Você está na página 1de 7

1

ASPEK KEJIWAAN KELOMPOK TRANSGENDER DAN


TRANSEKSUAL

Dwi Putri Parendrawati

A. Pendahuluan
Dari zaman ke zaman manusia terus semakin berkembang. Dalam
perkembangannya tersebut, menurut teori gabungan (konvergensi)
menyebutkan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor yang telah
dibawa sejak lahir (faktor endogen) maupun faktor lingkungan sebagai faktor
eksogen (Lukluk, 2008 : 17). Faktor endogen dan eksogen tersebut
menjadikan individu dikatakan sebagai orang yang ‘normal dan ’abnormal’.
Individu yang mempunyai perilaku abnormal dideskripsikan mempunyai
penyimpangan dari norma statistik, penyimpangan dari norma sosial, perilaku
maladaptif dan distres pribadi (Lukluk, 2008 : 44). Perilaku abnormal tersebut
dapat diakibatkan oleh lingkungan sosial yang tidak menguntungkan atau dari
pengalaman belajar yang tidak benar. Perilaku yang abnormal salah satunya
adalah gangguan identitas gender.
Gender, merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang menunjukkan
adanya perbedaan tingkah laku antara jenis kelamin, yang oleh masyarakat
dibentuk sedemikian rupa (As, 2001). Gangguan identitas gender yang
sekarang ini banyak terlihat di tengah-tengah masyarakat adalah transgender.
Transgender adalah sekelompok orang yang mengalami transformasi gender.
Istilah transgender itu sendiri mulai populer di tahun 1970-an, dimana
istilah ini disematkan untuk menggambarkan seseorang yang mengganti
identitas gendernya tanpa melakukan perubahan organ seksnya. Lalu, pada
tahun 1980-an istilah ini berkembang, dan menjadi suatu alat pemersatu semua
orang yang merasa identitas gendernya tidak cocok dengan identitas yang
telah mereka dapat sejak lahir (http://www.wikipedia.org).
2

Definisi yang jelas dan tepat mengenai transgender itu sendiri masih
terus berubah-ubah. Namun demikian, dari berbagai definisi tersebut dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa transgender merujuk pada seseorang yang
bertransisi di antara dua orientasi seksual dengan menggunakan hormon
seksual atau dengan jalan operasi, memindahkan atau memodifikasi alat
genitalnya dan organ-organ reproduksinya. Dapat juga didefinisikan sebagai
seseorang yang telah jelas seksualnya sejak lahir, tetapi merasakan adanya
kesalahan pencitraan tentang diri mereka (http://lgbthealthchannel.com).
Bila ditilik lebih lanjut, dalam transgender terdapat istilah transwoman
yang menunjuk pada laki-laki yang berubah menjadi perempuan atau
sebaliknya yaitu transman. Berdasarkan penelitian Clements-Nolle et.al.
(2001), yang memakai sampel dari komunitas transgender di San Francisco,
menemukan bahwa 62% dari transwoman menderita depresi.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, seorang transgender mengalami
tekanan emosional terutama yang berhubungan dengan tubuh mereka. Seorang
transgender secara mendasar tidak menyukai karakteristik seksual biologis
mereka dan sebagian besar dari mereka mempunyai perilaku negatif terhadap
alat genitalia mereka sendiri (Transgender Identity Affirmation and Mental
Health Vol.6,2002).
Isu-isu tentang transgender merupakan sesuatu yang dapat dikatakan
baru dalam khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu kesehatan. Jadi,
dapat mudah dipahami mengapa masih banyak dari penyedia pelayanan
kesehatan sedikit mengetahui mengenai isu-isu transgender ini. Banyak
kalangan yang percaya bahwa untuk mengatasi masalah transgender ini,
adalah dengan cara merubah satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya
sebagai cara yang terbaik dan satu-satunya. Pada kenyataannya hal itu
bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah seperti ini
(http://www.wikipedia.org).
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) mendefinisikan
sehat sebagai “a state of complete physical, mental and social well-being and
not merely the absence of disease or infirmity”, yaitu keadaan sehat secara
3

