulit kencing
3. Nyeri saat berkemih
4. Urin berdarah
5. Nyeri saat ejakulasi
6. Cairan ejakulasi berdarah
7. Gangguan ereksi
8. Nyeri pinggul atau punggung
Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala
obstruktif dan gejala iritatif.3
1. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran kencing lemah (loss of force), pancaran kencing
terputus-putus (intermitency), tidak lampias saat selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin
kencing lagi sesudah kencing (double voiding) dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih
(terminal dribbling).
2. Gejala iritatif adalah frekuensi kencing yang tidak normal (polakisuria), terbangun di tengah
malam karena sering kencing (nocturia), sulit menahan kencing (urgency), dan rasa sakit waktu
kencing (disuria), kadang juga terjadi kencing berdarah (hematuria).
b. Tanda
Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran konsistensi kenyal pada pemeriksaan
colok dubur / digital rectal examination (DRE). Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang
teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2. 5
2.3. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon,
dan faktor perubahan usia, di antaranya:3,4
a. Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5- α reduktase dikonversi
menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
b. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan
epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang
kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. Ia menyimpulkan bahwa
hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada usia dewasa.
c. Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada
kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-
jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying,
yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel amplifying akan berkembang menjadi sel transit
yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan
berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
d. Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan
unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah
pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau
fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor- α
(TGF - α), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan
pembesaran prostat. Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu
adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan kongenital
berupa defisiensi 5- α eduktase, yaitu enzim yang mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum
DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar
testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi testosterone menjadi estrogen pada
jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran androgen dan
estrogen dalam pembesaran prostat benigna adalah kompleks dan belum jelas. Tindakan kastrasi
sebelum masa pubertas dapat mencegah pembesaran prostat benigna. Penderita dengan kelainan
genetik pada fungsi androgen juga mempunyai gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini,
barangkali androgen diperlukan untuk memulai proses BPH, tetapi tidak dalam hal proses
pemeliharaan. Estrogen berperan dalam proses pembesaran stroma yang selanjutnya merangsang
pembesaran epitel.3,4
2.4. FAKTOR-FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :
1. Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron
akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-
reductase, yang memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat 10
2. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot detrusor) dan penurunan
fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam
mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat,
sehingga menimbulkan gejala.17 Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara
keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron, dihidrotestosteron dan
androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-alfa-reduktase menjadi
dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi
ereksi.7 Tugas lain testosteron adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium
di tulang. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada
usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas. 18
3. Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi BPH dibanding ras lain.
Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH paling rendah. 5
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi yang sama pada
anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin
besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga
mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka
risiko meningkat menjadi 2-5 kali. Dari penelitian terdahulu didapatkan OR sebesar 4,2 (95%, CI
1,7-10,2)5
5. Obesitas
Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual, tipe bentuk tubuh yang
mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang membesar di bagian pinggang dengan perut
buncit, seperti buah apel. Beban di perut itulah yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-
lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit lemak berlebihan juga akan
mengganggu kinerja testis.6 Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh
terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan
menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada laki-laki biasanya berupa
penimbunan lemak pada abdomen. Salah satu cara pengukuran untuk memperkirakan lemak tubuh
adalah teknik indirek, di antaranya yang banyak dipakai adalah Body Mass Indeks (BMI) dan waist
to hip ratio (WHR). BMI diukur dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan
(m). Interpretasinya (WHO) adalah overweight (BMI 25-29,9 kg/m2), obesitas (BMI > 30 kg/m2).
Pengukuran BMI mudah dilakukan, murah dan mempunyai akurasi tinggi. WHR diukur dengan cara
membandingkan lingkar pinggang dengan lingkar panggul. Pengukurannya dengan cara penderita
dalam posisi terlentang, lingkar pinggang diambil ukuran minimal antara xyphoid dan umbilicus dan
lingkar pinggul diambil ukuran maksimal lingkar gluteus - simfisis pubis. Pada laki-laki dinyatakan
obesitas jika lingkar pinggang > 102 cm atau WHR > 0,90. 19 Pada penelitian terdahulu didapatkan
Odds Rasio (OR) pada laki-laki yang kelebihan berat badan (BMI 25-29,9 kg/m 2) adalah 1,41 pada
lakilaki obesitas (BMI 30-34 kg/m 2) adalah 1,27 sedangkan pada laki-laki dengan obesitas parah
(BMI >35 kg/m2) adalah 3,52.13
6. Pola Diet
Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh pada fungsi reproduksi
pria. Yang paling penting adalah seng, karena defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan
testis yang selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron. 6 Selain itu, makanan tinggi lemak dan
rendah serat juga membuat penurunan kadar testosteron. Penelitian terdahulu didapatkan OR : 2,38
(95% CI : 1,20- 4,90). Walaupun kolesterol merupakan bahan dasar untuk sintesis zat pregnolone
yang merupakan bahan baku DHEA (dehidroepianandrosteron) yang dapat memproduksi
testosteron, tetapi bila berlebihan tentunya akan terjadi penumpukan lemak pada perut yang akan
menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis, sehingga kelebihan lemak tersebut justru dapat
menurunkan kemampuan seksual. Akibat lebih lanjut adalah penurunan produksi testosteron, yang
nantinya mengganggu prostat. Suatu studi menemukan adanya hubungan antara penurunan risiko
BPH dengan mengkonsumsi buah dan makanan mengandung kedelai yang kaya akan isoflavon.
