Você está na página 1de 7

Apa yang Tidak Mereka Beritahukan Pada Anda tentang Bahaya Vaksinasi yang

Dapat Mematikan atau Menghancurkan Hidup Kita?

Oleh: Russell L. Blaylock, M.D.

Setelah 30 tahun melakukan riset intensif, banyak hal yang dapat dipelajari mengenai
cara sel-sel otak bekerja dan ketidakberesan yang terjadi ketika penyakit muncul. Salah
satu teka-teki besar itu adalah hubungan antara vaksin dan kelainan otak sepert:

- autisme
- ADD (attention deficit disorder)
- ADHD
- Sindrom perang teluk (gulf war syndrome)
- Penyakit-penyakit neurodegeneratif yang lebih umum (parkinson, dimensia
Alzeimer dan ALS).

Sewaktu kami belajar lebih banyak mengenai bagaimana sel-sel otak semestinya
bekerja, kami menemukan bahwa seringkali proses-proses normal seperti
metabolisme, bisa mengakibatkan terjadinya penumpukan zat-zat kimiawi sampingan
kuat yang disebut radikal bebas yang memiliki kemampuan untuk merusak sel-sel otak.

Pada dasarnya, radikal bebas adalah partikel-partikel sangat reaktif yang bergerak di
sekeliling sel dan merusak semua yang disentuhnya. Sebagian besar radikal bebas
terbentuk selama proses metabolisme, namun bisa juga terbentuk karena adanya
paparan racun, iradiasi dan logam-logam beracun. Oleh karena radikal bebas bersifat
sangat destruktif, sel-sel memiliki suatu jaringan pertahanan yang dirancang untuk
menetralisirnya. Jaringan antioksidan ini terdiri dari berbagai komponen yang meliputi
vitamin, mineral dan zat-zat kimiawi khusus bernama thiol (glutation dan asam alfa
lipoat).

Apa Penyebab Radikal Bebas?

Pemikiran jika radikal bebas berperan penting dalam kondisi seperti diatas sekarang
terbukti – pertanyaan besarnya adalah, mengapa ada begitu banyak radikal bebas yang
terbentuk? Pada kasus autisme, ADD dan ADHD, banyak yang mendukung pemikiran
bahwa merkuri yang terdapat di dalam vaksin merupakan sumber dari radikal-radikal
ini. Diketahui bahwa merkuri dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas dalam
jumlah besar di otak. Bukti penghubung antara merkuri dan penyakit spektrum
autisme, neurodegenerasi dan sindrom perang teluk adalah kuat, tetapi tidak eksklusif.
Menariknya, semua penyakit ini memiliki kejadian-kejadian yang sama, yaitu adanya
aktivasi berlebih pada fungsi imun.

Penting untuk dimengerti bahwa hanya satu bagian tertentu dari sistem imun yang
aktif secara berlebihan, karena bagian-bagian yang lain, seperti imunitas seluler,
benar-benar menurun. Beberapa contohnya yaitu kelainan pada masa kanak-kanak
merupakan problem bawaan dan pada orang lain kelainan itu merupakan akibat dari
banyak faktor seperti penuaan, paparan racun, gizi buruk dan vaksinasi berlebih itu
sendiri. Merkuri juga dapat memperburuk fungsi imun.

Bagaimana Vaksin Dibuat?

Pada dasarnya, vaksin mengandung virus maupun bakteri yang dimatikan, komponen-
komponen kuman, ekstrak-ekstrak beracun atau organisme hidup yang telah dibuat
kurang virulen (berkurang kemampuannya dalam menyebabkan penyakit), suatu
proses yang disebut atenuasi. Untuk meningkatkan stimulasi suatu reaksi imun dalam
melawan organisme-organisme ini, pihak pembuat vaksin menambahkan zat-zat
perangsang imun yang kuat seperti skualen, garam aluminium, lipopolisakarida dan
sebagainya. Zat-zat ini dinamakan adjuvan imun.

