Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
?
ñ
!
"#
$%
&
'%
(
)*
)
++,-../ ?
Oleh Masnur Muslich*
Sejarah mencatat bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau, salah
satu bahasa daerah yang berada di wilayah Sumatera. Bahasa Melayu-Riau inilah
yang diangkat oleh para pemuda pada "Konggres Pemoeda", 28 Oktober 1928, di
Solo, menjadi bahasa Indonesia. Pengangkatan dan penamaan bahasaMelayu-Riau
menjadi bahasa Indonesia oleh para pemuda pada saat itu lebih "bersifat politis"
daripada "bersifat linguistis". Tujuannya ialah ingin mempersatukan para pemuda
Indonesia, alih-alih disebut bangsa Indonesia. Ketika itu, yang mengikuti "Kongres
Pemoeda" adalah wakil-wakil pemuda Indonesia dari Jong Jawa, Jong Sunda, Jong
Batak, Jong Ambon, dan Jong Selebes. Jadi, secara linguistis, yang dinamakan
bahasa Indonesia saat itu sebenarnya adalah bahasaMelayu. Ciri-ciri kebahasaannya
tidak brbeda dengan bahasa Melayu. Namun, untuk mewujudkan rasa persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia, parapemuda Indonesia pada saat itu "secara politis"
menyebutkan bahasa Melayu-iau menjadi bahasa Indonesia. Nama bahasa
Indonesialah yang dianggap bisa memancarkan inspirasi dan semangat nasionalisme,
bukan nama bahasa Melayu yang berbau kedaerahan.
Ikrar yang dikenal dengan nama "Soempah Pemoeda" ini butir ketiga berbunyi "Kami
poetera-poeteri Indonesia, mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa
Indonesia" (Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan,
bahasa Indonesia). Ikrar yang diperingati setiap tahun oleh bangsa Indonesia ini juga
memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu bangsa. Bahasa sebagai alat
komunikasi yang paling efektif, mutlak diperlukan setiap bangsa. Tanpa bahasa,
bangsa tidak akan mungkin dapat berkembang, bangsa tidak mungkin dpat
menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan
dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa itu akhirnya akan lenyap ditelan masa. Jadi,
bahasa menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai bagian kebudayaan dapat
menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan menggambarkan
sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai suatu bangsa. Ikarar
berupa "Soempah Pemoeda" inilah yang menjadi dasar yang kokoh bagi kedududkan
dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, pada perjalanan
selanjutnya, bahasa Indonesia tidak lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi juga
berkembang sebagai bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek).
Sebelum Perang Dunia Kedua, bahasa Indonesia tidak dihargai dengan sepantasnya
walaupun dunia pergerakan politik sedmakin banyak memakai bahasa Indonesia.
Dunia ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan belum lagi menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik. Kalau ingin memperbaiki nasib, bukan bahasa Indonesia yang
digunakan,melainkan bahasa Belanda sebagai bahasa kaum penjajah. Bahasa
pengantar untuk ilmu pengetahuan adalah bahasa Belanda. Apabila sesorang ingin
dihormati dan disegani dalam pergaulan, ia harus bisa menguasai bahasa Belanda
dengan baik. Bahasa Belanda benar-benar bisa menentukan status pemakainya.
Akibatnya, pemakai bahasa Indonesia merasa apatis atau masa bodoh melihat
kekangan-kekangan yang hebat terhadap bahasa Indonesia ketika itu. Seolah-olah
bahasa Indonesia tidak akan mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Kaum
penajajh ketika itu memang menginginkan seperti itu sehingga pemakai bahasa
Indonesia merasa diri tidak berguna mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia.
Orang Indonesia ketika itu merasa lebih terpelajar dan terhormat aoabila menguasai
bahasa Belanda dengan baik. Orang Indonesia tidak merasa malu apabila tidak
menguasai bahasa Indonesia dengan baik, tetapu akan merasa ada yang kurang
apabila tidk menguasai bahasa Belanda dengan baik. Akibatnya, tidak banyak orang
Indonesia yang mau mempelajari bahasa Indonesia dengan serius dan cukup
menguasai bahasa Indonesia ala kadarnya untuk komunikasi umum. Akhirnya,
banyak pula otang Indonesia yang tidak mahir berbahasa Indonesia , tetapi
menguasai dan sangat mahor berbahasa Belanda.
