Você está na página 1de 28

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Oleh : VITRIANA

dr.

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI FK-UNPAD / RSUP.dr.HASAN SADIKIN FK-UI / RSUPN dr. CIPTOMANGUNKUSUMO 2002

SPONDILITIS TUBERKULOSA I. Pe ndahuluan Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spina l yang dikenal pula nama dengan disease of the ata Potts tuberculous v ertebral spine u osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit (1) . lebih 3 ini Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pa da tahun 1779 yang mene mukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah kurvatura tula ng be lakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan dengantuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun basil 1882, sehingga e tiologi untuk kejadian te rsebut menjadi (2,3) . jelas Di waktu yang la mpau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 5 tahun. Saat ini denga n adanya pe rbaikan pelayanan ke sehatan, maka insidensi usia mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih se ini ring terkena dibandingkan ana k- (3) . anak Terapi konservatif yang dibe rikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada ka sus kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tinda kan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun se telah penderita menjalani tindakan operatif. II. Epidemiologi Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum merupakan dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-ne gara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam waktu 30 tahun terakhir (2,4,5,6,7) . Perlu dicermati bahwa di Ame rika kurun dan Inggris inside nsi penyakit ini mengalami peningka tan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medic Rese arch Counc il TB and Chest Diseases Unit (2,5) . Sela in itu dari al 1980)diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan terlara penelitian juga ngdalah kelompok beresiko besar terkena penyakit (8) . a ini Di Amerika Uta ra, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa , dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-ana k (50% kasus terjadi anta ra usia 1-20 tahun). ini mengala mi perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan Pola insidensi infeksi tube rkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong (7,8,9) . Kong Pada kasus-kasus pasien dengan tube rkulosa, kete rlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan dapat beban (weight ) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) bearing lebih sering terkena dibandingkan denga n bagia n yang lain. Dari seluruh kasus terse but, ng belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tula tulang 1

(kurang lebih 50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tula ng panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tula ng di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumba l bagian a tas merupakan tempat yang paling se ring terlibat karena pada a rea ini pergerakan dan tekana n weight mencapa (2,3,4,9,10) . dari bearing i maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral De fisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkemba ng penyakit ini (7) . merupakan paling sering untuk kondisi paraplegia non trauma penyebab Inside tik nsi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada ora ng dewasa dibandingkan de ngan a naka nak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jara pada tulang ng mukan keadaan (2,7) . dite ini III. Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh kare na bakte ri berbe ntuk basil Bakteri (basilus). paling sering menjadi penyebabnya yang Mycobacteriu adalah tuberculosi , walaupun Mycobacteriu yang lainpunmda pat juga bertanggung spesies jawab sebagai penyeba bnya, Mycobacterium s m seperti (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika africanum tubercle bovine bac Barat), non-tuberculous cilus, a taupun (banyak ditemukan pada HIV)(7,10) .mycobacteria jenis spe sies ini penderitadi penting karena Pe rbedaan menja sangat mempengaruhi pola resistensi obat. Mycobacterium merupakan bakteri berbentuk bata ng bersifa tuberculosis acid-fastnondan tida yang pat diwarnai dengan ba ik melalui k da t motile cara yang konve nsional. Dipe rgunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam eggmedia periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupa kan karakte enriched dengan ristik Mycobacterium dan dapa t membantu untuk membeda (2) . tuberculosisspesies kannnya dengan lain IV.Patoge nesa Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampua hos untuk n t immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diina ktivasi, memobilisasi maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang pembe ntukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa yang diha silkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif (Wood a ntigen and Anderson 1988; Dunlop and Briles 1993) (2) . Virulensi basil tuberkulosa dan kema mpuan mekanisme hos t a kan pertahanan menentukan pe rjalanan pe nyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang cepat ; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat terjadi hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein da lam dalam cairan serebrospinal akan tampak me ningkat, tetapi basil tube rkulosa sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkan

perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkan meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi da n terorganisasi (Kocen a nd Parsons 1970)(2) .

Gambar 4.1 Probabilitas timbulnya penyakit tuberkulosa. Pengaruh dari jumlah basil yang menginfeksi dan kekuatan pertahanan pasien (Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2 nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 8)

Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tube (10) : rkulosa tergantung dari Usia dan jenis 1. kelaminTerdapat sedikit perbeda an antara anak laki-laki da n anak perempuan hingga ma sa pubertas. Bayi da n anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran sec ara hematogen. 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi da pat Setelah usia terkena tuberkulosa milie r ata u meningitis, ataupun juga bentuk kronis penyakit lain infeksi tuberkulosa seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau dari sendi. Sebelum pubertas, lesi prime r di paru me rupakan le si yang be rada di lokal, walaupun ka vitas seperti pada orang dewasa dapat juga dilihat area pada nak malnutrisi di Afrika dan Asia, te rutama perempuan usia 10a nak-a 14 tahun. Setelah puberta s daya tahan tubuh me ngalami peningkatan dalam mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi me njadi lemah dalam mencegah penyebaran pe nyakit di paruparu. kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingka t usia Angka tetapi wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia a nakpada anak, nsi ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah inside melahirkan a nak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 ta hun untuk sementara pria bisa menc apai usia 60 wanita, tahun.

