Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui anatomi organ terkait (meningens dan encephalon)
b. Untuk mengetahui definisi meningoencephalitis
c. Untuk mengetahui etiologi dari meningoencephalitis
d. Untuk mengetahui patofisiologi dari meningoencephalitis
e. Untuk mengetahui pendekatan diagnosis meningoencephalitis
f. Untuk mengetahui diagnosis banding meningoencephalitis
g. Untuk mengetahui penanganan meningoencephalitis
h. Untuk mengetahui komplikasi dan prognosis meningoencephalitis
i. Untuk mengetahui pencegahan terjadinya meningoencephalitis
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan referat ini adalah sebagai syarat ujian stase ilmu kesehatan
anak program pendidikan profesi dokter umum periode 38 Fakultas Kedokteran UMY.
1
BAB II
MENINGOENCEPHALITIS
2
Falx cerebelli adalah lipatan durameter yang melekat pada protuberantia occipitalis
interna.
Diapharma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari durameter, yang mmenutupi
sella turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis. Diafragma ini memisahkan
pituitary gland dari hypothalamus dan chiasma opticum. Pada bagian tengah
terdapat lubang yang dilalui oleh tangkai hypophyse.
Pada pemisahan dua lapisan durameter ini, terdapat sinus duramatris yang berisi
darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah dari drainase vena pada otak
dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh
endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior,
sinus transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis crania antara lain: sinus
occipitalis, sinus sphenoidalis, sinus cavernosus, dan sinus petrosus.
Pada lapisan durameter ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang
berasal dari arteri carotis interna, a. maxilaris, a.pharyngeus ascendens,a.occipitalis dan
a.vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah a. meningea media (cabang dari
a.maxillaris) karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan trauma capitis.
Pada durameter terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadapa
rgangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat menimbulkan sakit
kepala yang hebat.
2. Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membran yang impermeable halus, yang menutupi
otak dan terletak diantara piameter dan durameter. Mebran ini dipisahkan dari
durameter oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale dan dari piameter oleh cavum
subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum subarachnoid (subarachnoid
space) merupakan suatu rongga/ruangan yang dibatasi oleh arachnoid dibagian luar
dan piameter pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh
mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam sinus
venosus membentuk villi arachnoidales. Agregasi ini berfungsi sebagai tempat
perembesan cerebrospinal fluid ke dalam aliran darah.
3
Arachnodi berhubungan dengan piameter melalui untaian jaringan fibrosa halus
yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan ke
otak menuju cranium atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid.
3. Piameter
Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang belakang,
mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini merupakan lapisan dengan banyak
pembuluh darah dan terdiri atas jaringan penyambung yang halus serta dilalui
pemmbuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir sebagai end
feet dalam piameter untuk membentuk selaput pia-glia Selaput ini berfungsi untuk
mencegah masuknya bahan-bahan yang merugikan ke dalam susunan saraf pusat.
Piameter membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus dan
menyatu dengan ependyma membentuk plexus choroideus dalam ventriculus lateralis,
tertius dan quartus.
4
Sedangkan encephalon adalah bagian sistem saraf pusat yang terdapat di dalam
cranium; terdiri atas proencephalon (disebut juga forebrain yaitu bagian dari otak yang
berkembang dari anterior tiga vesikel primer terdiri atas diensefalon dan telensefalon);
mesencephalon (disebut juga brainstem yaitu bagian dari otak yang berkembang dari
bagian tengah tiga vesikel primer, terdiri atas tektum dan pedunculus); dan
rhombencephalon (disebut juga hindbrain,terdiri atas metensefalon (serebelum dan pons)
dan mielensefalon (medulla oblongata).
5
B. DEFINISI MENINGOENCEPHALITIS
Meningoencephalitis adalah peradangan yang terjadi pada encephalon dan meningens.
Nama lain dari meningoencephalitis adalah cerebromeningitis, encephalomeningitis, dan
meningocerebritis.
C. ETIOLOGI MENINGOENCEPHALITIS
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang jarang
disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada meningitis yang
disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan gambaran yang sama yaitu
pada meningitis yang disebabkan organisme lain (lyme disease, sifilis dan tuberculosis);
infeksi parameningeal (abses otak, abses epidural, dan venous sinus empyema); pajanan
zat kimia (obat NSAID, immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan penyakit
lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bacterial sebelum ditemukannya vaksin
Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang menyebabkan meningitis neonatus
adalah bakteri yang sama yang menyebabkan sepsis neonatus.