Pada zaman pendudukan Jepang, bahasa Belanda dilarang pemakaiannya dan harus
digani dengan bahasa Indonesia. Ketika itu, sebagian orang masih meragukan
kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk kaum
cendekiawannya. Tetapi, karena dipaksa oleh pemerintah pendudukan Jepang dan
didorong oleh pemuda-pemuda Indonesia, orang-orang Indonesia terpanksa
menggunakan bahasa Indonesia untuk setiap ranah pembicaraan. Bahasa Indonesia
mulai populer dan mulai diperhatikan para pemakainya dengan baik. Sesudah itu
terbuktilah bahwa bahasa Indonesia tidak kurang mutunya dibanding dengan bahasa-
bahasa asing lainnya. Bahasa Indonesia pun mulai mengalami perkembangan sesuai
dengan kodratnya sebagai bahasa yang hidup. Bahasa Indonesia terus dipakai
pemiliknyadengaqn teratur dan lebih luas.
Sesudah Indonesia merdeka, bahasa Indonensia lebih berkembang lagi dengan baik
dan meluas. Bangsa Indonesia sudah merasakan betapa perlunya membina dan
memperhatikan perkembangan bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia mulai sadar
bahwa tanpa bahasa Indonesia, bangsa Indonesia tidak akan memperoleh kemajuan.
Minat bangsa Indonesia untuk mau mempelajari bahasa Indonesia dengan baik setiap
tahun terus bertambah. Akibatnya, bahasa Indonesia mengalami kemajuan yang
pesat. Setelah perkembangan bahasa Indonensia itu sedemikian pesatnya, sekarang
timbullah serangkaian pertanyaan:
- Adakah rasa kebanggan itu timbul dari hati nurani setiap orang yang mengaku
berbangsa Indonesia?
Jawaban untuk semua pertanyaan ini tentulah ada di dada masing-masing orang yang
menganggap, mengaku, dan menjadikan dirinya sebagai bagian dari bangsa
Indonesia.
ñ
%
Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah okok tertentu yang
membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik bahasa asing
maupun bahasa daerah. Dengan ciri-ciri umum dan kaidah0kaidah pokok ini pulalah
dapat dibedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa asing ataupun bahasa
daerah. Oleh karena itu, ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok tersebut merupakan
jati diri bahasa Indonesia. Ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok yang dimaksud
adalah antara lain sebagai berikut.
a. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jenis
kelamin. Kalau kita ingin menyatakan jenis kelamin, cukup diberikan kata ketarngan
penunjuk jenis kelamin, misalnya:
- Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan atau wanita.
- Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina.
Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta)
untuk menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk.
Contoh:
Bahasa Inggris : lion - lioness, host - hostess, steward -stewardness.
Bahasa Arab : muslimi - muslimat, mukminin - mukminat, hadirin - hadirat
Bahasa Sanskerta : siswa - siswi, putera - puteri, dewa - dewi. .
Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah
beberapa kata yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta; sedangkan
perubahan bentuk dalam bahasa Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta pun dilakukan secara
leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian, dalam bahasa Arab, selain
kata muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain mukmin, diserap juga
kata mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna 'datang', bukan 'orang
yang datang'), diserap juga kata hadirin dan hadirat. Dalam bahasa Sanskerta, selain
dewa, diserap juga dewi; selain siswa diserap juga siswi. Karena sistem perubahan
bentuk dari kedua bahasa tersebut tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia, maka
tidaklah mungkin kita menyatakan kuda betina dengan bentuk kudi atau kudarat;
domba betina dengan bentuk kata dombi atau dombarat. Untuk menyatakan jenis
kelamin tersebut dalam bahasa Indonesia, cukup dengan penambahan jantan atau
betina, yaitu kuda jantan, kuda betina, domba jantan, domba betina. Oleh karena itu,
kaidah yang berlaku dalam bahasa Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga bahasa
Inggris tidan bisa diterapkan ke dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan,
tentu struktur bahasa Indonesia akan rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia
akan terganggu.
c. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan waktu.