paripurna yang meliputi sehat secara fisik, mental, dan juga kehidupan sosial
yang bukan hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan saja. Berdasarkan
definisi tersebut jelas bahwa individu yang mengalami gangguan identitas
gender seperti transwoman atau transman, tidak dapat dikategorikan sehat
dalam aspek mental dan kehidupan sosial, sekalipun secara fisik mereka tidak
mengalami gangguan atau kelainan apapun.
Disebabkan bagian terbesar individu transgender tetap menggantungkan
diri pada kehidupan malam, maka hal itu menimbulkan satu anggapan bahwa
dunia mereka diidentikkan dengan pelacuran. Stigma ini tentu saja akan
melahirkan satu pandangan bahwa berbicara manusia transgender dengan
sendirinya akan berbicara tentang kehidupan malam pelacur yang sudah pasti
akan mempengaruhi status kesehatan reproduksi dan kesehatan seksualnya.
Berdasarkan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) terkait
prevalensi HIV di Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa 34% waria di
Jakarta dinyatakan HIV positif (www.resep.web.id/kesehatan). Bahkan di
Propinsi Maluku sendiri, kelompok waria (transeksual) merupakan kelompok
dengan persentase tertinggi pengidap HIV positif dan AIDS yaitu mencapai
55% dari 626 kasus (www.antara-sulawesiselatan.com). Di sisi lain diakui
bahwa kelompok waria termasuk kelompok yang rentan terhadap penularan
HIV/AIDS. Penularan IMS dan HIV/AIDS di kalangan waria sangat tinggi.
Prevalensi IMS jenis gonore juga mencapai 55% di Bandung, yang artinya 1
dari 2 orang waria di Bandung terinfeksi gonore. Selain itu prevalensi sifilis di
kalangan waria di Surabaya juga mencapai 30% yang artinya 1 di antara 3
waria di Surabaya merupakan pengidap sifilis (http://aidsindonesia.or.id/news)

B. Transgender dan Transeksual


Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, transgender dan
transseksual dalam ilmu psikologi merupakan keadaan dimana seorang
individu mengalami gangguan. Transgender diberikan kepada orang yang
telah ditetapkan identitas seksualnya berdasarkan genitalia mereka saat lahir,
tetapi dalam mencitrakan atau mengekspresikan diri, mereka merasakan
4

adanya kesalahan atau merasakan ketidaksempurnaan pada diri mereka


(http://www.wikipedia.org).
Sedangkan transeksual merupakan keadaan dimana seseorang memiliki
keinginan untuk hidup dan diterima sebagai bagian dari orang yang memiliki
jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya, biasanya disertai dengan sensasi
ketidak nyamanan dan ketidak sesuaian dengan genitalianya dan memiliki
keinginan untuk melakukan operasi dan terapi hormon untuk membuat
tubuhnya sesuai dengan identitas gender yang diinginkan.
Menurut Wiramihardja (2005), penyebab seseorang menjadi abnormal
dalam hal ini menjadi seorang transgender ataupun transeksual didasarkan
oleh berbagai pendekatan, yaitu antara lain :
a. Pendekatan biologis
Dikatakan bahwa proses yang bersifat bio-fisik sebagai suatu keadaan
yang mempengaruhi manusia dimana penerapannya lebih menonjolkan
kepada sifat medis. Maka, dalam hal ini transgender dan transseksual
dianggap sebagai penyakit dari sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh
patologi atau ketidakmampuan otak. Sehingga pada pendekatan biologis
dinyatakan bahwa tidak terdapat adanya hubungan antara faktor psikologi,
maupun lingkungan yang mempengaruhi gangguan mental (Wiramihardja,
2005 : 16).
b. Pendekatan psikologis
Melalui pendekatan ini, dibicarakan faktor-faktor penyebab psikologis dan
psikososial yang mempengaruhi gangguan mental. Yang dimaksud dengan
psikososial ialah faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang atau
dapat menghambat perkembangan seseorang secara psikologis
(Wiramihardja, 2005 : 16). Yang termasuk ke dalam pendekatan
psikologis ini, antara lain :
a. Early deprivation
Deprivasi merupakan suatu istilah yang menggambarkan adanya reaksi
menerima atau pasrah dari individu terhadap keadaan-keadaan yang
menuntut, senang atau tidak senang ia ikut.
5

b. Pengasuhan orang tua yang tidak adekuat


Pengasuhan orang tua yang tidak adekuat ialah tidak tercukupinya rasa
aman sehingga tidak terdapat adanya values atau norma-norma sebagai
pegangan.
c. Struktur keluarga yang patogenik
Struktur keluarga yang patogenik adalah struktur keluarga yang tidak
seimbang, terdapat banyak pertentangan atau pertengkaran antara
orang tua sehingga anak-anak merasa kurang kasih sayang.
d. Trauma pada masa anak-anak.
Mendapatkan perlakuan yang salah (abuse) pada masa anak-anak yang
berbentuk fisik (physical), seksual (sexual), diabaikan (neglect), emosi
(emotional). Sehingga menimbulkan trauma yang dapat
mengakibatkan efek jangka pendek maupun panjang pada seorang
anak (Siswanto, 2007: 124-125).
Berdasarkan peneliltian yang dilakukan oleh Rekers, dari kurang lebih
70 orang anak laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender yang ia
jadikan objek penelitian, ia menemukan bahwa tidak dideteksi hal yang
sifatnya abnormal secara fisik. Dan tidak ada bukti bahwa pemberian hormon
sewaktu seorang wanita mengandung atau adanya ketidak seimbangan
hormonal pada diri ibu dapat menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya
gangguan identitas gender pada seorang anak
(www.leaderu.com/jhs/rekers.html.2002). Jadi, dapat ditarik kesimpulan dari
penelitian tersebut bahwa seseorang yang mengalami gangguan identitas
gender tidak mengalami gangguan atau keabnormalan secara fisik.
Maka, untuk mendiagnosis seseorang mengalami perilaku yang
abnormal atau tidak, menurut WHO (World Health Organization) dalam
Lukluk (2008) digunakan suatu sistem klasifikasi yang digunakan oleh
sebagian besar profesi kesehatan mental, yakni Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, edisi keempat atau biasa disebut DSM-IV.
6