6
Virus yang menyebabkan meningitis pada prinsipnya adalah virus golongan
enterovirus dimana termasuk didalamnya adalah coxsackieviruses, echovirus dan pada
pasien yang tidak vaksinasi (poliovirus). Virus golongan enterovirus dan arbovirus (St.
Louis, LaCrosse, California vencephalitis viruses) adalah golongan virus yang paling
sering menyebabkan meningoencephalitis. Selain itu virus yang dapat menyebabkan
meningitis yaitu HSV, EBV, CMV lymphocytic choriomeningitis virus, dan HIV. Virus
mumps adalah virus yang paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak
tervaksinasi sebelumnya. Sedangkan virus yang jarang menyebabkan meningitis yaitu
Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-scratch virus), M. tuberculosis,
Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan coccidioides), dan parasit
(Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri, Acanthamoeba).
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang biasanya
merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi encephalomyelitis,
penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection. Encephalitis merupakan hasil dari
inflamasi parenkim otak yang dapat menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri
dapat bersifat difus atau terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis
dengan satu dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak
atau (2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-
mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa hari
setelah munculnya manifestasi ekstraneural.
7
Japanese encephalitis
Tick-borne encephalitis
Murray Valley encephalitis
Enteroviruses
Herpesviruses
Herpes simplex viruses
Epstein-Barr virus
Varicella-zoster virus
Human herpesvirus-6
Human herpesvirus-7
HIV
Influenza viruses
Lymphocytic choriomeningitis virus
Measles virus (native atau vaccine)
Mumps virus (native atau vaccine)
Virus rabies
Virus rubella
Virus adalah penyebab utama pada infeksi encephalitis akut. Encephalitis juga dapat
merupakan hasil dari jenis lain seperti infeksi dan metabolik, toksik dan gangguan
neoplastik. Penyebab yang paling sering menyebabkan encephalitis di U.S adalah
golongan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California, West nile encephalitis viruses),
enterovirus, dan herpesvirus. HIV adalah penyebab penting encephalitis pada anak dan
dewasa dan dapat berupa acute febrile illness.
8
golongan streptococcus grup B lebih sering terjadi sedangkan infeksi enterik karena
bakteri golongan gram negatif frekuensinya mulai menurun. Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae, dan N. Meningitidis akhir-akhir ini menyebabkan kebanyakan
kasus meningitis bakterial. H. influenzae dapat menginfeksi khususnya pada anak-anak
yang tidak divaksinasi Hib.
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti N.Meningitidis,
S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida yang memudahkannya
berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa reaksi sistemik atau lokal. Infeksi
virus dapat muncul secara sekunder akibat penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini.
Selain itu melalui pembuluh darah, kapsul polisakarida menyebabkan bakteri tidak
mengalami proses opsonisasi oleh pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak
terfagosit.
Terdapat bakteri yang jarang menyebabkan meningitis yaitu pasteurella multocida,
yaitu bakteri yang diinfeksikan melalui gigitan anjing dan kucing. Walaupun kasus jarang
terjadi namun kasus yang sudah terjadi menunjukan morbiditas dan mortalitaas yang
tinggi. Salmonella meningitis dapat dicurigai menyebabkan meningitis pada bayi berumur
< 6 bulan. Infeksi bermula saat ibu sedang hamil.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase bakterial dimana pada
fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan serebropsinal melalui pleksus choroid.
Cairan serebrospinal kurang baik dalam menanggapi infeksi karena kadar komplomen
yang rendah dan hanya antibody tertentu saja yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang dapat memacu
timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat patogen bakteri gram positif
dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel
bakteri, zat-zat pathogen tersebut dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari mediator dari respon
inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin (tumor necrosis factor,
interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor, nitric oxide, prostaglandin, dan
leukotrien. Mediator inflamasi ini menyebabkan terganggunya keseimbangan sawar darah
otak, vasodilatasi, neuronal toxicity, peradangan meningeal, agregasi platelet, dan aktifasi
leukosit. Sel endotel kapiler pada daerah lokal terjadinya infeksi meningitis bacterial
9
mengalami peradangan (vaskulitis), yang menyebabkan rusaknya agregasi vaskuler.
Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya mekanisme sawar darah otak, edema
otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan neuronal injury.
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap infeksi, agen anti-
inflamasi berbagai telah digunakan dalam upaya untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas meningitis bakteri. Hanya deksametason yang telah terbukti efektif.