Kaidah pokok inilah yang juga membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa asing
lainnya. Dalam bahasa Inggris,misalnya, kita temukan bentuk kata eat (untuk
menyatakan sekarang), eating (untuk menyatakan sedang), dan eaten (untuk
menyatakan waktu lampau). Bentukan kata seperti ini tidak ditemukan dalam bahasa
Indonesia. Bentuk kata makan tidak pernah mengalamai perubahan bentuk yang
terkait dengan waktu, misalnya menjadi makaning (untuk menyatakan waktu sedang)
atau makaned (untuk menyatakan waktu lampau). Untuk menyatakan waktu, cukup
ditambah kata-kaa aspek akan, sedang, telah, sudah atau kata keterangan waktu
kemarin, seminggu yang lalu, hari ini, tahun ini, besok, besok lusa, bulan depan, dan
sebagainya.
e. Bahasa Indonesia juga mengenal lafal baku, yaitu lafal yang tidak dipengaruhi oleh
lafal asing dan/atau lafal daerah. Apabila seseorang menggunakan bahasa Indonesia
lisan dan lewat lafalnya dapat diduga atau dapat diketahui dari suku mana ia
berasal,maka lafal orang itu bukanlah lafal bahasa Indonesia baku. Dengan kata lain,
kata-kata bahasa Indonesia harus bebas dari pengaruh lafal asig dan/atau lafal
daerah. Kesulitan yang dialami oleh sebagian besar pemakai bahasa Indonesia
adalah sampai saat ini belum disusun kamus lafal bahasa Indonesia yang lengkap.
Akibatnya, sampai sekarang belum adapatokan yang jelas untuk pelafalan kata peka,
teras, perang, sistem, elang. Tetapi, pengucapan semangkin (untuk semakin),
mengharapken (untuk mengharapkan), semua (untuk semua), mengapa (untuk
mengapa), thenthu (untuk tentu), therima kaseh (untuk terima kasih), mBandung
(untuki Bandung), dan nDemak (untuk Demak) bukanlah lafal baku bahasa Indonesia.
0
Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu
sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri
sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi
yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara bersama-sama
dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja.
Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak "Soempah Pemoeda", 28 Oktober 1928,
yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para
pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia.
Para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat
mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik.
Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa
menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan menggunakan
bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk.
Kehadiran bahasaIndonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak
menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru
kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan
sebagai penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai
latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat
menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas
kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa
etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan
daerah dan golongan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulau dikenal sejak 17 Agustus 1945
ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukan sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional
atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya
yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia
menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup.
Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh
bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus
dibina dan dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa
Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu
nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa
Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan
lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri
apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa
sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak
diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal
istilah.kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan
saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat
luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku,
tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau
peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan,
penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional,
dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah. Dengan kata lain,
apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam
situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara
pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara
bawahan - atasan, mahasiswa - dosen, kepala dinas - bupati atau walikota, kepala
desa - camat, dan sebagainya.
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa
Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasailmu. Di
samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai
bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan
untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa
sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang
membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia
dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional.
Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai
bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna dan teknologi
(iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek dan
pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara
dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan
buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga
pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung
sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti
perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia bertambah
perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun dipakai bangsa Indonesia
sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai
kalangan dan tingkat pendidikan.
b. Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing
(Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa
Indonesia.
c. Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau
mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan
baik. d. Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain
karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan
bahasa Indonesianya kurang sempurna.
c. Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi
menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang
Indonesia yang mempunyai bermacam-mecam kamus bahasa asing tetapi
tidakmempunyai satu pun kamus bahasa Indonesia. Seolah-olah seluruh kosakata
bahasa Indonesia telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya,kalau mereka kesulitan
menjelaskan atau menerapkan kata-kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia,
mereka akan mencari jalan pintas dengan cara sederhana dan mudah. Misalnya,
pengggunaan kata yang mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan
kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.
ñ
%
*
Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan
oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak
terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan
(bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari
luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya terjadi pada era globalisasi
ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat
komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri
bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini
semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-
aturan yan berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan
kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin
adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan
pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Seiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah
pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan
bahasa Indonesia ialah menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa
Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap
kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap kebanggaan berbahasa Indonesia.
Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia teruangkap jika bangsa Indonesia lebih suka
memakai bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar
pengaruh asing tidak terlalu berlebihan. Sikap kebanggan berbahasa Indonesia
terungkap melalui kesadaran bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan
konsep yang rumit secara cermat dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-
halusnya. Yang perlu dipahami adalah sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini
tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa Indonesia tidak
mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia (sebagaimana aliran purisme) dan
menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh
karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif
dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap
positif seperti inilah yang bisa menanamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa
bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan bahasa asing lain. Masing-masing
bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif terhadap bahasa
Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya disiplin berbahasa
Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa Indonesia akan membantu bangsa
Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas
kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan
antarbangsa dan era globalisasi ini.
Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada
bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara
Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya
dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa
nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang
baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif,
baik, dan terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak
baik, dan tidak terpuji, akan berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang
kurang terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia "asal orang
mengerti". Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa prokem, bahasa
plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar.
#
*
Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia merupakan ciri bangsa Indonesia
yang perlu terus dipertahankan. Pergaulan antarbangsa memerlukan alat komunikasi
yang sederhana, mudah dipahami, dan mampu menyampaikan pikiran yang lengkap.
Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus bterus dibina dan dikembangkan sedemikian
rupa sehingga menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia dalam pergalan
antarbangsa pada era globalisasi ini. Apabila kebanggaan berbahasa Indonesia
dengan jati diri yang ada tidak tertanam di sanubari setiap bangsa Indonesia, bahasa
Indonesia akan mati dan ditinggalkan pemakainya karena adanya kekacauan dalam
pengungkapan pikiran. Akibatnya bangsa Indonesia akan kehilangan salah satu jati
dirinya. Kalau sudah demikian, bangsa Indonesia "akan ditelan" oleh bangsa lain yang
selalu melaksanakan tugas dan pekerjaannya dengan menggunakan bahasa yang
teratur dan berdisiplin tinggi. Sudah barang tentu, hal seperti harus dapat dihindarkan
pada era globalisasi ini. Apalagi, keadaan seperti ini bukan merupakan keinginan
bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Christin, Donna. 1988, "Language planning the view from linguistics" dalam
Newmeyer, F. J. Ed. Linguistics the Cambridge Survey. Cambridge University Press
(193-109).
Gumperz, John dan Gumperz Jennie Cook. 1985. Language and Social Identity.
Cambridge: Cambridge University Press.
Hassan, Abdullah. Ed. 1994. Language Planning in Southeast Asia. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rubin, Joan and Bjorn H. Jernudd (Eds.). 1971. Can Language Be Planned?
Sociolinguistic Theory and Practice for Developing Nations. Honolulu: The University
Press of Hawaii
* Masnur Muslich adalah Dosen Universitas Negeri Malang. Saat ini (JUli s.d.
Desember 2006) bertugas di Faculty of Humanities and Social Sciencies, Prince of
Songkhla University, Pattani Campus, Pattani, Thailand. ?
? ?
?
c
$c%c&c cc6c ' 6c6('$c
)c'&*'66+$c) %c(''
?
ñ #ñ4 %, % ,&),40, )
ñ% #,#,
#
)#% %
%r) ,5)
!
"#
$1
'
3
(
#22
)*
*
*
)
6ñ
-../ ?
Pendidikan Bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang perlu
diajarkan kepada para siswa di sekolah. Tak heran apabila mata pelajaran ini
kemudian diberikan sejak masih di bangku SD hingga lulus SMA. Dari situ diharapkan
siswa mampu menguasai, memahami dan dapat mengimplementasikan keterampilan
berbahasa. Seperti membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Kemudian pada
saat SMP dan SMA siswa juga mulai dikenalkan pada dunia kesastraan. Dimana
dititikberatkan pada tata bahasa, ilmu bahasa, dan berbagai apresiasi sastra.
Logikanya, telah 12 tahun mereka merasakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di
bangku sekolah. Selama itu pula mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak pernah
absen menemani mereka.
Lalu, apakah ada kesalahan dengan pola pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah?
Selama ini pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah cenderung konvesional, bersifat
hafalan, penuh jejalan teori-teori linguistik yang rumit. Serta tidak ramah terhadap
upaya mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Hal ini khususnya dalam
kemampuan membaca dan menulis. Pola semacam itu hanya membuat siswa merasa
jenuh untuk belajar bahasa Indonesia. Pada umumnya para siswa menempatkan
mata pelajaran bahasa pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah
pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang
menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya
minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Saya
menyoroti masalah ini setelah melihat adanya metode pengajaran bahasa yang telah
gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa.
Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan
untuk melatih kebiasaan berbahasa para siswa itu sendiri.
Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat sekolah sejak kelas 1 SD.