Dalam sistem tersebut, tiap orang yang dianggap memiliki perilaku yang
abnormal dinilai berdasarkan lima dimensi yang masing-masing dimensi
mempunyai kriteria yang berbeda-beda.
Freud, seorang tokoh psikoanalisa mengemukakan bahwa psyche atau
jiwa sebagai gunung es di tengah lautan, yang ada di permukaan air
merupakan daerah kesadaran dan yang tidak tampak merupakan daerah
ketidaksadaran. Dalam ketidaksadaran tersebut terdapat suatu kekuatan yang
mendorong pribadi (Suryabrata, 2002: 122).
Masih menurut Freud, kepribadian mempunyai struktur yang terdiri dari :
1. The id, yang merupakan aspek biologis
2. The ego, yang merupakan aspek psikologis
3. The super ego, yang merupakan aspek sosiologis
Ketiga aspek tersebut menurut Freud, tidak dapat dipisahkan satu sama
lain dalam tingkah laku manusia, karena tingkah laku manusia selalu
merupakan hasil dari ketiganya. Bila salah satu diantara ketiga aspek tersebut
lebih tinggi dari yang lain, hal tersebut nantinya akan mempengaruhi juga.
Saat kita merasakan perasaan ketidak cocokkan antara identitas gender
yang kita terima sejak lahir dengan tubuh yang kita diami, di dalam
masyarakat telah dibuktikan tidak ada kedudukan yang pasti atau peran yang
dapat diambil untuk jenis ekspresi gender seperti ini, bahkan suatu konflik
biasanya akan menyeruak atau timbul dalam masyarakat tersebut. Hal ini tidak
dapat diterima sebagai sesuatu yang normal dalam masyarakat kita sekarang
ini (http://www.transgendercare.com/guidence/what_is_gender.htm).
Konflik dengan lingkungan, yang berkepanjangan dapat membuat
seseorang menjadi stres. Terlebih pada kebanyakan kaum transgender ini,
mereka mengalami stres, dikarenakan tekanan dari lingkungan, terutama
masyarakat yang masih mendeskritkan mereka. Pemaparan seseorang dengan
stres dapat membuat emosi yang menyakitkan, seperti dapat mengalami
gangguan kecemasan. Namun, reaksi seseorang saat mengalami stres berbeda-
beda, ada sebagian yang mengalami masalah psikologis yang serius dan ada
yang menghadapinya tidak mengalami masalah apapun.
7

C. Penutup
Faktor yang dapat menjadikan seseorang mengalami gangguan
identitas gender tak dapat dilepaskan dari konsep pengasuhan orang tua
kepada anak sejak ia bayi hingga dewasa. Konsep pengasuhan yang benar dari
orang tua akan memberikan pengaruh yang besar nantinya dalam tumbuh
kembang anak, terutama dalam hal pembentukan konsep diri, harga diri dan
citra diri anak, bila pengasuhan yang benar tersebut tidak didapatkan oleh
anak, maka dalam pembentukan konsep dirinya pun tidak akan benar.
Keutuhan dalam sebuah keluarga pun dapat menjadi faktor potensial
seseorang mengalami gangguan identitas gender. Dan tak kalah pentingnya,
riwayat trauma yang pernah dialami seseorang dapat menjadi faktor pemicu
terjadinya gangguan identitas gender ini, terutama yang berkaitan dengan
trauma seksual.
Sebagai manusia yang normal, individu transgender dan transseksual
memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia normal lainnya. Tetapi,
dikarenakan terdapat adanya penyimpangan perilaku yang mereka perlihatkan,
mengakibatkan mereka mengalami berbagai bentuk konflik baik yang mereka
dapatkan dari pihak keluarga maupun dari segelintir masyarakat dikarenakan
sudut pandang yang telah terbentuk selama ini mengindikasikan bahwa kaum
mereka merupakan kaum yang selalu terlibat dalam hal negatif, seperti
menjadi seorang pekerja seks komersial.
Perilaku kaum transeksual/transgender dalam mencari pertolongan
kesehatan relatif sudah mengarah pada perilaku positif, dimana mereka secara
rutin melakukan pemeriksaan kesehatan. Baik kepada tenaga kesehatan yang
telah disediakan oleh yayasan yang menaunginya maupun kepada dokter
umum biasa.

Você também pode gostar