Proses vaksinasi biasanya membutuhkan injeksi berulang dari vaksin tersebut selama
satu periode tertentu. Kombinasi dari adjuvan dan organisme-organisme tersebut
memicu suatu respon imun oleh tubuh yang mirip dengan yang terjadi pada infeksi
alamiah, kecuali pada satu perbedaan besar. Mayoritas, tidak satupun dari penyakit-
penyakit ini yang masuk ke tubuh melalui injeksi. Sebagian besar masuk ke tubuh
melalui membran mukosa hidung, mulut, saluran paru-paru atau saluran pencernaan.
Sebagai contoh, polio diketahui masuk melalui saluran pencernaan. Lapisan membran
pada saluran-saluran tersebut memiliki sebuah sistem imun berbeda yang teraktivasi
oleh injeksi secara langsung. Sistem ini disebut sistem imun IgA (imunoglobulin A). IgA
adalah barisan pertahanan pertama yang membantu mengurangi kebutuhan akan
aktivasi yang kuat dari sistem imun tubuh. Seringkali, sistem IgA bisa sepenuhnya
menghalangi serangan itu.

Oleh karena semakin banyak laporan yang mengungkapkan kegagalan vaksin, para
pabrikan vaksin menjawabnya dengan membuat vaksin menjadi lebih kuat. Mereka
melakukannya dengan menjadikan adjuvan imun lebih kuat atau dengan
menambahkannya lebih banyak. Masalah yang timbul dari pendekatan ini adalah, pada
anak usia dini, orang yang kekurangan gizi dan pada orang lanjut usia, stimulasi
tersebut dapat melumpuhkan sistem imun. Kejadian ini lazim terjadi pada kondisi gizi
buruk.

Usaha awal untuk memvaksinasi orang-orang Afrika menjadi bencana saat ditemukan
banyak orang yang sekarat setelah divaksin. Masalah ini dapat dilacak pada adanya
kekurangan vitamin A yang terjadi secara meluas diantara suku-suku disana. Ketika gizi
buruk diperbaiki, angka kematian menurun tajam. Masalah lain yang kami lihat dengan
adanya vaksin modern adalah stimulasi imun berlanjut dalam waktu yang lebih lama.

Hal ini disebabkan oleh adjuvan imun. Adjuvan ini tetap berada di dalam jaringan
tubuh dan secara konstan menstimulasi sel-sel pengaktif imun. Pada kebanyakan
infeksi alamiah, aktivasi imun terjadi dengan cepat dan pada saat infeksi bisa dikontrol,
infeksi itu akan menurun tajam. Hal ini, sebagaimana yang bisa kami lihat, adalah
untuk mencegah terjadinya kerusakan berlebihan pada sel-sel normal dalam tubuh.

Apa yang Terjadi pada Otak dengan Adanya Vaksinasi?

Tampak kalau otak selalu diabaikan pada saat para farmakolog mempertimbangkan
efek samping dari berbagai macam obat. Hal yang sama juga terjadi pada vaksinasi.
Dalam kurun waktu yang lama, tidak seorang pun yang mempertimbangkan efek dari
pemberian vaksin berulang terhadap otak. Hal ini terjadi karena kesalahan dari
kesimpulan bahwa otak terlindung dari aktivasi imun oleh adanya suatu pelindung
istimewa yang disebut sawar darah-otak. Studi yang lebih baru telah menunjukkan
bahwa sel-sel imun bisa masuk ke otak secara langsung dan yang lebih penting, sistem
imun khusus otak bisa teraktivasi oleh vaksinasi. Anda tahu, otak memiliki suatu sistem
imun khusus yang beroperasi melalui satu tipe unik dari sel yang disebut mikroglia.

Sel-sel yang sangat kecil ini tersebar di seluruh (bagian) otak, diam menunggu untuk
diaktifkan. Ternyata, sel-sel tadi teraktivasi oleh banyak stimulus dan bersifat cukup
mudah untuk diaktifkan. Untuk diskusi kita, aktivasi sistem imun tubuh melalui
vaksinasi merupakan stimulan terpenting dalam aktivasi mikroglia otak.