2. Nutrisi Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi terhadap penyakit. 3. Faktor toksik Perokok tembakau dan peminum alkohol akan menga lami penurunan daya tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain. 4. Penyakit Adanya pe nyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa. 5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan) Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya ta han tubuh. 6. Ras Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap pe nyakit ini. V. Patologi Tuberkulosa pada tulang belakang da pat terja di karena penyebaran atau pe nyebaran langsung nodus limfatikus para a orta atau me hematogen lalui limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di jalur luar ng be lakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa tula dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan (2,5,7,8,10) . genitourinarius biasanya infeksi tuberkulosa tulang belaka ng berasal Pada anak-anak dari primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi fokus dari fokus e kstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran ba sil dapat te rjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berde katan, yaitu setengah bagian vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau me bawah lalui pleksus Batson yang mengelilingi columna vertebralis yang s menyebabkan banyak vertebra ya ng terkena. Hal inilah yang me nyebabkan pada kurang lebih kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang 70% berdekatan, pada 20% kasus melibatkan tiga ata u lebih (3,4,10) . sementara vertebraBerdasarkan lokasi infeksi awal pa da korpus vertebra dikenal tiga be ntuk spondiliti (7,9) : s (1) Peridiska l / paradiskal pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise Infeksi di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondra l). Banyak n pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia ditemuka dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemuka n di regio (2) lumbal. Sentral Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga rtikan sebagai tumor. Sering te rja di pada anak-anak. Keadaan disalaha ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini diba ndingkan dengan tipe lain

sehingga mengha silkan de formitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Te rbanyak di temuka n kompresi di regio (3) torakal. Anterior Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas diba wahnya. Gambaran radiologisnya mencakup scallope karen dan adanyadi bagian a nterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola d a e rosi ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan me lalui a bses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena a danya perubahan lokal dari suplai darah (4) vertebral. Bentuk atipikal : Dikatakan atipikal karena te rlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifika sikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis tanpa keterliba tan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, spinalis lamina, transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang bera da di prosesus sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatka n elemen tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%posterior 10%. Infeksi tuberkulosa pada awalnya me ngena i c dari vertebratulang . Area infeksi secara bertahap bertambah besar ancellous luas, dan me berpenetrasi korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal ke da lam anterior, dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di melibatkan bawah ligamentum longitudinal a nterior atau secara langsung melewati diskus inte rvertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra oleh vertebra yang jauh melalui abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tula ng baru dan pada saat yang bersama an menyebabkan tula ng menjadi avascular menimbulka tuberc sehingga ulous terutama di re gio toraka l. n Discus inte rvertebralis, yang sequestra, relatif lebih resisten terhadap infeksi avaskular, tuberkulosa. rongga diskus terjadi karena perluasa n infeksi paradiskal ke Penyempitan dalam diskus, hila ngnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya ruang corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder perubahan kapasitas fungsional end karena Suplai darah juga dari plate. akan semakin terganggu dengan endarteriti yang menyebabkan tulang timbulnya s menjadi ne krosis(gb.5.1). De struksi progresif tula ng di bagian anterior dan kolapsnya tersebutbagian n menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk aka menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra de ngan sendi inte rvertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformita s be rbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung t kerusakan, level le si dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila dari de raja sudah deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit timbul ini sudah meluas.

Gambar 5.1 Patogenesis spondilitis tuberkulosa (Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2 nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1450)

Di regio tora kal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal normal;yang area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal di lumbar dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke lordosis posterior akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps sehingga hanya

bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu dise babkan karena sebagian besar bera t disa lurkan melalui prosesus a (3) . badan rtikular De ngan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulangtulang iga akan menumpuk menimbulkan be ntuk deformitas rongga dada be barre (8) . rupa l c hest Proses penyembuha n kemudian terjadi secara bertahap dengan fibrosis timbulnya dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang fibrosa vertebra yang kolaps (8) . Pembentukan abses paravertebral te rja di hampir pada setiap Dengankasus. kolapsnya korpus ve rtebra ma ka jaringa n granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik se rta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudina l korteks Col anterior. ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanja d abcess s ng bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak te rtentu dari te mpat lesi a slinya (gb. 5.2)(8)

Gambar 5.2 Pembentukan abses pada Potts disease (Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2 nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1451)