Seperti ulat yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Mereka memulai dari
nol. Pada masa tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia hanya mencakup
membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan
bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar. Sampai ke tingkat-tingkat
selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para
siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa Indonesia. Hal
tersebut diperparah dengan adanya buku paket yang menjadi buku wajib. Sementara
isi dari materinya terlalu luas dan juga cenderung bersifat hafalan yang
membosankan. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh
pelajaran Bahasa Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja.
Saya mengambil contoh dari data tes yang dilakukan di beberapa SD di Indonesia
tentang gambaran dari hasil pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD. Tes yang
digunakan adalah tes yang dikembangkan oleh dua Proyek Bank Dunia, yaitu PEQIP
dan Proyek Pendidikan Dasar (Basic Education Projects) dan juga digunakan dalam
program MBS dari Unesco dan Unicef. Dari tes menulis dinilai berdasarkan lima
unsur: tulisan tangan (menulis rapi), ejaan, tanda baca, panjangnya karangan, dan
kualitas bahasa yang digunakan. Bobot dalam semua skor adalah tulisan (15%),
ejaan (15%), tanda baca (15%), panjang tulisan (20%), dan kualitas tulisan (35%).
Hanya 19% anak bisa menulis dengan tulisan tegak bersambung dan rapih.
Sedangkan 64% bisa membaca rapih tetapi tidak bersambung. Perbedaan
antarsekolah sangat mencolok. Pada beberapa sekolah kebanyakan anak menulis
dengan rapih, sementara yang lain sedikit atau sama sekali tidak ada. Ini hampir bisa
dipastikan guru-guru pada sekolah-sekolah yang pertama yang bagus tulisannya
secara reguler mengajarkan menulis rapi. Sementara sekolah-sekolah yang
belakangan tidak.
Hanya 16% anak menulis tanpa kesalahan ejaan dan 52% anak bisa menulis dengan
ejaan yang baik (sebagian besar kata dieja dengan benar), sementara lebih dari 30%
dari kasus menulis dengan kesalahan ejaan yang parah atau sangat parah. 58 %
anak memberi tanda baca pada tulisan mereka dengan baik (dikategorikan bagus
atau sempurna), sementara itu lebih dari 35% kasus anak yang menulis dengan
kesalahan tanda baca dan dikategorikan kurang atau sangat kurang.
58% siswa menulis lebih dari setengah halaman dan 44% siswa isi tulisannya yang
dinilai baik, yaitu gagasannya diungkapkan secara jelas dengan urutan yang logis.
Pada umumnya anak kurang dapat mengelola gagasannya secara sistematis
Alasan mengapa begitu banyak anak yang mengalami kesulitan dalam menulis
karangan dengan kualitas dan panjang yang memuaskan serta dengan menggunakan
ejaan dan tanda baca yang memadai ialah anak-anak di banyak kelas jarang menulis
dengan kata- kata mereka sendiri. Mereka lebih sering menyalin dari papan tulis atau
buku pelajaran. Dari data tersebut menggambarkan hasil dari KBM Bahasa Indonesia
di SD masih belum maksimal. Walaupun jam pelajaran Bahasa Indonesia sendiri
memiliki porsi yang cukup banyak.
Seharusnya pada masa ini siswa sudah mulai diperkenalkan dengan dunia menulis
(mengarang) yang lebih hidup dan bervariatif. Dimana seharusnya siswa telah dilatih
untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam menulis: esai, cerita pendek,
puisi, artikel, dan sebagainya. Namun, selama ini hal itu dibiarkan mati karena
pengajaran Bahasa Indonesia yang tidak berpihak pada pengembangan bakat
menulis mereka. Pengajaran Bahasa Indonesia lebih bersifat formal dan beracuan
untuk mengejar materi dari buku paket. Padahal, keberhasilan kegiatan menulis ini
pasti akan diikuti dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi di kalangan siswa.
)
'
'
& *2
2
*2
'
*
*2
Minat siswa baik
yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa
Indonesia semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan menulis sukses
diterapkan sejak SMP maka seharusnya saat SMA siswa telah dapat mengungkapkan
gagasan dan ''unek-unek'' mereka secara kreatif. Baik dalam bentuk deskripsi, narasi,
maupun eksposisi yang diperlihatkan melalui pemuatan tulisan mereka berupa Surat
Pembaca di berbagai surat kabar. Dengan demikian apresiasi dari pembelajaran
Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari.
