Você está na página 1de 7

ACARA III

ANALISIS MEDIA CETAK


LESTARI, MANDIRI DENGAN BUDIDAYA JAMUR

Disusun Oleh:
Nama : Dyah Ayu Safitri
NIM : 11294
Golongan : B3

LABORATORIUM PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERTANIAN


JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKATA
2009
ANALISIS MEDIA CETAK
“Lestari, Mandiri dengan Budidaya Jamur”

1. Nilai berita pada artikel berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi:


a. Timelines
Artikel “Lestari, Mandiri dengan Budidaya Jamur” memenuhi faktor timelines karena
bersifat baru dan tidak basi. Artikel ini dimuat dalam Koran Kompas pada hari Senin
tanggal 16 November 2009.
b. Proximity
Artikel ini membahas tentang prospek usaha budidaya jamur yang dilakukan oleh Lestari
di Bantul, Yogyakarta. Budidaya jamur merupakan salah satu usaha di bidang pertanian
yang mudah diterapkan oleh siapa saja. Dan Lestari juga menyampaikan bahwa dengan
mengembangkan usaha budidaya jamur ini dia bisa menjadi petani mandiri yang sukses.
Hal ini bersifat dekat dengan petani baik secara fisik maupun non fisik (emosi). Jadi
artikel ini memenuhi faktor proximity.
c. Importance
Dalam artikel ini terdapat informasi-informasi penting yang dibutuhkan petani, seperti
memberi gambaran usaha pertanian apa yang saat ini prospeknya cerah, kemudian
bagaimana cara membudidayakan jamur. Jadi dari artikel ini petani juga bisa
mengembangkan usaha budidaya jamur untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Jadi artikel ini telah memenuhi faaktor importance.
d. Policy
Artikel ini dimuat pada Koran Kompas. Di dalam Koran Kompas terdapat berbagai
rubrik. Dan salah satunya adalah membahas masalah pertanian. Tulisan ini dimuat dalam
rubrik pertanian. Dan materi yang disajikan dalam artikel ini berhubungan atau berkaitan
dengan kepentingan petani. Maka faktor policy telah terkandung dalam artikel ini.
e. Prominence
Dalam artikel ini, tokoh yang dibahas adalah Ibu Lestari, seorang sarjana pertanian yang
telah sukses dengan usaha budidaya jamurnya. Ibu Lestari bukanlah orang terkemuka
yang dikenal oleh semua orang. Namun dengan kiprahnya yang pernah menjadi Juara III
Kategori Holtikultura dari Sultan Hamengkubuwono X, paling tidak sudah bisa menjadi
acuan bahwa usaha jamurnya memang benar-benar berhasil dan patut untuk dicontoh.
Akan tetapi karena Ibu Lestari tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas, maka artikel ini
kurang memenuhi faktor prominence.
f. Consequence
Artikel ini membahas tentang profil usaha agribisnis di bidang budidaya jamur dan tidak
dibahas masalah kebijakan atau perundang-undangan yang dapat berakibat pada orang
banyak. Maka berita ini tidak mengandung unsur consequence.
g. Conflict
Dalam artikel ini tidak dibahas masalah konflik dalam kehidupan sehari-hari. Maka
artikel ini tidak mengandung unsur conflict.
h. Development
Artikel ini tidak membahas masalah keberhasilan maupun kegagalan, melainkan yang
dibahas adalah keberhasilan dari suatu usaha pertanian. Maka artikl ini tidak mengandung
unsur development.
i. Disaster and Crimes
Dalam artikel ini tidak dijelaskan adanya berita bencana ataupun kriminal. Maka artikel
ini tidak memenuhi faktor disaster and crimes.
j. Human Interest
Dalam artikel ini diceritakan tentang keberhasilan Ibu Lestari dalam menjalankan usaha
budidaya jamur. Ibu Lestari awalnya bekerja di sebuah perusahaan Korea di Banjarmasin
dan meninggalkan pekerjaannya karena ingin menjadi petani mandiri dengan melakukan
usaha budidaya jamur di Yogyakarta. Dan usaha tersebut ternyata sukses dan mendapat
banyak keuntungan. Dalam artikel ini terdapat unsur-unsur yang bisa menyentuh
pendapat dan pikiran pembaca, salah satunya adalah pendapat pembaca bahwa usaha
jamur mempunyai prospek yang cerah. Jadi dalam artikel ini terdapat faktor human
interest.