Kedelai sebagai estrogen lemah mampu untuk memblokir reseptor estrogen dalam prostat terhadap
estrogen. Jika estrogen yang kuat ini sampai menstimulasi reseptor dalam prostat, dapat
menyebabkan BPH. Studi demografik menunjukkan adanya insidensi yang lebih sedikit timbulnya
penyakit prostat ini pada laki-laki Jepang atau Asia yang banyak mengkonsumsi makanan
darikedelai. Isoflavon kedelai yaitu genistein dan daidzein, secara langsung mempengaruhi
metabolisme testosteron. Risiko lebih besar terjadinya BPH adalah mengkonsumsi margarin dan
mentega, yang termasuk makanan yang mengandung lemak jenuh. Konsumsi makanan yang
mengandung lemak jenuh yang tinggi (terutama lemak hewani), lemak berlebihan dapat merusak
keseimbangan hormon yang berujung pada berbagai penyakit. Estrogen, hormon yang jumlahnya
lebih besar pada wanita ternyata juga dimiliki oleh pria (dalam jumlah kecil). Namun, hormon ini
sangat penting bagi pria, sebab estrogen mengatur libido yang sehat, meningkatkan fungsi otak
(terutama ingatan), dan melindungi
jantung. Tetapi jika tingkatnya terlalu tinggi, maka tingkat hormone testoteron akan berkurang, dan
pria akan mengalami kelelahan, lemas, fungsi seksual yang menurun, dan akan terjadi pembesaran
prostat. Masukan makanan berserat berhubungan dengan rendahnya kadar sebagian besar aktivitas
hormon seksual dalam plasma, tingginya kadar
SHBG (sex hormone-binding globulin), rendahnya/bebas dari testosteron. Mekanisme pencegahan
dengan diet makanan berserat terjadi akibat dari waktu transit makanan yang dicernakan cukup lama
di usus besar sehingga akan mencegah proses inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam inti sel.
Pada sayuran juga didapatkan mekanisme yang multifaktor
dimana di dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti karsinogen seperti karoteniod, selenium dan
tocopherol. Dengan diet makanan berserat atau karoten diharapkan mengurangi pengaruh bahan-
bahan dari luar dan akan memberikan lingkungan yang akan menekan berkembangnya sel-sel
abnormal.20,21,22,23
7. Aktivitas Seksual
Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk pembentukan hormon laki-laki. BPH
dihubungkan dengan kegiatan seks berlebihan dan alasan kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar
prostat mengalami peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jikasuplai darah ke prostat
selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang
Mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang tidak bersih akan mengakibatkan
infeksi prostat yang mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan
meningkatnya kadar hormon testosteron.20 Penelitian terdahulu didapatkan OR : 2,40.20
8. Kebiasaan merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas enzim perusak
androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron. 6 Penelitian terdahulu didapatkan OR :
2,74 (95% CI : 1,43-5,25)24
9. Kebiasaan minum-minuman beralkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6 yang penting untuk prostat
yang sehat. Zink sangat penting untukkelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat
dibandingkan dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan
prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormone testosteron kepada DHT. 24,25
Penelitian terdahulu didapatkan OR : 2.56 (95% CI : 1,37-4,75) 25
10. Olah raga Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih
sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif olahraga, kadar dihidrotestosteron
dapat diturunkan sehingga dapat memperkecil risiko gangguan prostat. Selain itu, olahraga akan
mengontrol berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat tetap stabil. Olahraga yang
dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan organ
seksual.19 Olahraga yang baik apabila dilakukan 3 kali dalam seminggu dalam waktu 30 menit setiap
berolahraga, olahraga yang dilakukan kurang dari 3 kali dalam seminggu terdapat sedikit sekali
perubahan pada kebugaran fisik
tetapi tidak ada tambahan keuntungan yang berarti bila latihan dilakukan lebih dari 5 kali dalam
seminggu.1 Olahraga akan mengurangi kadar lemak dalam darah sehingga kadar kolesterol menurun.