Di regio lumbal abses berjalan sepa njang otot psoas dan biasanya menuju berjalan paha dibawah ligamen inguinal. Di re gio torakal, lipat ligamentum me nghambat jalannya a bse s, tampak pada radiogram sebaga longitudinal g i ambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pa da atau sedikit dibawah leve l ertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur v ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebra l yang menyerupa i sara ng burung. Terkadang, abse s torakal dapat mencapai dinding dada anterior

di a rea parasternal, mema suki area retrofa ringeal atau be rjala n sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi (3) . leher Sejumla h mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien de ngan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena karena perluasan dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan da ri tulang langsung (seperti e pidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis). satu defisit neurologis ya ng paling sering terjadi adalah Salah yang paraplegia dikena l dengan Potts . Paraplegia dapat timbul nama ataupun kronis (setelah hilangnyainipenyakit) tergantung dari paraplegia secara a kut kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yangkukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada dila pasien kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada berusia predileksi jenis kelamin untuk kejadian berdasarkan ini. VI. Potts Paraplegia Sorrel-Dejerine Potts menjad (3,7) : mengklasifikasikan paraplegia i (1) Early onset Terjadi paresis kurang dari dua tahun sejak onset (2) penyakit Late onset paresis setelah lebih dari dua tahun sejak onset Terjadi penyakit ntara itu Se ddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorre l Seme menjadi tiga tipe: (1) Type I ( paraplegia of active / berjalan disease) akut Onset dini, te rjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penya kit, dan dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tida k permanen). (2) Type II Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, be rsifat permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menja di tenang. Penyebab timbulnya pa raplegia pa da tipe I dan II dapat disebabkan olehkarena (a) : Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater disebabkan oleh karena adanya gra nuloma di ka nalis spinalis, Dapat adanya materia l perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena a bses, subluksasi a tau disloka si patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan gerak bawah denga n spastisitas ya ng bervariasi, te tapi kelemahan alat tidak tampak adanya spasme otot involunter dan withdrawa . l (b) reflek Invasi duramater oleh tuberkulosa gambaran Tampak meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa. pasien ta mpak mempunyai spastisitas yang berat dengan Secara klinis spasme involunter dan withdrawa . otot Prognosis tipe ini buruk dan reflek dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat l bervariasi sesuai terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan paraple gia.

(3) Type III / yang berjalan kronis paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapa t ditentukan apakah Onset dapa t membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan fibrosis pada spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi c orda penyakit a tau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang me nsuplai corda spinalis) . Kla sifikasi untuk pe Potts ini sendiri dijabarkan (11) : nyebab menjadi paraplegia oleh Hodgson I. Penyebab ekstrinsik : (1) Pada penyakit yang aktif . a abse s (cairan atau perkijuan) b. ja ringan granulasi c. sekuester tulang dan diskus d. subluksasi patologis dislokasi e. (2) vertebra penyakit yang sedang dalam proses Pada penyembuhan a. transve rse dari tulang anterior ke corda b. ridge fibrosisspinalis duramater II. Penyebab intrinsik nyeba rnya peradangan tuberkulosa melalui duramater Me : melibatkan dan meningen corda III. spinalis. Penyebab yang jarang : Trombosis corda (1) spinalis yang infektif (2 Spinal tumor ) syndrome VII. Penegakkan Diagnosa (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10) Ga mbaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor (7) . Biasanya Pott's berjalan secara mendadak onset disease dan berevolusi lambat. ge jala-geja la se belum dapa t ditegakkannya suatu dia gnosa Durasi pasti bervaria si dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa. Anamnesa dan inspeksi : 1. Gambaran adanya penyakit sistemik : ke hilangan berat badan, keringat malam, demam ya ng berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam se c hari . Pada pasien anak-a nak, dapat juga terliha t rta keinginan achexia berkurangnya bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jela s pada pasien yang c ukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kura ng gizi, maka demam ng demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya (terkada nafsu akan terlihat dengan makan 2. jelas. Adanya riwaya t batuk la ma (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati da n nodus limpa.

3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengena i tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan ata u nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercosta l. Pada lesi di bagian bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. torakal Rasa ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri nyeri akan menahan punggungnya menjadi pasien kaku. 4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langka h kakipende k, karena mencoba menghindari nyeri di 5. punggung. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya posisi di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa di leher ata u bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak nyeri pembengkakan leher. Abses yang besar, terutama pa da anak, akan di kedua sisi mendorong sternal trakhea sehingga akan menyebabkan kesulita n menelan kedanya stridor respiratoar, seme ntara kompresi medulla spinalis pa da notch dan a orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). a tlantoaksial karena tuberkulosa jara ng terjadi dan merupakan salah Dislokasi satu penyebab cervicomedullar di negara yang se dang berkembang. Ha kompresi y l ini perlu dipe rhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal (Lal et al. 1992). 6. Infeksi di regio torakal akan menye babka n punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggera kkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia me nekuk lututnya ra tetap mempertaha nkan punggungnya tetap kaku (coin test)(gb. sementa 7.1).