2. Artikel “Lestari, Mandiri dengan Budidaya Jamur” ditulis dengan bentuk penulisan cerita
informasi. Dalam artikel ini diterangkan tentang keberhasilan Ibu Lestari dalam menjalankan
usaha budidaya jamur di Bantul, Yogyakarta. Di artikel ini dijelaskan awal profesi Ibu
Lestari yang bekerja di sebuah perusahaan Korea di Banjarmasin, yang kemudian rela
meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Yogyakarta karena ingin menjadi petani mandiri
dan tergiur oleh usaha budidaya jamur yang berprospek cerah. Dalam artikel ini juga
diceritakan bagaimana cara budidaya jamur, bagaimana beliau bisa sukses, dan bisa
memberikan gambaran an motivasi bagi orang lain untuk ikut serta menerapkan usaha
budidaya jamur. Cerita informasi dalam artikel ini tergolong pada how to do story.

3. Nilai penyuluhan dalam artikel


a. Adanya sumber teknologi/ide
Dalam artikel ini terdapat sumber ide, yaitu ide untuk mengembangkan usaha budidaya
jamur seperti yang dilakukan oleh Ibu Lestari. Disini dijelaskan bagaimana cara
melakukan budidaya jamur.
b. Adanya pesan
Dalam artikel ini terdapat pesan yang ingin disampaikan, yaitu bahwa saat ini kebutuhan
akan jamur semakin meningkat tetapi produsennya baru sedikit. Untuk itu usaha
budidaya jamur mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan. Apalagi proses
budidaya jamur tergolong mudah dan tidak repot.
c. Adanya sasaran
Sasaran dari artikel ini adalah masyarakat umum, khususnya masyarakat petani agar bisa
membudidayakan jamur untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
d. Adanya harapan
Harapan dari ditulisnya artikel ini adalah masyarakat bisa mengetahui prospek usaha
jamur dan bisa ikut berpartisipasi dalam usaha tersebut, yaitu dengan menjadi petani
jamur.
e. Nilai pendidikan
Artikel ini mengandung nilai pendidikan karena dijelaskan bagaimana cara budidaya ja,ur
yang dilakukan oleh Ibu Lestari sehingga masyarakat bisa mencontoh untuk
menerapkannya sendiri.
LAMPIRAN

Lestari, Mandiri dengan Budidaya Jamur

KOMPAS/ENY PRIHTIYANI
Lestari
Senin, 16 November 2009 | 10:16 WIB

Eny Prihtiyani

KOMPAS.com - Setahun terakhir, budidaya jamur menjadi idola bagi sebagian besar kalangan
petani di Bantul, DI Yogyakarta. Banyak yang tergiur untuk mencobanya. Tak hanya soal harga
jual yang lumayan, tetapi juga jaminan pasar, terutama sejak tren kuliner jamur mewabah di
Yogyakarta. Lestari (45), sarjana pertanian lulusan Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa
Tengah, termasuk salah satu yang mencobanya. Ia memutuskan pindah ke rumahnya di Dusun
Klangon, Argosari, Sedayu, Bantul, setelah sebelumnya bekerja di perusahaan milik Korea.

”Saya banyak mendengar informasi soal budidaya jamur yang sedang jadi tren. Kebetulan di
Banjarmasin (Kalimantan Selatan), saya juga bekerja untuk mengolah jamur. Saya tergiur untuk
kembali ke Bantul menjadi petani mandiri,” katanya awal Oktober lalu.

Di rumahnya, Lestari lebih banyak fokus pada usaha pembenihan dan pembuatan media. Ia
menjual kantong-kantong media yang sudah dibubuhi benih sehingga jamurnya siap tumbuh.
Kantong-kantong itu biasanya sudah diambil oleh para pelanggannya secara rutin.

Dalam sehari ia bersama lima orang tenaga kerja mampu membuat 400-500 kantong media
jamur. Tiap kantong dijual seharga Rp 1.500. Untuk membuat media, digunakan serbuk gergaji
yang dicampur bekatul dan gamping. Setiap 100 kg serbuk gergaji ditambahkan sekitar 15 persen
bekatul dan 3 persen gamping.