Penelitian terdahulu didapatkan OR : 2,58.19
11. Penyakit Diabetes Mellitus
Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dL mempunyai risiko tiga kali
terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki dengan penyakit Diabetes Mellitus mempunyai risiko dua
kali terjadinya BPH dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal. Penelitian terdahulu
didapatkan Odds Ratio (OR) pada penderita Diabetes Mellitus
adalah 2,25 (95%, CI : 1,23-4,11)13,26
2.5. PEMERIKSAAN
Terdapat dua pemeriksaan yang penting, yaitu darah dan urin. Pemeriksaan darah yang perlu
dilakukan khusus untuk prostat adalah kreatinin serum, elektrolit (Natrium dan Kalium), dan PSA
(Prostate Spesific Antigen). Pemeriksaan urin yang perlu dilakukan adalah sedimen urin dan kultur.
27,28 Nilai PSA 4-10 ng/ml dianggap sebagai daerah kelabu (gray area), perlu dilakukan penghitungan
PSA Density (PSAD), yaitu serum PSA dibagi dengan volume prostat. Apabila nilai PSAD > 0,15
perlu dilakukan biopsy prostat. Bila nilai PSAD < 0,15 tidak perlu dilakukan biopsi prostat. Nilai
PSA > 10 ng/ml dianjurkan untuk dilakukan biopsi prostat. 27,28 Di Indonesia, di mana rata-rata nilai
PSA pada penderita BPH 12,9 -
24,6 ng/ml, nilai normal PSA 8 ng/ml, sedangkan nilai daerah kelabu 8-30 ng/ml. Untuk nilai PSAD
> 0.20 baru perlu dilakukan biopsi prostat. Di Taiwan diperoleh angka nilai daerah kelabu 4,1-20,0
ng/ml dengan nilai 25 PSAD > 0,20 baru dilakukan biopsi. Tingginya angka PSA di Indonesia
berhubungan erat dengan kateterisasi dan volume prostat, mengingat
sebagian besar pasien datang dalam keadaan retensi dan dalam volume prostat yang besar.
2.6. PENGOBATAN
Sebelum menentukan tindakan pengobatan, pasien harus menjalani pemeriksaan awal lebih dulu.
Disini akan dipantau riwayat penyakit, pengukuran kualitas gejala, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
darah dan pemeriksaan urin. Pemeriksaan urin dilakukan dengan pengukuran sisa urin, tekanan aliran
urin dengan urodinamik, pencitraan prostat dengan ultra sonografi (USG) atau transabdominal
ultrasound (TAUS) dan transectal ultrasound (TRUS), serta pencitraan organ lain yang terkait
seperti ginjal dan ureter dengan USG dan foto rontgen. Diikuti teropong saluran kencing bagian
bawah dengan teknik endoskopi.14
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan
sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa
terjadi. Ini di lihat dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik secara
umum dan di Indonesia secara khususnya.
Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta,
bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar
prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,
2009). Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut
usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan
seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah
meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya
meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa
sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara histologi
penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan
meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 .
Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua
setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun,
dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit
PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam
lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih
bilangan rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang
berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara
umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit
BPH atau PPJ ini. Indonesia kini semakin hari semakin maju dan dengan
Universitas Sumatera Utara
2
berkembangnya sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti bertambah
dengan sarana yang makin maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara
pastinya turut meningkat. (Furqan, 2003)
Secara pasti, bilangan penderita pembesaran prostat jinak belum di dapat,
tetapi secara prevalensi di RS, sebagai contoh jika kita lihat di Palembang, di RS
Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang
dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617
kasus dalam periode yang sama (Ponco Birowo, 2002). Ini dapat menunjukkan
bahawa kasus BPH adalah antara kasus yang paling mudah dan banyak
ditemukan.
Kanker prostat, juga merupakan salah satu penyakit prostat yang lazim
berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya melibatkan pembesaran
jinak daripada prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan bilangan dan presentase
terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia secara khususnya.
Secara umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih
kurang 220,900 kasus baru ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000
daripadanya berada di tahap membunuh (A.K. Abbas, 2005) . Seperti juga BPH,
kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada usia di bawah
itu bukan merupakan suatu yang abnormal.
Secara khususnya di Indonesia, menurut (WHO,2008), untuk tahun 2005,
insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100,000 orang,
yakni yang keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan
hati .

Você também pode gostar