Gambar 7.1 Gambaran seorang anak dengan spondilitis tuberkulosa (Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2 nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1451)

10

Jika terdapat abses, maka abses dapat berjala n di bagian kiri atau kanan menge lilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dindingJika menekan abses ini berja lan ke bagian belaka ng maka dada. dapat menekan korda spinalis da n menyebabkan 7 paralisis. lumba r : abses akan tampak se bagai suatu pembengkakan lunak ya Di regio . ng terjadi di atas ata u di bawah lipat paha. Jarang sekali pus da pat keluar melaluidalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi fistel panggul.tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi Pasien dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul. 8 Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi . tulang belakang)(gb.7.2), bayonet , subluksasi, skoliosis, deformity spondilolistesis, dan dislokasi.

Gambar 7.2 Tuberculosis spinal : gibbus. Tampak hump di tulang belakang karena kolapsnya korpus vertebra (Dari : Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2 nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 64).

11

9. Adanya ge jala dan tanda dari kompre si medula spinalis (defisit neurologis). pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada Terjadi spondilitisnyak di temukan pada infeksi di area torakal dan lebih ba servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan tendon dalam yang hipe raktif, pola jalan yang spastik refleks dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan 10. anorektal. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri kut seperti pada infeksi septik. Onset yang la mbat dari pembengkakan a tulang a taupun se ndi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa. Palpasi : . Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan 1 d terasa sedikit hangat cold , yang membedakan kulit iatasnya (disebut abses piogenik yang te raba panas). Dapat dipalpasi di daerah abcess dengan lipat fossa iliaka, retropharynx, ata u di sisi leher (di be lakang paha, otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga tera ba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantita s pus cold . abscess 2. dalam otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang Spasme terkena. Perkusi : . Pada perkusi secara halus atau pemberia n tekanan diatas prose sus 1 spinosus vertebrae yang terkena, sering te . tampak nderness Pemeriksaan Penunjang : 1. Laboratorium endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih 1.1 Laju : dari100mm/jam. 1.2 Tuberculin skin / Mantoux / Tuberculine Purified test test Protein De (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada rivative rankondisi maupun yang baru terjadi mycobacteriu . pemapa dahulu olehTuberculin skin ini dikatakan positif m jika tampak area test berindurasi, kemerahan dengan =10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 diameter jam setelah suntikan. yang ne gatif tampak 20% kasus (Tandon and Pathak Hasil pada 1973; Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti ba ru pada saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit 1.3 lain) Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang 1.4 aktif) darah tepi menunjukkan leukositosis denga n limfositosis Apus yang bersifat 1.5 relatif. darah untuk titer anti-staphylococcal dan antiTes streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang

12

sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirka n diagnosa banding. 1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara seria l memberikan hasil ya ng lebih baik. Cairan serebrospinal akan akan tampak: Xantokrom Bila dibia rkan pada suhu ruangan aka n menggumpal. Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik se perti pada meningitis(Kocen and Parsons 1970; Traub et al piogenik 1984). Kandungan protein meningkat. gula normal pada tahap awal tetapi jika gambara n Kandungan klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi Pa pemeriksaan. arac hnoiditis tuberkulosa (radic ulomyelitis), da keadaan punksi lumbal akan menunjukkan genuine dry . Pada pasien ini tap peningkatan bertahap kandungan protein adanya menggambarka n suatu blok spinal yang mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini (Wadia Kandungan protein c airan serebrospinal dalam kondisi spinal 1973). terblok dapat spinal menca pai 14g/100ml. Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman dan taha p pemeriksa infeksi. 2. Radiologis (6,8,12,14) : Gambarannya bervaria si tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi. rontgen dada dilakuka n pada seluruh pasien untuk mencari Foto bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal) . Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapa terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit. Jika mungkin lakukan rontge n dari arah antero-poste rior dan lateral. awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau Tahap sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut tampak penyempitan diskus intervertebralis yang sehingga berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang scallopin karen berbentuk g a penyebaran infeksi dari area subligamentous (gb.7.3). Infe ksi tuberkulosa jarang meliba tkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus. Keterlibata n bagian lateral corpus vertebra akan menye babkan timbulnya deformita scoliosis Pa(jarang) da pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang norma l empunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini m dikenal nama long dengan ata tall verte , terjadi karena adanya bra biome kanik vertebra yang lama diu bagian kaudal stress sehingga vertebra gibbus menjadi 13

lebih tinggi. Kondisi ini banya k terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat pusat terkena tuberkulosa yang melibatkan vertebra penyakit torakal. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebra l dansoas. Tampak bentuk fusiform atau pe mbengkakan berbentuk p globular kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayanga n dengan jaringan ya ng mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa lunak kalsifikasi penye mbuhan. Deteksi (evaluasi) ada nya a bse s epidura pada saat l angatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi s tindakan (tergantung operasi ukuran abses).