Berbagai kajian telah menunjukkan bahwa ketika sistem imun tubuh diaktivasi, sel-sel
imun otak juga teraktivasi. Aktivasi ini terjadi melalui beberapa cara yang tidak penting
untuk kita bahas disini. Semakin kuat sistem imun tubuh terstimulasi, semakin hebat
pula reaksi dari otak. Perpanjangan aktivasi sistem imun tubuh juga membuat aktivasi
sistem imun otak semakin lama. Di situlah letak bahaya dari kebijakan vaksin kita saat
ini.

American Academy of Pediatrics dan American Academy of Family Practice telah


mengesahkan penggunaan vaksin yang semakin banyak pada anak-anak, bahkan pada
bayi yang baru lahir, sebagaimana injeksi flu tahunan bagi anak-anak dan orang
dewasa. Anak-anak memperoleh sebanyak 22 vaksinasi pada masa pra sekolah.

Apa yang Terjadi ketika Sistem Imun Otak Diaktivasi?

Sekali teraktivasi, sel-sel imun otak mulai bergerak di sekitar sistem saraf,
mengeluarkan berbagai zat imun kimiawi (sitokin dan kemokin) dan menyemprotkan
sejumlah besar radikal bebas untuk membunuh organisme yang menyerang.
Masalahnya, tidak ada organisme yang sedang menyerang. Sel-sel itu telah tertipu oleh
vaksin dengan meyakini bahwa sedang ada musuh.

Tidak seperti sistem imun tubuh, mikroglia juga mengeluarkan dua zat kimia lain yang
bersifat sangat destruktif terhadap sel-sel otak dan proses-proses yang
menghubungkannya. Zat-zat ini adalah glutamat dan asam kuinolinat, keduanya
dinamakan eksitotoksin. Kedua zat itu secara dramatis meningkatkan terbentuknya
radikal bebas dalam otak. Kajian-kajan pada pasien menunjukkan bahwa kedua
eksitotoksin ini bia meningkat ke level yang sangat berbahaya di dalam otak seiring
dengan infeksi viral dan bakterial di otak. Level yang tinggi dari asam kuinolinat di otak
dipercaya menjadi penyebab penyakit dimensia yang terlihat dengan infeksi HIV.
Yang menjadi masalah dari kebijakan vaksin kita sekarang adalah begitu banyaknya
vaksin yang diberikan secara bersamaan dalam waktu yang sangat dekat dan selesai
dalam waktu yang lama sehingga sistem imun otak teraktivasi secara konstan.
Percobaan mengenai hal ini ditunjukkan oleh berbagai kajian. Artinya, otak akan
terpapar sejumlah besar eksitotoksin dan juga sitokin imun pada saat bersamaan.

Studi mengenai semua kelainan ini, terlebih pada autisme, menunjukkan terdapatnya
level yang tinggi dari sitokin imun dan eksitotoksin dalam sistem saraf. Zat-zat kimiawi
yang destruktif ini, juga radikal bebas yang dihasilkannya, tersebar di sepanjang sistem
saraf dan melakukan perusakan, suatu proses yang disebut ‘bystander injury.’ Ini
seperti melempar bom di keramaian. Tidak hanya beberapa orang yang terbunuh
langsung oleh ledakannya, namun juga orang yang berada dalam radius jauh darinya
akan mati oleh serpihan-serpihannya.

Normalnya, sistem imun otak, seperti halnya sistem imun tubuh, aktif dengan cepat
dan segera kembali diam untuk meminimalisir bystander injury. Vaksinasi tidak akan
membiarkan mikroglia diam. Pada otak yang sedang berkembang, hal ini dapat
memicu masalah-masalah kebahasaan, disfungsi perilaku, dan bahkan dimensia. Pada
orang dewasa, vaksinasi dapat memicu sindrom perang teluk atau satu dari penyakit
neurodegeneratif yang lebih umum seperti Parkinson, dimensia Alzeimer dan penyakit
Lou Gehrig (ALS).