Meningitis viral atau meningitis aseptik adalah infeksi umum pada sebagian besar
infeksi sistem saraf pusat khususnya pada anak-anak < 1 tahun. Enterovirus adalah agen
penyebab paling umum dan merupakan penyebab penyakit demam tersering pada anak.
Patogen virus lainnya termasuk paramyxoviruses, herpes, influenza, rubella, dan
adenovirus. Meningitis dapat terjadi pada hampir setengah kejadian dari anak-anak < 3
bulan dengan infeksi enterovirus. infeksi enterovirus dapat terjadi setiap saat selama tahun
tetapi dikaitkan dengan epidemi di musim panas dan gugur. Infeksi virus menyebabkan
respon inflamasi tetapi untuk tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan infeksi
bakteri. Kerusakan dari meningitis viral mungkin karena adanya ensefalitis terkait dan
tekanan intrakranial meningkat.
Meningitis karena jamur jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada pasien
immunocompromised; anak-anak dengan kanker, riwayat bedah saraf sebelumnya, atau
trauma kranial, atau bayi prematur dengan tingkat kelahiran rendah. Sebagian besar kasus
pada anak-anak yang menerima terapi antibiotik dan memiliki riwayat rawat inap. Etiologi
meningitis aseptik yang disebabkan oleh obat belum dipahami dengan baik. Namun jenis
meningitis ini jarang terjadi pada populasi anak-anak.
Ensefalitis adalah penyakit yang sama dari sistem saraf pusat. Penyakit ini adalah suatu
peradangan dari parenkim otak. Seringkali, terdapat agen virus yang bertanggung jawab
sebagai promotor. Masuknya virus terjadi melalui jalur hematogen atau neuronal.
Ensefalitis yang sering terjadi adalah ensefalitis yang ditularkan oleh gigitan nyamuk dan
kutu yang terinfeksi virus. Virus berasal dari, Flavivirus, dan Bunyavirus keluarga
Togavirus. Jenis ensefalitis yang paling umum terjadi di Amerika Serikat adalah La Crosse
virus, ensefalitis virus kuda timur, dan St Louis virus. Seringkali, penyebab ensefalitis ini
menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang sama. Konfirmasi dan diferensiasi berasal dari
10
pengujian laboratorium. Namun, manfaatnya terbatas pada sejumlah patogen
diidentifikasi.
Virus West Nile adalah menjadi penyebab utama ensefalitis, disebabkan oleh arbovirus
dari keluarga Flaviviridae. Nyamuk dan migrasi burung merupakan peantara dalam
penyebaran infeksi virus ini. Nyamuk menggigit manusia dan manusia adalah dead-end
host bagi virus. Sebagian besar manusia tidak menularkan infeksi ini. Sekitar 1 infeksi
bergejala berkembang untuk setiap 120-160 orang tanpa gejala. Namun pada orang dewasa
beresiko terkena penyakit bergejala. Hal ini telah menjadi masalah kesehatan publik yang
lebih besar, mengingat bahwa penyebaran terjadi karena migrasi burung. Kasus pertama
diidentifikasi di New York City pada tahun 1999, dengan kasus tambahan yang
diidentifikasi dalam tahun-tahun berikutnya di seluruh Amerika Serikat.
Ensefalitis dapat ditularkan dengan cara lain. Ensefalitis Herpetic dan rabies adalah
dua contoh, di mana penularan masing-masing terjadi melalui kontak langsung dan gigitan
mamalia. Dalam kasus ensefalitis herpes, terdapat bukti reaktivasi virus dan transmisi
intraneuronal sehingga menyebabkan ensefalitis.
11
- Setelah usia 2-3 tahun, anak-anak mungkin mengeluh sakit kepala, leher kaku, dan
fotofobia
12
Gambar 4. Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig
b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15% dari pasien yang
berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20 % dari pasien dan
lebih sering dengan meningitis pneumokokus.
- Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien akan mengeluhkan
sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun menonjol, ptosis, saraf cerebral
keenam, anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan apnea adalah tanda-tanda
tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi otak. Papilledema jarang terjadi,
kecuali ada oklusi sinus vena, empiema subdural, atau abses otak.
- Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome beberapa hari gejala
spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, dan keluhan perut,
yang diikuti dengan gejala khas kelesuan progresif, perubahan perilaku, dan defisit
neurologis. Kejang yang umum pada presentasi. Anak-anak dengan ensefalitis juga
mungkin memiliki ruam makulopapular dan komplikasi parah, seperti fulminant coma,
transverse myelitis, anterior horn cell disease (polio-like illness), atau peripheral
neuropathy. Selain itu temuan fisik yang umum ditemukan pada ensefalitis adalah
demam, sakit kepala, dan penurunan fungsi neurologis. Penurunan fungsi saraf
termasuk berubah status mental, fungsi neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan
ini dapat membantu mengidentifikasi jenis virus dan prognosis. Misalnya akibat
infeksi virus West Nile, tanda-tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk
13
demam, malaise, nyeri periokular, limfadenopati, dan mialgia. Selain itu terdapat
beberapa temuan fisik yang unik termasuk makulopapular, ruam eritematous;
kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis.
14
Bahkan dengan pengujian ekstensif dan penggunaan tes PCR, penyebab ensefalitis masih
belum ditentukan di satu pertiga dari kasus.
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari penyebab ensefalitis,
terutama pada pasien dengan temuan neurologik fokal. Biopsi otak mungkin cocok untuk
pasien dengan ensefalopati berat yang tidak menunjukkan perbaikan klinis jika diagnosis
tetap tidak jelas. HSV, rabies ensefalitis, penyakit prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob
penyakit dan kuru) dapat didiagnosis dengan pemeriksaan rutin kultur atau biopsi
patologis jaringan otak. Biopsi otak mungkin penting untuk mengidentifikasi arbovirus
dan infeksi Enterovirus, tuberkulosis, infeksi jamur, dan penyakit non-menular, terutama
primer SSP vasculopathies atau keganasan.
G. PENANGANAN MENINGOENCEPHALITIS
Table 100-3. Initial Antimicrobial Therapy by Age for Presumed Bacterial Meningitis
Age Recommended Treatment Alternative Treatments
Newborns (0-28 days) Cefotaxime or ceftriaxone plus Gentamicin plus
ampicillin with or without gentamicin ampicillin
Ceftazidime plus
ampicillin
Infants and toddlers (1 Ceftriaxone or cefotaxime plus Cefotaxime or ceftriaxone
mo-4 yr) vancomycin plus rifampin
Children and adolescents Ceftriaxone or cefotaxime plus Ampicillin plus
(5-13 yr) and adults vancomycin chloramphenicol
15
Treatment of bacterial meningitis focuses on sterilization of the CSF by antibiotics (Table 100-3) and
maintenance of adequate cerebral and systemic perfusion. Because of increasing resistance of S.
pneumoniae, many of which are relatively resistant to penicillin or cephalosporins, cefotaxime (or
ceftriaxone) plus vancomycin should be administered until antibiotic susceptibility testing is available.
Cefotaxime or ceftriaxone also is adequate to cover N. meningitidis and H. influenzae types a through
f. For infants younger than 2 months of age, ampicillin is added to cover the possibility of Listeria
monocytogenes. Duration of treatment is 10 to 14 days for S. pneumoniae, 5 to 7 days for N.
meningitidis, and 7 to 10 days for H. influenzae.
Supportive therapy involves treatment of dehydration with replacement fluids and treatment of
shock, disseminated intravascular coagulation, inappropriate antidiuretic hormone secretion,
seizures, increased intracranial pressure, apnea, arrhythmias, and coma. Supportive therapy also
involves the maintenance of adequate cerebral perfusion in the presence of cerebral edema.
With the exception of HSV and HIV, there is no specific therapy for viral encephalitis.
Management is supportive and frequently requires ICU admission, which allows aggressive
therapy for seizures, timely detection of electrolyte abnormalities, and, when necessary,
airway monitoring and protection and reduction of increased intracranial pressure.
IV acyclovir is the treatment of choice for HSV infections. HIV infections may be treated with
a combination of antiretroviral agents. M. pneumoniae infections may be treated with
doxycycline, erythromycin, azithromycin, or clarithromycin, although the value of treating
CNS mycoplasmal disease with these agents is disputed. Supportive care is crucial to decrease
elevated intracranial pressure and to maintain adequate cerebral perfusion pressure and
oxygenation.
ADEM has been treated with high-dose IV corticosteroids. It is unclear whether the improved
outcome with corticosteroids reflects milder cases recognized by MRI, fewer cases of ADEM
caused by measles (which causes severe ADEM), or improved supportive care.
16
hampir semua virus ini Neurotropik. Angka kematian keseluruhan untuk ensefalitis menular
adalah sekitar 5%. Sekitar dua pertiga dari pasien sembuh sebelum dibuang dari rumah sakit.