Gambar 7.3 Tuberkulosis spinal : diagram X-ray. Tampak destruksi dari vertebra yang berdekatan dan penyempitan ruang diskus. (Dari : Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2 nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62).

3. Computed Tomography Scan (CT) Terutama berma nfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibata n iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedike l tampak lebih baik dengan CT 4. Scan. gnetic Resonance Imaging Ma (MRI) mpunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifa Me t ompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tula k ng belakang. Bermanfaat untuk : Membantu memutuskan pilihan manajemen apa kah akan be rsifat konservatif atau operatif. Membantu menilai re spon terapi. Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di a 5. bses. Neddle / operasi e ksplorasi costotransve ) dari lesi spina biopsi ( l mungkin diperlukan pa da kasus rsectomi sulit tetapi membutuhkan yang pengalaman

14

dan pembacaan histologi yang baik (untuk me negakkan diagnosa yang a bsolut)(berhasil pada 50% kasus). 6. Diagnosis juga dapa t dikonfirmasi dengan melakukan a spirasi pus parave rte bral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa da n granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dala guine m a babi.
(4,10,6,13) VIII. Komplikasi 1. Cedera corda spinalis spinal cord ). Dapat terjadi ka rena ( tekanan ekstradural sekunder karena pus adanya injury tube rkulosa, se kuestra tula ng, sekuester dari diskus inte rvertebralis (contoh : Potts paraplegia rognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterliba tan korda p spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda de ngan buruk). kondisi paralisis pa da tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis. 2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura. IX. Diagnosa Banding (6,8,10,14)

1. Infeksi piogenik (contoh : kare staphylococca /suppurative ). na l spondylitis Adanya skle rosis atau pembentuka n tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Sela in itu keterlibatan dua atau corpus vertebra ya ng berdeka tan lebih me nunjukkan adanya lebih infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial la 2. in. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium. 3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia , Hodgkins disease, e osinophilic granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma) Metastase da pat menye babkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena rua ng diskusnya tetapi tetap dipertahankan. Secara radiologis ke lainan karena infeksi mempunya i entuk ya ng lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi b yang berba tas jelas. 4. Scheuermanns mudah dibedakan dari spondilitis tube rkulosa disease tidak a danya oleh karena penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal. X. Manajemen (2,7,8) terapi Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah : 1. Mengera dikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit 2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tube rkulosa me terbagi njadi :

15

A. TERAPI KONSERVATIF 1. Pemberian nutrisi yang bergizi 2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tube (4,2,7,9) rkulosaPemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini oba t ntituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalita a s. Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga oba t untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang yang berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini me rupakan belum suatu yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak pilihan harus menunda pemberian terapi. Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa memaka n waktu lama (kurang lebih minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi 6-8 klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang bukti baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu bentuk diagnostik (7,8) penegakkan . Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi (1) : Resistensi primer dengan orga nisme yang resisten terhadap oba t pada pasien Infeksi yang sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi re sistensi RMP atau EMB(Glassroth et al. 1980). Regimen denga n dua oba terhadap t ang biasa diberikan tidak dapat dijalankan pada kasus y (2) ini. Resistensi sekunder Resistensi yang timbul selama pemberia n terapi pasie n dengan infeksiawalnya masih bersifat sensitif te rhadap obat yang tersebut. The Medic al Research telah me nyimpulkan bahwa terapi Council pilihan untuk tuberkulosa spinal di nega ra yang sedang berkembang adalah pi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 kemotera 9ulan. b Pemberian kemoterapi saja dilakukan pa da penyakit yang sifatnya dini a tau te rbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat dibe rikan selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi Masa lah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adala h ma tulang. salah kepatuhan pasien. Durasi terapi pa da tuberkulosa e kstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singka ketidakpatuhan t kan menyebabka n timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan a dapat menga lami resistensi sekunder. Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).