Studi terkini oleh imunologis terkenal dunia, dr. H. Hugh Fudenberg menemukan
bahwa orang dewasa yang divaksinasi setiap tahun selama lima tahun dengan vaksin
flu memiliki 10 kali lipat peningkatan resiko terkena penyakit Alzeimer. Dr. Hugh
mengaitkan hal ini dengan merkuri dan aluminium di dalam vaksin. Yang menarik,
kedua logam ini ditunjukkan telah mengaktifkam mikroglia dan meningkatkan
eksitotoksisitas dalam otak.

Efek Langsung Sitokin

Berbagai jenis sitokin telah digunakan untuk mengobati pasien kanker dan penyakit-
penyakit umum lain. Studi mengenai efek dari sitokin terhadap fungsi otak
menunjukkan hal yang hampir sama dengan penyakit-penyakit yang sedang kita
diskusikan. Untuk studi yang lebih mendalam terkait dengan efek-efek ini, saya
sarankan Anda membaca artikel saya yang dimuat di Journal of the American
Nutraceutical Association, volume 6 (musim gugur), Nomor 4, 2003, halaman 21-35
dan yang terbit pada musim panas tahun 2004 di Journal of American Association of
Physicians and Surgeons.

Orang bisa melihat adanya:


• Kebingungan • Demam suhu rendah
• Kesulitan berbahasa • Iritabilitas
• Disorientasi • Perubahan mood
• Seizure (kejang mendadak) • Keagresifan
• Problem ingatan • Kesulitan konsentrasi
• Kurang bergairah • Masalah perilaku lainnya

Pada anak, aktivasi berlebih imun otak telah menunjukkan bahwa secara khusus hal
itu merusak amigdala dan struktur limbik lain di otak. Hal ini dapat mendorong
terjadinya sindrom-sindrom yang tidak biasa pada lobe frontal – bagian otak depan.
Intinya, apa yang hilang adalah apa yang membuat kita manusia (sebagai) makhluk
sosial, bisa berfungsi dalam dunia pemikiran dan interaksi yang kompleks.

Beberapa studi jelas menunjukkan adanya level sitokin yang tinggi pada anak-anak
autis. Menarik juga untuk menandai bahwa sitokin-sitokin ini, terutama interleukin
1β dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) secara dramatis mempertinggi kerusakan
yang disebabkan oleh eksitotoksin. Oleh karenanya, apa yang kami lihat adalah
sebuah siklus yang lekat dari aktivasi imun eksitotosin dan ekskresi sitokin, serta
produksi radikal bebas. Yang terakhir ini mulai membuat siklus baru lagi.

Peran Autoimunitas dan Keberadaan Virus yang Berkelanjutan

Kajian-kajian terhadap anak-anak autis menunjukkan adanya suatu keadaan bahwa


serangan imun pada otak sedang terjadi. Penemuan sejenis terlihat pada penyakit-
penyakit neurodegeneratif dan sindrom perang teluk. Harus diperhatikan bahwa
autoimunitas ini dipicu oleh vaksinasi dan oleh organisme-organisme yang
mengontaminasinya. Sekali dimulai, reaksi imun tidak dapat dihentikan, sehingga
memicu seluruh reaksi destruktif seperti yang telah saya diskusikan.

Dr. Garth Nicholson telah menunjukkan adanya hubungan langsung antara


kontaminasi mikroplasma dari vaksin dan adanya peningkatan insiden ALS sebanyak
200 persen pada veteran perang teluk. Gangguan tersebut disebabkan oleh
mekanisme-mekanisme yang sama seperti di atas.

Selain itu, yang lebih umum adalah masalah digunakannya virus hidup dalam vaksin.
Alasan jika virus hidup dapat dipakai adalah virus-virus tersebut dilemahkan dengan
mencelupkannya ke sejumlah kultur – sebuah proses yang disebut atenuasi -. Virus-
virus yang telah diatenuasi, yakni virus-virus yang tidak menyebabkan penyakit ini
selanjutnya disuntikkan dengan harapan menstimulasi tubuh untuk memproduksi
suatu serangan imun.