Sisanya menunjukkan residua klinis yang signifikan, termasuk kelumpuhan atau spastisitas,
gangguan kognitif, kelemahan, ataksia, dan kejang berulang. Kebanyakan pasien dengan
gejala sisa neurologis ensefalitis menular pada saat dikeluarkan dari rumah sakit secara
bertahap memulihkan beberapa atau semua fungsi mereka.
Among survivors, symptoms usually resolve over several days to 2 to 3 weeks. Although most
patients with epidemic forms of infectious encephalitis (St. Louis, California, and enterovirus
infections) in the U.S. recover without sequelae, severe cases leading to death or substantial
neurologic sequelae can occur with virtually any of these neurotropic viruses. The overall
mortality for infectious encephalitis is approximately 5%. About two thirds of patients recover
fully before being discharged from the hospital. The remainder show clinically significant
residua, including paresis or spasticity, cognitive impairment, weakness, ataxia, and recurrent
seizures. Most patients with neurologic sequelae of infectious encephalitis at the time of
hospital discharge gradually recover some or all of their function.
Disease caused by HSV, eastern equine encephalitis, or M. pneumoniae is associated with a
poorer prognosis. The prognosis may be poorer for encephalitis in children younger than 1
year old or with coma. Rabies is universally fatal.
Relapses of ADEM have occurred in 14%, usually within 1 year with the same or new clinical
signs. Recurrences of ADEM may represent childhood multiple sclerosis.
Mortality/Morbidity
Morbidity and mortality rates depend on the infectious agent, age of the child, general health, and prompt
diagnosis and treatment. Despite improvement in antibiotic and supportive therapy, a significant mortality and
morbidity rate remains.
The overall mortality for bacterial meningitis is 5-10% and varies with causative organism and age.
Neonatal meningitis has a mortality rate of 15-20%. In older children, the mortality rate is 3-10%.
Meningitis from S pneumoniae has the highest mortality rate (26.3-30%); H influenzae type B has a 7.7-
10.3% mortality rate; N meningitidis has the lowest mortality rate of the most common organisms, at 3.5-
10.3%.
o Up to 30% of children have neurological sequelae. This varies by organism, with S
pneumoniae having the highest rate of complications.
o One study indicates that the complication rate from S pneumoniae meningitis did not vary if the
infection was from a penicillin sensitive or resistant strain. This study showed that
dexamethasone did not improve outcomes.[6 ]
o Some studies have shown the incidence of profound bilateral hearing loss, up to 4% in all
bacterial meningitis cases.[7 ]Sensorineural hearing loss is one of the most frequent problems.
Children at greatest risk for hearing loss include those with evidence of increased intracranial
pressure, abnormal findings on CT scan, male sex, low glucose levels in CSF, infection by S
pneumoniae, and nuchal rigidity.
o As many of the children affected are very young and cognitive and motor skills are immature,
some of the sequelae may not be recognized for years. A recent study followed children who
recovered from meningitis for 5-10 years. They found 1 in 4 school-aged meningitis survivors
had either serious and disabling sequelae or a functionally important behavior disorder or
neuropsychiatric or auditory dysfunction that impaired their performance in school.
17
Viral meningoencephalitis: Enteroviral infection usually has few complications. Herpes simplex and
arbovirus infections, in addition to viral infections in AIDS patients, can result in severe neurological
disease.
Tuberculous meningitis: Morbidity and mortality rates are related to the stage of the disease. Stage I has
a 30% significant morbidity, stage II 56%, and stage III 94%.
1. PENCEGAHAN MENINGOENCEPHALITIS
Meningitis
Routine immunizations against Hib and S. pneumoniae are recommended for children beginning at 2
months of age. Vaccines against N. meningitidis are recommended for young adolescents and college
freshmen as well as military personnel and travelers to highly endemic areas. Chemoprophylaxis is
recommended for close contacts of N. meningitidis infections and the index case and for close
contacts of Hib and the index case; rifampin, ciprofloxacin, or ceftriaxone is recommended (see
Chapter 94).
Encephalitis
The best prevention for arboviral encephalitis is to avoid mosquito-borne or tick-borne infections and
to remove ticks carefully (see Chapter 122). There are no vaccines in use in the U.S. for prevention of
arboviral infection or for enteroviruses except for poliomyelitis. There are no specific preventive
measures for HSV encephalitis except for cesarean section for mothers with active genital lesions (see
Chapter 65). Rabies can be prevented by pre-exposure or postexposure vaccination. Influenza
encephalitis can be prevented by use of influenza vaccination. Reye syndrome can be prevented by
avoiding use of aspirin or aspirin-containing compounds for children with fever, and use of varicella
and influenza vaccines.
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19