Setelah diaduk campuran tersebut ditutup dengan terpal dan dibiarkan selama dua malam.
Tujuannya supaya terjadi fermentasi. Proses selanjutnya adalah pengantongan ke dalam plastik
tahan panas, baru kemudian disterilisasi dengan metode penguapan di suhu 95-100 derajat
celsius agar bakteri-bakteri yang tidak berguna mati. Setelah dingin, media diberi bibit jamur.
Tidak semua kantong yang disterilisasi ”berhasil”. Kantong-kantong yang plastiknya kurang
rapat biasanya akan rusak dan tidak bisa dibubuhi bibit jamur. Namun, tingkat kegagalannya
sangat kecil.  Sekitar delapan minggu kemudian jamur baru akan tumbuh. Setiap kantong media
bisa menghasilkan 0,5 kg jamur. Harga jual untuk jamur tiram Rp 8.500/kg, sementara jamur
kuping Rp 8.000/kg.

”Saat ini masih banyak yang membeli media yang sudah siap karena mereka tidak mau ribet.
Padahal, saya juga menjual bibit seharga Rp 3.500/botol yang bisa digunakan untuk 20 kantong.
Petani bisa membuat media sendiri, supaya biaya produksinya lebih murah,” kata Lestari.

Menurut Lestari, pemasaran untuk jamur tiram dan jamur kuping masih sangat terbuka. Ia
bahkan sering kewalahan memenuhi permintaan konsumen. Ada delapan dusun yang
mengandalkan bibit dan media darinya, yakni Dusun Klangon, Jambon, Kalijoho, dan Dusun
Tonalan.

Untuk jamur tiram, pasarnya lebih banyak ke lokal DIY karena jenis jamur ini mudah rusak dan
tidak tahan lama. Untuk pasar luar daerah lebih prospektif mengembangkan jamur kuping karena
sifatnya kebalikan dari jamur tiram.  ”Jamur kuping banyak saya kirim ke Bandung dan beberapa
kota di Jawa Timur,” ujarnya.

Dengan produksi 500 kantong per hari seharga Rp 1.500/kg, omzetnya mencapai Rp
750.000/hari atau Rp 22,5 juta per bulan. Dari budidaya itu ia mengantongi keuntungan sekitar
Rp 7,5 juta per bulan.

Bila saja alat sterilisasi yang dimilikinya memiliki kapasitas lebih tinggi, pasti produksinya bisa
ditingkatkan lagi. Kapasitas alat sterilisasi miliknya hanya 1.500 kantong. Alat tersebut tidak
bisa digunakan setiap hari karena harus menunggu sampai dingin kembali. Dalam seminggu
paling hanya bisa tiga kali sterilisasi.  ”Itu sudah mendingan, sebelumnya saya hanya pakai alat
sederhana berkapasitas 100 kantong. Setelah mendapat bantuan pinjaman senilai Rp 20 juta dari
pemerintah daerah, saya langsung menggunakannya untuk membeli alat sterilisasi yang lebih
besar,” tuturnya.

Selain memproduksi media yang sudah siap, Lestari juga membudidayakan langsung jamur tiram
dan kuping. Ia membangun dua buah kubung (rumah untuk jamur) di rumahnya masing-masing
seluas 4 x 8 meter. 

Jamur-jamur itu diolahnya menjadi keripik. Untuk keripik jamur tiram dijual seharga Rp
45.000/kg, sedangkan keripik jamur kuping Rp 50.000/kg.  ”Keuntungan berjualan keripik
lumayan menjanjikan. Apalagi rasa keripiknya sangat khas sehingga banyak diminati konsumen
meski harganya sedikit mahal dibandingkan dengan keripik lain,” ujar perempuan yang berhasil
menyabet juara III kategori tokoh hortikultura dari Sultan Hamengku Buwono X.

Keberhasilan Lestari membudidayakan jamur juga menjadi acuan bagi kalangan mahasiswa
pertanian. Saat Kompas berkunjung ke rumahnya, beberapa mahasiswa pertanian dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) sedang melakukan penelitian soal jamur dan budidayanya.
Menurut dia, budidaya jamur sangat mudah. Musim hujan menjadi saat yang paling tepat untuk
mengembangkan jamur. Musim hujan membuat pertumbuhan jamur tiram lebih maksimal karena
cuacanya cenderung lembab.

Lebih lanjut ia menjelaskan, tren masyarakat yang semakin mengarah pada budaya konsumsi
sehat juga membuat pemasaran jamur tidak terkendala. Jamur termasuk sayuran yang memiliki
protein tinggi dan tidak mengandung kolesterol.

Berbagai variasi masakan pun dibuat untuk menggugah selera, yakni sup jamur, sate jamur,
tongseng jamur, hingga pepes jamur. Jadi, budidaya jamu sangat prospektif

Sumber: www.kompas.com

Você também pode gostar