Pertama, kini kita mengetahui bahwa terlalu banyak kasus mengenai lolosnya virus-
virus tersebut dari sistem imun dan bertempat di dalam tubuh seumur hidup. Pada
sebuah studi autopsi terhadap individu berusia lanjut, ditemukan bahwa 20 persen
dari otaknya mengandung virus campak hidup dan 45 persen dari organ-organ
lainnya mengandung virus campak hidup. Penemuan yang hampir sama terdapat
pada anak-anak autis dan virus campak itu secara genetik identik dengan virus yang
digunakan dalam vaksin.

Masalah kedua adalah bahwa sebagian besar virus-virus ini ditemukan sangat
termutasi. Kenyataannya, mutasi yang berbeda ditemukan diantara virus-virus di
berbagai organ dalam tubuh individu yang sama. Ini menjadi rahasia yang dijaga dari
jangkauan publik.

Virus-virus yang diatenuasi tersebut termutasi dengan adanya radikal bebas dalam
jaringan dan organ-organ, dan virus-virus tadi dapat bermutasi menjadi virulen yang
menyebabkan penyakit. Studi terkini telah mengonfirmasi penemuan yang
menakutkan ini. Nyatanya, pasien Alzeimer memiliki virus hidup dalam otak mereka
dengan persentasi yang besar dibandingkan individu normal.

Saat virus hidup itu telah disuntikkan, virus-virus tersebut tidak bisa dimusnahkan.
Karena virus tinggal di dalam tubuh, virus-virus itu akan berada dalam paparan
konstan radikal bebas yang dapat meningkat selama stress, sakit, olah raga, dan
penuaan. Radikal-radikal bebas itulah yang menyebabkan virus bermutasi.

Intinya, virus bisa hidup di otak atau organ apapun, baik secara diam-diam dan
perlahan-lahan merusak otak atau urat saraf tulang belakang, atau juga
menyebabkan terjadinya suatu penyakit mendadak ketika virus bermutasi menjadi
bentuk yang lebih mematikan.

Kesimpulan

Kita telah melihat bahwa kebijakan untuk memberikan berbagai macam vaksinasi
kepada individu, khususnya pada bayi dan anak kecil, merupakan kebodohan belaka.
Sejumlah studi yang layak dipertimbangkan telah menunjukkan kesimpulan bahwa
praktik seperti itu dapat memicu terjadinya luka berat pada otak melalui sejumlah
mekanisme. Karena otak anak sedang melalui masa pertumbuhan pesat mulai dari
trimester ke-tiga kehamilan sampai usia 2 tahun, otaknya memiliki resiko yang perlu
diperhitungkan dari kebijakan gila ini.

Kita juga telah melihat bahwa vaksin dengan virus hidup dan vaksin yang
terkontaminasi memiliki resiko khusus, yaitu virus-virus tersebut cenderung terus
berada dalam jumlah besar di dalam diri individu dan radikal bebasnya dapat
menyebabkab virus-virus laten bertransformasi melalui mutasi genetik menjadi
organisme-organisme penyebab penyakit di masa mendatang.

Merupakan hal yang sangat penting bagi siapapun yang terjadwal untuk melakukan
vaksinasi untuk mengikuti suatu jadwal yang mengizinkan tidak lebih dari satu vaksin
setiap enam bulan, yang memberi sistem imun waktu untuk pulih. Vaksin dengan
virus hidup seharusnya dihindari. Kini hal itu terlihat dengan penggantian dari vaksin
polio hidup dengan virus polio mati. Seluruh kasus polio setelah pengenalan
vaksinnya di negara-negara maju berasal dari vaksin itu sendiri. Hal ini telah
diketahui sedari awal. Akhirnya, penting bagi siapapun yang melakukan vaksinasi,
bahwa mereka harus menyuplai gizinya dan mengikuti diet yang sehat sebelum
vaksinasi dilaksanakan. Komplikasi vaksin jauh lebih sedikit muncul pada individu
dengan nutrisi yang baik.

Você também pode gostar