Você está na página 1de 4

China Masuk, Indonesia Keluar

Pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN-China lewat ASEAN-China Free Trade


Agreement (AC-FTA) patut diberi perhatian lebih. Pasalnya, dengan adanya
perdagangan bebas ini perekonomian Indonesia akan terganggu kestabilannya. Sektor
home industri dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pun dapat collapse.

Murahnya harga yang ditawarkan oleh China dapat menjadi nilai lebih bagi
masyarakat untuk memilih produk buatan China. Tak ayal, produk dalam negeri pun
menerima imbasnya. Harga yang kalah bersaing dan tidak adanya diferensiasi atas
produk yang ditawarkan menjadi bumerang bagi produsen home industri dan UMKM.

Sayangnya, masyarakat home industri dan UMKM tidak seutuhnya dibekali


bagaimana menghadapi perdagangan bebas AC-FTA ini.

Agar dapat bersaing dalam perdagangan saat ini, pemain dalam negeri haruslah
dibekali dengan dasar-dasar pemasaran, termasuk di dalamnya managing brand equity
agar produk yang mereka tawarkan memiliki diferensiasi dalam membentuk brand
awareness di benak konsumen.

Brand equity atau ekuitas merek boleh dikatakan efek diferensiasi positif yang dapat
diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa. Brand equity adalah
kekuatan suatu brand yang dapat menambah atau mengurangi nilai dari brand itu
sendiri yang dapat diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa yang
dijual.

Dengan membentuk dan memengelola brand equity, nilai produk dan jasa dapat
ditingkatkan agar tak kalah bersaing dengan produk import buatan China yang bebas
masuk ke Indonesia.

Brand equity dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori. Pertama adalah brand
awareness atau kemampuan konsumen dalam mengingat suatu brand dan
menjadikannya berbeda bila dibandingkan dengan brand lainnya. Produsen dalam
negeri perlu memperhatikan hal ini. Brand awareness dalam masyarakat bahkan dapat
membentuk market leader tanpa harus menjadi yang pertama dalam mengeluarkan
suatu produk. Bagian inilah yang belum dimiliki produk-produk asal China.

Dalam brand awareness, top of mind adalah brand yang menduduki tatanan paling
atas dalam benak konsumen. Hal ini dapat dilakukan dengan marketing, public
relations dan promosi yang terintegrasi dengan baik.

Brand positioning adalah posisi brand di benak pelanggan. Apa yang ada di benak
pelanggan ketika teringat akan brand kita; Disney dapat dipersepsikan dengan hiburan
kesenangan keluarga, Apple dipersepsikan dengan inovasinya, Google dikenal
masyarakat sebagai mesin pencari yang sederhana dalam menampilkan hasil
pencariannya. Dengan bercermin dari apa yang sudah ada, kita dapat membentuk
brand positioning produk dan jasa yang kita tawarkan dalam menghadapi persaingan
pasar bebas yang semakin kompetitif.

Kedua adalah perceived equity, yakni persepsi pelanggan terhadap keseluruhan


kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa berkenaan dengan maksud yang
diharapkan. Konsumen kini semakin pintar dan selektif dalam memilih produk atau
jasa. Sesuatu yang mengganjal di hati konsumen, apalagi dari segi kualitas, sangat
menentukan keputusan konsumen dalam membeli dan menggunakan produk atau jasa
tersebut.

Kategori ketiga adalah brand association, sesuatu yang berkaitan dengan ingatan
mengenai sebuah produk. Asosiasi ini tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu
tingkat kekuatan. Keterikatan pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada
banyak pengalaman untuk mengkomunikasikannya.

Kategori keempat adalah brand loyalty. Merupakan ukuran kesetiaan seorang


pelanggan pada sebuah merek. Pengrajin Batik Samarinda memiliki potensi yang
cukup besar untuk mempertahankan loyalitas konsumen terhadap batik mereka. Batik
Samarinda akan tetap digemari, walaupun China nantinya akan mengeksport batik
buatan mereka yang harganya jauh lebih murah dibandingkan harga Batik Samarinda.
Kategori paling akhir adalah other proprietary brand assets
atau hal-hal lain yang tidak termasuk dalam 4 kategori diatas tetapi turut membangun
brand equity.

Membangun dan mengelola suatu brand tidaklah sama dengan memasarkan.


Memasarkan hanya melibatkan satu divisi. Branding membutuhkan kerjasama jangka
panjang dari seluruh stakeholders terkait dalam menjaga dan menjalankan semangat
dari brand itu sendiri.

Lantas, bagaimana dengan home industri dan usaha mikro kecil dan menengah?
Bukankah membentuk suatu brand agar dapat bersaing dalam perdagangan bebas
membutuhkan biaya besar? Jawabannya adalah tidak. Perencanaan branding secara
matang, kreatif dan inovatif dapat menekan biaya. Yang terpenting adalah
memperhatikan segmentasi pasar agar efesien dan efektif.

Membentuk dan memengelola brand equity tidaklah terlalu sulit, namun juga tidak
mudah. Buatlah suatu iklan yang menarik untuk menambah dan memperluas brand
awareness konsumen terhdap produk kita. Iklan yang diperlukan tidaklah harus
mahal, yang terpenting kita dapat mengkomunikasikan produk kita kepada pelanggan
secara efektif dan terarah dengan baik.

Mengelola ekuitas merek dapat menjadi suatu tips dan trick bagi home industri dan
pemilik usaha mikro kecil dan menengah dalam bersaing dengan produk-produk asal
China yang jelas memiliki harga yang jauh lebih murah dan tersedia dalam jumlah
banyak di pasaran saat ini.

Suatu brand harus unik dan berbeda dari kompetitor agar menonjol dan diingat.
Kekuatan suatu brand terletak pada persepsi di benak para konsumen. Brand yang
tidak memiliki diferensiasi akan hangus karena terkesan umum, pasaran dan sulit
diingat. Jika kita ingin ahli dan diingat konsumen atas usaha sablon kita, maka
batasilah pada usaha sablon tersebut. Kembangkan dengan kreatif dan inovatif usaha
sablon kita. Bentuklah dengan unik produk dan jas yang kita tawarkan : jangan
terbatas hanya menyablon pakaian atau spanduk. Lakukanlah inovasi dengan
menyablon mug atau gelas cantik, payung, tas bahkan pernak-pernik lucu seperti
pulpen dan jepit rambut. Buatlah design yang mengikuti segmen pasar yang telah
anda tetapkan. Saya yakin dengan cara ini kita dapat menghindari dampak negatif dari
perdagangan bebas ASEAN−China.

Você também pode gostar