16

Obat antituberkulosa sekuder adalah para-a minosalicylic acid (PAS), e thionamide, cycloserine, ka namycin dan capreomycin. Di bawah adalah penjelasan singka t dari obat anti tuberkulosa yang primer : Isoniazid (INH) Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraselulerdalam sediaan ora l, intramuskuler da n Terse dia intravena.untuk basil tuberkulosa yang berkembang Bekerja cepat. Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan se rebrospinal. Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang menge nai lebih banyak berusia pasien lanjut peripheral kare na defisie usia, neuropathy nsi piridoksin secara relatif (bersifat re versibel de ngan pemberian suplemen piridoksin). Relatif aman untuk kehamilan ada lah 5 mg/kg/hari 300 Dosis INH mg/hari Rifampin (RMP) Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun dari t lamba ba sil, baik di intra ataupun ekstraseluler. : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang Keuntungan paling h (seperti pada nekrosis renda perkijuan). diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia Lebih baik dalam bentuk sediaan oral dan intravena. Didistribusikan denga n baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal . fek samping yang paling sering terja di : perda rahan pada E traktus gastrointestinal c holestatic trombositopenia dose , jaundice, dan peripheral . Hepatotoksisitas meningkat bila dependent dikombinasi neuritis dengan INH. Relatif aman untuk kehamilan : 10 mg/kg/hari 600 Dosisnya mg/hari. Pyrazinamide (PZA) Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam dan paling efektif di intraselule r (dala m makrofag) atau dalam lesi perkijuan. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis. Efek samping : 1. Hepatotoksisitas da pat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka 2. pendek. urat akan me ningkat, akan tetapi kondisi gout jarang Asam tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar a sam urat. Dosis : 15 30mg/kg/hari

17

Ethambutol (EMB) Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal mping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya Efek sa kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan centra adanya . l scotom a Relatif aman untuk kehamilan Dipakai secara berhati-hati untuk pasie n dengan insufisiensi ginjal : 15-25 mg/kg/ha Dosis ri Streptomycin (STM) Bersifat bakterisidal lam lingkungan ekstraselule r yang bersifat basa Efektif da sehingga dipergunakan untuk melengkapi pemberia n PZA. berpenetrasi ke dalam meningen yang Tidak normalsamping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan Efek vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia) Dipakai secara berhati-hati untuk pasie n dengan insufisiensi ginjal : 15 mg/kg/ha ri 1 Dosis g/kg/hari Pera n steroid pada terapi medis tuberculous masi untuk radiculomyelitis h kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam me spina ngalami l bloc disamping mengurangi oedema jaringan (Ogawa e t.al k Pada 1987). pa sien-pasien yang dibe rikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan peme riksaan laboratorium secara periodik. 3. Istir ahat tirah baring restin )(3,4,7,8,9,13) Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula local pada ( g berupa / plaster rest turning ata continous bed disertai dengan frame bed u rest pemberian kemoterapi . Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan tida kbila tersedia keterampilan dan fa silitas yang cukup untuk melakukan operasi spina l anterior, a tau bila terdapat masala h teknik yang radikal terlalu membaha yakan. stirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk me lindungi I tulang belakangnya dalam posisi e kstensi teruta ma pada keadaan yang akut atau fase a ktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi deformitas lebih lanjut. Istira hat di tempat tidur dapat kompresi dan berlangsung sehingga dicapai keadaan ya ng tenang denga n me lihat tanda3-4 minggu, tanda radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya klinis, rasa hilangnya spa sme otot parave rte bral, nafsu ma kan dan berat nyeri, badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju darah, Mantoux e ndap umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis test dijumpai bertambahnya tidak destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah se rvikal dapa t diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi body cast ; se dangkan pada dengan bawah, lumbosakra l dan sakral dilakukan immobilisasi body jacke jacket daerah lumbal dengan t

18

a tau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi sa lah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehka n berobat jalan. Terapi untuk Potts pa raplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan shell selama tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang menga lami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih fleksi dari kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini 60% disebabkan rena oleh ka terjadinya cold abscess yang menyebabkan resorpsi intraspinal dekompresi . Seperti telah disebutkan diatas bahwa se lama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan peme riksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan halha l seperti ada nya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan ka seonekrotik dan sekuester yang banyak, ke adaan umum penderita yang je lek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang. B. TERAPI OPERATIF Sebenarnya sebagian besar pasien denga n tube rkulosa tulang belakang mengalami perbaikan de ngan pemberian kemoterapi saja (Medical Research 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien Council yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis da n me nyebabkan timbulnyaneurologis. Setelah tinda kan ope rasi pasien biasanya beristira hat kelainan di tempat tidur selama 3-6 (2,10) . minggu Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian obat terapi antituberkulosa dan tirah baring (terapi konserva tif) dilakukan tetapi tidak memberikan re spon yang baik sehingga le si spinal paling efektif diterapi dengan secara la ngsung dan tumpul untuk mengeva kuasi pus operasi tuberkulosa, sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan mengambil memfusikan segmen tulang belakang yang (9,13) . terlibat Selain indikasi diatas, debridemen dengan fusi dan (4,6,7,12) : t dekompresi juga operasi diindikasikan bila Diagnosa yang me ragukan hingga dipe rlukan untuk melakukan 1. biopsi Terdapat instabilitas setelah proses pe 2. nyembuhan a bse s yang dapat dengan mudah didraina 3. Terdapat se Untuk penya kit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata 4. dan menga ncam atau kifosis berat saat ini 5. Penyakit yang rekuren Potts paraplegia sendiri selalu me rupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi (Hodgson) akan teta pi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan (11) indikasi operasi : menjadi Indikasi A. absolut Paraplegia dengan onset selama terapi konserva tif; operasi tidak 1. dilakukantimbul tanda dari keterlibatan traktur piramida lis, tetapi bila ditunda hingga terjadi kelemahan motorik.