Bila diberikan bobot yang besar pada penguasaan praktek membaca, menulis, dan
apresiasi sastra dapat membuat para siswa mempunyai kemampuan menulis jauh
lebih baik Hal ini sangat berguna sekali dalam melatih memanfaatkan kesempatan
dan kebebasan mereka untuk mengungkapkan apa saja secara tertulis, tanpa beban
dan tanpa perasaan takut salah.
Setelah melihat pada ilustrasi dari pola pengajaran tersebut saya melihat adanya
kelemahan - kelemahan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. KBM belum
sepenuhnya menekankan pada kemampuan berbahasa, namun lebih pada
penguasaan materi. Hal ini terlihat dari porsi materi yang tercantum dalam buku paket
lebih banyak diberikan dan diutamakan oleh para guru bahasa Indonesia. Sedangkan
pelatihan berbahasa yang sifatnya lisan ataupun praktek hanya memiliki porsi yang
jauh lebih sedikit. Padahal kemampuan berbahasa tidak didasarkan atas penguasaan
materi bahasa saja, tetapi juga perlu latihan dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Selain itu, *
**
&
3
'
'
&
"$
*2
"$ Nilai itu sering dijadikan barometer
keberhasilan pengajaran. Perolehan nilai yang baik sering menjadi obsesi guru karena
hal itu dipandang dapat meningkatkan prestise sekolah dan guru. Untuk itu, tidak
mengherankan jika dalam KBM masih dijumpai guru memberikan latihan pembahasan
soal dalam menghadapi UUB dan UAN. Apalagi dalam UUB dan UAN pada pelajaran
bahasa Indonesia selalu berpola pada pilihan ganda. Dimana bagi sebagian besar
guru menjadi salah satu orientasi di dalam proses pembelajaran mereka. Akibatnya,
materi yang diberikan kepada siswa sekedar membuat mereka dapat menjawab soal-
soal tersebut, tetapi tidak punya kemampuan memahami dan mengimplementasikan
materi tersebut untuk kepentingan praktis dan kemampuan berbahasa mereka. Pada
akhirnya para siswa yang dikejar-kejar oleh target NEM-pun hanya berorientasi untuk
lulus dari nilai minimal atau sekadar bisa menjawab soal pilihan ganda saja. Perlu
diingat bahwa soal-soal UAN tidak memasukan materi menulis atau mengarang (soal
esai).
Peran guru Bahasa Indonesia juga tak lepas dari sorotan, mengingat guru merupakan
tokoh sentral dalam pengajaran. Peranan penting guru juga dikemukakan oleh Harras
(1994). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang,
termasuk Indonesia, dilaporkannya bahwa guru merupakan faktor determinan
penyebab rendahnya mutu pendidikan di suatu sekolah. Begitu pula penelitian yang
dilakukan International Association for the Evaluation of Education Achievement
menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat penguasaan
guru terhadap bahan yang diajarkan dengan pencapaian prestasi para siswanya .
Sarwiji (1996) dalam penelitiannya tentang kesiapan guru Bahasa Indonesia,
menemukan bahwa kemampuan mereka masih kurang. Kekurangan itu, antara lain,
pada pemahaman tujuan pengajaran, kemampuan mengembangkan program
pengajaran, dan penyusunan serta penyelenggaraan tes hasil belajar. Guru Bahasa
Indonesia juga harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa yang
langsung berhubungan dengan aspek pembelajaran menulis, kosakata, berbicara,
membaca, dan kebahasaan .Rupanya guru juga harus selalu melakukan refleksi agar
tujuan bersama dalam berbahasa Indonesia dapat tercapai.
Selain itu, siswa dan guru memerlukan bahan bacaan yang mendukung
pengembangan minat baca, menulis dan apreasi sastra. Untuk itu, diperlukan buku-
buku bacaan dan majalah sastra (Horison) yang berjalin dengan pengayaan bahan
pengajaran Bahasa Indonesia. Kurangnya buku-buku pegangan bagi guru, terutama
karya-karya sastra mutakhir (terbaru) dan buku acuan yang representatif merupakan
kendala tersendiri bagi para guru. Koleksi buku di perpustakaan yang tidak memadai
juga merupakan salah satu hambatan bagi guru dan siswa dalam proses
pembelajaran di sekolah perpustakaan sekolah hanya berisi buku paket yang
membuat siswa malas mengembangkan minat baca dan wawasan mereka lebih jauh.
?
?
6 c
c,
!
!
"
#?
r))
!
'
*
*
23
*
!*
!
*&
*
* *'
#
3
?
?