19

2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi 3. konservatif kekuatan motorik seca ra lengkap selama 1 bulan Hilangnya walaupun telah diberi terapi konservatif 4. Paraplegia disertai de ngan spastisita s yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit. 5. Paraplegia berat dengan onset yang c epat, mengindikasikan tekanan yang besa r yang tidak biasa terjadi dari abses atau kece lakaan mekanis; dapat disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdia juga gnosa 6. Paraplegia be rat; paraplegia flasid, paraple gia dalam posisi fleksi, hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik lebih da ri 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa selama percobaan terapi konserva pemberikan tif) B. Indikasi re latif1. Paraplegia ya ng rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya 2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi 3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme ataukompresi 4. syaraf Komplikasi seperti infeksi traktur urina rius atau C. batuIndikasi yang jarang Poste 1 rior spinal . disease 2 Spinal tumor . syndrome berat sekunder te rhadap penyakit 3. Paralisis servikal 4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina Pilihan pendekatan ope rasi dilakukan berdasa rkan lokasi le si, bisa melalui pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama dinterior ma ka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior a dan a nterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi ope rasi dengan menggunakanda ri arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu pendekatan prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat (9,13) . kesehatan Walaupun dipilih tindakan ope ratif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomenda sikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 46 inggu sebe lum fokus tuberkulosa dieradika si secara langsung m dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga mati yang ditinggalkannya diisi autogenous bone dari tulang iga. oleh graft Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan ya ng cepat dan terc apainya stabilisasi dini tulang belaka ng dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi poste rior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih spinal korpus , adanya intabilitas kare na destruksi elemen posterior atau vertebra konsolidasi tula ng terlambat se rta tidak dapat dilakukan pendekatan dari (3,9) . anterior

20

Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi bracin merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusa tambahan dan g kesehatan ya ng tidak t mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal (6) . anterior operatif juga biasanya selain tetap disertai pemberian Terapi kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan (9) . selanjutnya menggunakan spinal bracing Pada pasien de ngan le si-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal da lam TLSO direkomenda sikan hingga fusi menjadi (7) . berkonsolidasi Opera si pada tuberculous tidak banyak kondisi radiculomyelitis membantu. Pada pasien dengaintramedullary , operasi hanya diindikasikan n jika ukuran lesi tida k tuberculoma dengan pemberian ke moterapi dan lesinya be berkura ng rsifat soliter . Hodgson da n kawan-ka wan menghindari tindakan laminektomi sebaga i prosedur utama Potts dengan alasan bahwa eksisi lamina terapi paraplegia dan e lemen neural posterior akan menga ngkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. La minektomi hanya diindikasikan dengan paraplegia karena penyakit di laminar atau ke terlibatan c pada pasie n orda spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, mie menunjukkan adanya (8) . serta lografi sumbatan XI. Pencegahan Vaksin Bacillus Calmette-Gue rin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium yang dilema hkan sehingga virulensinya berkurang. bovis menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh BCG a kan tanpa menimbulkan hal-hal yang membaha yakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi e fektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial. terkontrol di bebera pa negara Barat, dimana sebagian besar a Percobaan naka naknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan percobaan lain dengan tipe percobaan ya ng sama di Amerika dan India tetapi telah menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian gagal pada di negara miskin me nunjukka n adanya efek proteksi terutama bayi terhadap tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pa da tahun The kondisi 1978, Tuberc ulosis merekomendasikan vaksinasi BCG pada Joint se luruh Committee tuberkulinnya orang dan pada seluruh bayi yang baru lahir yang uji negatif pada populasi immigran di Inggris(Glassroth et al. (2,10) . 1980) Saat ini WHO International Union Against Tuberculosis and dan Diseas tetap menyarankanLung pemberian BCG pada semua infant seba gai e suatu yang rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS aktif).Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi se dangkan 0,1 ml untuk ana k yang lebih besar dan de wasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis prime r biasanya tidak infeksius, maka hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumla h infeksi pada BCG orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang

21

lebih penting adalah te rapi yang baik terhadap seluruh pasie n dengan sputum tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang berbasil mudah menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulos (2,10) . a XII. Prognosa (7) Prognosa pa sien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung da ri dan usia kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologisterapi serta yang diberikan. . a Mortalitas litas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan Morta seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pa sien didiagnosa dini dan patuh denga n regimen terapi dan pengawasan ketat). ps b. Rela Angka kemungkinan keka mbuhan pasie n yang diterapi antibiotik regimen medis saa t ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai dengan 0%. c . Kifosis Kifosis progresif sela in merupakan deformitas yang mempengaruhi secarakosmetis signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis a tau kegagalan pernafasan dan jantung kare na keterbatasan fungsi paru. Rajasekaran dan Soundarapandian dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nya ta antara sudut akhir deformitas dan jumlah hila ngnya corpus vertebra. Untuk memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul pe neliti menggunakan rumus :Y = a + bX dengan keterangan : Y = sudut akhir dari deformitas X = jumlah hilangnya corpus vertebrae a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5. Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90% pada yang tidak dioperasi. Jika sudut pre diksi ini berlebihan, maka pasien operasi sedini mungkin harus dipertimbangkan. d. Defisit neurologis neurologis pada pasien spondilitis tube rkulosa dapat membaik Defisit secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dilakukannya operasi dengan dini. . e Usia Pada anak-anak, prognosis lebih ba ik dibandingkan dengan orang f. Fusidewasa Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis tuberkulosa.

22

XIII. RANGKUMAN Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada beberapa deka de belakangan ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan dan perkembangan regime n kemoterapi distribusi yang e fektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu ma salah kesehatan di negaranegara be lum dan seda ng berkembang dimana diagnosis dan terapi yang tuberkulosa mungkin sistemik dapat tertunda. Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya be rsifat tif, akan tetapi morbiditas ya ng berhubungan dengan deformitas spinal, kura nyeri gejala sisa neurologis dapat dikurangi seca ra agresif dengan dan intervensiprogram rehabilitasi se rta kerja sama yang baik antara pasien, operasi, keluarga dan tim kesehatan.

23

Daftar Pustaka 1. Ma rtini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In :Fundame ntals of Anantomy and Physiology. 5 th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151 2. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Scienc e, Diagnosis and nagement. London : Springer-Verla g, 1997 : 378Ma 3. 87. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric nd ed. Orthopedics.2 : W.B. Saunde rs, 1990 : 1449-54 Philadelphia 4. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. nd In :Neurology and Ne urosurgery Illustrated. ed. Edinburgh : Churchill 2 Livingstone, 1991 : 388. 5. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotle r HB,Guyer RD., editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. : Mosby-Year Book, Inc., 1993 : 387-90. Louis 6. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopa edics. e d. Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91 2nd 7. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. rd ed. 3 Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 13538. 64 Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Me dicine.Philadelphia : W.B. Saunders, 1995 : 61532. 9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tube rculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopae dics nd a tra umatoloty. 10. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinic al Tuberculosis. nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6. 2 11. Wood.G.W. Infections of Spine. In : Campbells Operative Orthopaedics. th 7 e d. Crenshaw A.H editor. St. Louis : C.V. Mosby Company, 1987 : 3323-45. 12. Terry R. Y, Lindsay R. Infection : Non Suppurative Osteomyelitis (tuberkulosis). In : Essential of Skeletal Radiology. nd ed. 2 Baltiomore : Williams and Wilkins, 1996 : 13. 1227. R.B.Tuberc ulous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Salter Injuries of The Musculoskeletal System. rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 3228-31 1999 : 14. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In :Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York : hieme, 2001 : 150, 334-36. T

24

DAFTAR ISI Halama n DAFTAR ISI i DAFTAR GAMBAR ii BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II EPIDEMIOLOGI 1 BAB III ETIOLOGI 2 BAB IV PATOGENESA 2 BAB V PATOLOGI 4 BAB VI POTTS PARAPLEGIA 8 BAB VII PENEGAKKAN DIAGNOSA 9 BAB VIII KOMPLIKASI 15 BAB IX DIAGNOSA BANDING 15 BAB X MANAJEMEN TERAPI 15 BAB XI PENCEGAHAN BAB XII PROGNOSA 2 BAB XIII RANGKUMAN 23 BAB XIV DAFTAR PUSTAKA 24

25

DAFTAR GAMBAR Halama n


Gambar 4.1 Probabilitas timbulnya penyakit tuberkulosa. Pengaruh dari jumlah basil yang menginfeksi dan kekuatan pertahanan pasien 3 Gambar 5.1 Patogenesis spondilitis tuberkulosa 5 Gambar 5.2 Pembentukan abses pada Potts disease . 6 Gambar 7.1 Gambaran seorang anak dengan spondilitis tuberkulosa ... 9

26

Você também pode gostar